Masuk"Claudia! Mogi! Kiko! Apa kalian benar-benar ingin menggali kuburan kalian sendiri, hah?! Cepat ke sini!"
Suara itu terdengar dalam, serak, dan maskulin. Getarannya merambat lewat lantai, menembus sepatu kets Chloe, membuat bulu kuduknya meremang. 'Apa suami ibuku memang se-tantrum ini?' Chloe reflek meremas amplop di tangannya erat-erat. "Itu... suara Tuan Jordan?" tanya Chloe memastikan, matanya masih terkunci pada pintu hitam di seberang sana. Bi Sumi mengangguk takut-takut. Wajah wanita itu pucat pasi. "Iya, Non. Sebaiknya Nona istirahat. Jangan masuk ke sana malam ini. Segera, Nona!" Bi Sumi buru-buru pergi, meninggalkan Chloe sendirian di koridor itu seolah sedang melarikan diri dari hantu. Melihat ketakutan Bi Sumi, rasa penasaran Chloe justru terpancing. Logikanya berkata ia harus masuk ke kamarnya, mengunci pintu, dan menghitung uang yang baru saja ia terima dari ibunya. Tapi kakinya tidak setuju. Kaki itu justru melangkah pelan mendekati pintu hitam itu, didorong oleh insting investigatifnya. "Ahh ... Aku penasaran dengan wajah suami ibuku. Seperti bentuknya sampai hati Ibu meninggalkan Papa." Di balik pintu, suara napas berat terdengar jelas. Napas seseorang yang sedang menahan sakit—atau marah. "Siapa di luar?" Suara Jordan terdengar tiba-tiba. Tajam. Mengancam. Seolah pria itu memiliki radar untuk mendeteksi keberadaan manusia lain. Deg! Chloe membeku. Tangannya masih menggantung di gagang pintu. "Aku tahu ada orang di sana," desis Jordan, suaranya semakin rendah seperti geraman harimau yang terpojok. "Masuk, Sialan!" Chloe menelan ludah. Dengan tangan sedikit gemetar karena gugup—Chloe menekan gagang pintu ke bawah. Krek! Pintu terbuka. Aroma maskulin yang kuat langsung menyergap hidung Chloe. Campuran wangi musk mahal, kayu cendana, obat-obatan, dan... sedikit bau minyak angin? Di tengah ruangan yang temaram, di atas karpet Persia tebal, seorang pria dengan tubuh bagian atas yang terpahat sempurna sedang tergeletak menyedihkan. Jordan Arsenio. Pria yang digambarkan sebagai monster kejam, kini sedang mencoba menyeret tubuhnya sendiri seperti bayi yang baru belajar merangkak. "Siapa kamu?!" bentak Jordan saat melihat Chloe berdiri di ambang pintu. "Kamu... Jangan cuma melongo seperti orang yang terkena hipnotis! Panggil Mogi! AKU MAU KE TOILET!" Chloe terpaku sejenak. Pria ini... tampan. Sangat tampan, di luar dugaan Chloe. Ia pikir selera ibunya adalah pria buncit tua, kepala botak dengan napas bau cerutu. Tapi Jordan Arsenio memiliki rahang tegas dan sorot mata tajam yang mengintimidasi. Meski sedang dalam posisi tidak elit, aura dominasinya tetap terasa. Keringat membasahi pelipis Jordan, turun ke lehernya yang tegang. "HEH! KAMU TULI, HAH?!" Teriakan Jordan membuyarkan lamunan Chloe. Chloe tersadar, lalu melangkah masuk dengan sikap tenang yang ia paksakan. Ia tidak boleh terlihat takut. "Saya Eva. Perawat baru," jawab Chloe memperkenalkan diri dengan nama palsunya. "Mogi tidak ada. Kalau Tuan menunggu Mogi, mungkin Tuan akan meledak di karpet. Sini saya bantu." Tangan Chloe terulur. "JANGAN SENTUH AKU!" Jordan menepis tangan Chloe kasar. "Kamu bocah ingusan! Badanmu kecil begitu mana kuat angkat aku! Panggil satpam!" "Tuan," Chloe berkacak pinggang, menatap pria angkuh di kakinya dengan tatapan logis. "Pilih mana: Harga diri hancur karena diangkat bocah, atau Tuan kedapatan buang air besar