LOGINEden adalah Pemimpin Mafia, hidupnya hanya berisi kegelapan pistol dan waspada kematian. Hitam dan abu-abu. Tidak ada yang menarik dalam hidup selain membunuh musuh. Namun semua menjadi lebih berbeda setelah pertemuanya dengan Lintang, seorang gadis bisu yang berani masuk ke wilahnya. Lintang bekerja sebagai pencuci piring di restoran. Hidup sebatang kara di usianya yang muda tak membuatnya menyerah, ia selalu hati-hati dalam hal apapun, namun untuk pertama kalinya dalam hidup ia berbuat kesalahan. Kesalahannya hanya satu, mengantar pesanan makanan, namun dunia balas menghukumnya dengan ketidak adilan. Lintang di sekap oleh pria yang tak dikenalnya hanya karena di sangka penyusup. Dan hidupnya berubah total sejak hari itu. Apakah lintang bisa lepas dari jerat Eden? ataukah justru terperangkap kehidupan gelap sang mafia yang kejam? Pantau terus kisah mereka ya!!
View More“Bersihkan tubuhnya. Kenakan pakaian ini.”
Eden menyerahkan paperbag coklat pada pelayan tanpa menoleh. Suaranya datar dan tajam. “T-tapi, Tuan…” pelayan itu menelan ludah. Tangannya gemetar saat menerima kantong itu. Eden akhirnya menoleh. Menatap tajam wanita yang menunduk di depannya. “Berapa nyawamu?” tanyanya rendah. Satu kalimat itu cukup membuat Pelayan itu pucat, lututnya hampir ambruk. “Ba-baik, Tuan. Akan saya lakukan,” katanya tergesa, lalu pergi secepat mungkin sebelum Eden berubah pikiran dan mengambil nyawanya. **** Langkah sepatu Eden menggema panjang di lorong sunyi. Setiap derapnya seperti hitungan mundur menuju sesuatu yang tak terelakkan. Ia berhenti di depan pintu hitam mengkilap. Brak! Pintu terbuka dengan kasar. Cahaya dari lorong membelah kegelapan kamar menjadi garis tipis. Bau dingin dan lembap menyergap inderanya. Hening. Eden mengerutkan dahi saat tak ada suara dan pergerakan. Lalu matanya menyesuaikan. Di sudut ruangan, sesuatu bergerak dengan halus tersorot oleh cahaya rembulan. Tubuh kecil itu meringkuk, gemetar hebat, seolah mencoba menyatu dengan bayangan. Napasnya tersengal tertahan, tangannya menutup mulut rapat-rapat, takut satu suara saja akan memanggil kematian. Senyum Eden terangkat perlahan. Puas. “Kau takut padaku, Lintang?” suaranya menggema lembut, terlalu lembut untuk disebut aman. Udara terasa semakin dingin menusuk tulang. Lintang menahan napas, menahan air mata, menahan gerakan tubuhnya agar tak terlihat namun pria itu tetap bisa melihatnya. “Keluar,” ujar Eden tenang. “Sebelum aku benar-benar membunuhmu.” Eden menekan setiap katanya dan Lintang tahu kalimat itu bukan kalimat biasa. Itu adalah ancaman, tak ada satupun ancaman Eden yang tak terbukti. “Ayah…kumohon” suaranya pecah tanpa suara. Bibirnya hanya membentuk kata. “Tolong aku kali ini… aku takut…” Air mata mengalir deras. Tubuhnya mati rasa, kesemutan menjalar dari ujung kaki hingga ke dada, seolah jiwanya perlahan melepaskan diri. Eden tetap berdiri di tempatnya. Tak bergerak. Namun suaranya seperti terompet kematian. “Satu.” Detak jantung Lintang menghantam dadanya. Setiap denyut terasa seperti palu. Matanya menatap Eden yang masih terlihat tenang. “Dua.” Ia menggigit bibirnya keras-keras. Darah terasa asin di lidahnya. Tangannya mencengkeram lantai dingin. “Ti—” Lintang berlari. Ia tak tahu dari mana tenaganya datang. Ia hanya tahu jika tetap diam, ia akan hancur. Tubuhnya menghantam dada Eden. Lengan kekar itu langsung melingkar, mencengkram pinggangnya kuat membuat tubuh Lintang seketika menegang. “Nah…” Eden terkekeh pelan. “Begini seharusnya.” Tangannya terangkat, membelai dagu Lintang perlahan. Terlalu lembut untuk seseorang yang disebut monster. Matanya menatap mata madu yang basah oleh air mata. Kilau ketakutan membuatnya bersinar indah dan itu membuat Eden tersenyum lebih lebar. “Kau gemetar,” bisiknya. “Kau benar-benar takut padaku.” Lintang tak mampu menoleh. Nafasnya tercekat, dadanya sesak. “Kau tahu dimana kesalahan mu, Lintang?” suara Eden hampir tak terdengar, namun justru menusuk sangat dalam. Setiap kata terasa seperti paku di jantungnya. Lintang kembali berpikir mencari letak kesalahan yang diperbuat, namun semakin ia pikir ia tak menemukan sedikitpun kesalahannya. Ia hanya datang untuk mengirim makanan namun tiba-tiba dikepung dan di sekap. “Kau harus dihukum, Lintang,” lanjutnya pelan. “Kau harus membayar apa yang sudah kau lakukan.” Pelukan itu mengencang. Eden mengangkat tubuh lintang yang seringan kapas kemudian melemparkan ke atas ranjang. "akh.." Tubuhnya memantul. Kepalanya tak terbentur apapun, namun dunia tetap berputar liar. Pusing menyerang tiba-tiba, seolah ada tangan tak kasat mata yang memeras otaknya. Lintang mencengkram sisi kepalanya, nafasnya terputus-putus. Ctak! Cahaya putih menusuk langsung ke matanya. Lintang menyipit, air mata menggenang di pelupuk dan ia yakin dalam satu kedip akan jatuh ke pipinya. Belum sempat ia menyesuaikan diri Eden lebih dulu menyergap. Kakinya terseret kuat hingga tubuh lintang berada di tepi ranjang. Sprei bergeser kasar, punggungnya terasa dingin. Lintang berteriak. Namun hanya gerakan bibirnya saja. Mulutnya terbuka lebar, nafasnya habis dalam isakan bisu. Panik menyergap, lebih menakutkan daripada saat pria itu memaki. Tubuh Eden membungkuk, bayangannya menelan tubuh kecil gadis di bawahnya, wajahnya kian mendekat. Matanya menatap lapar tubuh seputih susu berbalut dress merah haram. Lintang berharap dunia menelannya saat itu juga. "Kau seperti mawar, Lintang.” Ucap Eden pelan, suaranya serak dan berat. “Mekar dan siap untuk dipetik." Tak membiarkan Lintang mencerna kalimat itu, Eden mencengkram pergelangan tangan lintang, menekannya ke atas ranjang. Tak melukai namun cukup membuat memar. Lintang meronta. Kakinya menendang, tubuhnya menggeliat, kukunya mencakar lengan Eden tanpa arah. Dadanya naik turun cepat, napasnya kacau. Dalam sekali sentak Eden menarik paksa lingerie yang tak sepenuhnya menutupi pusat pribadi Lintang. Kain tipis merah itu tak lagi terpasang, rusak. Kecepatan Eden membuat Lintang tercengang, tangannya berusaha menutupi dada yang terekspos, matanya memerah bukan lagi karena tangis melainkan marah, malu bercampur takut. Bibirnya bergerak cepat. "Ku mohon…jangan…." Eden membaca gerak bibir Lintang, namun ia tak peduli. Tangannya kembali menarik kain terakhir, hingga mempertontonkan tubuh sempurna tanpa cela. Kulit seputih susu, cerah dan segar, Lintang benar-benar definisi mawar yang mekar. Matanya kian menggelap, saat pergerakan Lintang yang berusaha menutupi namun terlihat seperti tengah menggodanya. "Kau tahu, hanya ini cara agar kau mau mengeluarkan suara emas mu itu." Eden membuka paksa kedua kaki Lintang, matanya berkilat penuh cahaya. ludah terasa seperti batu, hingga sulit untuk turun. Rona merah dengan sentuhan istimewa pusat gairah, membawa rasa panas menyerang tubuhnya. Tiba-tiba ia merasa gerah di bawah dinginnya AC. Jakunnya naik turun, matanya tak bisa teralih dari inti milik Lintang. Eden mengabaikan tangisan dan rontaan Lintang yang tak seberapa itu. Hingga dalam satu gerakan cepat, sesuatu yang keras memaksa masuk kedalam tubuh Lintang tanpa bisa dicegah. Ia berteriak, memukul, menggigit dan mencakar Eden, namun pria itu tak menghentikan aksinya ia semakin memaksa masuk pusaka miliknya, hingga cairan merah mengalir menetes di sprei sutra yang putih. Eden terkejut, namun kemudian tersenyum puas. Lintang menangis tergugu, rasa perih, panas dan sakit seolah membelah tubuhnya. Kulitnya meremang sedangkan tubuhnya bergetar tak karuan. Matanya melirik ke bawah sesuatu yang tak kecil tengah mengoyak dirinya, harga dirinya. Lalu pria di atasnya menggeram layaknya binatang, senyum kepuasan tersungging di bibirnya. Sesekali lidahnya turut bermain menggoda lehernya. “Sakit…ku mohon lepas…” Lintang berusaha mendorong perut Eden, namun bukanya lepas Eden semakin dalam membenamkan miliknya. Rasa sakit semakin terasa saat Eden menggerakkan pinggulnya dengan kasar, mengabaikan Lintang yang berontak ingin lepas. Gadis itu menangis, menjerit, terisak dan meracau namun lagi-lagi tak sedikitpun suara keluar dari mulutnya. "Ah, lintang. kau