Share

05. Lelaki Gatal

Penulis: Klandestin
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-18 16:10:06

Adrienne tertegun, kewarasannya berguncang hebat. Mata yang tadinya terpejam, kini terbuka sempurna. Jadi, sejak tadi Drew membayangkan tengah bercinta dengan perempuan lain hingga berakhir mendesahkan nama Allena? Adrienne terkekeh sinis pun miris. Miris terhadap takdirnya

Lalu, sedetik kemudian, Adrienne menendang kuat tubuh bagian bawah Drew yang ambruk di atas dirinya dengan lutut. Pria kontan mengerang kesakitan sebab lutut Adrienne mendarat tepat di kepemilikannya. Penyatuan keduanya pun kian terlepas dan Drew berguling ke sisi kanan.

Aksinya tersebut jelas membuat Drew terkejut dan marah. Mata Drew melotot nyalang pada Adrienne, tampak urat kemarahannya mencuat di sekitar pelipis.

“Allena! Ya, kau bercinta dengan perempuan bernama Allena! Kau bercinta dengan Allena, bukan Adrienne. Kau gila, kau benar-benar sinting!” teriak Adrienne dengan berapi-api.

Sakit di bagian kewanitaannya belum lah hilang, bahkan ia masih merasakan sakit yang teramat akibat permainan Drew. Namun, sakit itu kini berpindah ke relung hatinya setelah sadar jika sejak tadi dirinya dijadikan objek bayang perempuan lain. Walau dia terpaksa menikah dengan Drew, harga dirinya tetap saja terhempas jatuh dalam ke bawah.

Drew tertegun, dia terdiam beberapa detik. Amarah yang tadi sempat membakar otak, kini berangsur menghilang. Lalu, dia teringat nama siapa yang tadi dirinya desahkan tanpa sadar. Seketika Drew mengumpat dalam hati, bagaimana bisa dia membayangkan bercinta dengan wanita lain sementara tubuh yang dia inginkan adalah Adrienne.

“Ceraikan aku! Aku akan menggantikan uang yang sudah kau berikan pada Bondar! Tak sudi aku memiliki suami sampah seperti kau!” Adrienne kembali berseru dengan nada tinggi.

Tatapan Drew mulai menggelap mendengarnya. Lalu hal yang terjadi selanjutnya adalah Drew kembali memakan Adrienne. Melampiaskan emosinya dengan bercinta. Mengabaikan Adrienne yang berteriak memaki, mencaci, mengutuk dan menyumpah serapahinya.

Adrienne terhayak, mengerang kesakitan akibat Drew yang bergerak amat laju pun kasar tanpa memikirkan dirinya nan sama sekali tidak menikmati permainan tersebut. Menangis, Adrienne benar-benar menumpahkan tangis saat Drew justru kembali mengerang rendah sembari menikmati dirinya.

Malam panjang penuh siksaan bagi Adrienne dia lalui dengan bulir-bulir air mata. Lemah tak berdaya di bawah kendali Drew, tidak sedikitpun dia memiliki ruang untuk mengelak. Kaki yang tadinya terbebas turut Drew borgol hingga Adrienne benar-benar tidak bisa melakukan apapun selain menangis.

Dengan napas tersengal, Drew menatap nanar Adrienne. Wanita itu pingsan setelah tak mampu mengimbangi permainan Drew. Menyedihkan, amat menyedihkan kondisi Adrienne saat ini ulah pria bajingan itu.

Drew turun, mencium kening Adrienne. “Maaf.” Lalu kembali menatap Adrienne, tatapannya menyimpan makna yang entah. Drew seringkali bertindak dengan tidak terduga.

Kemudian, pria itu turun dari ranjang. Membawa langkah lebarnya menuju kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Setelah selesai, ia melepas borgol di tangan dan kaki Adrienne. Selanjutnya, Drew keluar kamar pun memanggil Anna untuk membersihkan tubuh Adrienne. Ia tidak peduli pukul berapa saat ini, perintahnya tetap perintah.

Keesokan paginya, Adrienne bangun dengan tubuh yang terasa remuk. Ruangan terasa cukup dingin, tetapi Adrienne merasa ada sedikit kehangatan. Di belakangnya, Drew tidur sambil melingkarkan tangan di pinggang Adrienne.

Pikiran Adrienne berputar pada kejadian semalam. Mengingat itu, ia kembali meradang. Dia menyingkirkan tangan Drew dari sana, ketika dia turun dari ranjang dan hendak melangkah, Adrienne meringis merasakan sakit dan perih di bagian bawahnya.

