MasukKLEK!
Suara kunci pintu diputar terdengar, membuyarkan lamunan Chloe seketika. Ia buru-buru berdiri tegak, merapikan diri, dan mencoba memasang wajah profesional—atau setidaknya yang ia kira profesional. KREK! Pintu kamar mandi terbuka. Jordan Arsenio keluar. Bukan berjalan dengan gagah. Tapi pria itu meluncur mulus dengan kursi roda canggihnya. Wajah Jordan sudah tidak semerah kepiting rebus seperti tadi. Keringatnya sudah dilap bersih. Rambut hitamnya sedikit basah di bagian ujung, membuatnya terlihat lebih segar. Namun, aura angkuh dan galaknya sudah kembali terpasang sempurna, menutupi rasa malunya yang setinggi Gunung Everest. Mata mereka bertemu. Hening. Di dalam kepala Jordan, roda gigi kecurigaan berputar kencang. 'Kenapa Claudia membawa bocah ini?' batinnya. Matanya menyipit, menatap Chloe yang berdiri canggung. 'Sudah dua puluh perawat profesional yang kuusir. Semuanya keluar dengan cedera. Harusnya Claudia sadar kalau aku tidak butuh pengasuh. Aku hanya butuh istriku sendiri yang merawatku. Tapi kenapa dia malah membawa... gelandangan kecil ini? Meragukan jika wanita ini adalah perawat. Apa ini trik baru?' Tatapan Jordan menelusuri tubuh Chloe. Pakaian murah. Wajah polos tanpa filter. Tapi mata wanita ini... nyalang. Ada sesuatu yang disembunyikan bocah ini. "Kamu," panggil Jordan dingin. Suaranya memecah keheningan kamar. "Y-ya, Tuan?" jawab Chloe, suaranya bergetar. Jordan memajukan kursi rodanya pelan. Bunyi desingan motor listrik kursi roda itu terdengar seperti suara gergaji mesin di telinga Chloe. "Aku belum selesai berurusan denganmu." Chloe menelan ludah, mundur selangkah saat kursi roda itu mendekat. "Siapa namamu tadi? Eva?" tanya Jordan, berhenti tepat di depan Chloe. "Iya, Tuan. Eva Mendes." "Eva Mendes," ulang Jordan pelan, seolah mencicipi nama itu dan meludahkannya kembali karena rasanya pahit. "Nama artis? Murahan." "Kebetulan saja, Tuan," kilah Chloe, mencoba tetap tenang meski jantungnya berpacu. "Nama itu doa." "Doa?" Jordan tertawa sinis. Tiba-tiba, tangan kanannya melesat secepat kilat. "Akhhh!" Chloe menjerit. Jordan mencengkeram lengan kiri Chloe dengan kuat. Sangat kuat sampai Chloe meringis kesakitan. Jordan menariknya mendekat secara paksa, memaksa Chloe membungkuk hingga wajah mereka sejajar. "Jangan main-main denganku," desis Jordan. Bau mint dari napasnya menerpa wajah Chloe. "Claudia tidak pernah mengirim orang sembarangan. Dia pasti punya rencana busuk. Apa rencananya?" "A-aku tidak mengerti maksud Tuan," Chloe mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Jordan seperti catut besi. "Nyonya hanya menyewa aku buat merawat Tuan! Itu saja!" "Bohong!" bentak Jordan. Matanya menyalang penuh amarah. "Mana lisensimu? Lulusan mana? Sekolah Perawat? Atau Sekolah Akting?" "A-aku lulusan Akper Harapan Orang Tua, Tuan," jawab Chloe asal, mengingat skrip yang ia baca di mobil tadi. "Lisensiku ada di tas! Sumpah!" "Aku tidak percaya," geram Jordan. Tiba-tiba, Jordan menyentakkan tangannya. BRUK! Jordan mendorong tubuh Chloe dengan kasar. Chloe yang tidak siap kehilangan keseimbangan. Wanita itu jatuh terjerembap ke lantai di atas karpet tebal. "Awh!" pekik Chloe. Posisi jatuhnya tertelungkup, tepat di depan kursi roda Jordan. Belum sempat Chloe bangun, Jordan sudah menggerakkan Joystick kursi rodanya. "Tuan, tunggu—" WUUUT... KREK! Roda karet yang berat itu melaju maju. Bukan ke arah pintu. Tapi ke arah tangan kanan Chloe yang tergeletak di