Dari mana aku harus mulai?
Ah, aku tahu. Tidak usah jauh-jauh. Tiga bulan sebelum hari pernikahan. Karena kupikir itulah awal mula ide gila itu tercetus. Dari Riga, sang putra mahkota.
Hari itu cuaca sedang bagus-bagusnya. Aku baru selesai latihan untuk panggung teater yang akan digelar di gedung kesenian, seminggu lagi.
Seperti biasa, tujuanku selalu café Tree tempat Nara bekerja. Nara itu pacarku. Dua tahun sudah hubungan kami.
Nara menyambutku, menyiapkan meja favoritku di pojok dekat meja kasir. Karena sudah tak terhitung kunjunganku kemari, tentu pelayan lain mengenalku. Satu-satunya wanita yang bisa meluluhkan Nara, si casanova yang minim kata.
Menu pesananku pun selalu sama. Hot chocolate latte art yang dikuasai oleh Nara.
Kali ini pun ia sedang membuatnya untukku. Melakukan pouring atau teknik menuang milk foam di atas chocolate.
Tempo hari polanya burung bangau, entah hari ini. Makin lama keahlian Nara menggambar di atas chocolate atau kopi makin meningkat.
Ah, kali ini bentuknya hati dengan bubuk bertuliskan namaku, Viana.
Cantiknya~
“Shift-ku sebentar lagi selesai, tunggu ya!” ucap Nara sambil menaruh cangkir chocolate. Aku mengangguk seperti kepalaku akan lepas saking cepatnya.
Nara kembali ke belakang meja bartender. Pesanan yang menumpuk terpaksa membuatnya tinggalkanku sendiri. Biasanya Nara ikut duduk denganku. Sekedar mendengar celotehanku, atau untuk memegang tanganku.
Aku jahat tidak ya, kalau kuharapkan café ini sepi agar bisa berduaan dengan Nara. Memandanginya dari jarak dua meter begini membuatku frustrasi.
Sejak kami resmi pacaran, aku selalu ingin menyentuhnya, lagi dan lagi. Dia kuanggap manusia charger-ku. Penyemangatku.
Dinding café terbuat dari kaca tembus pandang yang bisa melihat dua arah. Ekor mataku menangkap sosok pria berambut coklat keemasan mengintip kaca.
Gayanya berlebihan dengan membentuk teropong di matanya. Padahal tanpa itu pun pemandangan dalam café bisa terlihat. Kecuali ia rabun jauh.
Pria itu tak lain adalah Riga. Ia tahu aku selalu kemari kalau tidak ada di sanggar.
Belakangan ini ia mendesakku dikenalkan seorang gadis padanya. Aku malas jadi mak comblang, makanya selalu menghindar.
Tapi di sini, aku tidak bisa kabur. Kecuali kutinggalkan hot chocolate berbentuk hati yang Nara buatkan untukku. Mubazir.
Riga merangsek masuk café. Sudah kuduga tujuannya adalah aku. Kalimat yang dilontarkannya pun seputar yang kubilang barusan.
“Ayolah kenalkan aku dengan temanmu. Ini mendesak.”
Ngomong-ngomong, apa aku sudah menjelaskan hubunganku dengan Riga sebelumnya?
Sepertinya belum.
Riga ini sebenarnya teman Nara. Mereka berteman sejak kuliah. Everlasting, bahkan sampai detik ini.
Berteman dengan Nara, otomatis harus mengenalku juga. Riga dengan kepercayaan diri setinggi langit, kontras denganku yang blak-blakan. Sering terjadi adu mulut antara aku dan Riga. Bertengkar dan saling keras kepala.
Nara penengah kami. Ia selalu tahu cara mendamaikan kami.
Jadi begitulah antara aku dan Riga. Teman bukan, musuh bukan.
“Memangnya kamu cari wanita buat apa? Mau kamu jadikan asisten?” balasku gusar.
Riga duduk di seberang kursiku tanpa permisi. Sontak kupelototi Riga, karena ia menghalangi pandanganku pada Nara di meja bartender sana. Riga bergeser.
