Home / Romansa / Jerat Pembantu Tuan Abizar / 7: Suara Wanitanya Abizar

Share

7: Suara Wanitanya Abizar

last update Last Updated: 2022-03-24 21:22:53

TV itu sengaja dinyalakan. Abizar yang merasa sepi, hanya ingin suara pembawa berita menemani kesepiannya sambil menggores-gores isi dokumen. Awalnya Abizar fokus dan serius, hingga tayangan televisi berganti. Menjadi acara musik. Suara gitar dan piano beradu, diikut-sertakan dengan nyanyian yang menggelora. Awalnya Abizar berhasil menahan tangannya yang gatal, bibirnya yag bergetar dan telinganya yang memanas. Tapi seperti hilang akal dan kesadaran diri, Abizar melempar sesuatu ke arah layar televisi. Benda itu rusak, suara yang menggema keluar darinya sudah tidak terdengar.

Abizar bisa merasakan kemarahannya reda saat suara itu menghilang, napasnya mulai terhembus beraturan. Kembali dijatuhkannya diri ke atas kursi. Seleranya untuk bekerja mendadak hilang, saat serpihan televisi kini telah mengotori lantainya, ruangannya kembali menjadi seperti sediakala—hancur berantakan.

Abizar hanya bisa menggusar rambut, berusaha menghilangan gemaan suara music yang terbayang di kepalanya seakan masih terdengar sekalipun suara itu sudah hilang.

Abizar benci music, saat semua orang tidak bisa hidup tanpa music Abizar tidak bisa hidup jika adanya music.

Dari suara dentingannya, alunan musik bermain, suara nyanyian wanita atau lelaki yang beradu merdu … perpaduan itu membuat kepala Abizar kacau. Dia akan menggeram dan tangannya tidak tahan untuk menghancurkan sumber musik itu berasal. Rasanya ingin merobek mulut wanita yang membuai dari nyanyiannya atau menjahit mulut lelaki yang mengimbangi kalimat dengan permainan musiknya.

Sehingga itulah ketika bicara, Abizar selalu menggunakan nada datar yang tak bernada. Lawan bicaranya juga harus mengimbangi caranya bicara, sama datarnya dan tak ada unsur-unsur kemerduaan.

Saat Tuhan mencintai keindahan, Abizar benci keindahan.

Abizar mengeluarkan diri dari ruangan dan mencari udara segar di balkon. Ada Mawar di halaman bawah, menggenggam sapu dalam dekapan untuk mengumpulkan dedaunan kering yang menghiasi halaman rerumputan, tubuh perempuan itu berputar, bernyanyi, menggerakkan tubuh seadanya, mengikuti instrumen musik yang dia dengarkan.

            Saat Abizar benci music dan nyanyian, tapi Abizar menyukai nyanyian wanita itu, sekalipun asal.

Saat Abizar tidak suka mendengar suara merdu orang lain, hanya suara Mawar yang harus terdengar indah di telinganya. Saat Mawar bicara dengan suara halusnya, kadang Abizar memejamkan mata, menikmatinya, seakan mendengarkan music.

Abizar benci music, tapi bagi Abizar nyanyian dan suara Mawar yang bahkan tidak bernada adalah music terbaik. Dia bisa menghayatinya, memasukkannya ke dalam hati dan menenangkan diri. Berbeda dari music dan nyanyian orang lain, kepala Abizar akan kacau, seperti berputar dan tidak tahan untuk menghancurkan sumber music itu.

            Abizar benci keindahan. Tapi dia akan menyukainya, jika keindahan itu adalah Mawar, wanitanya.

            Abizar kembali masuk saat Mawar berhenti berputar dan bernyanyi, wanita itu menatapnya bingung dari bawah. Lalu Abizar kembali mendengarkan dari balik dinding, saat Mawar kembali menyetel lagu, memasang earphone dan mengikuti apa yang dia dengar.

            >><<

            POV Mawar

            Saat menyapu halaman, kepalaku mendongak ke arah balkon lantai tiga. Tuan Abizar ada di sana, dari atas beliau memerhatikanku yang sibuk mengumpulkan sampah. Aku menghadang cahaya matahari yang menerpa wajahku dengan punggung tangan, balik menatap beliau dari jauh, kulihat lagi-lagi sebelah tangan beliau dibalut perban, entah terluka karena apa lagi dia. Saat balik kupandangi, beliau membuang muka lalu pergi.

            Bibirku mengerucut, menyetel lagu dan memasang kembali dengan benar kedua pentol earphone ke lubang telingaku.

            Tiga puluh menit aku mengundur waktu di halaman, masih sambil memeluk ganggang sapu tubuhku berputar, dengan sedikit gerakan aneh berjalan tidak jelas masuk ke dalam rumah. Bibirku terkatup saat mendapati Tuan Abizar berdiri di anak tangga lantai satu, beliau memandangiku tajam lalu bertanya. “Sudah? Dari jam sembilan, nyapu halaman saja tidak kelar-kelar.”

            Kepalaku mengangguk, “sudah, Tuan.”

            “Duduk,” beliau memerintah saat duduk di atas sofa, menyuruhku duduk menghadapnya. Aku menurut, naik ke atas sofa, duduk bersimpuh menghadapnya. Tuan Abizar mencabut dua earphone yang menyumbat kedua lubang telingaku, lalu memasangnya ke telinganya. “Bernyanyilah, aku ingin mendengar.” Beliau melirik mic kecil berbentuk bola yang ada di tali earphone-ku. Aku mengerjap, bingung dengan permintaannya.

            Di awal aku menelan ludah, sedikit bersuara di mic kecil yang kudekatkan ke bibir. “Tes, tes.”

            Dahiku mengernyit saat melihat Tuan Abizar memejamkan mata, seperti menikmati suaraku, padahal aku belum bernyanyi.

            “Tes, tes.” Kuulangi dan memerhatikan Tuan Abizar lagi, matanya semakin terpejam. Begitu senang dan menikmati suaraku yang sekedar ‘tes, tes’.

            Dasar aneh, sejak awal tuanku memang aneh. Sepertinya dia tidak bisa membedakan suara biasa dan nyanyian.

            Aku mulai bernyanyi. Biar jelek, asalkan perintahnya terpenuhi. Aku lihat bibir tipis Tuan Abizar menyungging senyum. Astaga, padahal Tuan Abizar tidak pernah tersenyum. Entah apa yang dia nikmati, nyanyianku atau suaraku?

            “Tanganmu kenapa, Tuan?” Aku bertanya, melirik tangannya yang diperban. Bukannya menjawab, tuanku malah tersenyum, semakin menikmati suaraku. Ternyata benar, dia tidak bisa membedakan mana yang nyanyian dan mana yang suara biasa. Dia seperti menikmati semuanya. “Tuan?”

            Saat aku mengguncang bahunya, baru beliau tersadar. Tidak menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya. “Kok, berhenti? Suaramu habis?” Dijauhkannya kedua earphone dari telinganya, lalu menatapku. “Kamu mau makan apa hari ini?”

            “Seharusnya, pertanyaannya di balik. Tuan mau makan apa hari ini? Aku ‘kan selalu makan makanan sisamu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   79: Surat Talak Dari Tuan Omar

    “Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   78: Dendam Samuel

    “Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   77: Tiga Sekawan Gila (Lagi)

    Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   76: Omar Ingin Mati (2)

    “Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   75: Omar Ingin Mati

    Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat

  • Jerat Pembantu Tuan Abizar   74: Yang Menggoda

    “Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status