“Sshh.”

Suara Adrienne masuk ke pendengaran Drew. Pria matang tersebut sontak membuka mata dan ia mendapati Adrienne tengah berjalan tertatih menuju kamar mandi. Dia bangun, tetapi tidak menyusul Adrienne melainkan keluar menuju kamarnya.

Adrienne menghela napas kasar melihat penampakan tubuhnya yang amat kacau dari pantulan cermin. Ada banyak pertanyaan dalam benaknya mengenai perempuan yang Drew sebut namanya semalam.

“Siapa perempuan itu? Jika lelaki sampai membayangkan perempuan, artinya perempuan itu memiliki posisi penting di hatinya, bukan? Dulu aku mendengar cerita Ibu dan sama seperti yang kualami sekarang. Bondar bercinta dengannya tapi membayangkan selingkuhannya. Astaga, sampai kapan takdirku seperti ini? Jika terus begini, aku sama saja seperti mati tanpa kehilangan denyut nadi,” gumam Adrienne merasa sangat kasihan dengan dirinya.

Sembari membasahi diri di bawah guyuran air shower, Adrienne tiba-tiba terpikirkan sesuatu. “Dia hanya menginginkan keturunan kan? Artinya aku bisa terlepas dari dia setelah aku hamil dan melahirkan. Tapi … budaya keluarga konglomerat, setiap penerus adalah lelaki. Artinya aku harus hamil dan melahirkan anak lelaki. Apakah aku bisa?” gumamnya berpikir keras.

Mengingat itu, Adrienne merasa ada setitik harapan untuk terlepas dari jerat Drew. Tugasnya hanya untuk hamil dan melahirkan, setelah itu Adrienne akan terbebas dari sangkar emas ini. Ya, benar begitu dan … semoga.

“Apakah aku boleh jalan-jalan keluar?”

Drew menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan Adrienne. Bukankah seharusnya perempuan itu marah padanya, tapi kenapa suaranya terdengar lebih anggun?

“Apakah kau kehilangan suaramu dan tidak bisa bicara setelah puas semalam terus mengerang seperti hewan di atasku?” sindir Adrienne menohok.

Seleste—adik perempuan Drew memandang takjub pada Adrienne. Setelah pernikahan kemarin, keluarga Drew tidak langsung kembali ke kediaman utama di Boston.

“Kakak pertama sepertinya punya lawan yang sepadan, Mam,” kekeh Seleste berbisik pada ibunya, acuh walau paruh baya itu tampak kurang menyukai Adrienne walau rasa takjub itu ada.

Lebih dulu Drew meneguk air di gelas hingga surut. “Pergi saja. Bawa Anna dan kau tidak boleh pergi tanpa pengawal!” tegas Drew terdengar tidak ingin dibantah.

“Oke.”

Adrienne tidak masalah jika harus ada pengawal yang menemaninya. Dia ingin menghirup udara luar dan ingin mengetahui indahnya Toronto.

“Setelah selesai, temui aku di kamar! Aku selesai.” Drew menekan tepi meja makan, sedikit mendorong kursi lalu berdiri dan membawa langkah lebarnya naik ke lantai tiga.

Adrienne menghela napas berat, sejujurnya dia sangat malas berhadapan dengan Drew. Namun hidupnya saat ini benar-benar berada di tangan pria itu.

“Layani aku!” perintah Drew membuat mata Adrienne membulat begitu saja.

“Kau—”

“Kau sengaja menggodaku dengan pakaianmu seperti ini?!” desis Drew menurunkan tali spaghetti dress yang Adrienne kenakan.

“Kau yang menyiapkannya, semua pakaianku seperti ini! Kenapa kau menyalahkanku?!” Adrienne melotot galak, dia menepis tangan Drew, tetapi pria itu langsung mengunci kedua tangan Adrienne di kepalan tangannya hingga Adrienne tersentak ke depan.

“Kau membuatku bergairah.” Drew berbisik rendah di perpotongan leher Adrienne. “Layani aku. Sepuluh menit dan kau boleh jalan-jalan keluar, Angel.”

“Kau minta saja sama Allena sana!” Adrienne masih sangat kesal dengan kejadian semalam hingga pernyataan itu terlontar begitu saja.

Drew geram. Lalu, tanpa aba-aba, ia kembali merengut tubuh perempuan itu.

