Share

Jerat Pernikahan Tuan Arogan
Jerat Pernikahan Tuan Arogan
Author: Liani April

1. Penipu

Riga yang mengatur pernikahan pura-pura ini.

Hari pernikahan, siasat mengelabui keluarganya, juga siapa-siapa saja yang duduk di meja ijab kabul. Akan kusebutkan satu per satu sama seperti yang Riga bilang dua hari lalu.

Pertama Kak Kazan, tentu ia waliku, kakakku wajib tahu.

Kedua, penghulu. Ternyata penghulu yang ditunjuk adalah temannya Riga, ia sudah diberitahu tentang pernikahan pura-pura ini. Anehnya ia mau saja membantu.

Aku bisa menebak, pasti karena Riga mengimingi-imingi dengan rupiah dalam jumlah besar. Atau sesuatu semacam itu. Riga selalu pintar bernegosiasi.

Lalu para saksi. Saksi pertama adalah istri Kak Kazan. Saksi kedua Mbok Minah, asisten rumah tangga Riga.

Kenapa Mbok Minah? Ada alasan tersendiri kenapa wanita setengah abad ini yang dipilihnya. Pertama karena Mbok Minah selalu ikut kemana pun Riga tinggal. Bagi Riga, ia lebih dekat dari pada Bunda sekali pun.

Kedua, karena Mbok Minah nantinya akan tinggal dengan kami di vila yang jauh dari tetangga. Tidak mungkin setiap hari kami bermain kucing-kucingan dengan Mbok Minah. Sedangkan sudah pasti aku akan sekamar dengan Nara, yang Riga angkat sebagai sopir pribadi. Siasat agar ada tidaknya Nara di antara kami tidak dicurigai.

Entah bagaimana cara Riga meyakinkan Mbok Minah. Ia berani menanggung resiko berkerja sama dengan tuannya merahasiakan pernikahan pura-pura ini. Berperan sebagai penipu.

Dan di sinilah kami. Berkumpul di hari pernikahan. Bukan mereka saja, ada Bunda dan keluarga besar Abimahya. Keluargaku hanya Kak Kazan dan istrinya.

Sejauh ini semua terjadi sesuai apa yang kami harapkan. Acara penyambutan, seserahan, pembacaan ayat suci Al-quran. Semuanya sudah kami jalankan beberapa waktu lalu.

Sampai sini aku masih bisa bernapas lega. Pun dengan Riga yang kulihat masih bisa cengengesan.

Acara ijab kabul akan segera dilakukan. Riga seolah tahu ini saatnya ia berakting. Ia terbatuk-batuk. Suara yang dibuat-buat.

Bagiku yang sudah malang melintang di dunia teater tentu tahu, aktingnya berlebihan. Sangat tidak natural. Harusnya sebelum ini aku mengajarinya dulu cara berakting sakit yang lebih meyakinkan. Atau semua rencana kami berantakan karena akting menyedihkan seorang Riga.

Satu lagi yang janggal, Riga hanya batuk-batuk tapi kemudian memakai masker. Sudah ia siapkan pula maskernya di saku celana. Kalau orang-orang pintar, tentu tahu Riga cuma bersandiwara.

Sumpah, dia memikirkan ide berkepanjangan sampai dimana nantinya kami akan tinggal. Tapi melupakan poin penting ini. Harusnya Riga menyertakanku dalam masalah akting. Riga sangat payah.

Riga memberi tanda hendak ke toilet. Awalnya Riga dicegah oleh salah satu keluarganya, diminta tahan sampai ijab kabul selesai.

Aku yang berada di sampingnya sampai ikut berdebar. Bagaimana kalau Riga tidak bertukar dengan Nara yang sudah stand by di toilet. Bagaimana kalau pernikahan ini diteruskan dengan Riga yang mengucapkan janji suci, bukan Nara. Tidak. Bagaimanapun mereka harus bertukar.

“Silakan mempelai pria, kalau mau ke toilet dulu. Daripada gak bisa konsentrasi di tengah jalan,” bapak penghulu memberi bantuan.

Dibilang begitu, Riga berbungkuk-bungkuk ke toilet sambil melewati keluarganya. Riga berhasil sampai di toilet.

Sekarang aku yang berkeringat. Panas dingin. Seperti aku saja yang akan mengucapkan ikrar pada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam hati aku berdoa, semoga kami diampuni. Semoga perbuatan menipu ini tidak berdampak buruk. Semoga semua berjalan baik.

Tak lama, seorang pria keluar dari toilet tempat kemana Riga pergi. Busana yang sama; peci, beskap, rompi dan celana yang semuanya berwarna putih. Lengkap dengan masker yang digunakan sebagai kamuflase.

Dari cara jalan yang tegap dan mantap, aku bisa tahu itu Nara. Mereka sudah bertukar.

Riga benar, postur tubuhnya dengan Nara terbilang sama. Hanya potongan rambut yang beda, tapi terhalang oleh peci.

Dan satu lagi yang beda, leher mereka. Nara punya jakun, Riga tidak. Namun lagi-lagi tertolong oleh kerah leher beskap yang tinggi. Jakun Nara sempurna tersembunyi.

Nara telah sampai di meja ijab kabul. Bisa kurasakan semua yang tahu kepura-puraan ini menelan ludah masing-masing. Antara cemas, takut ketahuan, dan merasa berdosa.

“Riga, buka maskernya.” Bunda berbisik sebelum ijab kabul dimulai.

Lagi, aku tegang bukan main. Tisu di tangan kuremas-remas saking tegangnya.

“Den Riga lagi sakit, Nyonya. Biar saja pakai maskernya,” Mbok Minah membantu.

Nara berpura-pura batuk demi menyempurnakan sandiwara kami. Akting Nara lebih bagus ketimbang Riga.

Untungnya Bunda tidak gemas menarik masker Nara. Bunda memilih duduk gelisah sambil membetulkan korset yang membebat perut montoknya.

Prosesi ijab kabul dilaksanakan. Dibacakannya ayat suci Al-quran. Khotbah nikah sudah didengungkan penghulu.

Ijab kabul pun diucapkan Nara dalam sekali tarikan napas.

“Saya terima nikahnya Viana Latia binti Aruna Hidayat dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”

Gumaman ‘sah’ terdengar dari berbagai penjuru. Dadaku mencelos, serasa pecah bisul.

Berikutnya penandatanganan buku nikah, dokumen negara. Jelas ada namaku dan Nara di sana. Secara agama dan negara, Nara-lah suamiku. 

Nara menatapku, mata sipitnya berkedip dramatis. Kuberi waktu ia untuk memindai wajahku yang dipoles make up ini. Sebelum nanti ia akan kembali ke toilet, berganti dengan Riga lagi.

Lewat kedipan mata saja bisa kurasakan Nara sedang memujiku. Mengatakan ‘kamu cantik’ dengan isyarat mata.

Selanjutnya, Nara berlari ke toilet tanpa tendeng aling-aling. Peran Nara sudah selesai, sisanya Riga yang lakukan.

Pria berwajah fresh itu muncul, datang tanpa masker. Masker itu pun sudah selesai bertugas. Sama seperti Nara.

Rangkaian demi rangkaian acara telah kami lakukan. Inginnya kulakukan sesi foto bersama Nara. Berdiri di podium, bersalaman dengan tamu, inginku bersama Nara. Wajahku tersenyum, berbahagia, sedangkan aku menangis dalam hati.

Aku lihat Nara sudah berganti baju dengan kemeja slimfit dan celana katun. Ia melihatku dari kursi. Memerhatikan tiap gerak gerikku.

Tanpa diketahui, aku pun curi-curi pandang pada Nara. Memberinya isyarat dengan bahasa yang kami ketahui.

‘Aku mencintamu, Nara.’

Nara menerima isyarat itu dengan anggukan kepala juga senyum yang ia sunggingkan. Senyum itu yang buatku jatuh cinta pertama kali. Senyum segaris di bibir tipisnya. Senyum itu pula yang buatku mengejar-ngejarnya. Jadi budak cinta.

‘Aku tahu.’

‘Setelah ini selesai, bolehkah aku memelukmu, Nara?’

Bahasa isyarat kami semakin fasih saja. Di masa depan, mungkin kami akan memerlukan keahlian ini. Kunamai ini bahasa cinta.

‘Ya, kamu boleh memelukku sampai pagi. Kamu istriku. Kamu milikku.’

Benar, aku istrinya Nara.

Seseorang yang sedang berdiri di sampingku sekarang ini bukanlah suamiku sebenarnya, kami hanya berpura-pura.

Demi status Riga sebagai direktur utama Abimahya Corp. Demi diriku dan Nara hidup dengan layak dari kekayaan Riga. Kami sepakat memainkan pernikahan sandiwara.

Di mata orang-orang, aku adalah istri Riga Abimahya. Sedangkan kenyataannya, aku adalah istri Albian Nara.

__BERSAMBUNG__

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status