Share

Jerat Pernikahan Tuan Arogan
Jerat Pernikahan Tuan Arogan
Author: Liani April

1. Penipu

Author: Liani April
last update Last Updated: 2024-02-05 12:15:38

Riga yang mengatur pernikahan pura-pura ini.

Hari pernikahan, siasat mengelabui keluarganya, juga siapa-siapa saja yang duduk di meja ijab kabul. Akan kusebutkan satu per satu sama seperti yang Riga bilang dua hari lalu.

Pertama Kak Kazan, tentu ia waliku, kakakku wajib tahu.

Kedua, penghulu. Ternyata penghulu yang ditunjuk adalah temannya Riga, ia sudah diberitahu tentang pernikahan pura-pura ini. Anehnya ia mau saja membantu.

Aku bisa menebak, pasti karena Riga mengimingi-imingi dengan rupiah dalam jumlah besar. Atau sesuatu semacam itu. Riga selalu pintar bernegosiasi.

Lalu para saksi. Saksi pertama adalah istri Kak Kazan. Saksi kedua Mbok Minah, asisten rumah tangga Riga.

Kenapa Mbok Minah? Ada alasan tersendiri kenapa wanita setengah abad ini yang dipilihnya. Pertama karena Mbok Minah selalu ikut kemana pun Riga tinggal. Bagi Riga, ia lebih dekat dari pada Bunda sekali pun.

Kedua, karena Mbok Minah nantinya akan tinggal dengan kami di vila yang jauh dari tetangga. Tidak mungkin setiap hari kami bermain kucing-kucingan dengan Mbok Minah. Sedangkan sudah pasti aku akan sekamar dengan Nara, yang Riga angkat sebagai sopir pribadi. Siasat agar ada tidaknya Nara di antara kami tidak dicurigai.

Entah bagaimana cara Riga meyakinkan Mbok Minah. Ia berani menanggung resiko berkerja sama dengan tuannya merahasiakan pernikahan pura-pura ini. Berperan sebagai penipu.

Dan di sinilah kami. Berkumpul di hari pernikahan. Bukan mereka saja, ada Bunda dan keluarga besar Abimahya. Keluargaku hanya Kak Kazan dan istrinya.

Sejauh ini semua terjadi sesuai apa yang kami harapkan. Acara penyambutan, seserahan, pembacaan ayat suci Al-quran. Semuanya sudah kami jalankan beberapa waktu lalu.

Sampai sini aku masih bisa bernapas lega. Pun dengan Riga yang kulihat masih bisa cengengesan.

Acara ijab kabul akan segera dilakukan. Riga seolah tahu ini saatnya ia berakting. Ia terbatuk-batuk. Suara yang dibuat-buat.

Bagiku yang sudah malang melintang di dunia teater tentu tahu, aktingnya berlebihan. Sangat tidak natural. Harusnya sebelum ini aku mengajarinya dulu cara berakting sakit yang lebih meyakinkan. Atau semua rencana kami berantakan karena akting menyedihkan seorang Riga.

Satu lagi yang janggal, Riga hanya batuk-batuk tapi kemudian memakai masker. Sudah ia siapkan pula maskernya di saku celana. Kalau orang-orang pintar, tentu tahu Riga cuma bersandiwara.

Sumpah, dia memikirkan ide berkepanjangan sampai dimana nantinya kami akan tinggal. Tapi melupakan poin penting ini. Harusnya Riga menyertakanku dalam masalah akting. Riga sangat payah.

Riga memberi tanda hendak ke toilet. Awalnya Riga dicegah oleh salah satu keluarganya, diminta tahan sampai ijab kabul selesai.

Aku yang berada di sampingnya sampai ikut berdebar. Bagaimana kalau Riga tidak bertukar dengan Nara yang sudah stand by di toilet. Bagaimana kalau pernikahan ini diteruskan dengan Riga yang mengucapkan janji suci, bukan Nara. Tidak. Bagaimanapun mereka harus bertukar.

“Silakan mempelai pria, kalau mau ke toilet dulu. Daripada gak bisa konsentrasi di tengah jalan,” bapak penghulu memberi bantuan.

Dibilang begitu, Riga berbungkuk-bungkuk ke toilet sambil melewati keluarganya. Riga berhasil sampai di toilet.

Sekarang aku yang berkeringat. Panas dingin. Seperti aku saja yang akan mengucapkan ikrar pada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam hati aku berdoa, semoga kami diampuni. Semoga perbuatan menipu ini tidak berdampak buruk. Semoga semua berjalan baik.

Tak lama, seorang pria keluar dari toilet tempat kemana Riga pergi. Busana yang sama; peci, beskap, rompi dan celana yang semuanya berwarna putih. Lengkap dengan masker yang digunakan sebagai kamuflase.

