Detik itu, saat kami sedang bercakap-cakap, ponsel Yenan berbunyi. Ada nama Seya di layarnya. Yenan mengangkatnya dan menyerukan kalimat pembuka.
“Halo?”
Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bincangkan, sebab Yenan mendadak bangun dan pergi keluar ruangan. Mereka bicara dengan intens di telepon. Hanya dari pembicaraan satu arah saja, aku bisa tahu kalau mereka begitu akrab. Layaknya teman. Saudari yang awalnya dari teman.
“Hei, Nara?” panggil Yenan kemudian setelah menutup panggilan ponselnya.
Aku mendongak untuk mendengar ia berucap. “Apa?”
“Seya sudah di terminal. Kamu mau antar aku, atau tunggu di sini saja?”
“Em, di sini saja. Biar aku rapikan kamar untuk Seya nanti.”
Yenan mengangguk dan menyetujui itu. Kami seperti melakukan formasi. Yenan mengambil jaket, merapikan diri dengan menyisir rambut lurus berponinya. Sedangkan aku merapikan kasur di kamarku. Membereskan b
“Aku duda,” kataku kemudian. “Baru beberapa bulan ini.”Tatapan Seya sulit kuartikan. Antara cerah tapi mendung. Ia memerhatikan Yenan yang saat itu menunduk seolah tidak mau tahu.Seya tersenyum. “Yes, itu artinya aku bebas mendekatimu, kan?” serunya dengan riang dan mengepalkan tangan ke udara.“Mendekati apa sih, makan sana yang benar,” protes Yenan sembari mengayunkan sendok ke kepala Seya.Wanita itu memang berhasil tertunduk untuk makan. Tapi hanya beberapa detik. Setelahnya cengiran penuh arti terlontar padaku.Lagi-lagi aku tidak menggubris. Kupikir gadis mana yang akan suka dengan duda. Selain karena tabiat yang buruk, seorang duda terindikasi tidak punya kemampuan dalam mempertahankan hubungan. Aku sudah sangat siap dengan pemikiran buruk semacam itu.Namun, pemikiran hanya sebatas pemikiran. Nyatanya aku tidak bisa menebak apa yang Seya pikirkan.Setelah tahu aku duda yang bar
Seya menghadiahiku ponsel setibanya di rumah. Aku tak langsung menerimanya. Dahiku mengernyit di hadapan ponsel yang lengkap dengan dus serta paper bag bertuliskan merek ponsel tersebut.“Ini hadiah untuk apa?” tanyaku ketus.“Bukan untuk apa-apa. Memangnya kalau aku mau memberi hadiah harus ada alasannya?” Seya mengendikkan bahu sambil terus memaksaku menerima paper bag berisi ponsel tersebut.Paper bag itu memang sudah beralih ke tanganku sekarang. Namun aku bingung bagaimana menanggapinya.“Aku gak mau menerima ini,” ucapku dingin.“Kenapa?”“Aku gak suka ponsel. Aku bukan orang yang akan mengangkat panggilan dengan cepat atau membalas satu pesan masuk. Lebih baik aku gak punya ponsel,” alasanku jujur.Seya diam beberapa detik. Bola matanya berlari ke wajahku. Pastilah ia merasa aneh dengan jawabanku yang tak lazim ini.“Kenapa?&rdqu
“Kalau kamu melakukan semua ini agar aku memerhatikanmu, lebih baik berhenti sekarang. Aku enggak tertarik padamu. Aku juga gak berniat punya pasangan lagi setelah aku bercerai.”Lihatlah. Wajah ceria Seya mendadak suram. Lengkung bibirnya turun. Bola matanya kehilangan kilat yang selalu memesona. Ia pudar seiring kalimat sadis itu lolos dari mulutku.Aku menekan tombol end di layar ponselku. Menghentikan panggilan kami sekaligus menghentikan usaha Seya yang kentara berjuang keras demi aku.Seya masih tidak berucap apa-apa. Kalimatku tadi berhasil membuatnya mematung di tempat.“Mulai sekarang, bersikaplah biasa padaku. Karena sekeras apa pun kamu berusaha, aku gak akan pernah menolehmu. Enggak akan pernah,” ucapku lagi penuh penekanan.Seya menunduk. Biarlah ia terluka sekarang sebelum makin dalam perasaannya. Sebelum makin banyak yang ia lakukan untukku.Aku sudah memutuskan dalam hati setelah berpisah deng
Seya melihatku datang. Matanya mengilat. Senyum membayangi bersama cahaya senja menerpa wajahnya.Baru kali ini aku memerhatikan Seya dengan seksama. Entah karena cahaya senja yang menyadarkanku, atau bukan. Seya sangat cantik. Setiap jengkal di wajahnya diciptakan sempurna oleh Sang Pencipta.Caranya menarik senyum seolah mengobatiku dari segala luka dan sakit hati. Dia oase di padang pasir. Ia jawaban dari doaku yang meminta untuk bahagia.Luar biasa. Inikah efek senja di langit yang memayungi kami. Saat Seya berjalan setengah berlari ke hadapanku, saat itu pula aku merasakan debaran yang sudah lama hilang, kini hadir kembali.Kukira aku tak akan menemukan senyum itu lagi. Kukira aku tak akan mendengarkan Seya melantunkan namaku lagi dengan suara riangnya.“Aku menunggumu pulang, Nara!” katanya sambil setengah melompat di hadapanku. Tangan menyilang di belakang tubuh. Juga mata berkedip manja.Aku tak bisa berucap. Selain menat
