Share

5: Kopi Untuk Tuan Abizar

“Pesankan aku makanan.”

Beliau yang ingin makan, aku yang kegirangan.

Menahan pekikan senangku, kuambil telepon rumah yang ada di atas mejanya. Menekan nomor langganan sebuah restoran mewah dan memesan beberapa paket makanan yang biasa Tuan Abizar pesan, yang jujur saja, semua makanan kesukaan beliau adalah makanan kesukaanku.

Entah ini kebetulan atau kesengajaan.

            Menunggu paket makanan sampai, aku duduk manis di atas sofa yang ada di ruangannya.

            Saat suara deru motor terdengar di halaman depan, aku melaju bak kilat untuk menerima pesanan dari kurir hidangan. Seharusnya tingkahku ini aneh, tapi Tuan Abizar seperti memakluminya.

Aku mengambil piring, menyiapkan setiap makanan dan hidangan yang dibeli di atas meja Tuan Abizar. Sebelum giliranku, aku mempersilahkan tuanku menikmati makanan-makanan ini terlebih dahulu.

“Silahkan Tuan,” gerakan tanganku seperti tidak sabar, lalu duduk menghadapnya. Tuan Abizar menepikan map, kertas dan laptopnya dari atas meja. Beliau melirikku, “ambilkan aku air untuk cuci tangan.” Aku mengisi baskom dengan air, memerhatikan jemari indahnya masuk dan menggesek satu jemari dengan jemari yang lain—membersihkan tangan.

            Setelah tangannya bersih, beliau mulai makan. Gerakan tangan dan mulutnya sangat lambat, aku gregetan menunggunya. Kusadari tangannya seperti mengabaikan lauk enak kesukaanku—yang sebenarnya semua isi piringnya, masakan kesukaanku—beliau hanya memasukkan nasi dan sayur rebus ke dalam mulutnya, selain itu Tuan Abizar seperti tidak berminat.

Tuan Abizar melirikku yang memerhatikan gerakan bibir dan tangannya, beliau diam cukup lama, menatapku dalam. Tuan Abizar mengabaikan piringnya, lalu bertanya padaku. “Kamu tahu kenapa aku terbiasa menyiksamu seperti ini?”

Aku mengernyitkan dahi, “menyiksa seperti apa, Tuan?”

Tuan Abizar mendengus, sepertinya kesal saat aku bersikap tidak peka. “Membuatmu kelaparan, tidak bisa makan sebelum aku selesai makan.”

Aku manggut-manggut, menebak jawabannya. “Mungkin hiburan tersendiri bagi Tuan saat melihatku kelaparan, bertingkah layaknya kucing yang menatap isi piringmu penuh damba, berharap Anda mendadak kenyang dan menyisakan banyak makanan untukku?”

Dia kembali mendengus, seperti tidak suka dengan jawabanku. Apakah tebakanku salah?

“Karena makan itu kebutuhan, kamu tidak bisa hidup tanpa makan. Aku hanya ingin membuatmu bergantungan padaku dengan cara itu,” tangan kiri Tuan Abizar sudah terulur dan menyentuh lembut pipiku. Sebuah kontak fisik yang membuatku terperanjat, Tuan Abizar seperti tersadar menjauhkan telapak tangannya lalu memerintah, “buatkan aku kopi.”

Aku mengangguk, membuatkannya kopi panas. Lupa dengan pesan Nyonya Ulfa.

Kopi panas kuletakkan ke atas mejanya, sekali lagi kuaduk agar kopi dan gulanya bercampur rata.

Aku kembali duduk manis di depan mejanya, menantinya selesai makan. Seharusnya aku sedikit melanggar aturan, demi perutku sendiri makan diam-diam, membeli makanan di warung depan atau memesan makanan tanpa sepengetahuan Tuan Abizar. Tapi tidak layaknya beliau yang tidak merasa bersalah saat menyiksaku seperti itu, aku merasa bersalah jika mengkhianati orang yang sudah menggajiku dan memberikan tempat berlindung untukku.

            “Bawa semua makanan ini ke dapur, makan sesukamu. Sisanya simpan untuk nanti malam.”

            Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, tersenyum lebar. Sepertinya cengiranku cukup mengerikan di mata Tuan Abizar, beliau menatapku aneh.        

            Saat aku meninggalkannya sambil membawa nampan makanan menuju dapur, Tuan Abizar menatap dingin gelas kopi yang kubuat. Jemari kanannya melingkari ganggang gelas, lalu mengangkatnya. Tanpa ragu, menumpahkan isi kopi yang masih sangat panas ke tangan kirinya. Tangan yang tadinya menyentuh pipiku itu mendapat konsekuensinya sendiri, dia memerah, kulitnya mengelupas dan terasa begitu perih. Bibir beliau meringis, tangannya tidak bisa bergerak leluasa seperti tiga detik yang lalu sebelum Tuan Abizar berbuat bodoh.

            Lama, Tuan Abizar menatap tangannya dalam diam.

            >><<

            Abizar berasal dari keluarga yang tegas, hal yang wajar baginya jika Abizar lebih tegas pada dirinya sendiri.

Saat Tuhan belum memberikan ganjaran untuknya sekarang, jika Abizar sadar dia sudah melakukan sebuah kesalahan maka dia akan memberi konsekuensi pada dirinya sendiri. Tapi jika dia tidak melakukan apapun saat dia melakukan sesuatu yang salah di mata Tuhan dan orang di sekitarnya, berarti Abizar tidak sadar kalau dia baru saja berbuat dosa.

Seperti menghancurkan mimpi setiap mantan istrinya, menceraikan mereka begitu saja, Abizar melakukan sebuah kesalahan karena berbuat demikian, tapi Abizar seperti tidak menyadarinya. Bukan tidak perduli, tapi tidak menyadari.

Abizar tidak suka kopi, tapi dia selalu meminta Mawar untuk membuatkannya kopi. Biasanya itu terjadi, jika terjadi kontak fisik antara mereka. Jika tangan Abizar berani menyentuh Mawar, sedetik saja, maka Abizar akan menghukumnya dengan kopi atau air panas yang Mawar sendiri yang membuatkannya, tapi wanita itu sama sekali tidak tahu untuk apa Abizar meminta dibuatkan minuman panas kecuali untuk diminum setelah cukup dingin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status