Home / Romansa / Jerat Pembantu Tuan Abizar / 6: Mawar Yang Dijebak Di Rumah Majikan

Share

6: Mawar Yang Dijebak Di Rumah Majikan

last update Last Updated: 2022-03-16 22:04:47

Pertama kali Abizar tegas pada dirinya sendiri, enam bulan setelah Mawar bekerja di rumah ini. Kali ini Abizar tidak akan berbohong, Mawar adalah kelemahannya. Wanita yang membuatnya tergantung dan berharap Mawar ikut bergantungan. Mawar yang saat itu tertidur, tangan kiri Abizar yang lancang mengusap rambut dan pipinya. Saat itu juga Abizar mulai memberi konsekuensi pada diri sendiri. Dia mengambil segelas air panas dan menyiram telapak tangannya sendiri, rasa sakitnya sama dengan rasa perih saat mencekram bara api. Tapi bagi Abizar, ini lebih baik untuknya. Meskipun, jika Mawar sedekat ini, Abizar mustahil tidak menyentuhnya sama sekali. Selalu saja ada dorongan tersendiri untuknya menyentuh sosok figur yang membuatnya tak bisa beralih.

Untuk menjaga Mawar dari kelakuannya yang lebih dari itu, seperti pelecehan dan pemerkosaan—Abizar harus memprioritaskan harga diri dan kehormatan Mawar—satu sentuhan yang menjadi awal dari sentuhan lain akan jera saat ditemukan dengan rasa sakit. Karena sejak kecil, keluarga Abizar sudah menegaskan tanggung jawab dan rasa sakit kepada lelaki itu.

            Lamunan Abizar buyar saat ponselnya memekik kencang. Lelaki itu meringis, tidak sadar mengambil ponsel dengan tangan kirinya yang terluka. Abizar menggantinya dengan tangan kanan, lalu menerima sambungan telepon, setelah mengecek siapa yang menelpon raut wajah Abizar langsung berubah.

            “Assalamualaikum.”

            Salam itu Abizar abaikan sejenak, lalu bibirnya menjawab dingin. “Walaikumsalam.”

            Ya Abizar, kudengar Ulfa sudah keluar dari rumahmu? Masa iddahnya sudah selesai, kamu benar-benar tidak berniat merujuknya ternyata.”

            Abizar hanya diam.

            “Kau tahu, Abi sangat marah, dia masih begitu kecewa padamu. Beliau belum mendatangimu karena berpikir kecantikan Ulfa akan memutar otakmu dan kamu pasti akan merujuk Ulfa lagi. Ternyata, sama saja seperti sebelum-sebelumnya, kamu tidak bisa diharapkan.”

            Abizar masih diam. Pandangannya dingin, bibirnya enggan berkutik.

            “Hei, padahal Ulfa adalah wanita tercantik yang pernah kulihat, seharusnya begitu pula di matamu. Kupikir, Ulfa akan membuatmu berhenti pada kebiasaanmu yang tidak berprikemanusiaan itu.”

            “Kalau begitu, kamu saja yang menikahinya.”

            “Bisa saja, tapi istriku sudah empat, aku tidak bisa menambahnya kecuali menceraikan salah satunya.”

            Abizar adalah satu-satunya anak dari ayahnya yang asli Arab Saudi dengan istri pertamanya yang berdarah Jawa yang sudah meninggal. Abizar memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menetap di tanah kelahiran ibunya agar berdekatan dengan makam sang Ibu, yang sejak Abizar berusia satu tahun sudah bercerai dari ayahnya.

Alasan perceraian orang tuanya tidak jauh-jauh dari yang Akmal bahas barusan, wanita seharusnya memiliki prinsip, lebih baik berpisah dari pada diduakan. Abizar bangga dengan keputusan ibunya, sekalipun dia bukan tipe yang begitu menghargai wanita, dilihat dari kelakuannya selama ini. Tapi menyakiti wanita yang diakui dicintai, selalu terdengar aneh di telinga atau kata lainnya, bohong. Dulu, ayahnya selalu bilang mencintai ibunya, sehingga itulah Abizar berhenti memercayai apapun yang ayahnya katakan tentang cinta, perasaan dan keluarga.

            “Jika kamu tidak puas dengan Ulfa, kamu tidak usah menceraikannya. Kamu bisa mencari wanita kedua, ketiga dan keempat. Pikiranmu sangat buntung dan dangkal.”

            Abizar mengetatkan rahang, “bahasanmu tidak perlu, akan kututup.”

            “Sebenarnya ada berita penting yang ingin kusampaikan, yang tadi hanya basa-basi. Abi akan mencarikan wanita lain untukmu, dia tidak akan berhenti sampai kamu bertahan pada satu wanita—atau lebih. Jangan kecewakan keputusan kami, Abizar. Keluarga kita sangat mengharapkanmu.”

            “Atau jangan-jangan, ada wanita lain yang kamu inginkan …?”

            Abizar diam. Jika ditanya, jawabannya; ada. Tapi jika menikahinya, apakah Abizar bisa menjamin dapat menjaganya? Jika sudah memiliki, Abizar tidak mau menyakiti. Tapi jika wanita itu menjadi miliknya, kemungkinan terbesar dia akan membuat wanita itu terluka, sama persis seperti ibunya. Wanita jawa yang tersesat di negeri gurun, lalu pulang dengan luka. Abizar tidak mau, wanitanya bernasib seperti itu.

            “Kamu boleh menikah dengan siapapun, dari kasta manapun, negeri manapun, jadi jika kamu memang punya wanita pilihan, silahkan—”

             “Aku tahu.”

Abizar memotong dan melanjutkan. “Bahkan, jika aku menikahi pengemis kalian akan mengijinkannya. Tapi … aku tidak mau membuat dia terjebak oleh budaya keluarga kita. Setelah kunikahi, saat dia berpikir menjadi satu-satunya wanita yang bersanding di sebelahku, malah keluargaku sendiri yang secara bergantian menawarkan wanita kedua, ketiga dan keempat untukku, di depan istriku langsung. Sekalipun aku menolaknya, kalian yang terus berusaha meyakinkan pasti akan membuat istriku meragukan kesetiaanku. Apalagi, sebenarnya kalian bukan menawarkan, tapi memaksa. Bukan hanya itu, keluarga kita jauh dari kesetaraan gender. Lekat dengan patriaki, pengekangan dan semacamnya. Sekalipun aku memiliki wanita pilihan, sekalipun aku sangat ingin menikahinya, tapi aku tidak mau dia merasakannya—merasakan apa yang tidak pernah dia rasakan, disakiti padahal dia bisa memilih pria lain yang tidak akan menyakiti dengan cara terkejam—diduakan—terkekang padahal banyak lelaki lain yang memberikannya kebebasan, tidak adanya kesetaraan gender padahal banyak lelaki lain yang menganggap peran wanita dan lelaki itu sama pentingnya.”

Akmal kehilangan kata-kata, kalimat panjang-lebar Abizar menyadarkannya. Saudaranya ada benarnya.

“Padanya, aku sangat ingin menawarkan pernikahan. Tapi aku tahu, apa yang kutawarkan sama saja menawarkan sebongkah bara api yang harus digenggamnya seerat mungkin. Jadi, aku hanya bisa menjebaknya di rumah ini. Tidak bisa menikahinya, tapi tidak akan membiarkannya pergi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   79: Surat Talak Dari Tuan Omar

    “Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   78: Dendam Samuel

    “Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   77: Tiga Sekawan Gila (Lagi)

    Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   76: Omar Ingin Mati (2)

    “Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   75: Omar Ingin Mati

    Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   74: Yang Menggoda

    “Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status