"Tuan, awas!"
Karely berteriak pada Astin ketika melihat salah satu dari dua pria itu menghunus pisau ke arah Astin hendak menikam perutnya. Karena teriakan inilah, Astin yang sedang bertarung dengan pria satunya kaget dan langsung menghindar. Namun naas, gerakannya kurang gesit sehingga pisau itu berhasil menggores lengannya."Tuan!" Marlin terkejut dan khawatir melihat lengan Astin terluka.Marlin yang sejak tadi was-was memperhatikan Astin melakukan perlawanan terhadap dua perampok demi menyelamatkan Karely dan ibunya, akhirnya angkat suara. Sebenarnya sejak tadi dia ingin membantu, tapi Astin telah melarang dan menyuruhnya diam tanpa ikut campur.Langkah Marlin kembali terhenti saat Astin memberinya tatapan penuh arti untuk tetap diam."Polisi!" teriak Marlin. Meski Astin melarangnya membantu, Marlin tidak bisa membiarkannya terluka.Teriakan ini bukan omong kosong saja. Teriakan Marlin disusul suara sirine mobil polisi dan beberapa polisi berlari ke ara"Tante, aku bisa tidur di sofa," ucap Astin merasa tidak enak hati melihat wajah tidak rela Karely."Apa yang kamu katakan?" Teresa menunjukkan wajah marah atas perkataan Astin.Perbincangan keduanya membuat Karely menghentikan langkah dan membagi pandang ke arah mereka secara bergantian. "Karely!"Karely menghela napas mendalam dan menghempaskan panjang, lalu melanjutkan langkahnya. Ada rasa tidak ikhlas membiarkan Astin menempati kamar yang selama ini dijaga dan tidak dibiarkan orang lain masuk.Karely membuka pintu dengan rasa enggan. Berdiri di ambang pintu dengan mata beredar memperhatikan setiap ruang dan sudut. Lagi-lagi dadanya terasa sesak, napasnya melambat dan berat."Maaf, aku harus membiarkan orang lain masuk dan tinggal di sini beberapa hari," ucapnya sembari melangkah masuk.Karena kamar itu akan digunakan oleh orang lain, dia harus membereskan barang-barang yang seharusnya tidak boleh dilihat orang lain, termasuk Astin."Untuk sementa
"Pakaian ini?" Astin mengangkat salah satu kaos yang diberikan Karely padanya, membentangkan untuk memperhatikan. Ukuran, model dan kualitas bukanlah merupakan kaos yang biasa atau murah. Bisa dikatakan kaos bermerek yang memiliki harga tinggi. Astin bukan tidak tau pakaian bermerek karena dia pun menggunakan pakaian bermerek juga.Sedangkan Karely, dia masih terdiam dengan tatapan menunggu apa yang akan dikatakan Astin tentang pakaian itu. Sungguh, dalam hati ada rasa tidak ikhlas memberikan pakaian itu pada pria lain, termasuk Astin. Rasanya sebuah luka kembali mengangga dalam hati. Sebuah kenangan kembali terkuak dan melintas dalam kepalanya."Bila kamu keberatan, aku tidak akan memakainya," ucap Astin kembali melipat pakaian yang tadi dia bentangkan, lalu membalas tatapan Karely. "Ini terlalu mahal untukku," sambungnya.Salah satu sudut bibir Karely berkedut dan tertarik."Harganya tidak bisa dibandingkan dengan pakaianmu," sahut Karely mencebik.Dia bukan wanita bodoh yang tidak
"Nancy, apa dia baik-baik saja?" Nancy menoleh melihat lekat Astin dengan tatapa penuh tanya."Siapa dia? Kenapa kamu sangat khawatir seperti ini?" "Katakan saja, bagaimana keadaannya!"Setelah melihat Karely pingsan, Astin segera membawanya ke dalam kamar dan membaringkan di tempat tidur. Dia juga telah berusaha membangunkan dengan cara memberi minyak kayu putih pada ujung hidung Karely dan juga memijitnya, tapi Karely tidak juga bangun. Hal ini membuatnya khawatir sehingga memanggil Nancy untuk datang dan memeriksanya.Nancy berdiri setelah memeriksa kondisi Karely, lalu mendekati Astin. Namun Astin menjauhinya dan berjalan mendekati tempat tidur, lalu duduk memperhatikan wajah Karely. Hal ini membuat Nancy membeku."Astin."Astin menoleh dan melihatnya. Tanpa mengatakan apa pun dan tanpa bertanya, tatapan Nancy meminta penjelasan darinya tentang siapa Karely dan apa hubungan mereka."Apa dia wanita yang pernah kalian bicarakan?" "Ya," jawab Astin singkat.Nancy menarik napas dala
