"Uh—uuhh ...."
Wanita cantik itu melenguh nikmat. Tubuhnya menggelinjang hebat tatkala disentuh seductive setiap area sensitifnya oleh pria yan kini tengah mengukung tubuhnya dari atas.Menjejaki setiap inci kulit tubuh putih nan mulus itu menggunakan bibirnya yang merah seksi. Mengecup menghisap hingga meninggalkan bekas kemerahan di sana."Sebut namaku." Suara bariton itu menginterupsi berbisik tepat di depan telinga Leoni yang memerah. Menjilat pelan serta meniupnya lembut memberikan sensasi panas di sana.Leoni memejam, bibirnya menggigit bibir bagian bawah. Kakinya menjepit tangan pria yang kini tengah leluasa mengeksplor inti tubuhnya di bawah sana. Menggerakan jemarinya naik turun membuat si pemilik menggelinjang kenikmatan."Si—siapa namamu, uh?" tanya Leoni diiringi lenguhan."Xander , My baby.""Hah— Xander, uh."Dada Leoni membusung tatkala benda keras dan besar menerobos masuk ke dalam lubang kenikmatannya. Rasa sakit pedih pun perih ia rasakan pada area sensitif miliknya. Benar-benar sakit seperti yang selalu ia bayangkan sebelumnya.Bibirnya menganga kecil diserta napas yang terengah-engah. Perlahan Leoni buka matanya yang memerah penuh dengan air mata pun kontan luruh membasahi samping wajahnya. Maniknya menatap sayu pada sorot mata pria yang teduh memandang di atasnya."Are you oke?" tanya Xander memastikan. Melihat wanitanya yang menangis di bawah tubuhnya membuat ia menahan gerakannya.Mengangguk pelan Leoni membalas, "Ya, aku baik-baik saja."Keduanya saling melumat bibir satu sama lain kala Xander menyambar terlebih dulu bibir sintal seksi pun manis milik Leoni.Setelah dirasa Leoni sudah cukup tenang, ia mulai menggerakan pinggulnya naik turun perlahan. Membuat gerakan lembut dan membuatnya senyaman mungkin untuk wanita yang baru pertama kali melakukan kenikmatan itu.Jemari lentik itu mencengkram kuat pada bahu kekar milik pria di atasnya. Dadanya membusung setiap kali pria itu menyodokan benda panas ke dalam gua pertahanan miliknya.Rasanya pedih terbalut kenikmatan. Gelenyar-gelenyar aneh yang dihasilkan dari penyatuan itu membut darahnya seolah mendidih.Basah pun sangat nikmat. Setiap hentakan yang Xander berikan semakin lama semakin mendalam. Kuat-kuat hingga menimbulkan bunyi saat dua kulit manusia itu saling beradu. Menggetarkan tubuh Leoni di bawah kukungannya hingga dada wanita itu turut bergetar naik turun."Oh ah, Xan—xander pelaha—”Tak sempat Leoni mengatakan kalimatnya dengan lengkap, Xander kembali menyambar bibir sintal itu untuk ia lumat pun hisap dalam-dalam. Lidahnya menerobos masuk ke dalam mulut Leoni pun saling bertaut beradu di dalam sana.Kenikmatan terus menghujam bagian inti tubuhnya. Menggelinjang parah. Leoni lingkarkan kedua kakinya pada pinggul Xander yang masih gencar bergerak aktif naik turun.Keringat saling bercucuran serta suara deru napas yang saling beradu senantiasa menjadi backsound malam panas keduanya di atas ranjang. Bibir yang saling bertaut terlepas sebab Xander beralih menghisap puncak dada yang membusung ke atas. Memainkan lidahnya di area sensitif yang lain.Rambut hitam legam pria itu dicengkram erat oleh Leoni yang semakin tak karuan. Tubuhnya yang basah oleh keringat serta gemetar hebat bergerak dan tentu arah di bawah naungan badan besar dan kekar milik Xander. Pinggulnya sesekali ia angkat ke atas ketika Xander menghujamnya begitu dalam.Leoni membuka matanya yang sedari tadi terus memejam. Menatap Xander yang juga tengah menatapnya sayu redup padanya. Wajah tampan yang memerah disertai keringat bercucuran membasahi dahi serta rambutnya yang jatuh membuat pesona kuat dari pia itu semakin terpancar. Bahu kokoh berotor serta dada bidang pun garis perutnya yang cantik bergerak begitu berirama di atasnya. Sungguhlah amat seksi mahkluk ciptaan tuhan yang satu ini. Menggoda pun begitu gila.Xander menarik sudut bibirnya ke atas saat ia sadari Leoni tengah menyelidik setiap inci bagian tubuhnya. Lantas dengan sengaja, ia menggerakan pinggulnya semakin cepat pun dalam."Xan—xander hentikan, tolong a—aku, aah—”Pinggulnya bergerak naik turun lebih cepat dari sebelumnya. Semakin lenguhan Leoni terdengar, semakin terbakar pula gelora gairah milik pria itu. Ia semakin ingin memasukan miliknya yang keras pun panas ke dalam milik wanita itu, memasukannya sedalam mungkin secara brutal."HAH XANDER, UH!"Bibir seksinya semain menganga lebar pun meracau tidak karuan. Semakin pula Xander hentakan miliknya dalam-dalam.Pria itu menarik tubuhnya memberikan jarak antara dirinya dengan Leoni. Menatap sayu redup wanita yang sudah kacau di bawah tubuhnya. Sudut bibirnya terangkat ketika netranya menangkap gerakan dada padat itu naik turun."You are so sexy and seductive, Leoni." Ia memuji disela-sela lenguhan serta deru napasnya yang sudah tak beratuan.Kembali hentakannya dipercepat membuat Leoni semakin kacau tak karuan. Brutal pria itu menggerakan pinggangnya naik turun memporak-porandakan bagian sensitif di bawah sana. Panas semakin meningkat suhu tubuhnya merasakan ledakan yang hampir mencapai puncaknya. Ia tarik tubuh Leoni ke dalam dekapan, menghisap bibir yang tak henti meracau itu sebelum ia tarik batang panasnya keluar."AAARGG HAAH!""XANDER UGHHH!"Keduanya mendesah melenguh bersamaan.Tersembur kontan memuntahkan cairan putih kental nan panas di atas perut rata Leoni. Mengejang tubuh keduanya merasakan sensasi yang sangat panas bergairah.Tubuh Leoni lemah jatuh kembali Xander baringkan ke atas ranjang. Ia raih tissue di atas nakas lalu membersihkan cairan miliknya di atas perut Leoni hingga bersih. Lalu setelahnya, ia membaringkan tubuh di samping tubuh lunglai Leoni.Gila sungguhlah gila. Ini pengalaman pertama Leoni melepaskan mahkota berharga yang ia relakan dinikmati oleh gigolo yang dirinya sewa. Panas pun menggairahkan, membuat sesak dan nikmat.Tubuhnya meringkuk di balik selimut yang Xander pasangkan untuk menutup tubuhnya yang polos. Berbaring dengan posisi membelakangi pria itu. Sebuah tangan kekar tiba-tiba menelusup ke dalam selimut lalu melingkar pada prut rampingnya. Bahunya di kecup lembut nan hangat oleh Xander di belakang tubuhnya."Kenapa diam? Apa kau menyesal?" Pria ini bertanya dengan bibirnya yang terus mengecup pundak Leoni kemudian naik pada leher jenjangnya.Leoni membalikkan posisinya menghadap ke arah Xander. Menilik wajah tampan itu lalu tersenyum simpul. "Tak akan kusesali apa yang terjadi malam ini," sahut Leoni serak.Xander mendekatkan wajahnya, melumat halus pun kilat bibir Leoni pun kembali ia tatap wajah cantik yang memerah. "Apa kau merasa puas?""Ya," balas Leoni singkat. Jemari lentiknya turun untuk meraba otot kekar di balik selimut milik Xander. Dirinya tersenyum. "Aku suka tubuhmu."Jujur saja jantungnya berdegup kencang tudak karuan seperti akan copot di dalam sana. Leoni tidak pernah berhadapan dengan pria sedekat ini sebelumnya terlebih lagi dalam kondisi telanjang bulat. Memikirkan lenguhannya yang brutal beberapa menit tadi membuat wajahnya memerah panas."Kau ingin servis tambahan?" bisik Xander tepat di depan telinganya.“Xavion, berhenti berlari nak atau kau akan ja ... tuh.”Menghilang suara Leoni bersamaan dengan terjatuhnya bocah kecil lelaki lucu berusia empat tahun di atas rerumputan yang basah. Kontan membuat seluruh baju serta wajahnya basah kotor terkena lumpur. Setelah jatuh, bocah kecil itu tak menangis melainkan bertambah asik bermain di atas genangan.“God. Nakal sekali anak ini.”Segera Leoni hampiri putranya yang nakal. Satu langkah lagi ia mencapai Xavion, bocah kecil itu malah melemparkan satu genggam lumpur yang tepat mengenai dress putih yang Leoni kenakan. Tanpa rasa bersalah wajah mungilnya dan hanya tahu tertawa-tertawa menggemaskan.“Tolonglah Xavion, berhenti bermain-main. Kau harus pergi ke sekolah.”Meraup tubuh kecil itu dengan dua tangannya dan ia bawa ke dalam gendongan. Membawanya masuk ke dalam rumah tak peduli jika Xavion terus meronta ingin diturunkan hingga berakhir dirinya dengan tangisan yang begitu melengking.“HUUUUAAAAAAA!” Si bontot Xavion menangis begitu nyaring
