LOGINLucian Van De Lucarl pria dingin berdarah mafia, terbiasa mendapatkan apa pun yang diinginkannya. Kekuasaan, uang, bahkan nyawa orang lain. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, dia jatuh cinta… pada sesuatu yang tak boleh dimilikinya, calon istri adiknya sendiri. Perempuan itu lembut, tulus, dan sama sekali bukan bagian dari dunia kelam Lucian. Namun, setiap senyum dan tatapannya membuat batas moral Lucian semakin kabur. "Menikahlah denganku Alexa! " Ujar Lucian untuk ke sekian kalinya. "Ch kau ini waras atau tidak? Aku ini tunangan adikmu! " Bentak wanita itu murka, tapi Lucian masih memasang wajah paling santai yang dia punya. "Aku waras, hanya saja sedikit tergila-gila padamu!" Jawabnya to the point sambil memainkan jam tangan Rolexnya. "Lamaranmu ditolak! " "Brakkk! " Dan pintu dibanting dengan keras. Lantas bagaimana selanjutnya? Apakah Lucian akan berhenti atau lanjut mengejar dengan cara yang lebih brutal?
View More***
“Selamat malam, Tuan Putri,” sapa Lucian dengan suara tenang dan penuh percaya diri. Senyumnya samar, namun tatapannya menusuk, seolah tak pernah goyah oleh penolakan. Dahi Alexa berkerut. Ia menyilangkan tangan di dada, menunjukkan sikap waspada. “Ada apa kau datang larut malam begini?” tanyanya datar, jelas berniat menjaga jarak. Lucian menghela napas pelan, kemudian mengangkat seikat bunga itu di hadapan Alexa. “Seperti biasa, aku datang untuk satu alasan. Aku ingin melamarmu lagi,” ujarnya lantang, tanpa ragu. “Menikahlah denganku, Alexa.” Alexa sontak memutar bola matanya dengan ekspresi jengah. Ada rasa muak sekaligus tidak percaya dengan kegigihan pria ini. Kadang ia benar-benar bertanya pada dirinya sendiri, apakah Lucian kehilangan akal sehatnya, atau sekadar tidak mengenal arti kata menyerah. Bagaimana mungkin seorang kakak kandung tega menikung tunangan adiknya sendiri? “Kau ini gila atau bagaimana?” semprot Alexa dengan nada tajam, sorot matanya penuh penolakan. Lucian justru tersenyum miring, seakan penolakan itu sudah ia duga. “Aku waras,” jawabnya tenang. Namun setelah jeda singkat, pria itu menambahkan dengan suara lebih rendah, matanya tak lepas menatap wanita di depannya. “Tapi aku memang sedikit tergila-gila… hanya karena dirimu.” “Ch, Lucian! Kau tahu, bukan? Aku ini tunangan adikmu sendiri!” suara Alexa meninggi, matanya menatap tajam ke arah pria itu. Wajahnya memerah, bukan hanya karena marah, melainkan juga karena jijik atas keberanian pria itu yang tidak tahu malu. “Bahkan saat ini, Roger masih terbaring koma, sedangkan kau dengan teganya berusaha menikungnya!” Nada suaranya bergetar, menahan amarah yang semakin memuncak. Lucian, yang berdiri di hadapannya, hanya mengangkat dagu dengan tenang. Sorot matanya dingin, tanpa rasa bersalah sedikit pun. “Dia koma, Alexa. Dan aku yakin, ia tidak akan pernah bangun lagi,” ucapnya datar, seolah setiap kata keluar dari bibirnya adalah sebuah vonis. “Percuma saja kau menunggunya. Kau hanya akan membuang sisa hidupmu untuk seseorang yang tidak bisa kembali.” “Jangan sembarangan bicara begitu!” bentak Alexa, suaranya meninggi. Tubuhnya gemetar karena amarah dan sakit hati mendengar ucapan Lucian yang begitu kejam. Ia segera meraih pintu tokonya, hendak menutupnya dengan paksa, berusaha mengusir pria itu dari hadapannya. Namun sebelum sempat ia menutup pintu, sebuah tangan kokoh menahan gerakannya. Lucian dengan cepat menekan daun pintu itu, membuat Alexa tak bisa mendorongnya lagi. Wajah pria itu mendekat, jaraknya terlalu dekat hingga Alexa bisa merasakan nafasnya yang