Xander?
Betapa santainya pria itu melangkah masuk ke dalam ruangan kemudian duduk tepat di samping Tavel Moore. Tersenyum menyapa ramah wajah tampanya itu bahkan tetap tenang ketika dirinya dihadapkan dengan Leoni.Tentu saja banyaknya pertanyaan langsung berkutat menyerbu kepala wanita cantik itu. Dirinya terdiam mematung seraya terus menatap Xander yang duduk tepat di depanya.Jantung yang tadinya berdebar biasa saja kini meningkat kecepatannya menjadi dua kali lipat. Berdetak amat sangat kencang seolah akan copot jatuh darii tempatnya.Bagaimana bisa pria yang menghabiskan satu malam denganya itu bisa berada di pertemuan keluarga bersama calon suaminya. Benar-benar membuat Leoni linglung serta pening menyambar isi pikiranya."Xander Francis Miller." Theodore berbisik memberitahu. "Dia adik dari calon suamimu."Bagaikan disambar petir di siang bolong. Rasanya jantung Leoni akan benar-benar jatuh dari tempatnya saat ia mengetahui siapa sebenarnya pria itu. Benar-benar takdir, langit serta bumi sedang mempermainkannya.Atensi Leoni masih terpaku pada Xander yang membalas tatapanya di sana. Pria itu tersenyum simpul serta menaikan sebelah alisnya pada Leoni yang kontan detik itu juga mengalihkan pandanganya.Ini gila. Pikir Leoni.Tidak tahu apa kesalahanya di masalalu sehingga ia harus mengalami takdir rumit seperti ini. Menikah dengan pria lumpuh yang impoten, pun karena frustasi ia lari ke dalam pelukan adiknya untuk menghangatkan ranjang.Wah Leoni. Kau benar-benar hebat mendapatkan dua saudara sekaligus.Setelah perbincangan menganai penetapan tanggal pernikahan dilakukan, seluruh anggota keluarga memulai makan malam mereka. Disertai obrolan-obrolan ringan untuk mengenal keluarga satu sama lain.Benar-benar tidak masuk ke dalam otak sedikitpun perbincangan masalah pernikahannya pada malam ini. Sebab Atensi Leoni tetap fokus memikirkan malam yang ia habiskan bersama adik calon suaminya.Tatapan Leoni terpaku pada hidangan penutup di depanya berupa puding coklat yang tak ia sentuh sama sekali. Tubuhnya yang terdiam memaku kontan berjengit kaget saat seseorang menyentuh kakinya di bawah meja. Wajahnya langsung terangkat ke atas, pun langsung ia dapati Xander yang menyeringai ke arahnya.Sial!"Aku akan pergi ke toilet," ijin Leoni kemudian ia beranjak pergi dari sana.Deliana Darby tersenyum menatap punggung calon menantunya yang melenggang menjauh. Ia menyukai pembawaan Leoni yang anggun dan sopan. Begitu cocok dijadikan sebagai istri dari putranya."Aku sangat menyukainya. Dia terlihat sangat manis," puji Deliana pada James serta Savalza.Xander menyesap redwine di dalam gelasnya. Tersenyum tipis wajah tampan itu kala mendengar pujian yang ibunya lontarkan. Benar memang adanya jika calon kakak iparnya sangat manis, terlebih lagi saat wajahnya memerah sembari mengeluarkan suara-suara erotis."Aku permisi." Xander berdiri dari duduknya. Tubuh tegap dan kekar itu melangkah menjauh dari meja makan meninggalkan ruangan.Gontai ia melangkah menuju toilet pria yang berada tidak jauh dari ruanganya. Tidak masuk ke dalam, Xander justri berdiam berdiri menyender pada tembok penghalang antara toilet pria pun wanita.Tangan kekarnya sigap terulur menangkap pergelangan tangan ramping milik sang wanita. Menarik mendekatkan tubuh wanita itu ke dalam dekapannya."My Baby."Spontan Leoni gelagapan saat pria itu memeluk pinggang rampingnya. Napasnya tertahan seolah ada batu besar menyumbat kerongkongan."Hey lepaskan aku!" Leoni meminta dengan nada suaranya yang ia tekankan.Xander semakin mengeratkan pelukanya pada pinggang Leoni. Mendekatkan wajah pada wajah cantik itu mengikis jarak hingga sedekat mungkin."Kau masih memelukku dengan erat tadi malam. Kenapa kau minta dilepaskan sekarang?"Jarak wajah mereka sangat dekat hingga Leoni dapat merasakan napas hangat dari pria itu menguar di seluruh permukaan wajahnya."Itu karena aku tidak mengetahui siapa drimu sebenarnya," timpal Leoni seraya terus mendorong dada Xander agar sedikit menjauh darinya."Apa yang akan kau