“Ketahuilah, Mawar ...." Nyonya Ulfa tersenyum tipis. Tangan mungilnya mengusap rambut dan pipiku dengan sayang.
"Jika kamu memujiku, dia akan membenci wanita mana yang kamu puji. Jika kamu mendukungku, dia akan membenci wanita mana yang kamu dukung. Jika kamu perhatian padaku, dia akan membenci wanita mana yang kamu berikan perhatian." Mendengar kalimatnya, aku mengerutkan dahi.
"Tapi jika kamu memuji diri sendiri, sekalipun tidak terlihat dia akan sependapat. Jika kamu mendukung dirimu sendiri, diam-diam di balik layar dia juga mendukungmu melebihi siapapun. Begitulah tuanmu, saat aku memerhatikannya. Jadi jika ingin membuatku disukai, abaikan saja aku. Seakan aku tidak membuatmu risih atau merasa iri. Jika kamu ingin wanita baru yang akan datang ke rumah ini disukai olehnya—setidaknya tidak membuatnya benci—kamu bersikap saja seakan kamu lebih cantik darinya, sekalipun kecantikan wanita itu sebenarnya melampauimu, bersikaplah seakan kamu tidak mendukung hubungan tuanmu dan wanita itu berjalan baik, saat pernikahan tak usah mengucapkan selamat kepada kedua pengantin, maka meskipun sedikit tuanmu tidak akan membenci wanita itu, dia akan memperlakukannya sedikit baik.”
Setelah kebingungan membayangkan keanehan Tuan Abizar aku tertawa, “tuanku memang aneh, Nyonya. Beliau rumit dan sulit dimengerti.”
“Tapi dia mudah ditebak, jika kamu terlibat.”
Aku tertawa lagi. “Malah saat aku di dekatnya, tuanku semakin terlihat susah dimengerti. Beliau semakin aneh. Menyuruhku makan dari sisanya, sekalipun makanan yang beliau sisakan selalu enak-enak seperti sengaja menepikan lauk enak untuk kumakan dan beliau hanya makan butiran basi dan sayur-mayur yang tidak kusukai. Kadang, ingin kutanyakan ke beliau, emangnya aku kucing?”
“Tapi ….” suaraku berubah lirih. “Begitulah cara tuanku berbagi kehidupan denganku. Beliau pernah bilang begitu.”
“Padahal sebagai istri, aku lebih berhak atas kehidupannya.”
Nyonya Ulfa menghela napas. Sangat menyayangkannya, tepatnya bertanya-tanya kepada nasibnya, kenapa dia semalang ini?
“Oh, ya sepertinya perlu kuingatkan. Jika tuanmu meminta dibuatkan kopi, buatkan yang dingin, jangan yang panas.”
“Eh, kenapa?” Aku menyahut heran. “Nanti, beliau ngomel.”
“Dengarkan saja aku, jika kamu sayang pada seluruh anggota tubuh tuanmu.”
Dahiku mengernyit.
Perbincangan kami terputus saat mobil jemputan keluarga Nyonya Ulfa sudah terparkir di muka rumah. Nyonya Ulfa memelukku, tepat di daun telingaku berbisik, “jaga tuanmu baik-baik, Mawar. Dia akan baik-baik saja, jika kamu ada. Dia tidak akan baik-baik saja, jika kamu tidak ada.”
Setelah mengurai pelukannya, wanita itu tersenyum. Sopir yang menjemputnya membukakan pintu, membawa Nyonya Ulfa masuk ke dalam kendaraan mewahnya. Saat mobil itu melaju, aku melambaikan tangan. Sangat menyayangkan, tuanku yang tidak berperasaan itu tidak ada di sebelahku ikut menghantarkan kepergian Nyonya Ulfa.
Ck, ck, sebagai pelaku yang menghancurkan mimpi indah seorang wanita dalam pernikahan semalam, tak kusangka tuanku yang gagah dan dingin itu sangat tidak bertanggung jawab dan menyebalkan.
Tapi sudahlah, seharusnya aku terbiasa dengan kelakuannya. Entah sudah berapa wanita yang bernasib sama karena ulahnya. Beliau menikah memang atas suruhan keluarga, kadang ada beberapa penolakan yang beliau lontarkan yang berakhir dengan paksaan. Tapi, beliau selalu menalak tanpa berpikir.
Berpikir, bagaimana respon keluarganya. Berpikir, seperti apa pandangan orang-orang ke beliau kelak. Bahkan beliau lebih tidak perduli, karena kelakuannya, hubungan kerja keluarganya dengan keluarga wanita-wanita yang beliau talak menjadi buruk, memperumit urusan bisnis dan keluarganya dipandang begitu hina. Di negeri asalnya, beliau sama sekali tidak perduli, dia sudah dicap sebagai lelaki hina yang tidak bertanggung jawab.
Sebenarnya aku tidak betah dan ingin mengundurkan diri, uangku sudah terkumpul cukup banyak dari gaji dan bonus yang sering dia berikan. Tapi semenjak memutuskan bekerja di sini, perjanjian antara tuan dan majikan sudah tertulis, aku tidak boleh berhenti bekerja kecuali dengan alasan-alasan tertentu.
Amat teringat, kalimatnya saat itu.
“Kamu tidak boleh berhenti bekerja, kecuali dengan tiga alasan. Sekarat, mati atau karena ingin menikah.”
“Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata
“Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan
Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng
“Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s
Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat
“Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu