“Kenapa kamu tanyakan itu? Apa sekarang kamu berubah pikiran dan mulai menyukai Seya?” tanya Yenan dengan tatapan yang tiba-tiba berubah serius.
Aku balas menatapnya. Tidak gentar atau takut dikatakan plin-plan setelah apa yang kulakukan tempo hari pada Seya.
“Kenapa? Apa aku aneh kalau bertanya dimana tempat praktek Seya?” kubalikkan pertanyaan Yenan dengan pertanyaan lagi.
Yenan membisu. Seperti kalah telak dengan pertanyaanku yang beralasan. Yenan kembali ke lembaran kertas jawaban ujian. Ia menyerah berdebat denganku. Padahal aku tidak punya niat mendebatnya.
“Kamu itu. Kalau hatimu tertutup untuk Seya, maka tutuplah terus. Jangan buka tutup begitu, nanti Seya bingung.” Yenan bicara sambil tetap memberi nilai di lembar kertas murid-muridnya.
“Seya memang tipe yang lurus. Dia hanya akan memerhatikan apa yang dia sukai. Dia gak peduli kamu akan membalas perasaannya atau enggak. Dia hanya tahu bagaimana ia
“Jangan tunjukkan wajah sedih itu di depanku. Aku bersumpah suatu saat akan membuatmu lupa cara bersedih. Aku akan bawa Nara bahagia bersamaku. Jadi tolong ... mulai hari ini pikirkan saja aku.”Bagiku, itu kalimat yang menenangkan dibanding apa pun. Seseorang membawaku bahagia. Siapa yang tidak mau. Aku tidak pernah mendapat kebahagiaan itu. Berusaha sendiri. Tapi tetap tidak berhasil.Seya membawaku bahagia, apa bisa?Seya menggerakkan kedua telunjuknya di pipiku. Menarik ujung bibirku agar membentuk senyuman.“Nara tampan sekali kalau tersenyum. Aku serius,” desisnya.Aku tidak melakukan senyum yang ia bilang. Aku lebih tertarik menatap Seya yang seolah ada berlian di kedalaman matanya. Cukup lama kami saling bersitatap, tanpa bersuara, tanpa mengubah posisi.Tahu-tahu Yenan muncul dari dalam rumah. Ia terlalu tiba-tiba sampai Seya nyaris melompat dari tempatnya. Kaget.“Kenapa baru pulang sekarang, si
Entah bagaimana Biru tahu alamatku di Surabaya. Selembar undangan dengan nama Biruni Abimahya dan Arnila Pradipta mampir di atas meja ruang tamu."Itu tadi tetangga yang beri. Katanya ada tuan muda yang datang kemari dan menanyakan apa kamu tinggal di sini," celetuk Yenan sembari menggosok giginya di kamar mandi."Apa undangan itu dari orang yang dikenal Nara?" Seya ikut bertanya.Aku mengangguk. Tidak ada gunanya juga menutupi diri dari mereka.Seya mengambil alih undangan yang dari tadi berada di tanganku, tapi tak kubaca apalagi kubuka."Ow, akhir bulan ini," seru Seya setelah membuka undangan berwarna merah muda itu. "Hah, di Bandung? Wow, kamu mau datang ke sana, Nara? Kalau iya, sekalian aku pulang ke rumah di Bandung.""Memangnya kamu mau ikut?" Yenan mewakilkan hal yang berada di kepalaku."Ikut dong. Nara pasti butuh teman untuk ke undangan. Aku bakal dandan cantik, kok. Jadi Nara gak usah malu bawa aku," katanya men
“Aku? Aku sendiri bahkan gak yakin, apa aku bisa bahagia?”“Bisa, karena ada aku di sisi Nara.”Seya meremas tanganku. Bukan kesakitan, tapi kelembutan yang kurasa dari remasan tangannya yang berbarengan dengan senyum mengembang.“Ayo kita datang ke undangan temanmu itu. Berjanjilah setelah melihat mantan istri juga temanmu itu, Nara akan hidup lebih baik dari Nara yang dulu. Aku akan membantu Nara.”Lagi-lagi, Seya menawarkan banyak sekali candu. Sesuatu yang kuanggap sebagai pertolongan. Hal yang kubutuhkan, tapi aku tak tahu mulai dari mana.Setelah kukatakan ini padanya, mungkinkah ia bisa lebih memahamiku. Bisa lebih menganggapku sebagai seorang yang rapuh, alih-alih lelaki yang bertanggung jawab seperti yang ia banggakan.“Aku bersumpah akan membuat Nara bahagia.”Kalimat itu terus terngiang. Berwaktu-waktu. Terus berputar di otak seperti gulungan kaset rusak.Dan atas saran