lantai. "AAAAARGHHH!" Jeritan Chloe melengking memenuhi kamar yang kedap suara. Roda kursi—yang menopang berat kursi plus berat badan Jordan yang kekar—berhenti tepat di atas punggung tangan Chloe. Menggilas tulang-tulang halus tangan gadis itu tanpa ampun. "SA---SAKIT!" Rasa sakitnya meledak seketika. Rasanya seperti dijepit pintu besi, lalu dipukul palu. Chloe bisa merasakan tekanan luar biasa pada jari-jarinya. Air mata langsung mengucur deras dari mata Chloe. "Sakiiit! Tuan! Lepaaas! Tanganku!" jerit Chloe histeris, kakinya menendang-nendang lantai dalam upaya sia-sia untuk membebaskan diri. Jordan menatapnya dari atas. Wajahnya dingin. Tanpa emosi. Pria itu tidak memundurkan kursi rodanya. Ia justru menekan Joystick sedikit lagi, membuat roda itu menekan lebih dalam ke daging Chloe. "Jujur," perintah Jordan tenang, kontras dengan teriakan Chloe. "Apa tugasmu sebenarnya? Apa yang disuruh Claudia? Jawab!" Sejak Claudia selalu menolak berhubungan badan dan memberikannya perawat silih berganti, Jordan sudah menaruh curiga pada istrinya. Wanita itu selalu berkilah dengan alasan sibuk, tapi Jordan tahu ada yang salah. Dan gadis kecil ini adalah pion terbarunya. "Demi Tuhan!" Chloe meraung kesakitan. "Tidak ada! Sumpah! Aku hanya disuruh merawat Tuan! Cuma merawat! SAKIT, TUAN! TOLONG!" Rasa sakit di tangan Chloe begitu nyata hingga membuat pandangannya berkunang-kunang. Chloe memikirkan Jerry. Memikirkan utang-utangnya. 'Sialan. Lima puluh juta tidak sebanding dengan tangan yang patah!' "Masih mau berbohong, heh?" tanya Jordan, mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Jangan kira karena kamu melihat aku dalam keadaan konyol seperti tadi, kamu bisa meremehkanku. Aku bisa membuat hidupmu jauh lebih sengsara daripada sekadar meremukkan tanganmu." "Aku tidak bohong!" Chloe terisak, wajahnya basah oleh air mata dan keringat dingin. Dia menatap Jordan dengan mata memerah. Tatapan penuh ketakutan dan permohonan. "Demi apapun... aku cuma butuh uang... aku cuma perawat... tolong lepaskan..." Jordan menatap mata itu lamat-lamat. Dia mencari kebohongan. Dia mencari kelicikan. Tapi yang dia temukan hanyalah rasa sakit dan keputusasaan seorang gadis muda. Alis Jordan berkerut. Keraguan sedikit muncul di hatinya. 'Apa dia benar-benar hanya perawat polos yang butuh uang?' Saat Jordan hendak menekan rodanya lebih kuat untuk memastikan kebenarannya, suara pintu kamar terbuka. KLEK! Semua aktivitas brutal itu terhenti. "Honey..." Suara itu manis. Lembut. Namun bagi Chloe, suara itu terdengar lebih mengerikan daripada geraman Jordan. Jordan mendongak. Chloe—masih dengan tangan tergilas roda—menoleh dengan susah payah. Di ambang pintu, berdiri Claudia. Mengenakan gaun mewahnya, tersenyum ramah seolah dia baru saja masuk ke acara pesta teh, bukan ke adegan penyiksaan sadis. Claudia melangkah masuk dengan anggun, heels-nya mengetuk lantai dengan irama tenang. Dia menatap pemandangan di depannya: anak kandungnya yang sedang diinjak suaminya sendiri. Tidak ada kejutan di wajahnya. "Ya ampun, Jordan," desah Claudia, menggelengkan kepalanya pelan. Dia berjalan mendekat, lalu berjongkok di samping Chloe, mengelus rambut anaknya yang berantakan dengan sentuhan palsu. "Tolong... kali ini saja," bisik Claudia lembut, menatap mata Jordan dengan senyum memikat. "Jangan menyiksa mainan baru ini sampai rusak di hari pertama. Mahal lho biaya rekrutmennya." Jordan mendengus kasar. Dia menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu beralih ke Chloe yang masih merintih. Akhirnya, dia memundurkan kursi rodanya perlahan. "Akh..." Chloe menarik tangannya yang gepeng dan memerah, memeluknya di dada sambil gemetar hebat. Jari-jarinya bengkak dan berdenyut menyakitkan. Claudia tersenyum manis pada Jordan. "Lagipula, kalau tangannya patah, siapa yang akan membantumu cebok jika Kiko dan Mogi tidak ada?" Wajah Jordan mengeras. Rahangnya mengetat sampai bunyi gigi gemeretuk terdengar. Harga dirinya kembali disinggung. "Dengar, Claudia, tanganku masih berfungsi. Bawa dia keluar," geram Jordan, memalingkan wajah ke jendela, enggan melihat dua wanita itu. "Sebelum aku berubah pikiran dan melindas kepalanya." Claudia berdiri, menarik lengan Chloe yang tidak sakit agar berdiri. Sentuhannya dingin dan tegas. "Ayo, Eva. Kita obati tanganmu," ucap Claudia dengan nada ibu yang perhatian, namun matanya berkilat dingin saat berbisik di telinga Chloe. "Jangan cengeng. Ini baru pemanasan."Sinar mentari pagi menembus jendela besar ruang makan Mansion Arsenio, meja panjang yang penuh dengan hidangan mewah. Namun, Chloe yang berdiri di samping kursi kosong Tuan Rumah justru menatap hamparan makanan itu dengan horor.Tubuh Chloe yang ringkih masih terasa linu di sana-sini. Semalam adalah hal paling sial yang pernah ia lalui. Pertempuran melawan ratusan nyamuk ganas di ruangan sauna tanpa ventilasi telah meninggalkan jejak nyata: bentol-bentol merah yang menghiasi leher, lengan, dan bahkan betisnya yang kini tertutup stoking tebal. Wajah Chloe juga tidak kalah mengenaskan; lingkaran hitam di bawah mata begitu pekat, tanda dia hampir tidak tidur sedetik pun karena sibuk menampar diri sendiri.Tapi insting ahli gizinya tetap bergejolak begitu melihat menu di meja."Sosis bakar, bacon goreng, telur orak-arik dengan heavy cream, dan roti putih?" batin Chloe ngeri. "Siapa yang menyusun menu ini untuk pasien cedera tulang belakang?! Ini bom kolesterol!"Aroma lemak jenuh menguar
Chloe baru saja tiba dalam kamar, tubuh wanita itu merosot perlahan, punggungnya bersandar pada daun pintu. Topeng "Eva si Perawat" yang ia pakai seharian luruh seketika. Chloe mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban. Denyut nyerinya makin menjadi-jadi."Papa..." bisik Chloe lirih, matanya menerawang ke langit-langit kamar mewah yang asing ini."Lihatlah anak perempuanmu ini, Pa. Sakit, tapi masih bisa berlagak semua baik-baik saja di depan orang agar Papa nggak merasa gagal jadi ayah. Kayaknya cuma di kamar ini, aku bisa jadi diriku sendiri. Jadi Chloe yang cengeng."Ingatannya melayang pada wajah ayahnya yang terus menerus dikejar penagih hutang. Sejak rentenir dan ibunya mengobrak-abrik apartemen, ponsel ayahnya tidak bisa dihubungi. Chloe meremas ujung seragamnya."Besok aku ke kampus, terus mampir ke kedai kopi. Papa harus ada di sana, ya? Kita makan enak. Papa mau Pizza? Atau jalan-jalan? Kita habisin waktu berdua sepuasnya sebelum aku benar-benar nggak bisa kembali."C
