Share

6: Mawar Yang Dijebak Di Rumah Majikan

Pertama kali Abizar tegas pada dirinya sendiri, enam bulan setelah Mawar bekerja di rumah ini. Kali ini Abizar tidak akan berbohong, Mawar adalah kelemahannya. Wanita yang membuatnya tergantung dan berharap Mawar ikut bergantungan. Mawar yang saat itu tertidur, tangan kiri Abizar yang lancang mengusap rambut dan pipinya. Saat itu juga Abizar mulai memberi konsekuensi pada diri sendiri. Dia mengambil segelas air panas dan menyiram telapak tangannya sendiri, rasa sakitnya sama dengan rasa perih saat mencekram bara api. Tapi bagi Abizar, ini lebih baik untuknya. Meskipun, jika Mawar sedekat ini, Abizar mustahil tidak menyentuhnya sama sekali. Selalu saja ada dorongan tersendiri untuknya menyentuh sosok figur yang membuatnya tak bisa beralih.

Untuk menjaga Mawar dari kelakuannya yang lebih dari itu, seperti pelecehan dan pemerkosaan—Abizar harus memprioritaskan harga diri dan kehormatan Mawar—satu sentuhan yang menjadi awal dari sentuhan lain akan jera saat ditemukan dengan rasa sakit. Karena sejak kecil, keluarga Abizar sudah menegaskan tanggung jawab dan rasa sakit kepada lelaki itu.

            Lamunan Abizar buyar saat ponselnya memekik kencang. Lelaki itu meringis, tidak sadar mengambil ponsel dengan tangan kirinya yang terluka. Abizar menggantinya dengan tangan kanan, lalu menerima sambungan telepon, setelah mengecek siapa yang menelpon raut wajah Abizar langsung berubah.

            “Assalamualaikum.”

            Salam itu Abizar abaikan sejenak, lalu bibirnya menjawab dingin. “Walaikumsalam.”

            Ya Abizar, kudengar Ulfa sudah keluar dari rumahmu? Masa iddahnya sudah selesai, kamu benar-benar tidak berniat merujuknya ternyata.”

            Abizar hanya diam.

            “Kau tahu, Abi sangat marah, dia masih begitu kecewa padamu. Beliau belum mendatangimu karena berpikir kecantikan Ulfa akan memutar otakmu dan kamu pasti akan merujuk Ulfa lagi. Ternyata, sama saja seperti sebelum-sebelumnya, kamu tidak bisa diharapkan.”

            Abizar masih diam. Pandangannya dingin, bibirnya enggan berkutik.

            “Hei, padahal Ulfa adalah wanita tercantik yang pernah kulihat, seharusnya begitu pula di matamu. Kupikir, Ulfa akan membuatmu berhenti pada kebiasaanmu yang tidak berprikemanusiaan itu.”

            “Kalau begitu, kamu saja yang menikahinya.”

            “Bisa saja, tapi istriku sudah empat, aku tidak bisa menambahnya kecuali menceraikan salah satunya.”

            Abizar adalah satu-satunya anak dari ayahnya yang asli Arab Saudi dengan istri pertamanya yang berdarah Jawa yang sudah meninggal. Abizar memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menetap di tanah kelahiran ibunya agar berdekatan dengan makam sang Ibu, yang sejak Abizar berusia satu tahun sudah bercerai dari ayahnya.

Alasan perceraian orang tuanya tidak jauh-jauh dari yang Akmal bahas barusan, wanita seharusnya memiliki prinsip, lebih baik berpisah dari pada diduakan. Abizar bangga dengan keputusan ibunya, sekalipun dia bukan tipe yang begitu menghargai wanita, dilihat dari kelakuannya selama ini. Tapi menyakiti wanita yang diakui dicintai, selalu terdengar aneh di telinga atau kata lainnya, bohong. Dulu, ayahnya selalu bilang mencintai ibunya, sehingga itulah Abizar berhenti memercayai apapun yang ayahnya katakan tentang cinta, perasaan dan keluarga.

            “Jika kamu tidak puas dengan Ulfa, kamu tidak usah menceraikannya. Kamu bisa mencari wanita kedua, ketiga dan keempat. Pikiranmu sangat buntung dan dangkal.”

            Abizar mengetatkan rahang, “bahasanmu tidak perlu, akan kututup.”

            “Sebenarnya ada berita penting yang ingin kusampaikan, yang tadi hanya basa-basi. Abi akan mencarikan wanita lain untukmu, dia tidak akan berhenti sampai kamu bertahan pada satu wanita—atau lebih. Jangan kecewakan keputusan kami, Abizar. Keluarga kita sangat mengharapkanmu.”

            “Atau jangan-jangan, ada wanita lain yang kamu inginkan …?”

            Abizar diam. Jika ditanya, jawabannya; ada. Tapi jika menikahinya, apakah Abizar bisa menjamin dapat menjaganya? Jika sudah memiliki, Abizar tidak mau menyakiti. Tapi jika wanita itu menjadi miliknya, kemungkinan terbesar dia akan membuat wanita itu terluka, sama persis seperti ibunya. Wanita jawa yang tersesat di negeri gurun, lalu pulang dengan luka. Abizar tidak mau, wanitanya bernasib seperti itu.

            “Kamu boleh menikah dengan siapapun, dari kasta manapun, negeri manapun, jadi jika kamu memang punya wanita pilihan, silahkan—”

             “Aku tahu.”

Abizar memotong dan melanjutkan. “Bahkan, jika aku menikahi pengemis kalian akan mengijinkannya. Tapi … aku tidak mau membuat dia terjebak oleh budaya keluarga kita. Setelah kunikahi, saat dia berpikir menjadi satu-satunya wanita yang bersanding di sebelahku, malah keluargaku sendiri yang secara bergantian menawarkan wanita kedua, ketiga dan keempat untukku, di depan istriku langsung. Sekalipun aku menolaknya, kalian yang terus berusaha meyakinkan pasti akan membuat istriku meragukan kesetiaanku. Apalagi, sebenarnya kalian bukan menawarkan, tapi memaksa. Bukan hanya itu, keluarga kita jauh dari kesetaraan gender. Lekat dengan patriaki, pengekangan dan semacamnya. Sekalipun aku memiliki wanita pilihan, sekalipun aku sangat ingin menikahinya, tapi aku tidak mau dia merasakannya—merasakan apa yang tidak pernah dia rasakan, disakiti padahal dia bisa memilih pria lain yang tidak akan menyakiti dengan cara terkejam—diduakan—terkekang padahal banyak lelaki lain yang memberikannya kebebasan, tidak adanya kesetaraan gender padahal banyak lelaki lain yang menganggap peran wanita dan lelaki itu sama pentingnya.”

Akmal kehilangan kata-kata, kalimat panjang-lebar Abizar menyadarkannya. Saudaranya ada benarnya.

“Padanya, aku sangat ingin menawarkan pernikahan. Tapi aku tahu, apa yang kutawarkan sama saja menawarkan sebongkah bara api yang harus digenggamnya seerat mungkin. Jadi, aku hanya bisa menjebaknya di rumah ini. Tidak bisa menikahinya, tapi tidak akan membiarkannya pergi.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status