“Untuk kujadikan istri.”
“Apa?” dahiku mengernyit. “Cari istri itu nggak kayak mancing ikan. Begitu dapat kamu lempar ke keranjang. Syukur-syukur kamu bawa pulang untuk kamu makan. Biasanya malah ditelantarkan, cuma bersenang-senang. Suami istri itu hubungan sakral. Perjanjiannya dengan Tuhan,” aku malah berceramah.
Riga menurunkan bahu. Malas mendengar petuahku tentang ikan. Riga suka sekali memancing ikan.
“Iya, aku paham. Maksudku aku butuh seorang istri yang akan kunikahi dalam sebulan ini. Kamu tahu, Paman Danavy akan pensiun. Kursi direktur utama akan kosong. Aku mengincar posisi itu dari dulu. Sekarang ada di depan mataku.”
“Terus, apa hubungannya dengan istri?”
“Syarat dipilih jadi direktur utama adalah menikah.”
“Wow, keluargamu menarik sekali.”
“Jadi … ada kan, wanita yang sekiranya bisa kukenalkan ke Bunda dan keluarga besarku yang lain?”
“Itu masalahnya, Riga. Kamu memang tampan, banyak wanita yang suka kamu. Tapi nggak ada satu pun yang sanggup berhadapan dengan Bunda, apalagi keluargamu. Wanita itu harus dari kalangan atas, aku mana punya teman yang begitu.”
“Masa nggak ada satu pun di sanggarmu?”
“Enggak ada. Titik. Case closed.”
Keributan kami mengundang Nara datang kemari. Nara berbaik hati membuatkan hot chocolate sama sepertiku meski pun Riga tidak pesan.
Dan perlu dicatat, latte art milik Riga bukan pola hati, tapi bunga teratai. Hati Nara cuma milikku.
“Nara, tolong aku,” rengek Riga.
Si tuan muda ini, meskipun hartanya selangit, semua barang miliknya tidak ada yang murahan, status sosialnya lebih tinggi dari Nara. Tapi ia menghormati Nara.
Tidak jarang Riga bergantung pada Nara yang kalem. Segala ucapan Nara adalah titah baginya. Semua keputusan Nara adalah final untuk Riga. Sampai-sampai aku tidak paham hubungan mereka.
“Kenapa terburu-buru, Paman Danavy pensiun bukan berarti kamu harus segera mengisi posisinya.”
Pola pikir Nara selalu selangkah di depan kami. Mendadak aku ingin mencium bibirnya yang meluncurkan kalimat tadi.
“Iya, sih. Masalahnya, selain aku, ada Biru yang juga potensial mengisi kursi direktur. Apalagi kudengar Biru sudah tunangan dengan pacarnya, Nila. Kursi direktur utama akan jadi miliknya kalau aku santai saja.”
“Salahmu sendiri, bukannya cari pacar malah sok sibuk sama kerjaan. Aku sempat mikir kamu gak akan menikah seumur hidup,” cibirku mendapat delikan mata dari Riga.
Lidahku terjulur, tidak suka Riga mulai menggenggam tangan Nara sambil merajuk. Tangan itu milikku.
“Coba bicara sama Biru. Setahuku dia gak minat sama jabatan ayahnya.”
Benar juga, Biru satu kampus dengan mereka. Nara kenal Biru seperti ia kenal Riga.
“Enggak mau. Nanti ketahuan kalau aku mengincar posisi itu. Aku gak mau diolok-olok keluargaku.” Riga keras kepala.
Ingin kupukul kepala berasuransi miliaran itu. Dia selalu saja merajuk di hadapan Nara. Bikin kesal.
Nara menghela napas, kepalanya menoleh ke meja bartender. Rekannya memanggil, Nara dibutuhkan di sana.
Riga melepasnya dengan dengungan mirip anak anjing. Kami membayangi punggung Nara yang menjauh.