berat. “Tunggu dulu, sayang,” bisiknya dengan nada yang menyebalkan, membuat bulu kuduk wanita itu meremang. “Setidaknya terimalah lamaranku dulu, baru kau boleh menutup pintu ini.” Alexa meronta, berusaha melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Tatapannya menyala penuh kebencian. “Lamaranmu kutolak! Dan akan selalu kutolak!” ujarnya lantang, penuh penegasan. “Alasannya pun tetap sama, kau bukan pria idamanku, Lucian! Kau hanyalah tukang tikung yang tidak tahu malu!” Brakkk! Dengan sekuat tenaga, Alexa akhirnya berhasil menutup pintu itu dan membantingnya hingga menimbulkan suara keras yang memecah keheningan malam. Tanpa ragu, ia memutar kunci, mengunci pintunya rapat-rapat, memastikan pria itu tidak bisa mengganggunya lagi. Di luar, Lucian hanya berdiri diam menatap pintu kayu yang kini menjadi penghalang antara dirinya dan wanita yang ia inginkan. Sebuah senyum tipis menyungging di bibirnya, bukan tanda menyerah, melainkan janji bahwa ia akan datang lagi, dengan cara apa pun, sampai Alexa menyerah di pelukannya.****Di kamar mewah di pesawat pribadi itu...Tubuh Alexa terhempas ke atas kasur empuk,. Ia segera bangkit, wajahnya merah padam dipenuhi amarah sekaligus rasa takut. Lucian berdiri di hadapannya, senyum tipis menyeringai di wajah pria itu, tatapannya dingin sekaligus membakar.“Bajingan!” desis Alexa, lalu tanpa ragu tangannya terangkat tinggi dan mendarat keras di pipi Lucian.Plak! Suara tamparan menggema di kamar mewah itu.Lucian terhuyung sedikit, pipinya memerah akibat tamparan tersebut. Sejenak suasana hening, hanya terdengar helaan napas Alexa yang terengah-engah. Ia menatap pria itu dengan mata membara, penuh benci.“Kau keterlaluan!” serunya lantang. “Tidak ada bedanya kau dengan binatang gila!”Lucian mengusap pipinya perlahan, bukan marah yang tampak di matanya, melainkan senyum bengis yang justru kian melebar.“Ya, aku memang binatang gila,” ujarnya pelan, namun penuh tekanan. “Dan kau…” ia menunduk sedikit, tatapannya menajam, “…akan diterkam oleh binatang ini. Malam i
*** Waktu berjalan lambat, menit demi menit terasa seperti siksaan yang tiada akhir. Satu jam. Dua jam. Namun posisi mereka tidak berubah. Alexa masih berada dalam pangkuan Lucian, tubuhnya terkurung dalam pelukan erat pria itu. Lucian mengangkat sudut bibirnya, menatap Alexa dengan sinis. “Apa yang selama ini kau dapat dari pacarmu itu, hm?” ucapnya dengan nada merendahkan. “Pacarmu yang sebentar lagi akan jadi mayat.” “Cih! Jaga mulutmu, Lucian!” sergah Alexa lantang, suaranya bergetar menahan emosi. “Roger akan sembuh! Dan kau,, kau yang akan meringkuk di penjara! Setelah ini, aku sendiri yang akan menuntutmu!” Lucian terkekeh, suara tawanya rendah “Heheh… gadis kecil yang polos. Kau bayangkan saja, bagaimana caranya menuntut seseorang tanpa bukti? Hukum bukan sekutu bagimu, Alexa. Sedangkan aku, aku adalah hukum itu sendiri.” Alexa mengepalkan tangannya, kukunya hampir menancap ke telapak. Wajahnya memerah karena amarah. “Satu hal lagi,” ujarnya sambil mempererat gengga
**** Beberapa menit kemudian, Alexa akhirnya menaiki pesawat yang disebut-sebut sebagai pengganti penerbangannya.“Di sana kursi Anda, Nona,” ucap seorang pria berpakaian jas rapi dengan sikap formal. Tangannya menunjuk salah satu kursi di sisi jendela.Alexa terdiam sejenak. Bola matanya bergerak cepat, mengamati sekeliling. Tidak ada penumpang lain selain dirinya. Pesawat itu terlalu mewah untuk sekadar pengalihan tiket. “Terima kasih,” jawab Alexa dengan suara pelan, gugup. Pesawat itu melaju mantap menembus langit malam, meninggalkan gemerlap lampu bandara yang perlahan mengecil di kejauhan.Tiga puluh menit setelah pesawat lepas landas, ketenangan semu itu mendadak pecah.