di sini, hum?!" Jordan terdiam. Dia ingin membalas, tapi... Kukuruyuk! Bunyi perut Jordan yang setara dengan gempa tektonik skala kecil menjawab lebih dulu. Wajah Jordan berubah dari merah padam karena marah menjadi pucat pasi karena menahan mules. "Sialan..." desis Jordan, harga dirinya runtuh seketika. "Cepat! Angkat aku!" Chloe menyeringai tipis. "Nah, begitu dong. Kalau minta tolong tuh yang manis." Chloe berlutut di samping Jordan. Ia merasa canggung. Ini pertama kalinya ia harus bersentuhan fisik sedekat ini dengan pria asing. Jantungnya berdebar karena gugup, takut salah langkah atau malah menjatuhkan bos barunya ini. "Pegang bahu saya, Tuan. Lingkarkan tangan Tuan ke leher saya." Dengan enggan dan penuh dendam, Jordan melingkarkan lengan kekarnya ke leher Chloe. Lengan itu berat dan padat. "Satu... dua... tiga!" Chloe mengerahkan seluruh tenaga yang ia miliki—hasil kerja paruh waktu mengangkat stok susu kaleng di kafe—untuk menarik tubuh bongsor Jordan. Grep! Tubuh mereka bertabrakan. Dada bidang Jordan menempel di bahu Chloe. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Napas hangat Jordan yang memburu menyapu pipi Chloe, membuat gadis itu menahan napas. Chloe merasa wajahnya memanas. Bukan karena pikiran kotor, tapi karena rasa canggung yang luar biasa. Ia bisa merasakan detak jantung Jordan yang cepat—atau mungkin itu detak jantungnya sendiri? "Berat banget, Tuan," keluh Chloe, berusaha menutupi kegugupannya dengan candaan. "Tuan makan batu kali ya? Atau dosa Tuan yang keberatan?" "Jangan banyak protes. Segera angkat aku!" geram Jordan tepat di telinga Chloe. Suara baritone berat itu membuat Chloe refleks memalingkan wajah. "Jangan banyak bicara! Pindahkan pantatku ke kursi roda itu! Cepat!" "Iya, iya! Sabar! Ini lagi usaha!" Chloe menyeret tubuh Jordan dengan susah payah menuju kursi roda yang terparkir dua meter dari situ. Keringat mulai membasahi kening Chloe. Ini lebih berat dari ujian praktik olahraga. "Sedikit lagi... hap!" Dengan sisa tenaga terakhir, Chloe berhasil menghempaskan pantat Jordan ke kursi roda. Bruk! Jordan terduduk dengan napas tersengal. Piyamanya berantakan. Chloe buru-buru memalingkan muka, mencoba bersikap sopan. "Jalan! Ke toilet!" perintah Jordan, menunjuk pintu kamar mandi dengan jari gemetar. "Kalau sampai keluar di sini, kamu bakal tahu akibatnya!" "Ah... Si Bos marah-marah terus. Ini, aku dorong!" Chloe mendorong kursi roda itu setengah berlari menuju kamar mandi. Sesampainya di depan kloset duduk, Chloe berhenti. Dia menatap Jordan yang tampak kewalahan. "Tuan butuh bantuan... um, buka celana?" tanya Chloe ragu-ragu. Ia hanya berusaha profesional, tapi pertanyaannya terdengar canggung setengah mati. "Siapa tahu tangannya juga lemas?" Mata Jordan melotot horor. Wajahnya merah padam karena malu. "KELUAR!!! TUNGGU DI DEPAN PINTU! JANGAN MENGINTIP, TIDAK ADA ETIKA KAMU!" BRAK! Pintu kamar mandi dibanting tepat di depan hidung Chloe, hampir menjepit bulu matanya. Chloe mundur selangkah, bersandar di dinding koridor sambil menghela napas panjang. Jantungnya masih berdetak kencang. Gila. Hari pertama kerja sudah menguras tenaga sebesar ini. "Galak sekali," gumam Chloe. "Padahal cuma nawarin bantuan." Tiba-tiba... DUAR! BROT! PREEEET! Suara ledakan dahsyat dari dalam kamar mandi membuyarkan ketegangan Chloe seketika. Chloe membekap mulutnya, menahan tawa yang mau meledak. Ia