Share

Jerat Pembantu Tuan Abizar
Jerat Pembantu Tuan Abizar
Penulis: Hailey's Daily

1: Mantan-Mantan Istri Tuan Abizar

Aku dibiarkan kelaparan, menahan sakitnya perut, tidak diizinkan untuk mengambil makananku sendiri. Sekalipun perutku berbunyi terang-terangan, dimulai dari hari pertama aku bekerja aku tidak diizinkan mengisi perut kecuali makanan sisanya yang diapun jarang sekali makan sesuatu, bukan karena tidak mampu tapi beliau tidak berselera. 

Beliau akan menikmati semua makanan yang terhidang mewah di atas meja, sebelumnya memberi satu perintah padaku. "Tutup mulutmu!" Untuk tidak bicara, termasuk tidak mengisi apapun ke perutku melalui mulutku. Aku hanya dipersilahkan untuk berdiri menungguinya, menelan ludah ingin, menahan ileran dari mulut, memerhatikan gerak bibirnya yang mengunyah, menatapnya penuh harap, menunggu kapan beliau selesai makan dan memberikan sisa makanannya padaku.

"Hapus ileranmu, menggunakan sapu tangan yang kuberikan padamu."

Suruhannya tanpa menoleh, aku langsung mengambil sapu tangan di saku dan menghapus ileranku. 

Tuan Abizar menelan suapan terakhirnya, menyisakan makanan jatahku. Beliau belum mencuci tangannya, karena beliau biasa makan tanpa sendok, Tuan Abizar hanya mengusap mulutnya dengan tisu. Lelaki dengan darah campuran Indonesia-Arab Saudi itu menata kembali nasi dan gulai sisa ke dalam piringnya, dengan kode mata memintaku duduk di atas kursi yang sama dengannya, menyodorkan piring berisi lauk kepadaku, lalu menyuruhku makan.

Sempat lupa adab, saking kelaparannya aku makan dengan rakus. Tuan Abizar yang jarang makan karena sibuk, imbasnya aku ikut tidak makan. Sudah dua hari ini aku hanya minum air, mengikuti Tuan Abizar yang tidak makan apapun selain air putih.

Mulutku belepotan oleh butiran nasi dan kuah gulai, benar-benar seperti anak kecil aku lupa menjaga tata-krama, entah secringe apa Tuan Abizar saat melihatku. Mungkin Tuan Abizar memakluminya. Beliau tengah memerhatikanku yang begitu lahap memakan makanan sisanya dengan pandangan dalam yang tak bisa kuartikan.

Aku nyaris berseru protes, saat Tuan Abizar yang duduk di sebelahku merebut piringku. Dia menambahkan nasi dan lauk lain yang tersisa di atas meja ke piringku, tangannya yang belum dicuci meraup butiran nasi. "Ini caraku berbagi kehidupan denganmu." Tuan Abizar menyuapiku, aku menelan suapannya. Beliau kembali menyuapiku dengan tangan besarnya, bibirku gemetar saat meraih jemarinya untuk menerima kembali suapannya. 

Saat memandang wajah kerasnya yang menatapku dingin, aku meneteskan air mata. Kali ini dengan antusias, menerima setiap suapan dari beliau. Aku mengunyah cepat, tidak sabar menanti suapannya yang ke selanjutnya. Tidak perduli umurku sudah 23 tahun, tapi beginilah cara Tuan Abizar 'berbagi kehidupan' denganku.

>><< 

PRAK!

Erangannya terdengar keras, disusul oleh bunyi hantaman sebuah benda. Bisa kutebak kekacauan apa lagi yang ada di lantai atas, tempat beliau bekerja dan berdiam diri. Langkahku tergopoh menaiki anak tangga, membuka pintu ruangannya, mendapati beliau yang menghamburkan semua kertas yang berterbangan di udara, laptopnya sudah rusak terhantam di lantai, sebelah tangannya membiru karena meninju meja. 

Tuan Abizar mendelik ke arahku, dia berteriak keras, "PERGI!" Tubuhku sontak menegang, belum beranjak, aku masih membeku di tempat. Hingga Tuan Abizar mengulangi perintahnya, "Pergi atau kubunuh kamu!" 

Aku melangkah mundur, lalu menutup pintu. 

Kubiarkan Tuan Abizar menggila sendiri, sehari-hari ini yang kualami tapi aku belum bisa terbiasa, tubuhku masih takut dan gemetar saat menghadapinya. Tiga tahun aku bekerja di rumahnya, tapi tak ada perubahan. Sikapnya masih sama dan ketakutanku tak pernah berkurang. Yang berubah hanyalah jumlah mantan istrinya, yang selalu dia ceraikan setelah semalam pernikahan tanpa alasan jelas. 

Langkahku lunglai saat berjalan di lorong, melewati salah satu kamar yang ditempati mantan istri Tuan Abizar yang tengah menjalani masa iddah tiga bulan. "Mawar," wanita itu keluar dari kamarnya dan memanggil namaku. Nyonya Ulfa, sebenarnya dia sangat cantik dengan suara halus, entah kenapa setelah pernikahan Tuan Abizar malah menalaknya seperti istri-istrinya sebelumnya yang tak pernah ada bertahan lebih dari sehari. 

Aku menoleh, dengan hormat menyahut. "Ada apa, Nyonya?"

Sebenarnya di rumah sebesar ini, hanya aku pembantu yang bekerja di rumah ini. Semuanya, aku yang mengurus dan menangani. Melayani, bersih-bersih, masak, mencuci dan semacamnya. Sekalipun gajiku cukup besar, tapi kuakui saja, sebenarnya aku tidak mampu. Tapi seakan tidak peka, Tuan Abizar tidak merekrut pembantu lain untuk membantuku melayaninya sehari-hari.

"Bisakah buatkan aku minuman, tenggorokanku haus?"

Baru saja hendak mengangguk, suara Tuan Abizar melengking memanggil namaku lagi. Terdengar seperti mengamuk, "MAWAR! MAWAR!" Bukan hanya aku yang ketakutan oleh sikap kasarnya yang seperti itu. Nyonya Ulfa sama halnya, termasuk istri-istri Tuan Abizar yang ditalaknya dahulu. Terpaksa mengabaikan permintaan Nyonya Ulfa—yang berarti dia harus mengambil minumannya sendiri—aku tergopoh menuju ruangan Tuan Abizar.

Saat kubuka pintu ruangannya, suara dinginnya langsung menusuk pendengaran. "Bersihkan semua ini, cepat!" Suruhnya, lalu berlalu pergi. Setelah dia keluar dari ruangannya yang sudah berantakan, segera kupungut setiap kertas kusut yang berhamburan di sekitar lantai. Serpihan laptopnya yang hancur berantakan kubersihkan, dan mengelap tumpahan kopi panas di atas meja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status