Pandangan mereka bertemu amat dalam dengan posisi mereka yang berjauhan. Xander yang duduk di sofa dalam home theater sementara Leoni berdiri pada ambang pintu. Di antara mereka telah tertidur dua putri cantik di atas sofa. Zenna dan Zeline tertidur setelah film favorit mereka selesai ditayangkan.Xander yang menemani dua putrinya menonton, dan Leoni baru saja datang setelah sibuk dengan persiapan kamar bayi mereka.Melipat bibirnya ke dalam sebelum ia melangkah mendekati sang suami. Langkahnya sudah amat berat pun tangannya terus memegangi bawah perut dan pinggang. Ia duduk di atas pangkuan Xander yang mengulurkan tangan padanya.“Belum tidur, um?” tanya Xander. Lantas ia kecupi leher jenjang istrinya.Tersenyum Leoni. Tak bisa tertidur sebab dirinya merasakan kontraksi yang datang cukup sering. Seharusnya tanggal HPL masih dua minggu lagi, namun perutnya terus merasakan kontraksi.“Xander ... kurasa putramu sudah tak sabar ingin melihat dunia.” Leoni tersenyum canggung. Sesungguhnya
Leoni berjalan-jalan di halaman rumahnya dan mendapati Xander yang tengah merokok seraya melamun di dalam gazebo. Ia meringankan langkahnya agar suaminya itu tak mendengar kehadirannya. Dehaman samar dari Leoni membuat Xander menoleh. Dengan cepat ia segera mematikan sulutan rokoknya dan mengipas-ngipas asap yang masih mengepul di area sekitar. "Apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak menyadari kehadiranku?" tanya Leoni. Berdiri satu meter dari Xander sebab suaminya itu yang mundur menjauh, merasa dirinya kotor sebab asap rokok yang menempel pada baju dan sangat tidak cocok jika dekat-dekat dengan ibu hamil. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam," katanya malah balik bertanya, bukan menjawab pertanyaan dari Leoni. Apa yang Leoni lakukan malam-malam dengan berjalan-jalan di sekitar taman rumahnya, apalagi jika bukan mencari keberadaan Xander yang tiba-tiba merajuk sekaligus mengadu kepada dua putri mereka jika Leoni sudah tak mencintainya. Hati Leoni resah sebab suam
"Satu, dua, tiga!" Semua orang bersorak meriah ketika Leoni dan Xander bersiap memotong kue di acara Gender reveal anak ke tiga mereka. Disertai jantung yang berdegup kencang serta mata yang memejam Leoni berpegang tangan pada Xander yang mengarahkan pisau pada kue. Keluarga Calis serta Miller turut meramaikan acara gender reveal yang diadakan di rumah baru Xander dan Leoni. Pada halaman belakang yang sangat luas pesta diadakan. Leoni dan Xander akan menerima apapun jenis kelamin anak ke tiga mereka tanpa mengeluh atau menyesal kepada Tuhan yang memberi. Pasutri itu sama-sama merelakan jika saja takdir memang menghadirkan seorang putri kecil lagi di keluarga mereka. Leoni tak akan kecewa, sungguh. Kehamilan yang ketiga ini merupakan kehamilanya yang terakhir, Xander dan Leoni sudah sama-sama berjanji pun memutuskan, meskipun tanpa kehadiran seorang putra nantinya. Xander tak mengijinkan istrinya untuk mengandung anak terus-menerus. Tak masalah keluarga kecilnya hanya dipenuhi
"Mommy?" "Yes. Honey?" "Apakah tadi malam daddy menyakitimu?" "Hm ... no." "Why? Daddy mengatakan akan menyakiti Mommy jika kembali." Leoni mengeryitkan alisnya bingung. "Why?" Zeline mengedikkan bahu. "Tak tahu." Leoni menggeleng, merasa aneh dengan pertanyaan putri sulungnya. Ia berbalik untuk mengambil jus , kontan berjengit kaget dirinya saat Zeline tiba-tiba menjerit. "AAAAAH MOMMY!" "Ada apa?" tanya Leoni, segera menghampiri gadis kecil itu di meja makan disertai raut wajahnya yang khawatir. "Lihat itu." Zeline menunjuk pada leher Leoni yang memerah. "Daddy menyakitimu, right?" Ibu dua anak itu menegakkan tubuhnya, memegang leher yang mana terdapat bekas hisapan Xander tadi malam. Ia menelan salivanya kasar, kenapa putrinya bisa berpikir demikian. Tatapannya bergerak melirik pengasuh Zeline yang sedang mengulum senyum di sana. Malu sungguh malu dirinya. "No, daddy tidak menyakiti Mommy," tutur Leoni, mencoba memberikan penjelasan pada putri sulungnya y