tidak menyangka suara bom itu bisa senyaring knalpot motor. "Wow," gumam Chloe pelan, tak kuasa menahan geli. "Tuan? Itu perut apa knalpot Mobil Supra? Nyaring sekali!" "DIAM KAMU SIALAN! AKU DENGAR ITU!" teriak Jordan dari dalam kamar mandi, suaranya bercampur rasa malu yang akut. Tak lama kemudian, terdengar suara siraman air, diikuti desahan panjang yang sangat lega. "Aaaa..." Suara desahan lega Jordan itu berat dan dalam. Suara dari kelegaan manusia yang terbebas dari siksaan perut. Chloe menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum geli. Ternyata orang kaya kalau sakit perut sama saja bunyinya. "Dasar aneh," rutuk Chloe pelan, menyeka keringat di dahinya. "Baru lima menit menjadi Eva Mendes, aku sudah hampir tuli gara-gara suara orang buang air." Tiba-tiba...Sinar mentari pagi menembus jendela besar ruang makan Mansion Arsenio, meja panjang yang penuh dengan hidangan mewah. Namun, Chloe yang berdiri di samping kursi kosong Tuan Rumah justru menatap hamparan makanan itu dengan horor.Tubuh Chloe yang ringkih masih terasa linu di sana-sini. Semalam adalah hal paling sial yang pernah ia lalui. Pertempuran melawan ratusan nyamuk ganas di ruangan sauna tanpa ventilasi telah meninggalkan jejak nyata: bentol-bentol merah yang menghiasi leher, lengan, dan bahkan betisnya yang kini tertutup stoking tebal. Wajah Chloe juga tidak kalah mengenaskan; lingkaran hitam di bawah mata begitu pekat, tanda dia hampir tidak tidur sedetik pun karena sibuk menampar diri sendiri.Tapi insting ahli gizinya tetap bergejolak begitu melihat menu di meja."Sosis bakar, bacon goreng, telur orak-arik dengan heavy cream, dan roti putih?" batin Chloe ngeri. "Siapa yang menyusun menu ini untuk pasien cedera tulang belakang?! Ini bom kolesterol!"Aroma lemak jenuh menguar
Chloe baru saja tiba dalam kamar, tubuh wanita itu merosot perlahan, punggungnya bersandar pada daun pintu. Topeng "Eva si Perawat" yang ia pakai seharian luruh seketika. Chloe mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban. Denyut nyerinya makin menjadi-jadi."Papa..." bisik Chloe lirih, matanya menerawang ke langit-langit kamar mewah yang asing ini."Lihatlah anak perempuanmu ini, Pa. Sakit, tapi masih bisa berlagak semua baik-baik saja di depan orang agar Papa nggak merasa gagal jadi ayah. Kayaknya cuma di kamar ini, aku bisa jadi diriku sendiri. Jadi Chloe yang cengeng."Ingatannya melayang pada wajah ayahnya yang terus menerus dikejar penagih hutang. Sejak rentenir dan ibunya mengobrak-abrik apartemen, ponsel ayahnya tidak bisa dihubungi. Chloe meremas ujung seragamnya."Besok aku ke kampus, terus mampir ke kedai kopi. Papa harus ada di sana, ya? Kita makan enak. Papa mau Pizza? Atau jalan-jalan? Kita habisin waktu berdua sepuasnya sebelum aku benar-benar nggak bisa kembali."C
TOK! TOK! TOK!Suara ketukan itu tidak terlalu keras, namun di telinga Chloe yang sedang tegang, bunyinya seperti ledakan bom."Aaaa!" Chloe memekik tertahan, melompat mundur dari ranjang seolah kasur Jordan baru saja berubah menjadi bara api. Matanya melotot horor ke arah pintu. "I-ibu... maksudku Nyonya?! Mati aku! Aku harus sembunyi di mana? Kolong kasur? Lemari?"Jordan yang masih berbaring menatap kepanikan gadis itu dengan kening berkerut. Tangan kanannya perlahan turun dari balik bantal, menjauh dari pistolnya. Ketukan itu... dia kenal ritmenya."Tenanglah, Gadis Bodoh," desis Jordan. "Siapa di sana?" teriak Jordan ke arah pintu."Kiko, Tuan. Saya membawa berkas yang Tuan minta!" terdengar suara sahutan dari balik pintu. Bahu Jordan rileks seketika, sementara Chloe menghembuskan napas lega. "Aku pikir setan bersanggul." Chloe mengelus dada. Jordan menatap Chloe tajam. "Kamu dengar itu? Itu asistenku. Sekarang, rapikan bajumu yang kusut itu dan keluar dari sini. Aku muak meli