lakukan setelah mengetahuinya, Sayang?"Sayang? Oh God! Leoni membatin."Tentu saja menjauhimu. God! Apa kau bersekongkol dengan kakakmu untuk menjebakku?" Tatapan Leoni membulat, penuh selidik pada wajah tampan pun tenang milik Xander di hadapanya."Kau juga sangat menikmatinya tadi malam," timpalnya. Ia wajahnya mendekat pun terhenti pada sisi wajah Leoni, tepat di samping telinga Xander berbisik. "Kita sampai melakukan tiga ronde."Tertegun. Jantung Leoni semakin dibuat berdegup tidak karuan. Semburat merah memenuhi wajahnya yang memanas. Ingin sekali rasanya ia membuat lubang di bumi lalu sembunyi sekarang juga. Malu dirinya amatlah malu."Itu a—aku tadi malam—”“Sssstttt ...." Xander berdesis tepat di telinga Leoni. Kontan terpejam kedua mata wanita cantik itu merasakan geli pun tubuhnya yang spontan meremang.Jemari Xander mengelus lembut sisi wajah Leoni, yang kemudian turun menuju leher, lalu naik kembali pada pipi."Kau sangat cantik malam ini, kau begitu menggoda." Ia memuji. "Bagaimana jika kita melakukanya satu ronde di sini?"Manik cantik itu langsung terbuka membulat kala ia dengar ajakan vulgar tidak tahu malu dari pria gila di hadapanya. Langsung pun cepat Leoni mendorong dada Xander hingga terdorong ke belakang pun ia melepaskan pelukanya.Satu tamparan keras kuat melayang dan mendarat tepat di pipi kiri Xander. Membuat pria itu mendesis merasakan perih akibat pukulan yang Leoni beri padanya. Ia memegang ujung bibirnya yang sakit, mendorong pipi dari dalam menggunakan lidah."Bermimpilah! Tadi malam terjadi karena aku membayarmu. Hari ini ataupun di masa depan dan untuk selamanya, kubersumpah tidak akan ada yang terjadi lagi diantara kita berdua," jelas Leoni. Kemudian dirinya berbalik dan melenggang cepat meninggalkan Xander."Aku akan siap berada di atas ranjangmu ketika kau menginginkannya, Babe."Jari tengah Leoni berikan untuk menanggapi ucapan pria mesum keparat itu sebelum akhinya ia benar-benar melangkah jauh dari sana.Xander menyeringai menatap punggung rata yang semakin menjauh itu. Menegakan kembali postur tubuhnya lalu gontai melangkah menuju privateroom kembali.Dirinya duduk di kursi semula. Tepat berhadapan dengan Leoni yang sudah bersikap tenang dan sedang mengobrol bersama kedua orang tuanya. Ia tatapi wanita cantik itu dengan intens. Menilik bagaimana caranya tersenyum dan bicara dengan ramah."Menarik."Sudut mata Xander menangkap ekspresi wajah kakaknya yang juga tengah menatap Leoni dengan kagum. Ia menoleh untuk melihat lebih jelas bagaimana Tavel berekspresi.Wajahnya yang cantik memang menarik. Namun wanita dari keluarga kaya yang tidak memiliki skandal sedikitpun justru lebih menarik.Tavel mengenal Leoni, tentunya. Beberapa kali bertemu dalam sebuah acara. Wanita cantik yang tidak terjamah setitikpun, begitu kabar yang beredar di kalangan sosial mengenai dirinya.Kerutan halus tercetak jelas diantara dua alis tebal milik Xander Francis Miller. Melihat Tavel yang terus menatap Leoni seperti itu terlihat sangat menyebalkan.***Jangan lupa berikan ulasan kalian untuk terus menyemangati Author yaaa.“Xavion, berhenti berlari nak atau kau akan ja ... tuh.”Menghilang suara Leoni bersamaan dengan terjatuhnya bocah kecil lelaki lucu berusia empat tahun di atas rerumputan yang basah. Kontan membuat seluruh baju serta wajahnya basah kotor terkena lumpur. Setelah jatuh, bocah kecil itu tak menangis melainkan bertambah asik bermain di atas genangan.“God. Nakal sekali anak ini.”Segera Leoni hampiri putranya yang nakal. Satu langkah lagi ia mencapai Xavion, bocah kecil itu malah melemparkan satu genggam lumpur yang tepat mengenai dress putih yang Leoni kenakan. Tanpa rasa bersalah wajah mungilnya dan hanya tahu tertawa-tertawa menggemaskan.“Tolonglah Xavion, berhenti bermain-main. Kau harus pergi ke sekolah.”Meraup tubuh kecil itu dengan dua tangannya dan ia bawa ke dalam gendongan. Membawanya masuk ke dalam rumah tak peduli jika Xavion terus meronta ingin diturunkan hingga berakhir dirinya dengan tangisan yang begitu melengking.“HUUUUAAAAAAA!” Si bontot Xavion menangis begitu nyaring