Sekolah sudah masuk kembali. Aku dan Yenan disibukkan dengan jadwal pelajaran semester dua. Seperti janji Kepala Sekolah, aku ditunjuk jadi penanggung jawab ekstrakulikuler komputer. Sejauh ini semua berjalan baik. Semua bisa terkendali dengan mudah.Mengenai hubunganku dengan Seya, itu juga baik. Dia juru kecerianku. Setiap hari ada saja hal-hal yang membuatku ingin melancarkan senyum juga tawa saat bersamanya.Yenan tahu tentang hubungan kami. Ia setuju saja. Tapi sedikit protektif. Katanya, kami dilarang berduaan di rumah, atau di kamar. Katanya, dilarang melakukan ini itu sebelum resmi menikah.Yenan sangat primitif. Lagipula aku tidak seagresif itu. Dan Seya tidak segenit itu untuk menyerangku duluan saat kami berdua saja di rumah tanpa Yenan.Hari ini, aku sedang mengajar di ekskul. Melihat bagaimana mereka mengerjakan tugas animasi untuk dipamerkan di hari perpisahan. Aku membimbing mereka saat tersesat. Selebihnya mereka lah yang berkreasi dengan
Awalnya Seya diam. Mematung. Benar-benar hanya aku saja yang bergerak ke kanan dan ke kiri.Sejenak aku lupa. Seya belum punya catatan pacaran dengan siapa pun. Bisa jadi, ciuman denganku ini juga yang pertama untuknya.“Seya, apa sebelumnya kamu pernah ciuman?” tanyaku sembari berbisik.Seya hanya berkedip. Jiwanya seperti dicabut dari raga. Aku menunggu jawabannya, tapi Seya kehilangan konsentrasi dan hanya bisa melompat-lompatkan biji mata ke wajahku.“Hei, Seya?” Ia tegang lagi hanya dengan kepalaku miring di hadapannya.Seya menelan ludah. Berusaha menyadarkan dirinya dengan gelengan kepala.“Apa, Nara tanya apa tadi?”Dia tidak mendengarku. Jelas ketegangannya sangat kentara di setiap jengkal wajahnya.Seya ... lucu juga.“Enggak jadi. Kita pulang, yuk!”Pergelangan tanganku ditangkap Seya. Aku jadi memutar tubuhku lagi kepadanya dan menunggu reaksinya.
Apa yang terjadi setelah malam itu?Aku semakin menyukai Seya. Dia dan segala yang ada padanya, aku suka. Sehari tanpanya, aku mabuk. Tanpa sosoknya, aku merasa hilang.Dia bukan saja penyemangatku, dia dewiku. Semua duniaku nyaris berporos pada Seya.Aku mengatakan kalimat ini pada Yenan, dan dia hanya menggeleng dan menganggapku mengada-ada.“Biasalah kalau yang baru-baru pacaran tuh ya begitu. Nanti lama-lama juga kamu sadar sendiri kalau kamu tuh berlebihan,” komentar Yenan saat kami berdua saja di meja makan.Seya tidak ada, dia sedang di tempat prakteknya sore itu.“Aku serius. Bagaimana pendapatmu kalau aku menikahi Seya?” ucapanku mendapat semburan air minum yang Yenan tenggak.“A-apa?”Kuseka air yang mengenai wajahku. Menunggu Yenan berhenti membelalakkan mata.“Nara, aku kira kamu memacari Seya untuk menyenangkannya saja,” katanya.“Seperti kataku ta
Malam itu kami pergi ke Bandung, ke kediaman Adia. Reist masih berada di Qatar, dan kabarnya akan diantarkan ke rumah duka dua hari lagi.Kami baru tahu ternyata Adia koma jauh sebelum Reist meninggal di lintas balap. Penyebab Adia koma pun karena percobaan bunuh diri.Bertubi-tubi informasi masuk ke telinga kami, nyaris tak ada satu pun yang masuk ke logika. Adia dan Reist, dua orang yang saling jatuh cinta itu, bagaimana mungkin berakhir seperti ini. Sungguh cerita pilu.Seya tak berhenti-berhentinya menangis, sepanjang perjalanan dari Surabaya ke Bandung menggunakan maskapai penerbangan, tangisannya tak berhenti.Yenan sudah bisa menguasai dirinya. Hanya lebih sering melamun dan tak awas bila kupancing dengan sebuah kata-kata.Bagiku, mereka sedang menjalani masa duka, pada sahabat dan orang yang disukai mereka.Aku jadi berpikir, apa yang akan terjadi padaku bila kudengar kabar mengenai kematian Viana, atau Riga, atau Warnakota? Apa aku
Sepulangnya dari Bandung, Seya dan Yenan tidak lantas kembali ke aktifitasnya masing-masing.Seya tidak membuka tempat prakteknya, Yenan izin tak masuk mengajar karena tiba-tiba demam tinggi.Dampak pada mereka berdua tentang Reist dan Adia lumayan besar. Siapa juga yang mau kehilangan sahabat secepat itu.“Pak Yenan gak masuk kelas, ya?” seorang guru bertanya saat aku berada di meja kerjaku.Aku mengangguk sebagai jawaban. “Iya, Bu. Yenan demam. Mungkin beberapa hari ini izin gak masuk karena sakit.”Ibu guru yang juga mengajar bahasa indonesia itu pantaslah bertanya, sebab ia bertugas menggantikan kelas Yenan bila berhalangan hadir. Itu berarti pekerjaan ekstra juga untuknya.“Duh, gimana ya, jam terakhir itu ada jadwalnya Pak Yenan, tapi saya sudah kepalang janji dengan keluargaku mau izin untuk acara penting. Aku gak bisa mengisi jam Pak Yenan,” resahnya.Pelajaran terakhir? Sepertinya jamku kos