Riga membenamkan wajahnya ke meja. Menggerutu dengan bahasa yang tidak aku tahu. Tidak peduli, aku menyesap hot chocolate-ku sebelum dingin.
Tak berapa lama, seorang wanita paruh baya menghampiri meja kami. Gayanya necis dengan cape blazer membungkus tubuh montoknya.
Wanita itu melihatku, berdiri di sampingku.
Sadar ada seseorang yang datang. Riga menengadah. Langsung duduk tegak sambil menyeru pada wanita di sampingku ini.
“Bunda!”
Oh, bundanya Riga?
Aku spontan berdiri dan membungkukkan badan. Apa ya, auranya seperti petinggi negeri, seperti ratu Elizabeth kalau di Inggris.
Bunda memerhatikanku tanpa berkedip. Dengan bola mata kuning ia memindai wajahku. Tujuh detik, aku menghitungnya dalam hati. Bunda menangkup pipiku dengan tangannya.
Aku mematung. Riga juga. Hanya matanya yang bergerak bolak balik kepadaku lalu ke bundanya.
“Kamu cantik,” pujinya. Tangannya turun tapi langsung meraih jemariku.
“Kamu mau kan, jadi menantuku.”
What???
__BERSAMBUNG__
"Aku menunggumu datang, Nara."Aku terlena dengan desis suaranya. Seperti membuaiku dari kekalutan. Memberiku semangat sebab sempat terpuruk mendengar tangisnya.Viana memundurkan kepalanya hingga kami jadi saling bertatapan.Aku lupa, Viana memang seindah ini sebelumnya. Wajahnya, senyumnya, cara ia melirikku. Dia wanita yang punya kesempurnaan mutlak."Aku mau minta maaf, sudah merepotkanmu hari itu," sambung Viana."Merepotkan apa?""Kamu. Sampai sengaja menghiburku ke luar rumah demi membuatku gak sesak lagi berada di dalam sini."Aku belum menemukan inti dari perkataannya. Atau kemana arah pembicaraan ini akan berlangsung."Waktu itu aku sangat down. Aku benar-benar gak bisa berpikir dengan tepat. Aku juga gak ingat pernah berteriak pada semua orang tentangmu ataupun tentang Riga."Mendengar nama itu disebut lagi, spontan aku seperti diingatkan, kalau Viana bukan milikku, tapi Riga. Meski Riga sudah meningg
"Aku ingin kembali pada Viana. Apa aku salah?"Yenan mendorong kerahku hingga belakang kepalaku membentur tanah."Tentu saja kamu salah, bedebah! Kamu sudah mempermainkan perasaan Seya," teriak Yenan.Yenan bangkit dari menindih badanku. Ia mengacak rambutnya, seolah kehilangan akal."Sialan! Kalau tahu akhirnya akan begini, harusnya aku gak membiarkanmu dekat dengan Seya." Yenan meracau.Aku sama sekali tak beranjak dari tanah. Langit bisa kupandangi dari posisiku. Juga dingin dari jalanan yang mulai menghasilkan embun pagi."Pergi kamu, Nara! Aku akan menghancurkanmu kalau sampai menunjukkan wajahmu lagi di depan Seya."Bagiku, itu seperti isyarat bahwa ia menyerah terhadapku. Sebab, memintaku tetap berada di sini, kembali pada Seya, hanya akan memberikan luka padanya.Yenan memilih untuk membenciku dengan caranya.Aku beranjak dari tanah. Memandangi Yenan yang sedang memunggungiku lengkap dengan kepalan tangan yang te
