Share

7: Suara Wanitanya Abizar

TV itu sengaja dinyalakan. Abizar yang merasa sepi, hanya ingin suara pembawa berita menemani kesepiannya sambil menggores-gores isi dokumen. Awalnya Abizar fokus dan serius, hingga tayangan televisi berganti. Menjadi acara musik. Suara gitar dan piano beradu, diikut-sertakan dengan nyanyian yang menggelora. Awalnya Abizar berhasil menahan tangannya yang gatal, bibirnya yag bergetar dan telinganya yang memanas. Tapi seperti hilang akal dan kesadaran diri, Abizar melempar sesuatu ke arah layar televisi. Benda itu rusak, suara yang menggema keluar darinya sudah tidak terdengar.

Abizar bisa merasakan kemarahannya reda saat suara itu menghilang, napasnya mulai terhembus beraturan. Kembali dijatuhkannya diri ke atas kursi. Seleranya untuk bekerja mendadak hilang, saat serpihan televisi kini telah mengotori lantainya, ruangannya kembali menjadi seperti sediakala—hancur berantakan.

Abizar hanya bisa menggusar rambut, berusaha menghilangan gemaan suara music yang terbayang di kepalanya seakan masih terdengar sekalipun suara itu sudah hilang.

Abizar benci music, saat semua orang tidak bisa hidup tanpa music Abizar tidak bisa hidup jika adanya music.

Dari suara dentingannya, alunan musik bermain, suara nyanyian wanita atau lelaki yang beradu merdu … perpaduan itu membuat kepala Abizar kacau. Dia akan menggeram dan tangannya tidak tahan untuk menghancurkan sumber musik itu berasal. Rasanya ingin merobek mulut wanita yang membuai dari nyanyiannya atau menjahit mulut lelaki yang mengimbangi kalimat dengan permainan musiknya.

Sehingga itulah ketika bicara, Abizar selalu menggunakan nada datar yang tak bernada. Lawan bicaranya juga harus mengimbangi caranya bicara, sama datarnya dan tak ada unsur-unsur kemerduaan.

Saat Tuhan mencintai keindahan, Abizar benci keindahan.

Abizar mengeluarkan diri dari ruangan dan mencari udara segar di balkon. Ada Mawar di halaman bawah, menggenggam sapu dalam dekapan untuk mengumpulkan dedaunan kering yang menghiasi halaman rerumputan, tubuh perempuan itu berputar, bernyanyi, menggerakkan tubuh seadanya, mengikuti instrumen musik yang dia dengarkan.

            Saat Abizar benci music dan nyanyian, tapi Abizar menyukai nyanyian wanita itu, sekalipun asal.

Saat Abizar tidak suka mendengar suara merdu orang lain, hanya suara Mawar yang harus terdengar indah di telinganya. Saat Mawar bicara dengan suara halusnya, kadang Abizar memejamkan mata, menikmatinya, seakan mendengarkan music.

Abizar benci music, tapi bagi Abizar nyanyian dan suara Mawar yang bahkan tidak bernada adalah music terbaik. Dia bisa menghayatinya, memasukkannya ke dalam hati dan menenangkan diri. Berbeda dari music dan nyanyian orang lain, kepala Abizar akan kacau, seperti berputar dan tidak tahan untuk menghancurkan sumber music itu.

            Abizar benci keindahan. Tapi dia akan menyukainya, jika keindahan itu adalah Mawar, wanitanya.

            Abizar kembali masuk saat Mawar berhenti berputar dan bernyanyi, wanita itu menatapnya bingung dari bawah. Lalu Abizar kembali mendengarkan dari balik dinding, saat Mawar kembali menyetel lagu, memasang earphone dan mengikuti apa yang dia dengar.

            >><<

            POV Mawar

            Saat menyapu halaman, kepalaku mendongak ke arah balkon lantai tiga. Tuan Abizar ada di sana, dari atas beliau memerhatikanku yang sibuk mengumpulkan sampah. Aku menghadang cahaya matahari yang menerpa wajahku dengan punggung tangan, balik menatap beliau dari jauh, kulihat lagi-lagi sebelah tangan beliau dibalut perban, entah terluka karena apa lagi dia. Saat balik kupandangi, beliau membuang muka lalu pergi.

            Bibirku mengerucut, menyetel lagu dan memasang kembali dengan benar kedua pentol earphone ke lubang telingaku.

            Tiga puluh menit aku mengundur waktu di halaman, masih sambil memeluk ganggang sapu tubuhku berputar, dengan sedikit gerakan aneh berjalan tidak jelas masuk ke dalam rumah. Bibirku terkatup saat mendapati Tuan Abizar berdiri di anak tangga lantai satu, beliau memandangiku tajam lalu bertanya. “Sudah? Dari jam sembilan, nyapu halaman saja tidak kelar-kelar.”

            Kepalaku mengangguk, “sudah, Tuan.”

            “Duduk,” beliau memerintah saat duduk di atas sofa, menyuruhku duduk menghadapnya. Aku menurut, naik ke atas sofa, duduk bersimpuh menghadapnya. Tuan Abizar mencabut dua earphone yang menyumbat kedua lubang telingaku, lalu memasangnya ke telinganya. “Bernyanyilah, aku ingin mendengar.” Beliau melirik mic kecil berbentuk bola yang ada di tali earphone-ku. Aku mengerjap, bingung dengan permintaannya.

            Di awal aku menelan ludah, sedikit bersuara di mic kecil yang kudekatkan ke bibir. “Tes, tes.”

            Dahiku mengernyit saat melihat Tuan Abizar memejamkan mata, seperti menikmati suaraku, padahal aku belum bernyanyi.

            “Tes, tes.” Kuulangi dan memerhatikan Tuan Abizar lagi, matanya semakin terpejam. Begitu senang dan menikmati suaraku yang sekedar ‘tes, tes’.

            Dasar aneh, sejak awal tuanku memang aneh. Sepertinya dia tidak bisa membedakan suara biasa dan nyanyian.

            Aku mulai bernyanyi. Biar jelek, asalkan perintahnya terpenuhi. Aku lihat bibir tipis Tuan Abizar menyungging senyum. Astaga, padahal Tuan Abizar tidak pernah tersenyum. Entah apa yang dia nikmati, nyanyianku atau suaraku?

            “Tanganmu kenapa, Tuan?” Aku bertanya, melirik tangannya yang diperban. Bukannya menjawab, tuanku malah tersenyum, semakin menikmati suaraku. Ternyata benar, dia tidak bisa membedakan mana yang nyanyian dan mana yang suara biasa. Dia seperti menikmati semuanya. “Tuan?”

            Saat aku mengguncang bahunya, baru beliau tersadar. Tidak menjawab pertanyaanku, dia malah bertanya. “Kok, berhenti? Suaramu habis?” Dijauhkannya kedua earphone dari telinganya, lalu menatapku. “Kamu mau makan apa hari ini?”

            “Seharusnya, pertanyaannya di balik. Tuan mau makan apa hari ini? Aku ‘kan selalu makan makanan sisamu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status