Share

Bertemu Lagi

"Sial, aku terlambat!"

Valeria berlari kecil menuju kantornya dengan nafas tersengal. Akibat kejadian semalam, kini ia harus terlambat datang bekerja karena persiapannya yang kurang. Ia baru bekerja beberapa hari, namun kini ia datang terlambat. Gawat! Gawat sekali!

Valeria ingin sekali berlari lebih kencang, namun area pahanya yang masih terasa sakit membuat langkahnya sedikit sulit. Jika saja area itu baik-baik saja, ia dapat berlari dengan kencang tanpa masalah.

Valeria begitu terburu-buru hingga saat sampai di depan pintu perusahaan, kakinya tergelincir ke arah depan lalu bruuuk...

Tubuh mungilnya menimpa tubuh atletis seorang pria. Valeria mengerjap beberapa kali saat melihat pria yang berada di hadapannya. Dada bidang ini... Wajah tampan rupawan ini... Bukankah pria ini adalah pria yang menghabiskan waktu dengannya semalam?

Semua orang di sana terlihat terperangah melihat pemandangan itu. Begitu pula Erik yang berada di sampingnya, ia sangat terkejut melihat kesialan yang menimpa pegawai baru ini. Baru satu minggu bekerja di sini ia malah menabrak atasan garang mereka saat terlambat datang.

"Bisa kamu menyingkir dari tubuh saya?"

"Ah maaf."

Valeria yang mendengar nada dingin itu segera menyadarkan dirinya lalu bangkit. Ia begitu terkejut dengan pertemuan mereka hingga tidak sadar hanya terdiam di atas tubuh pria itu. Valeria melirik diam-diam melihat pria yang sedang membersihkan debu-debu halus di kemejanya. Apa pria ini sama sekali tidak mengingat dirinya?

"Anda baik-baik saja, Pak Revan?" Tanya Erik dengan nada cemas. Erik lalu mengalihkan pandangannya ke arah Valeria yang hanya tertegun, "Beliau adalah presdir di perusahaan kita, dimana mata kamu sebenarnya sampai menabrak Beliau? Bagaimana jika Beliau sampai terluka?"

Mata Valeria sontak terbelalak lebar mendengar ucapan Erik. Jadi pria ini adalah atasan di kantornya? Bagaimana mungkin? Menghabiskan malam bersama dengan pria asing saja sudah cukup mengejutkan, apalagi mengetahui fakta bahwa pria itu adalah atasannya sendiri. Apa kehidupannya selalu sial seperti ini?

"Dia atasan di sini? Astaga." gumam Valeria kecil.

Nyatanya gumaman kecil Valeria terdengar oleh Revan, Revan terlihat menatap tajam ke arah Valeria lalu bertanya, "Apa ada yang salah karena saya menjadi atasan di sini?"

"Ti-tidak Pak," balas Valeria dengan tergeragap.

"Bagaimana sebenarnya kau melatih pegawai kita, Erik? Apa dia bekerja tapi tidak tahu siapa yang menggajinya?" tuduh Revan tajam.

Erik terlihat menunduk kecil, "Maafkan saya, dia baru beberapa hari di sini jadi sepertinya belum terlalu mengenal keadaan seluruh kantor," Erik menatap Valeria kembali, "Bukankah sewaktu wawancara saya sudah mengatakan segalanya tentang perusahaan ini? Bagaimana kamu bisa lupa?"

Valeria merutuk dirinya sendiri di dalam hati. Ketika wawancara itu ia sama sekali tidak memerhatikan dengan fokus wawancaranya karena sedang bertengkar dengan Rionandra. Valeria menundukkan wajah berkali-kali dengan gemetar ketakutan, "Maafkan saya, Pak. Sungguh maafkan saya."

Tatapan intimidasi dari Revan sontak membuat wajah Valeria semakin menunduk. Sebenarnya ia sudah mendengar rumor beberapa kali bahwa atasannya ini merupakan pribadi yang tegas dan disiplin. Jika melihat suatu kelalaian yang dilakukan oleh pegawainya, Revan tidak segan-segan memberikan hukuman yang berat. Tamat sudah riwayatnya kali ini, sudah terlambat kini ia menabrak atasan pula.

"Siapa namamu?"

"Valeria. Valeria Anderson."

"Ikut ke ruangan saya Nona Valeria Anderson."

Valeria hanya bisa menelan ludah mendengar perkataan Revan yang terakhir, dengan langkah lunglai ia mengikuti langkah Revan dan Erik ke dalam ruangan Revan. Valeria masih menunduk takut-takut, Revan pasti sudah menandai dirinya sebagai pegawai yang teramat buruk di sini.

"Apa kamu tahu ini jam berapa, Nona Valeria Anderson?"

Valeria mengangkat wajahnya, "Jam delapan lewat tiga puluh menit."

"Sedangkan jam masuk kerja kita?"

"Jam delapan tepat, Pak." jawab Valeria semakin takut.

"Jadi selain tidak mengenal saya, apa lagi kesalahan kamu?"

Valeria segera menegakkan tubuhnya, "Siap saya salah karena datang terlambat."

"Jadi kenapa kamu datang terlambat hari ini?" Tanya Revan kembali dengan dingin.

Valeria berdecak, rasanya ingin sekali ia menjawab bahwa itu gara-gara pria itu sendiri, namun melihat Revan sama sekali tidak mengingat kejadian semalam, mana mungkin ia berani melakukan itu?

"Nona Valeria? Kamu mendengar saya?" Ulang Revan kembali.

"Maafkan saya Pak, saya bangun kesiangan," balas Valeria dengan lemah.

"Jadi, hanya itu alasan yang kamu pikirkan?"

"Saya minta maaf, Pak."

"Kamu dipecat."

Perkataan Revan yang terakhir sontak membuat mata Valeria membulat. Ia dipecat? Ia dipecat ketika baru beberapa hari bekerja di sini? Ia bekerja di sini karena ingin hidup mandiri tanpa bayang-bayang keluarganya yang selalu membanggakan Lucia, adik tirinya. Apa yang terjadi jika ia dipecat begitu saja? Bagaimana dengan cicilan sewa flatnya yang sudah menunggu di depan nanti?

"Tapi Pak–"

"Saya tidak membutuhkan karyawan yang tidak disiplin seperti kamu, kamu dipecat."

"Saya mohon Pak, jangan pecat saya," ucap Valeria sambil merapatkan tangannya di depan dada. Sungguh, ia tidak ingin dipecat seperti ini, ayahnya pasti akan merendahkannya lagi jika mengetahuinya.

"Saya tidak ingin mendengarkan apapun lagi. Kamu dipecat, jadi keluar dari ruangan saya."

"Tolong Pak!"

"Keluar Nona Valeria!"

Melihat Revan yang berkeras hati, Valeria segera menjatuhkan dirinya di hadapan pria itu. Sungguh ia lebih baik mati daripada harus kembali bergantung pada keluarga yang tidak mengharapkannya. Perusahaan ini adalah satu-satunya jalan yang ia pikirkan untuk terlepas dari sang ayah.

"Apa yang kamu lakukan? Bangun!"

"Saya akan melakukan apapun agar Bapak tidak memecat saya hari ini. Tolong buka hati nurani Bapak, saya pastikan ini tidak akan terjadi lagi."

Revan terlihat mengerutkan keningnya, sebenarnya ia paling malas mendengarkan alasan orang yang tidak disiplin seperti Valeria. Baginya kedisiplinan dan tanggung jawab adalah nomor satu. Namun, melihat pandangan Valeria yang begitu sungguh-sungguh membuat Revan merasa tersentuh.

"Tolong Pak, jangan pecat saya." Sekali lagi Valeria merintih, memohon sebuah permohonan.

"Kamu benar-benar akan melakukan apapun agar saya tidak memecat kamu?"

"Ya Pak, apapun. Saya akan melakukan apapun yang Bapak perintahkan kepada saya."

"Kalau begitu mulai besok kamu akan menjadi sekertaris saya. Saya sendiri yang akan mengawasi kinerja kamu mulai dari sekarang."

Valeria terlihat melongo di tempat. Apa katanya tadi? Ia akan menjadi sekertaris Revan? Dengan kejadian semalam, bagaimana mungkin ia bisa fokus bekerja berada di bawah pengawasan pria itu?

Melihat Valeria hanya terdiam, Revan kembali membuka mulutnya, "Kenapa? Kamu keberatan? Baiklah saya akan segera meminta Erik untuk memproses surat pemecatan kamu segera."

Mendengar hal itu Valeria segera berteriak, "Jangan Pak! Baik, saya bersedia."

"Ini adalah kesempatan terakhir yang bisa saya berikan mengingat kamu adalah pegawai baru di sini. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah saya berikan, Valeria."

Valeria hanya mengangguk, "Kalau begitu saya permisi."

"Ah satu hal lagi, Valeria. Erik selalu membangunkan saya setiap pagi sebelum berangkat kerja. Karena kamu yang akan menjadi sekertaris saya, kamu yang akan melakukan tugas itu besok. Semua perihal kunci ada pada Erik, kamu bisa bertanya padanya."

Mata Valeria kembali membulat mendengar ucapan Revan. Apa katanya tadi? Dia harus membangunkan pria itu juga?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status