Namun, rupanya di rumahku ada seseorang.Seya.Ia berdiri menghadapku dengan wajah cemas dan kantung mata menghitam. Kutebak, ia juga tak tidur malam kemarin.“Nara!” suaranya terdengar serak. “Aku mencemaskanmu.”Seya mendekat. “Apa yang terjadi dengan ponselmu, kenapa gak menjawab teleponku. Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku cemas terjadi sesuatu dengan Nara.”Aku sudah menduga Seya akan begini. Hanya saja aku tidak menyangka akan terjadi secepat ini, di rumahku, tepat setelah aku kembali.Saat di perjalanan, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku harus memilih Seya dan Viana. Dan pilihanku jatuh pada Viana.“Seya, ada yang mau kukatakan padamu,” potongku. Mengabaikan kalimatnya barusan.Wajah Seya tegang. Ia tidak pernah melakukan itu sebelumnya. Senyum yang kemarin jadi ciri khasnya seolah raib hanya lewat kalimatku barusan.“Jangan katakan! Aku tahu apa yang
"Viana, kamu mau pergi denganku?"Viana memandangiku dengan tatapan kuyu. Aku tahu ia masih terpengaruh obat bius. Ia juga masih lemas efek berontak siang tadi.Tapi sungguh, di dalam rumah ini terasa sangat menyesakkan. Aku ingin memberi Viana angin segar agar ia lepas dari stress yang membuatnya ingin terus berteriak.Kuraih jaket yang menggantung dekat rak. Kupakaikan pada Viana. Lalu membantunya turun dari kasur dan menggandengnya berjalan keluar kamar.Orang-orang masih terlelap tidur. Aku dan Viana leluasa jalan mengendap-endap sampai ke luar rumah. Sekilas aku melihat jam dinding menunjukkan pukul 1 dini hari. Malam akan sangat dingin di luar, maka kurapatkan jaket yang dikenakan Viana.Jejeran bunga tanda berduka masih berada memenuhi jalanan. Viana menoleh ke arah itu. Sambil menahan gemetaran di bibirnya. Kupegang erat tangannya, berjalan ke arah sebaliknya yang jauh dari karangan bunga.Jalan dan jalan. Tak ada yang kami ucapkan.
“Mana Nara?”Otomatis aku beringsut ke kamar Viana begitu mendengar namaku disebut. Cyan juga mengekor tak jauh dariku.Viana nampak sedang ditenangkan oleh kakak iparnya. Ia mengamuk seperti saat tadi pagi. Kali ini ia meneriakkan namaku. Seolah kehilangan akal. Itu bukan seperti Viana yang kukenal.“Nara, mana Nara? Jangan ceraikan aku. Aku gak mau cerai dari Nara,” teriak Viana.Cerai?“Nara!”Lagi, Viana berteriak. Aku yang saat itu di pintu hanya bisa menatapnya. Viana menolehku. Tatapan kami bersirobok. Dan secepat kilat, Viana berlari ke arahku. Memeluk tubuhku. Di hadapan orang-orang, ia melingkarkan tangannya di perutku, kepalanya membenam di dadaku."Kumohon, jangan ceraikan aku. Aku gak mau berpisah denganmu. Jangan pergi!"Semua membisu. Terutama aku.Aku sempat mendengar kalau orang yang memiliki stres akut, ingatannya bisa kembali pada saat trauma terberatnya.Bisa
Saat itulah, aku menghampiri Viana. Mengambil alih kanan dan kiri tubuhnya. Mencengkeram pergelangan tangannya. Dan menariknya masuk ke tubuhku.“Ssst, diamlah Viana!”Viana belum sadar benar siapa yang memeluknya ini. Ia memukuli punggungku dan masih saja berteriak. Lagi, aku memeluknya makin erat. Tidak peduli dia memukul seberapa keras, atau ia menggigit bahuku demi minta kulepaskan.“Viana, ini aku. Nara!”Saat itu, barulah Viana berhenti. Mata kami bertautan. Kupandangi kedalaman matanya yang terlihat sangat nelangsa. Ada ribuan kalimat sedih yang kutangkap dari sorot matanya.Entah sudah berapa lama Viana mengamuk seperti ini, hanya saja kulihat ia cukup lelah. Napasnya naik turun, kedua tangannya juga melemas ketika kutangkap.“Na-ra?”Viana sukses menyebutkan namaku dengan bibirnya yang bergetar. Dan tak lama, Viana kehilangan keseimbangan. Ia pingsan. Aku menangkap kepalanya sebelum jatuh k