Pandangan mereka bertemu amat dalam dengan posisi mereka yang berjauhan. Xander yang duduk di sofa dalam home theater sementara Leoni berdiri pada ambang pintu. Di antara mereka telah tertidur dua putri cantik di atas sofa. Zenna dan Zeline tertidur setelah film favorit mereka selesai ditayangkan.Xander yang menemani dua putrinya menonton, dan Leoni baru saja datang setelah sibuk dengan persiapan kamar bayi mereka.Melipat bibirnya ke dalam sebelum ia melangkah mendekati sang suami. Langkahnya sudah amat berat pun tangannya terus memegangi bawah perut dan pinggang. Ia duduk di atas pangkuan Xander yang mengulurkan tangan padanya.“Belum tidur, um?” tanya Xander. Lantas ia kecupi leher jenjang istrinya.Tersenyum Leoni. Tak bisa tertidur sebab dirinya merasakan kontraksi yang datang cukup sering. Seharusnya tanggal HPL masih dua minggu lagi, namun perutnya terus merasakan kontraksi.“Xander ... kurasa putramu sudah tak sabar ingin melihat dunia.” Leoni tersenyum canggung. Sesungguhnya
Leoni berjalan-jalan di halaman rumahnya dan mendapati Xander yang tengah merokok seraya melamun di dalam gazebo. Ia meringankan langkahnya agar suaminya itu tak mendengar kehadirannya. Dehaman samar dari Leoni membuat Xander menoleh. Dengan cepat ia segera mematikan sulutan rokoknya dan mengipas-ngipas asap yang masih mengepul di area sekitar. "Apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak menyadari kehadiranku?" tanya Leoni. Berdiri satu meter dari Xander sebab suaminya itu yang mundur menjauh, merasa dirinya kotor sebab asap rokok yang menempel pada baju dan sangat tidak cocok jika dekat-dekat dengan ibu hamil. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam," katanya malah balik bertanya, bukan menjawab pertanyaan dari Leoni. Apa yang Leoni lakukan malam-malam dengan berjalan-jalan di sekitar taman rumahnya, apalagi jika bukan mencari keberadaan Xander yang tiba-tiba merajuk sekaligus mengadu kepada dua putri mereka jika Leoni sudah tak mencintainya. Hati Leoni resah sebab suam
"Satu, dua, tiga!" Semua orang bersorak meriah ketika Leoni dan Xander bersiap memotong kue di acara Gender reveal anak ke tiga mereka. Disertai jantung yang berdegup kencang serta mata yang memejam Leoni berpegang tangan pada Xander yang mengarahkan pisau pada kue. Keluarga Calis serta Miller turut meramaikan acara gender reveal yang diadakan di rumah baru Xander dan Leoni. Pada halaman belakang yang sangat luas pesta diadakan. Leoni dan Xander akan menerima apapun jenis kelamin anak ke tiga mereka tanpa mengeluh atau menyesal kepada Tuhan yang memberi. Pasutri itu sama-sama merelakan jika saja takdir memang menghadirkan seorang putri kecil lagi di keluarga mereka. Leoni tak akan kecewa, sungguh. Kehamilan yang ketiga ini merupakan kehamilanya yang terakhir, Xander dan Leoni sudah sama-sama berjanji pun memutuskan, meskipun tanpa kehadiran seorang putra nantinya. Xander tak mengijinkan istrinya untuk mengandung anak terus-menerus. Tak masalah keluarga kecilnya hanya dipenuhi
"Mommy?" "Yes. Honey?" "Apakah tadi malam daddy menyakitimu?" "Hm ... no." "Why? Daddy mengatakan akan menyakiti Mommy jika kembali." Leoni mengeryitkan alisnya bingung. "Why?" Zeline mengedikkan bahu. "Tak tahu." Leoni menggeleng, merasa aneh dengan pertanyaan putri sulungnya. Ia berbalik untuk mengambil jus , kontan berjengit kaget dirinya saat Zeline tiba-tiba menjerit. "AAAAAH MOMMY!" "Ada apa?" tanya Leoni, segera menghampiri gadis kecil itu di meja makan disertai raut wajahnya yang khawatir. "Lihat itu." Zeline menunjuk pada leher Leoni yang memerah. "Daddy menyakitimu, right?" Ibu dua anak itu menegakkan tubuhnya, memegang leher yang mana terdapat bekas hisapan Xander tadi malam. Ia menelan salivanya kasar, kenapa putrinya bisa berpikir demikian. Tatapannya bergerak melirik pengasuh Zeline yang sedang mengulum senyum di sana. Malu sungguh malu dirinya. "No, daddy tidak menyakiti Mommy," tutur Leoni, mencoba memberikan penjelasan pada putri sulungnya y