“Ehem!”Seseorang berdehem ringan, suaranya berat namun sarat dengan kesengajaan. Alexa spontan menoleh, dan darahnya seakan berhenti mengalir ketika seorang pria dengan setelan santai namun berkelas melangkah tanpa permisi, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi di sampingnya.Mata Alexa membelalak. “Lucian…” bi
**** Tiga hari kemudian, bandara internasional Sydney dipenuhi hiruk pikuk manusia yang berlalu-lalang, masing-masing dengan tujuan berbeda. Di salah satu kursi ruang tunggu penumpang, Alexa duduk dengan wajah tegang. Ia akan terbang ke Selandia Baru, negara yang sama sekali belum pernah ia kunjungi sebelumnya, demi menjenguk tunangannya, Roger van de Carl, yang masih koma. Alexa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Semangat, Alexa… ini hanya sebuah penerbangan. Kau bisa melaluinya,” gumamnya lirih, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Di dalam sebuah pesawat pribadi mewah yang terparkir tidak jauh dari terminal utama,. Lucian duduk bersandar anggun di kursi kulit premium berwarna hitam, sebatang cerutu belum tersulut di jemarinya. Namun pikirannya sama sekali tidak tertuju pada kemewahan di sekelilingnya. Tatapannya justru tertuju ke arah jendela besar, di mana dari kejauhan ia dapat melihat sosok wanita yang duduk gelisah di ruang tunggu penumpang umum. Alexa. “C
**** Menjelang subuh, Lucian akhirnya tiba di kediaman megahnya. Langkahnya hati-hati, seolah setiap derit engsel pintu bisa membongkar rahasia gelap yang ia bawa pulang malam itu. Dengan perlahan, ia membuka pintu utama, berharap bisa menyelinap masuk tanpa seorang pun menyadari. Namun, harapannya buyar seketika. Di balik pintu, Patricia ibunya sudah berdiri tegak dengan tatapan tajam yang membuat darah Lucian seakan berhenti mengalir. Aura wanita bangsawan itu dingin dan penuh wibawa. “Dari mana kau?” tanyanya datar, nada suaranya tenang namun cukup untuk membuat Lucian tergagap. Dalam hati, ia panik jangan sampai sang ibu mengetahui bahwa ia baru saja mengunjungi toko roti milik Alexa, dan bahkan lebih buruk lagi, telah dengan lancang mencuri ciuman dari bibir tunangan kakaknya sendiri. “Ah… aku hanya mengecek mobil di garasi, Ma,” jawab Lucian cepat, berusaha terdengar meyakinkan. Namun, detak jantungnya semakin berdegup kencang ketika menyadari sesuatu. Di tangan sang ibu
**** Begitu pintu tertutup dengan keras, ekspresi wajah Lucian seketika berubah. Senyum sinis terbentuk di bibirnya, dingin dan menyeramkan. Ada sorot gila yang bersemayam di matanya, tatapan seorang pria yang tak segan menghancurkan apa pun yang menghalangi keinginannya. Dalam hitungan detik, ia mengangkat kakinya tinggi-tinggi dan tanpa aba-aba. Brakkk! Suara keras menggema di sepanjang lorong toko. Daun pintu kayu itu patah dalam tiga bagian, serpihan kayu berhamburan di lantai, menimbulkan debu tipis yang berterbangan. Suasana hening berubah mencekam. Alexa, yang berdiri di balik pintu, terbelalak tak percaya. Tubuhnya kaku, matanya membesar menatap sosok pria itu yang kini berdiri di ambang dengan tatapan mengerikan. Tenggorokannya tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Perlahan, ia menelan ludah, lalu mundur selangkah demi selangkah, berusaha menjaga jarak."Kau? " Lucian melangkah masuk dengan tenang, langkah kakinya berat, tetapi penuh wibawa menakutkan. Setiap langk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments