"Itu–""Jawab dengan jujur, kau benar-benar hamil?"Valeria menghela nafasnya panjang mendengar desakan dari Revan. Sudah terlambat, ia sudah tidak bisa mengelak lagi karena Revan sudah mengetahui semuanya."Ya benar, saya memang hamil. Tapi, Anda tidak perlu khawatir, saya tidak akan meminta pertanggungjawaban pada Anda."Revan terlihat terperangah mendengar ucapan Valeria, "Apa? Apa yang sebenarnya kau katakan?""Anda dengan jelas mendengarnya, saya tidak akan mengusik kehidupan Anda. Keputusan saya sudah bulat, saya tetap akan keluar dari pekerjaan ini.""Apa? Bagaimana bisa kau melakukan hal itu?""Bisa. Sekarang sebaiknya Bapak pulang, saya benar-benar harus beristirahat." ujar Valeria dengan lemah, ia mendorong tubuh Revan hingga menuju pintu."Keadaanmu sedang tidak baik, biarkan aku di sini sebentar.""Tolong Pak, jika Bapak bersikeras di sini saya benar-benar tidak akan bisa beristirahat."Melihat bahwa keadaan Valeria yang lemah dan enggan diganggu, Revan akhirnya menghela n
Valeria terperangah mendengar ucapan Revan di balik telepon. Apa pria ini benar-benar sudah gila? Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu pada ayahnya?"Apa kamu serius dengan anak saya?"Mendengar suara ayahnya yang membalasnya, Valeria segera berteriak, "Jangan per–hmmmpp.."Belum sempat ia bersuara, Erik membekap mulutnya. Sial, Revan Mahendra benar-benar benar menyebalkan, bagaimana bisa ia mengambil keputusan sendiri seperti itu?"Tentu saja saya serius, sangat serius."Valeria mencoba berteriak sekuat tenaga, namun lengan besar Erik yang membekapnya membuat usahanya sama sekali tidak berguna."Baiklah saya tunggu kedatangan kamu nanti malam di rumah jika memang kamu benar-benar serius kepada anak saya.""Baik, ah jangan lupa undang semua anggota keluarga Anda karena saya harus mengabarkan kabar gembira ini ke semua orang."Saat Erik melepaskan cengkraman tangannya, Valeria segera memberikan tatapan nyalang terhadap pria itu, "Saya tahu Anda hanya menjalankan tugas Pak Erik, tapi
Valeria seketika terperangah mendengar ucapan Revan. Matanya membelalak dengan sempurna, bagaimana bisa Revan mengatakan hal semudah itu di hadapan keluarganya? Revan Mahendra benar-benar sudah gila. Ia melakukan cara apapun untuk menahannya di sisi pria itu."Apa? Valeria sedang mengandung?""Ya, dia sedang mengandung putera saya. Kami baru mengetahuinya beberapa hari ini."Urat wajah Herman seketika menegang mendengar ucapan Revan, ia mendekat ke arah Revan lalu menarik kerah bajunya, "Kau! Apa yang sudah kau lakukan pada puteriku hah?""Saya minta maaf, saya pasti–"Buukk!Valeria terhenyak saat melihat Revan diberikan pukulan oleh sang ayah, ayahnya terlihat sangat murka. Melihat ayahnya yang hendak menyerang kembali, Valeria segera maju ke depan Revan, menahan serangan sang ayah dengan tubuhnya sendiri."Minggir, Ayah harus menghajar bajingan ini!""Hentikan! Ayah tidak berhak memukulnya!"Mata Herman seketika terbelalak mendengar ucapan Valeria, "Apa? Aku ini ayahmu, tentu saja
Valeria segera menjauhkan dirinya saat merasakan kecupan itu. Revan terlihat tertegun sementara Valeria merasa sangat gugup. Ia sungguh tidak menyangka jika Revan akan menciumnya kembali. Jantungnya berdegup dengan cepat. Kenapa Revan tiba-tiba menciumnya dalam keadaan seperti ini?Tak ingin situasi menjadi canggung, Valeria segera menggeleng dengan cepat. Tidak, tidak apa-apa, tidak terjadi apapun. Jangan terpengaruh lagi dengan tindakan Revan yang berusaha menggodanya."Jangan memintaku meminta maaf, aku tidak akan minta maaf soal tadi."Valeria mendengus mendengar ucapan Revan, berusaha mengatur perasaannya agar tidak menjadi gelisah."Kenapa pula harus minta maaf? Ciuman itu sama sekali bukan apa-apa.""Kau bilang apa? Bukan apa-apa?" tukas Revan sedikit tersinggung mendengar ucapan Valeria.Valeria hanya mengangkat bahu, "Anda memang selalu bertindak sembarangan bahkan saat situasi kita sedang tidak baik, kenapa pula saya harus memikirkannya?""Apa?"Tanpa menanggapi Revan yang s
Valeria terhenyak saat melihat siapa yang berada di hadapannya saat ini, Rionandra. Alisnya berkerut melihat Rionandra yang datang ke flatnya pagi-pagi sekali. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan?"Kau? Sedang apa kau di sini?""Bisa kita bicara?"Valeria mengerutkan dahinya dengan heran, untuk apa pria itu datang kemari pagi-pagi sekali hanya untuk bicara?"Aku tidak ada waktu, aku harus pergi bekerja.""Kenapa kau masih bekerja padahal kau akan menikah dengannya, kau hendak mempermalukan dirimu di kantor Revan?" tukas Rio dengan nada tidak senang."Bukankah itu bukan urusanmu?"Rio terlihat menghela nafasnya panjang mendapati sikap sinis Valeria terhadapnya. Ia harus bisa bersabar dan tidak memancing emosi Valeria saat ini."Kau dan Revan... Kalian benar-benar akan menikah?""Bukankah kau sudah dengar kemarin di pertemuan keluarga, kenapa harus repot-repot menemuiku jika hanya ingin membahas itu?""Aku hanya tidak percaya... Seharusnya kita yang melakukan pernikahan, rasanya baru
Mendengar ucapan Revan, Rionandra hanya bisa mengepalkan sebelah tangannya. Ia tahu sekarang Valeria bukan lagi miliknya, ia tahu jika Revanlah yang kini berhak terhadap mantan kekasihnya itu, namun entah kenapa mendengar perkataan Revan yang begitu angkuh itu terasa menyebalkan di telinganya."Ayo kita pergi, Lucia."Dengan cepat Rio menarik tangan Lucia beranjak dari sana. Amarahnya sangat terlihat di sana, ia mendorong tubuh Lucia hingga menabrak ke arah dasbor mobil."Sakit, Kak!"Rio tidak bergeming, ia menatap tajam ke arah Lucia dengan sinis, "Ini semua terjadi akibat dirimu yang mengikutiku lalu membuat keributan, Lucia. Kau benar-benar mempermalukan aku di depan Revan dan juga Valeria.""Malu? Hanya itu yang Kakak pikirkan? Bagaimana dengan perasaanku yang melihat Kakak berkunjung ke rumah Valeria hari ini? Apa Kakak sama sekali tidak merasa bersalah?"Braak!Lucia seketika menjerit saat melihat Rio yang memukul kemudi dengan sekuat tenaga. Mata Lucia melebar sempurna, tidak
Valeria menghela nafasnya panjang melihat kepergian mobil Revan dari tempatnya. Ia menyentuh bibirnya yang masih terasa basah akibat tindakan Revan. Sentuhan itu hampir saja membuat hatinya kembali luluh terhadap Revan, bahkan jari jemarinya mengepal dengan kuat menahan segala desakan perasaan untuk membalas sentuhan itu. Jantungnya masih saja berdetak dengan cepat meski Revan sudah tidak ada lagi di hadapannya, Valeria berdecak kuat, meski mendapat kekecewaan berulang kali dari pria itu, kenapa reaksi tubuhnya sama sekali berkebalikan dengan apa yang seharusnya terjadi? Kenapa ia merasa tidak nyaman setelah memberikan tamparan keras kepada pria itu? Valeria segera menggeleng dengan cepat, tidak seharusnya ia berpikir seperti ini. Tidak ada waktu lagi, ia harus berbicara pada ayahnya saat ini juga.Valeria segera bergerak menuju kediaman keluarga Anderson. Namun, baru saja ia sampai di depan pintu, Kalina sudah berhadapan dengannya sambil menopang tangan di depan dada."Kenapa kamu ke
"Ya, Mahen Corporation, perusahaan Revan Mahendra. Aku sudah berusaha menghubungi manager operasionalnya, tapi dia bilang bahwa ayah sendiri yang harus menghubungi Revan Mahendra."Raut wajah Herman semakin menegang mendengar ucapan Rio, sepertinya Revan sengaja melakukan ini untuk membuat mereka bicara empat mata, "Baiklah, Ayah akan segera kesana,"Setelah berkata seperti itu, Herman segera mematikan panggilan mereka lalu menyimpan ponselnya ke arah saku kembali. Ia menatap ke arah Valeria yang tertegun tidak paham, "Kita bicara lagi nanti, ayah harus pergi.""Tunggu, sebenarnya ada apa?" tanya Valeria, menahan langkah ayahnya yang tengah bergegas.Herman terlihat menghela nafasnya, ia sendiri belum tahu kenapa Revan sampai melakukan hal ini untuk bertemu dengannya. Entah apa tujuan Revan, Herman sendiri tidak mengerti."Kita bahas nanti, sekarang Ayah memiliki urusan di kantor."Melihat ayahnya yang sangat terburu-buru, Valeria akhirnya melepaskan tangan ayahnya. Ia membiarkan Herm