membuatku hilang akal.”Pintu yang Lintang dorong perlahan terbuka lebar dengan keras, seolah ada tangan tak kasat mata yang menyentaknya dari dalam. Angin yang dingin malam menyergap masuk, membawa serta aroma logam dan keringat yang menyengat. Malam, Lintang baru menyadari waktu telah berganti, siang yang cerah tadi telah menghilang tergantikan gelapnya malam. Lintang membeku di ambang pintu. Tubuhnya seperti disiram air es, bukan hanya karena malam yang membuatnya terkejut melainkan sesuatu yang tak ia duga. Di halaman yang sangat luas, di atas rerumputan hijau ratusan pria berseragam hitam berdiri berbaris sempurna, tak bergerak, tak bersuara. Hanya sorot mata tajam tak berekspresi bagaikan raja hutan yang kejam, pistol-pistol di tangan mereka berkilau dingin seolah siap memuntahkan peluru ke setiap kepala yang bersalah. Pemandangan itu seperti di film-film yang pernah lintang lihat namun tak ia sangka ia akan melihatnya secara langsung. Napas Lintang tersengal. Tenggorokannya mendadak kering
Rega menghentikan motornya di salah satu kedai pinggir jalan, matanya masih gelisah menoleh ke sana kemari, berharap sekilas saja bisa melihat sosok kekasih hatinya. Tapi lagi-lagi, kosong. Tak ada jejak Lintang di mana pun.Siang telah menghilang, langit perlahan menggelap, tapi Lintang belum juga ia temukan.Rega berjalan tertatih menuju kedai itu. Wajahnya kusut masai, rambut acak-acakan seperti habis bertarung angin, baju berantakan dan berkeringat. Tapi sorot matanya... masih membara, meski di baliknya tersembunyi ketakutan yang semakin menggerogoti.“Buk... lihat gadis ini lewat sini nggak? Pakai motor biru, ada box di belakangnya?” Rega menunjukkan foto Lintang yang dijadikan wallpaper pada ibu pemilik warung, suaranya bergetar menahan harap yang tipis.“Maaf Nak, Ibu nggak lihat,” jawab ibu itu singkat, sambil menggeleng.Jawaban itu seperti tamparan. Dada Rega sesak seketika. Matanya berembun, air mata hampir jatuh tapi ia tahan mati-matian. Ia tak tahu lagi harus mencari ke
“Mana Pak pesanan tadi?” Jose menoleh kaku, suara lemah Sasa entah mengapa membawa rasa penyesalan menyusup di dada. Matanya bergetar, hatinya tak tenang. Jose gelisah. “Sasa….” Ucap Jose menggantung. Sasa menatap Jose dengan alis terangkat, ia heran dengan atasannya yang mendadak pucat, pria paruh baya itu seperti baru saja kehilangan nyawa. “Saya harus apa….Lin-tang…” suara Jose tercekat, setiap kata yang keluar rasanya sangat sulit. Lidahnya kelu pikirannya tertuju pada gadis bisu karyawan istimewanya. “Kenapa sih Pak?” Tanya Sasa tak sabar. “Tadi saya suruh Lintang antar pesanan itu….” bahu Jose merosot, kepalanya tertunduk lemas. Perkataan Jose bagai petir yang menyambar siang bolong, mulut Sasa terbuka. Kepalanya mendadak penuh dan berputar. Tubuhnya oleng, hampir saja tersungkur jika seseorang tak segera menangkapnya. Sasa menatap pria yang menolongnya kemudian menatap Jose. “Pak, Bapak kok bisa nyuruh Lintang sih. Kan Bapak tahu kekurangan Lintang.” Teriak S
Satu bulan sebelumnya….. Seorang pria berjalan terburu-buru, langkahnya yang lebar sesekali melompat agar cepat sampai tujuan. Yaitu dapur. Napasnya ngos-ngosan tapi lebih penting dari itu adalah pesanan makanan yang harus segera diantarkan. “LINTANG….” Teriaknya kencang. Setibanya di dapur ia menarik napas panjang, mengatur udara yang berebut mengisi paru-paru “Bisa kamu antarkan pesanan ini?” ucapnya tergesa. Lintang yang merasa namanya dipanggil, tersentak saat sebuah suara muncul tak jauh darinya. Lintang menoleh, menatap bingung atasannya. Jose. Ia kemudian berdiri, menghampiri Jose yang masih berlutut. Jari-jari lintang bergerak cepat membentuk tiap kata, matanya menatap khawatir Jose. “Pak, ada apa? Kenapa anda datang kemari?” “Pesanan ini sudah ditunggu pemiliknya, sedangkan saat ini belum ada yang antar.” Jose menjeda kalimatnya, “Bisakah kamu mengantar pesanan ini?” lanjutnya penuh harap. Dahi lintang berkerut, itu bukan jobdesknya. “Maaf Pak, tapi itu bukan tugas s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.