"Aku bisa makan sendiri," ucap Karely hendak merebut sendok dan mangkuk dari tangan Astin.Namun, Astin tidak membiarkan hal itu dilakukan oleh Karely. Dengan gerakan cepat pria itu menarik mangkuk menghindari tangan Karely. Dia juga memenggang pergelangan tangan Karely."Lihat tanganmu!" ucapnya. "Kamu tidak mau bubur ini tumpah dan mengotori tempat tidur, bukan?" sambung Astin.Karely terdiam. Seperti yang perintahkan Astin, dia pun sedikit menunduk untuk memperhatikan tangannya sendiri. Alasan Astin masuk akal. Tangannya gemetar dan mungkin bila dipaksakan memegang mangkuk bubur, maka mangkuk itu akan tumpah. Bukan hanya mengotori tempat tidur saja, pasti akan mengotori pakaiannya juga.Karely pikir tangannya gemetar karena mimpi buruk yang baru saja dialami. Mimpi itu seperti nyata. Sebuah tragedi yang tidak pernah diinginkan, tapi nyatanya terjadi dalam hidupnya. Wajah Karely kembali terlihat murung. Kabut hitam menyelimutinya."Patuhlah!" ucap Astin, lalu kembali menyodorkan send
"Astin."Langkah Astin terhenti, padahal setelah beberapa saat menunggu dan berpikir tentang kepeduliannya terhadap suara tangis yang dia dengar dari kamar Karely, dia berniat untuk meninggalkan kamar Karely dan tidak ingin peduli lagi."Ada apa?" tanya Karely berdiri di ambang pintu melihat Astin.Ada apa?Astin bergumam dalam hati mengulang pertanyaan Karely. Menurutnya, yang seharusnya bertanya seperti itu dirinya, bukan wanita yang saat ini berdiri menatapnya.Astin merasa ada yang aneh dalam diri dan wajah Karely. Kalau suara tangis itu benar-benar milik Karely, seharusnya saat ini mata Karely menunjukkan bila dia habis menangis. Sayangnya, semua itu tidak dia temukan dalam wajah Karely. Wajah wanita itu tampak segar dan biasa saja, tidak ada sisa kesedihan."Aku lapar, tapi aku lihat tidak ada makanan." Akhirnya Astin mencari jawaban klasik.Karely semakin dalam menatap Astin. Dia lupa kalau sore ini mamanya belum juga kembali, itu artinya tidak ada
"Marlin jemput aku sekarang!" Setelah kepergian Karely, Astin langsung menghubungi Marlin dan meminta tangan kanannya itu menjemputnya. Menurutnya ini adalah kesempatan untuk mencari tau ke mana Karely pergi malam-malam begini.Selama menunggu hatinya gelisah. Dia khawatir kehilangan jejak Karely karena jarak antara rumah Karely dengan markas lumayan jauh sehingga Marlin membutuhkan waktu untuk sampai."Tuan," sapa Marlin membuka pintu mobil.Astin terkejut, tapi juga bernapas sedikit lega karena ternyata dugaannya salah. Marlin datang lebih cepat dari yang dia perkirakan."Cepat?" tanyanya setelah duduk nyaman di dalam mobil."Aku khawatir padamu," jawab Marlin.Tanpa penjelasan lebih rinci, Astin sudah mengerti arti jawaban tangan kanannya itu. Selama dia tinggal di rumah Karely, Marlin tetap berada di sekitar rumah itu untuk tetap melindunginya."Kamu tidak perlu melakukan hal itu. Aku baik-baik saja," ucap Astin meyakinkan Marlin tentang kondisin
"Aku sangat merindukanmu."Tiba-tiba seluruh rambut-rambut halus pada tubuhnya meremang dan berdiri. Aliran darah yang tenang berdesir ke seluruh tubuh dengan deras, sedangkan detak jantung yang awalnya berirama normal melonjak menjadi sebuah degub yang sangat cepat hingga menimbulkan debaran menghantam dinding dada.Astin yang baru saja berhasil memejamkan mata memasuki alam mimpi, tiba-tiba tersentak dan terbangun oleh pelukan hangat juga suara halus penuh kerinduan yang mendayu di samping telinga. Meski baru mengenal dan berinteraksi beberapa waktu, nalurinya dapat dengan jelas menebak siapa orang yang memeluknya, yang memiliki suara mendalam, yang hampir membuatnya shock."Karely," panggilnya lirih setelah mampu menekan rasa terkejut dalam diri.Meski tidak pernah merasakan sentuhan seorang wanita dan tidak pernah memiliki pemikiran untuk berdekatan dengan seorang wanita, mendapat pelukan tiba-tiba dari belakang membuat jiwa Astin meronta merasakan sebuah gejolak yang tidak pernah
"Apa yang kalian bicarakan?""Tuan?"Astin berjalan dengan langkah panjang memasuki ruang rapat para anggota Giustizia. Kedatangannya jelas saja membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut, termasuk Marlin dan Marlo. Mereka tidak menduga bila Astin akan datang tanpa memberitahu."Marlin, ada apa?" tanyanya lagi setelah duduk pada singgasana kebesarannya sebagai ketua.Matanya dingin, namun tajam meminta penjelasan atas kehadiran mereka di ruangan itu tanpa memberitahunya. Bisa dikatakan mereka telah lancang mengadakan pertemuan tanpa persetujuan darinya."Tuan, bagaimana kondisi Anda?""Marlin, jangan mengalihkan topik! Aku tanya apa yang kalian bicarakan di sini tanpa sepengetahuanku?" Astin menegakkan punggung dengan kedua tangan di atas meja. Matanya semakin tajam melihat Marlin. Dia tidak suka ada basa-basi terselip dalam pembicaraannya. Apalagi saat mereka berada di ruang rapat.Kini Astin mengedarkan pandang menjelejah satu per s