Dari cara jalan yang tegap dan mantap, aku bisa tahu itu Nara. Mereka sudah bertukar.

Riga benar, postur tubuhnya dengan Nara terbilang sama. Hanya potongan rambut yang beda, tapi terhalang oleh peci.

Dan satu lagi yang beda, leher mereka. Nara punya jakun, Riga tidak. Namun lagi-lagi tertolong oleh kerah leher beskap yang tinggi. Jakun Nara sempurna tersembunyi.

Nara telah sampai di meja ijab kabul. Bisa kurasakan semua yang tahu kepura-puraan ini menelan ludah masing-masing. Antara cemas, takut ketahuan, dan merasa berdosa.

“Riga, buka maskernya.” Bunda berbisik sebelum ijab kabul dimulai.

Lagi, aku tegang bukan main. Tisu di tangan kuremas-remas saking tegangnya.

“Den Riga lagi sakit, Nyonya. Biar saja pakai maskernya,” Mbok Minah membantu.

Nara berpura-pura batuk demi menyempurnakan sandiwara kami. Akting Nara lebih bagus ketimbang Riga.

Untungnya Bunda tidak gemas menarik masker Nara. Bunda memilih duduk gelisah sambil membetulkan korset yang membebat perut montoknya.

Prosesi ijab kabul dilaksanakan. Dibacakannya ayat suci Al-quran. Khotbah nikah sudah didengungkan penghulu.

Ijab kabul pun diucapkan Nara dalam sekali tarikan napas.

“Saya terima nikahnya Viana Latia binti Aruna Hidayat dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”

Gumaman ‘sah’ terdengar dari berbagai penjuru. Dadaku mencelos, serasa pecah bisul.

Berikutnya penandatanganan buku nikah, dokumen negara. Jelas ada namaku dan Nara di sana. Secara agama dan negara, Nara-lah suamiku. 

Nara menatapku, mata sipitnya berkedip dramatis. Kuberi waktu ia untuk memindai wajahku yang dipoles make up ini. Sebelum nanti ia akan kembali ke toilet, berganti dengan Riga lagi.

Lewat kedipan mata saja bisa kurasakan Nara sedang memujiku. Mengatakan ‘kamu cantik’ dengan isyarat mata.

Selanjutnya, Nara berlari ke toilet tanpa tendeng aling-aling. Peran Nara sudah selesai, sisanya Riga yang lakukan.

Pria berwajah fresh itu muncul, datang tanpa masker. Masker itu pun sudah selesai bertugas. Sama seperti Nara.

Rangkaian demi rangkaian acara telah kami lakukan. Inginnya kulakukan sesi foto bersama Nara. Berdiri di podium, bersalaman dengan tamu, inginku bersama Nara. Wajahku tersenyum, berbahagia, sedangkan aku menangis dalam hati.

Aku lihat Nara sudah berganti baju dengan kemeja slimfit dan celana katun. Ia melihatku dari kursi. Memerhatikan tiap gerak gerikku.

Tanpa diketahui, aku pun curi-curi pandang pada Nara. Memberinya isyarat dengan bahasa yang kami ketahui.

‘Aku mencintamu, Nara.’

Nara menerima isyarat itu dengan anggukan kepala juga senyum yang ia sunggingkan. Senyum itu yang buatku jatuh cinta pertama kali. Senyum segaris di bibir tipisnya. Senyum itu pula yang buatku mengejar-ngejarnya. Jadi budak cinta.

‘Aku tahu.’

‘Setelah ini selesai, bolehkah aku memelukmu, Nara?’

Bahasa isyarat kami semakin fasih saja. Di masa depan, mungkin kami akan memerlukan keahlian ini. Kunamai ini bahasa cinta.

‘Ya, kamu boleh memelukku sampai pagi. Kamu istriku. Kamu milikku.’

Benar, aku istrinya Nara.

Seseorang yang sedang berdiri di sampingku sekarang ini bukanlah suamiku sebenarnya, kami hanya berpura-pura.

Demi status Riga sebagai direktur utama Abimahya Corp. Demi diriku dan Nara hidup dengan layak dari kekayaan Riga. Kami sepakat memainkan pernikahan sandiwara.

Di mata orang-orang, aku adalah istri Riga Abimahya. Sedangkan kenyataannya, aku adalah istri Albian Nara.

__BERSAMBUNG__

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   195. My Happy Ending

    "Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   194. Menunggumu

    "Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   193. Keputusan

    Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   192. Kembali

    "Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   191. Stres dan Trauma

    “Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa

  • Jerat Pernikahan Tuan Arogan   190. Harusnya

    Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status