Penyatuan itu kembali terjadi, kali ini gelora itu terasa pekat karena Adrienne sama sekali tidak memberontak. Teringat akan dirinya harus segera hamil maka biarlah Drew memenuhi rahimnya agar janin itu cepat tumbuh.

“Kau manis, Angel.”

Mata sayu Adrienne menatap Drew yang tengah mengusap bibirnya setelah ia turun ke bawah mereguk manis madu pelepasannya, sambil bergidik ngeri. “Dia seperti bukan manusia,” ucap Adrienne dalam hati.

Sekitar pukul sebelas, Adrienne keluar dari sangkar emas tersebut. Jujur, dia sangat takjub dengan indahnya Toronto. Berdiri wanita itu di tepi jembatan Humber Bay Arch yang di bawahnya terdapat aliran sungai nan mengalir ke danau Ontario.

Berharap penat dan lelahnya hilang dengan cara seperti ini. Namun, Adrienne justru mendapati pesan yang Anna sampaikan dan itu membuat dia menggulirkan bola matanya jengah. Padahal dia tidak memiliki niat itu sama sekali.

“Sampai kutau kau membantunya mendapatkan obat pencegah kehamilan, kutikam mati kau dan Anna!” Begitulah pesan yang Drew kirimkan kepada supir pribadi Adrienne dan diteruskan pada Anna.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Gairah Pewaris Arogan   57

    Malam semakin larut, Drew tak kunjung kembali ke rumah. Adrienne duduk di tepi ranjang dengan perasaan yang sulit digambarkan. Pikirannya penuh dengan berbagai macam perasaan yang saling bertubrukan. Dia merasakan kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan yang tak tertahankan. Sambil memandang keluar jendela, batinnya bertanya-tanya, “Bagaimana nasibku kedepannya?” Haruskah dia terus bertahan dalam pernikahan ini, atau tetap sesuai rencana awal, nekad pergi dengan konsekwensi yang mungkin akan lebih menyakitkan?Bagaimana mungkin dia bisa bertahan dalam pernikahan seperti ini? Semua impiannya dulu tentang masa depan bersama Drew, seolah lenyap. Dia merasa terjebak dalam perangkap yang tidak bisa dia hindari. Mencoba lari pun, tak ada jalan.“Aku tahu ini sulit, Adrienne. Tapi kamu harus ingat bahwa kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan mereka mengendalikan hidupmu. Kamu punya hak untuk bahagia dan bebas,” ucapnya dengan mata terpejam. Dia berusaha menguatkan dirinya. Dia ya

  • Jerat Gairah Pewaris Arogan   56.

    “Aku sudah mengatakan sejujurnya. Jika kau ingin aku cepat hamil, buat aku selalu merasa bahagia. Karena dengan meningkatnya hormon endorfin pada diriku, akan mempercepat kemungkinan pembuahan hasil!” jelas Adrienne dengan begitu percaya diri. padahal dia sendiri tidak tahu apakan itu ada hubungannya kah tidak. Dia hanya berbohong untuk meluluhkan lagi hati Drew yang malam-malam begini kembali membahas perihal anak. “Ck! Itu hanya alasan untuk menutupi ketidakmampuanmu agar cepat hamil, bukan?!” cerca Drew. “Oke, terserah! Aku sudah mengatakan yang sebenarnya!” Mereka terus saja berdebat tentang penyebab Adrienne tak kunjung hamil Keduanya sama-sama tak ingin mengalah dan justru saling menyalahkan. Hingga perdebatan itu akhirnya terhenti, saat seorang ajudan tiba-tiba menghampiri mereka berdua. “Kau! Kenapa lancang sekali masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu?!” cerca Drew yang terlihat tidak suka dengan kedatangan ajudannya. “Maaf, Sir. Ada tamu yang mencari Anda,” jawab ajudan te

  • Jerat Gairah Pewaris Arogan   55.