TOK! TOK! TOK!Suara ketukan itu tidak terlalu keras, namun di telinga Chloe yang sedang tegang, bunyinya seperti ledakan bom."Aaaa!" Chloe memekik tertahan, melompat mundur dari ranjang seolah kasur Jordan baru saja berubah menjadi bara api. Matanya melotot horor ke arah pintu. "I-ibu... maksudku Nyonya?! Mati aku! Aku harus sembunyi di mana? Kolong kasur? Lemari?"Jordan yang masih berbaring menatap kepanikan gadis itu dengan kening berkerut. Tangan kanannya perlahan turun dari balik bantal, menjauh dari pistolnya. Ketukan itu... dia kenal ritmenya."Tenanglah, Gadis Bodoh," desis Jordan. "Siapa di sana?" teriak Jordan ke arah pintu."Kiko, Tuan. Saya membawa berkas yang Tuan minta!" terdengar suara sahutan dari balik pintu. Bahu Jordan rileks seketika, sementara Chloe menghembuskan napas lega. "Aku pikir setan bersanggul." Chloe mengelus dada. Jordan menatap Chloe tajam. "Kamu dengar itu? Itu asistenku. Sekarang, rapikan bajumu yang kusut itu dan keluar dari sini. Aku muak meli
"Sekarang?" cicit Chloe, matanya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, lalu kembali menatap wajah Jordan yang tak terbantahkan. "Ya, sekarang! Kamu mau menunggu sampai tahun baru monyet, hah?!" sentak Jordan tidak sabar. "Lima menitmu berjalan, Perawat Eva." Chloe meringis, mengangkat tangan kanannya yang terbalut perban tebal. "Tuan, ini melanggar HAM. Tangan kanan saya ini baru saja Tuan jadikan adonan geprek tadi malam tepat jam 7. Tulangnya masih nyeri, bengkak pula. Mana bisa saya melakukan... manuver stimulan?" "Itu bukan urusanku," jawab Jordan dingin. Matanya melirik ke arah nakas tempat pistol tadi ia letakkan. "Apa aku harus menggunakan pistol, supaya kamu mau menurut?" Chloe menelan ludah kasar. "Oke! Oke!Saya kerjakan!" Dengan jantung berdegup kencang dan pipi memanas, Chloe menarik napas panjang. Otaknya mulai memutar kembali semua memori anatomi tentang stimulasi vital. 'Tuan, maafkan kelancanganku,' batin Chloe merutuk. 'Ini demi
"Aku tanya sekali lagi," tekan Jordan. "Sebenarnya, apa niatmu? Kamu dikirim untuk membunuhku, huh?" Mendapatkan ancaman moncong pistol di dahi dan kesalahpahaman ini, membuat otak Chloe berputar lebih cepat daripada gasing. Menangis? Tidak berguna. Memohon? Klise. Jordan Arsenio akan memakan rasa takut sebagai camilan. Chloe harus menggunakan satu-satunya senjata yang dia punya: Logika. "Huff! Chloe membuang napas. "Tuan ... Tolong turunkan benda yang Tuan pegang—" "Katakan!" "Oke. Oke. Jadi ... Secara teknis..." cicit Chloe, suaranya bergetar tapi dagunya terangkat sedikit demi memberi jarak pada pistol itu. "Kalau aku datang untuk niat membunuh, aku akan membekapmu dengan bantal Bukan mencolek... itu-mu dengan jari telunjuk." Hening. Mata Jordan menyipit. Cengkeramannya di pergelangan tangan Chloe tidak mengendur, justru semakin kuat hingga perban di tangan Chloe terasa sesak. "Mencolek?" ulang Jordan, nada suaranya penuh ketidakpercayaan. Cengkeramannya mengeras. "Kamu mer
"Kamu ceroboh," desis Claudia dingin begitu pintu ruang kerjanya yang mewah tertutup rapat. "Baru satu jam kerja, kamu sudah membuat suamiku hampir mematahkan tanganmu. Apa kamu berniat mati?" Chloe meringis, meniup-niup punggung tangannya yang kini merah padam, bengkak, dan berdenyut nyeri. Rasanya seperti baru saja digeprek palu. "Mana aku tahu Ibu mempunyai suami gila?" keluh Chloe sambil mendudukkan dirinya di kursi tamu tanpa dipersilakan. "Ingat, panggil aku Nyonya!" ralat Claudia. "Iya, Nyonya! Heran, Binatang kok dijadikan suami. Ini tangan! Bukan daging potong!" kekuh Chloe. "Aku sudah memperingatimu," balas Claudia tanpa simpati. Ia berjalan ke meja kerjanya, mengambil kotak P3K dari laci, dan melemparnya ke pangkuan Chloe. "Obati sendiri. Jangan manja." Chloe menatap ibunya dengan tatapan tak percaya. Namun, ia segera membuka kotak itu dengan satu tangan yang gemetar. Ia mengambil salep, lalu melilitkan perban elastis ke tangannya yang memar sambil menahan