Leoni sibuk memotong sayuran di dapur. Dia sedang menyiapkan bahan untuk memasak makan malam. Satu porsi cukup untuk dirinya sendiri sebab tak ada siapapun di rumah. Setiap yang ia lakukan, pikirannya berputar mengingat Xander. Pun setiap pandangannya mengedar, sudut rumah mengingatkannya akan pria itu. Tak henti Leoni memohon agar Tuhan segera mengembalikan suaminya seperti semula. "God, aku merindukan suamiku," gumamnya rendah, tak lama disusul dengan ringis kesakitan sebab pisau tak sengaja mengenai telunjuknya hingga berdarah. "Uh ...." Segera Leoni membasuh lukanya di bawah air, mengambil tissu lalu menekankannya pada bagian yang terluka agar darah berhenti mengalir. Mengambil kotak P3K kemudian mengoleskan obat. Sibuk ia mengurus lukanya hingga tak memperhatkan pintu penthousenya terbuka. Xander datang menggendong Zeline yang tertidur. Tak bersuara langkah pria itu menuju kamar, menidurkan Zeline di atas ranjang. Seteahnya, ia melangkah mendekati istrinya yang sedang si
Xander masih terbaring di atas peraduannya. Posisi tubuh telungkup memperlihatkan punggungnya yang besar nan berotot, pria ini tak memakai kaos atas, sengaja tak menutupi bentuk tubuhnya yang panas nan menggoda. Sudah tiga hari ini Xander menghabiskan waktunya menginap di kamar hotel tanpa pulang, tanpa memberi kabar pada Leoni, dan juga tak ia aktifkan nomor ponselnya. Ia memberi jarak untuk wanita itu agar berpikir jika kebohongan besar akan sangat berdampa buruk pun mampu mengubah segalanya. "Selamat pagi, Darling." Suara manja nan manis itu membuat matanya terbuka. Serta sinar mentari yang menyilaukan menyeruak masuk dari gorden yang baru saja ditarik oleh seseorang yang menyapanya tadi, membuat Xander enggan untuk membuka matanya. Bibir seksi pria ini tertarik membentuk sebuah senyuman kala ia menatap wajah cantik wanita yang amat ia cintai. Berjalan dia menuj Xander, duduk pada tepi ranjang memeluk serta mencium pipinya. "Selamat pagi, Sweetheart," sapa Xander padanya.
"Biar kujelaskan ...." Leoni meminta pada Xander yang terus menerus mengabaikannya. Telah berpakaian rapi pria itu kini pun siap untuk pergi. Leoni menahan Xander, tak membiarkan suaminya pergi ke mana pun dalam keadaanya yang marah. Rahang Xander mengetat menahan amarahnya yang meledak-ledak di dalam, berusaha ia tahan agar tak mengatakan apapun pada istrinya meski ia kecewa, Xander takut kata-kata amarahnya akan melukai Leoni jadi ia hanya diam, bersiap untuk pergi agar amarahnya tak ia luapkan kepada sang istri. Tidak, Leoni sedikit pun tak mengijinkan Xander pergi dalam keadaan pria itu marah, hal-hal buruk bisa saja terjadi padanya, dan Leoni menginginkan hal itu terjadi. "Kumohon, biar kujelaskan padamu." Memejam mata Xander untuk sesaat menahan amarahnya, ia tarik dalam-dalam napas lalu menatap Leoni, tatapannya yang tajam pun mengintimidasi penuh amarah. "Xander ... aku tak bermaksud membohongimu, aku ingin memberitahu segalanya, hanya saja aku belum menemukan wakt
Leoni berdiri di depan cermin, memperhatikan bentuk tubuhnya yang lumayan berisi serta perutnya yang mulai menonjol. Usia kehamilannya kini telah menginjak lima belas minggu. Ia mengangkat kaos yang dikenakan lalu mengelus perutnya. Tubuhnya ia condongkan sedikit ke belakang, membayangkan perutnya beberapa bulan lagi akan seperti apa. "Bagaimana nanti aku menutupinya?" gumam Leoni. Ya! Sampai saat ini ia belum memberitahu Xandr, entah bila suaminya itu akan diberitahu. Leoni sedikit gila, bahkan Savalza dan Kizzie terus memperingati tapi dirinya selalu meminta waktu lebih lama untuk jujur. "Babe?" Suara Xander berasal dari dalam kamar. Segera Leoni benarkan posisi kaosnya yang terangkat lalu tak lama Xander datang, memeluknya dari belakang membuat bagian belakang tubuh Leoni basah sebab pria itu baru saja selesai berenang. "Um, kau basah," ujarnya. Namun tak ia lepaskan pelukan Xander atau membuat suaminya menjauh, Leoni malah nyaman Xander terus memeluknya. "Aku berniat