    Drew menatap pemandangan kota dari jendela kantornya dengan perasaan campur aduk. Suara hiruk-pikuk dari jalanan yang biasanya memberinya sedikit ketenangan kini justru terasa mengganggu. Segala sesuatu di luar sana terlihat normal, sementara di dalam dirinya, segala sesuatunya berantakan. Ia merasakan tekanan yang terus meningkat dari berbagai sisi: perusahaan yang sedang diguncang serangan siber, desakan dari ayahnya untuk segera memiliki anak, dan ketegangan yang terus memuncak dalam rumah tangganya dengan Adrienne.Dia tahu, untuk menjaga segalanya tetap berjalan, dia tidak bisa membiarkan emosinya menguasai dirinya. Namun, setiap kali dia berpikir tentang situasi di rumah—tentang Adrienne dan apa yang diharapkan darinya—Drew merasa seperti berada di ambang ledakan. Ini bukan hanya tentang pewaris keluarga atau mempertahankan kendali atas perusahaan. Ini adalah tentang menjaga fasad yang selama ini dia bangun; bahwa dirinya adalah pria yang memegang kendali penuh, baik dalam bis

  • Jerat Gairah Pewaris Arogan   54.

    Drew terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Adrienne. Napasnya yang tadi memburu perlahan mulai mereda, namun tatapannya tetap tajam. Dia melepaskan cengkeramannya dari rahang Adrienne tanpa melepas penyatuan keduanya. “Kau pikir kau bisa mengaturku?” Suaranya rendah, tapi mengandung ancaman yang jelas.Adrienne mendorong perut Drew, mencoba menciptakan jarak sejauh mungkin dari Drew. Matanya masih dipenuhi ketakutan, tapi dia tidak ingin menunjukkan kelemahannya lebih dari ini. Dia harus kuat, untuk dirinya sendiri.“Aku hanya ingin kau memilih, Drew. Aku istrimu,” katanya dengan suara serak. “Bukan alat untuk melahirkan anak saat kau mau.”Drew mendengus, semakin kesal hatinya hingga ia kembali bergerak. Memenui Adrienne sedalam mungkin dan lingkar mata Adrienne semakin memerah. “Jangan berpikir kau bisa mengatur hidupku. Anak itu harus ada, dan kau yang akan memberikannya padaku.”Adrienne menatapnya tanpa berkata apa-apa. Dia tahu percuma berdebat sekarang. Drew akan selalu men

  • Jerat Gairah Pewaris Arogan   53

    Keesokan harinya, Adrienne dikejutkan dengan kedatangan ayah mertuanya di mansion secara tiba-tiba. Dalton Hidalgo bertolak bersama kedua ajudan yang setia berjalan di belakangnya. Adrienne yang belum siap dengan kehadiran Dalton, langsung buru-buru memastikan penampilannya agar tak buruk sekali di hadapan paruh baya itu. Sementara Drew yang sedang berkutat dengan layar monitor dengan kepala berdenyut sakit, turut terkejut karena Dalton tidak mengabarinya sama sekali. Ia bergegas keluar menghampiri ayahnya. “Selamat datang, Dad,” sapa Drew berpelukan singkat dengan Dalton. Singkat Dalton menepuk punggung Drew. “Mana menantuku?” tanyanya. “Aku membuatnya kelelahan hingga pagi buta. Rien masih di kamar,” balas Drew dengan tenang. Seolah jawaban dari pertanyaan Dalton sudah direncanakan. Begitulah piciknya Drew. “Sopan bicara seperti itu sama orang tua?” Drew terkekeh rendah melihat mata Dalton yang memicing sinis. Ia mengajak Dalton ke ruang kerja setelah meminta maid agar menyiap

  • Jerat Gairah Pewaris Arogan   52.

    Adrienne memutuskan untuk pergi ke ruang santai dan mencoba mengalihkan perasaannya dengan hal lain. Setibanya di ruang bersantai, ia meraih remote televisi dan menyalakan layar, meskipun dia tidak benar-benar tertarik pada apa yang sedang terpampang di layar televisi kini. Dia hanya butuh sesuatu untuk membuat pikirannya tetap sibuk. Namun, suara dari televisi justru terasa samar, tidak bisa menandingi kegelisahan yang terus mengganggu pikirannya.Tak lama kemudian, suara langkah Drew terdengar mendekat. Adrienne segera berusaha mengatur ekspresinya, berusaha agar terlihat biasa saja. Drew masuk datang dengan rambut setengah basah, mengenakan kaos polo putih dan celana santai krem.“Kau di sini,” kata Drew datar sambil sesekali menatap layar ponsel.“Iya,” jawab Adrienne singkat, tanpa menoleh ke arahnya.Drew tidak banyak bicara, lalu duduk di sofa, tak jauh dari tempat Adrienne berada. Suasana di antara mereka terasa sedikit canggung, tetapi Adrienne berusaha mengabaikannya.Drew

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status