"Sekarang?" cicit Chloe, matanya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, lalu kembali menatap wajah Jordan yang tak terbantahkan. "Ya, sekarang! Kamu mau menunggu sampai tahun baru monyet, hah?!" sentak Jordan tidak sabar. "Lima menitmu berjalan, Perawat Eva." Chloe meringis, mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban tebal. "Tuan, ini melanggar HAM. Tangan kanan saya ini baru saja Tuan jadikan adonan geprek tadi malam tepat jam 7. Tulangnya masih nyeri, bengkak pula. Mana bisa saya melakukan... manuver stimulan?" "Itu bukan urusanku," jawab Jordan dingin. Matanya melirik ke arah nakas tempat pistol tadi ia letakkan. "Apa aku harus menggunakan pistol, supaya kamu mau menurut?" Chloe menelan ludah kasar. "Oke! Oke!Saya kerjakan!" Dengan jantung berdegup kencang dan pipi memanas, Chloe menarik napas panjang. Otaknya mulai memutar kembali semua memori anatomi tentang stimulasi vital. 'Tuan, maafkan kelancanganku,' batin Chloe merutuk. 'Ini demi
"Aku tanya sekali lagi," tekan Jordan. "Sebenarnya, apa niatmu? Kamu dikirim untuk membunuhku, huh?" Mendapatkan ancaman moncong pistol di dahi dan kesalahpahaman ini, membuat otak Chloe berputar lebih cepat daripada gasing. Menangis? Tidak berguna. Memohon? Klise. Jordan Arsenio akan memakan rasa takut sebagai camilan. Chloe harus menggunakan satu-satunya senjata yang dia punya: Logika. "Huff! Chloe membuang napas. "Tuan ... Tolong turunkan benda yang Tuan pegang—" "Katakan!" "Oke. Oke. Jadi ... Secara teknis..." cicit Chloe, suaranya bergetar tapi dagunya terangkat sedikit demi memberi jarak pada pistol itu. "Kalau aku datang untuk niat membunuh, aku akan membekapmu dengan bantal Bukan mencolek... itu-mu dengan jari telunjuk." Hening. Mata Jordan menyipit. Cengkeramannya di pergelangan tangan Chloe tidak mengendur, justru semakin kuat hingga perban di tangan Chloe terasa sesak. "Mencolek?" ulang Jordan, nada suaranya penuh ketidakpercayaan. Cengkeramannya mengeras. "Kamu mer
"Kamu ceroboh," desis Claudia dingin begitu pintu ruang kerjanya yang mewah tertutup rapat. "Baru satu jam kerja, kamu sudah membuat suamiku hampir mematahkan tanganmu. Apa kamu berniat mati?" Chloe meringis, meniup-niup punggung tangannya yang kini merah padam, bengkak, dan berdenyut nyeri. Rasanya seperti baru saja digeprek palu. "Mana aku tahu Ibu mempunyai suami gila?" keluh Chloe sambil mendudukkan dirinya di kursi tamu tanpa dipersilakan. "Ingat, panggil aku Nyonya!" ralat Claudia. "Iya, Nyonya! Heran, Binatang kok dijadikan suami. Ini tangan! Bukan daging potong!" kekuh Chloe. "Aku sudah memperingatimu," balas Claudia tanpa simpati. Ia berjalan ke meja kerjanya, mengambil kotak P3K dari laci, dan melemparnya ke pangkuan Chloe. "Obati sendiri. Jangan manja." Chloe menatap ibunya dengan tatapan tak percaya. Namun, ia segera membuka kotak itu dengan satu tangan yang gemetar. Ia mengambil salep, lalu melilitkan perban elastis ke tangannya yang memar sambil menahan