Leoni sibuk memotong sayuran di dapur. Dia sedang menyiapkan bahan untuk memasak makan malam. Satu porsi cukup untuk dirinya sendiri sebab tak ada siapapun di rumah. Setiap yang ia lakukan, pikirannya berputar mengingat Xander. Pun setiap pandangannya mengedar, sudut rumah mengingatkannya akan pria itu. Tak henti Leoni memohon agar Tuhan segera mengembalikan suaminya seperti semula. "God, aku merindukan suamiku," gumamnya rendah, tak lama disusul dengan ringis kesakitan sebab pisau tak sengaja mengenai telunjuknya hingga berdarah. "Uh ...." Segera Leoni membasuh lukanya di bawah air, mengambil tissu lalu menekankannya pada bagian yang terluka agar darah berhenti mengalir. Mengambil kotak P3K kemudian mengoleskan obat. Sibuk ia mengurus lukanya hingga tak memperhatkan pintu penthousenya terbuka. Xander datang menggendong Zeline yang tertidur. Tak bersuara langkah pria itu menuju kamar, menidurkan Zeline di atas ranjang. Seteahnya, ia melangkah mendekati istrinya yang sedang si
Xander masih terbaring di atas peraduannya. Posisi tubuh telungkup memperlihatkan punggungnya yang besar nan berotot, pria ini tak memakai kaos atas, sengaja tak menutupi bentuk tubuhnya yang panas nan menggoda. Sudah tiga hari ini Xander menghabiskan waktunya menginap di kamar hotel tanpa pulang, tanpa memberi kabar pada Leoni, dan juga tak ia aktifkan nomor ponselnya. Ia memberi jarak untuk wanita itu agar berpikir jika kebohongan besar akan sangat berdampa buruk pun mampu mengubah segalanya. "Selamat pagi, Darling." Suara manja nan manis itu membuat matanya terbuka. Serta sinar mentari yang menyilaukan menyeruak masuk dari gorden yang baru saja ditarik oleh seseorang yang menyapanya tadi, membuat Xander enggan untuk membuka matanya. Bibir seksi pria ini tertarik membentuk sebuah senyuman kala ia menatap wajah cantik wanita yang amat ia cintai. Berjalan dia menuj Xander, duduk pada tepi ranjang memeluk serta mencium pipinya. "Selamat pagi, Sweetheart," sapa Xander padanya.
"Biar kujelaskan ...." Leoni meminta pada Xander yang terus menerus mengabaikannya. Telah berpakaian rapi pria itu kini pun siap untuk pergi. Leoni menahan Xander, tak membiarkan suaminya pergi ke mana pun dalam keadaanya yang marah. Rahang Xander mengetat menahan amarahnya yang meledak-ledak di dalam, berusaha ia tahan agar tak mengatakan apapun pada istrinya meski ia kecewa, Xander takut kata-kata amarahnya akan melukai Leoni jadi ia hanya diam, bersiap untuk pergi agar amarahnya tak ia luapkan kepada sang istri. Tidak, Leoni sedikit pun tak mengijinkan Xander pergi dalam keadaan pria itu marah, hal-hal buruk bisa saja terjadi padanya, dan Leoni menginginkan hal itu terjadi. "Kumohon, biar kujelaskan padamu." Memejam mata Xander untuk sesaat menahan amarahnya, ia tarik dalam-dalam napas lalu menatap Leoni, tatapannya yang tajam pun mengintimidasi penuh amarah. "Xander ... aku tak bermaksud membohongimu, aku ingin memberitahu segalanya, hanya saja aku belum menemukan wakt
Leoni berdiri di depan cermin, memperhatikan bentuk tubuhnya yang lumayan berisi serta perutnya yang mulai menonjol. Usia kehamilannya kini telah menginjak lima belas minggu. Ia mengangkat kaos yang dikenakan lalu mengelus perutnya. Tubuhnya ia condongkan sedikit ke belakang, membayangkan perutnya beberapa bulan lagi akan seperti apa. "Bagaimana nanti aku menutupinya?" gumam Leoni. Ya! Sampai saat ini ia belum memberitahu Xandr, entah bila suaminya itu akan diberitahu. Leoni sedikit gila, bahkan Savalza dan Kizzie terus memperingati tapi dirinya selalu meminta waktu lebih lama untuk jujur. "Babe?" Suara Xander berasal dari dalam kamar. Segera Leoni benarkan posisi kaosnya yang terangkat lalu tak lama Xander datang, memeluknya dari belakang membuat bagian belakang tubuh Leoni basah sebab pria itu baru saja selesai berenang. "Um, kau basah," ujarnya. Namun tak ia lepaskan pelukan Xander atau membuat suaminya menjauh, Leoni malah nyaman Xander terus memeluknya. "Aku berniat