“Kenapa kamu tanyakan itu? Apa sekarang kamu berubah pikiran dan mulai menyukai Seya?” tanya Yenan dengan tatapan yang tiba-tiba berubah serius.Aku balas menatapnya. Tidak gentar atau takut dikatakan plin-plan setelah apa yang kulakukan tempo hari pada Seya.“Kenapa? Apa aku aneh kalau bertanya dimana tempat praktek Seya?” kubalikkan pertanyaan Yenan dengan pertanyaan lagi.Yenan membisu. Seperti kalah telak dengan pertanyaanku yang beralasan. Yenan kembali ke lembaran kertas jawaban ujian. Ia menyerah berdebat denganku. Padahal aku tidak punya niat mendebatnya.“Kamu itu. Kalau hatimu tertutup untuk Seya, maka tutuplah terus. Jangan buka tutup begitu, nanti Seya bingung.” Yenan bicara sambil tetap memberi nilai di lembar kertas murid-muridnya.“Seya memang tipe yang lurus. Dia hanya akan memerhatikan apa yang dia sukai. Dia gak peduli kamu akan membalas perasaannya atau enggak. Dia hanya tahu bagaimana ia
“Jangan tunjukkan wajah sedih itu di depanku. Aku bersumpah suatu saat akan membuatmu lupa cara bersedih. Aku akan bawa Nara bahagia bersamaku. Jadi tolong ... mulai hari ini pikirkan saja aku.”Bagiku, itu kalimat yang menenangkan dibanding apa pun. Seseorang membawaku bahagia. Siapa yang tidak mau. Aku tidak pernah mendapat kebahagiaan itu. Berusaha sendiri. Tapi tetap tidak berhasil.Seya membawaku bahagia, apa bisa?Seya menggerakkan kedua telunjuknya di pipiku. Menarik ujung bibirku agar membentuk senyuman.“Nara tampan sekali kalau tersenyum. Aku serius,” desisnya.Aku tidak melakukan senyum yang ia bilang. Aku lebih tertarik menatap Seya yang seolah ada berlian di kedalaman matanya. Cukup lama kami saling bersitatap, tanpa bersuara, tanpa mengubah posisi.Tahu-tahu Yenan muncul dari dalam rumah. Ia terlalu tiba-tiba sampai Seya nyaris melompat dari tempatnya. Kaget.“Kenapa baru pulang sekarang, si
Entah bagaimana Biru tahu alamatku di Surabaya. Selembar undangan dengan nama Biruni Abimahya dan Arnila Pradipta mampir di atas meja ruang tamu."Itu tadi tetangga yang beri. Katanya ada tuan muda yang datang kemari dan menanyakan apa kamu tinggal di sini," celetuk Yenan sembari menggosok giginya di kamar mandi."Apa undangan itu dari orang yang dikenal Nara?" Seya ikut bertanya.Aku mengangguk. Tidak ada gunanya juga menutupi diri dari mereka.Seya mengambil alih undangan yang dari tadi berada di tanganku, tapi tak kubaca apalagi kubuka."Ow, akhir bulan ini," seru Seya setelah membuka undangan berwarna merah muda itu. "Hah, di Bandung? Wow, kamu mau datang ke sana, Nara? Kalau iya, sekalian aku pulang ke rumah di Bandung.""Memangnya kamu mau ikut?" Yenan mewakilkan hal yang berada di kepalaku."Ikut dong. Nara pasti butuh teman untuk ke undangan. Aku bakal dandan cantik, kok. Jadi Nara gak usah malu bawa aku," katanya men
“Aku? Aku sendiri bahkan gak yakin, apa aku bisa bahagia?”“Bisa, karena ada aku di sisi Nara.”Seya meremas tanganku. Bukan kesakitan, tapi kelembutan yang kurasa dari remasan tangannya yang berbarengan dengan senyum mengembang.“Ayo kita datang ke undangan temanmu itu. Berjanjilah setelah melihat mantan istri juga temanmu itu, Nara akan hidup lebih baik dari Nara yang dulu. Aku akan membantu Nara.”Lagi-lagi, Seya menawarkan banyak sekali candu. Sesuatu yang kuanggap sebagai pertolongan. Hal yang kubutuhkan, tapi aku tak tahu mulai dari mana.Setelah kukatakan ini padanya, mungkinkah ia bisa lebih memahamiku. Bisa lebih menganggapku sebagai seorang yang rapuh, alih-alih lelaki yang bertanggung jawab seperti yang ia banggakan.“Aku bersumpah akan membuat Nara bahagia.”Kalimat itu terus terngiang. Berwaktu-waktu. Terus berputar di otak seperti gulungan kaset rusak.Dan atas saran