LOGINLeon pura-pura terkejut, menaruh tangan di dada. “Wah, sakit banget. Tapi gapapa, aku rela."
Risa menggeleng sambil tertawa pelan, kali ini lebih lepas.
“Gombal kamu nggak berubah dari dulu ya.”
“Gombal itu seni, Risa. Dan kamu—” Leon menatapnya dengan nada yang tiba-tiba lebih lembut, “—masih jadi inspirasi terbesarnya.”
Risa terdiam sejenak, menatap wajah Leon, lalu kembali tersenyum—kali ini samar tapi hangat.
“Jangan bikin aku ketawa terus, nanti aku lupa kalau ini pesta orang lain.”
Leon menaikkan gelasnya, “Ya udah, biar malam ini pesta kita aja.”
Suara Leon rendah tapi penuh ketulusan.Risa terdiam, menutup mata, merasakan kehangatan yang mengalir dari kata-kata itu. Leon mendekat, wajahnya hampir menyentuh wajah Risa, bibirnya nyaris bersentuhan.Tiba-tiba…“Risa!”Suara itu membuat Risa terlonjak. Ia membuka mata dan melihat Dante berdiri di sana. Sosoknya tampak seperti malaikat maut yang siap mengambil nyawa—tatapannya dingin, penuh amarah, dan menakutkan.Risa membeku, tubuhnya kaku, sementara Leon juga terkejut, matanya menatap Dante yang kini berdiri di hadapan mereka, bayangan gelap dari semua kekuatan dan kuasa yang dia miliki terasa menekan. Malam itu, suasana yang tadi hangat tiba-tiba berub
Leon pura-pura terkejut, menaruh tangan di dada. “Wah, sakit banget. Tapi gapapa, aku rela."Risa menggeleng sambil tertawa pelan, kali ini lebih lepas.“Gombal kamu nggak berubah dari dulu ya.”“Gombal itu seni, Risa. Dan kamu—” Leon menatapnya dengan nada yang tiba-tiba lebih lembut, “—masih jadi inspirasi terbesarnya.”Risa terdiam sejenak, menatap wajah Leon, lalu kembali tersenyum—kali ini samar tapi hangat.“Jangan bikin aku ketawa terus, nanti aku lupa kalau ini pesta orang lain.”Leon menaikkan gelasnya, “Ya udah, biar malam ini pesta kita aja.”
Ia melirik Dante yang tak menanggapi. Lelaki itu menatap lurus ke arah Risa dengan sorot mata yang tajam, hampir sulit dibaca.Bagi Vivian, itu hanyalah ekspresi kelelahan—mungkin rindu pada sahabat lamanya yang dulu punya senyum serupa.Namun bagi siapa pun yang cukup peka, tatapan Dante malam itu bukan sekadar nostalgia. Ada sesuatu yang dalam, kelam, dan berbahaya berputar di balik matanya.Tawa Risa menggema di antara musik, ringan dan jujur, dan entah kenapa membuat Dante merasa sesak.Ia menatap gadis itu yang kini tertawa bersama Leon—tawa yang sama seperti dulu milik Ruby.Namun kali ini, perasaan yang muncul di dadanya bukan nostalgia, tapi sesuatu yang lebih gelap.Tangannya me
Dante hanya menoleh sekilas. “Terima kasih,” jawabnya datar, tanpa benar-benar melihat Risa.Ucapan singkat itu membuat dada Risa terasa sesak.Namun musik kembali mengalun, para tamu kembali bercengkerama, dan pesta berjalan sebagaimana mestinya.Satu per satu orang datang memberi selamat ulang tahun pada Dante, dan setiap kali itu terjadi, Risa harus tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.Ketika kue ulang tahun akhirnya datang, lampu meredup, dan lagu selamat ulang tahun menggema lembut di udara. Dante berdiri di tengah ruangan—karismatik, tenang, nyaris tak tergoyahkan.Pisau kue di tangannya bergerak perlahan, memotong lapisan lembut kue berkrim putih. Potongan pertama diberikan kepada kakek, lalu nenek.
Setelah Risa mengatakan itu Dante tak menjawab.Sebaliknya, ia menarik Risa ke dalam pelukannya—erat, dalam, tanpa peduli pada semua mata yang menyaksikan.Desis pelan terdengar di antara para tamu. Vivian terpaku di tempatnya, wajahnya memucat.Risa membeku. Ia tak tahu harus berbuat apa—hanya bisa berdiri kaku, jantungnya berdetak terlalu keras. Tangannya refleks mencengkeram lengan Erick, mencoba mencari pegangan di tengah kebingungan.Pelukan itu… hangat, tapi juga berat.Seolah seluruh kerinduan dan kesedihan bertahun-tahun tertumpah di dalamnya.“Om… dilihatin orang,” bisik Risa pelan, nyaris tak terdengar di tengah dentuman musik lembut.
Air mata Risa kembali mengalir. Kini semuanya mulai masuk akal—mengapa Dante selalu menghindar jika ia menyinggung masa lalu, mengapa setiap kali ia bertanya tentang orang tuanya, Dante hanya mengusap kepalanya dan mengganti topik.Semua itu bukan karena tidak peduli. Tapi karena luka itu masih terlalu dalam. Luka yang bahkan waktu tak sanggup menyembuhkan.Risa memejamkan mata. Untuk pertama kalinya, ia bisa merasakan beban di balik setiap senyum Dante—bukan senyum kemenangan, tapi senyum seseorang yang berusaha hidup dengan kehilangan yang tak pernah benar-benar hilang.Risa memandang kosong ke arah jendela kamar yang mulai redup diterpa cahaya senja. Kata-kata Erick masih terngiang di kepalanya—tentang kecelakaan, tentang kegilaan, dan tentang senyum pertama Dante setelah sekian lama tenggelam d






