Air mata Maudy tumpah saat melihat Azzam mulai kesusahan bernafas. Putranya terlihat berjuang untuk mengayuh air, namun tenaganya lemah. “Gila, wanita sialan!!” Umpat Feby, geram. Ia memukul meja dengan kuat, “Cepat kirim rekaman CCTV ke ponsel saya!!” Titahnya pada petugas. Petugas itu hanya mengangguk tanpa berkata. Ia segera melakukan permintaan Feby. Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, Maudy dan Feby meninggalkan danau menuju rumah sakit. Di dalam mobil, Maudy hanya diam, pikirannya masih terpaku pada rekaman CCTV yang baru saja ia lihat. “Kenapa calon istrinya Mas Aditya jahat banget, Feb? Aku gak nyangka dia bakal ngelakuin hal itu.” Ucap Maudy, berusaha menahan emosi yang meledak-ledak. “Kamu tenang aja, Maudy! Aku akan kasih pelajaran wanita ular itu. Berani-beraninya dia celakai ponakanku!!” Jawab Feby, menggeram. “Gak usah, Feb!!” Bantah Maudy cepat. Feby mengerutkan kening, “Kenapa gak usah? Dia harus diberi pelajarann!!” Tanyanya, terkejut dengan penolak
Detak jantung Azzam semakin lemah. Wajahnya pucat pasi dengan mata tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda kehidupan.Dokter dan perawat dengan tangan gemetar menempelkan alat bantu pernapasan ke hidung Azzam.“CEPAT!! POMPA JANTUNGNYA!!” teriak Dokter, panik. Perawat, dengan gerakan cepat dan terampil, menekan dada Azzam berulang kali, mencoba menghidupkan kembali detak jantung bocah kecil itu.“Pernapasan buatan!” Dokter mengambil alih alat bantu pernapasan, meniupkan udara segar ke paru-paru. Setiap hembusan napas terasa berat.Di sekeliling mereka, orang berdesak-desakan dengan wajah khawatir. Suara tangis dan doa menggema di ruangan itu.“Ada tanda-tanda!” Seru Aditya, matanya berbinar penuh harap.Setelah berusaha, jantung Azzam kembali berdetak lemah, wajah Azzam yang tadinya pucat kembali normal.“Syukurlah,” Perawat menghela napas lega, matanya berkaca-kaca.Beberapa saat kemudian, gumaman kecil terdengar dari bibir Azzam, “Mama... Mama...” Suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
“Kamu ngapain ajak anak itu sih, Mas? Aku gak suka?!” Ucap Riska, kesal. Aditya menatap Riska dengan tatapan datar. Ia merasa lelah menjelaskan situasi yang sama berulang kali.“Emang kenapa?! Azzam ganggu kamu? nggak kan?” Bentak Aditya, geram.“Tapi aku gak suka, Mas! Aku udah pernah bilang sama kamu. Jangan berhubungan dengan anak itu dan ibunya! Kamu itu gak pernah ngertiin perasaanku!!” Riska menunjuk ke arah Azzam yang sedang bermain dengan anak dari adik calon suaminya. Matanya berkilat dengan kemarahan.“Gak usah kekanak-kanakan deh, Riska!! Jangan rusak momen hari ini!!” Ujar Aditya. Rasanya terlalu malas mengurusi calon istrinya yang suka emosian.“Tapi aku gak suka! Dia itu anak wanita penggoda!!” Umpat Riska.“Stop!! Kenapa kamu selalu bilang kalau Maudy itu penggoda? Padahal aku sama Maudy gak pernah chatingan, atau pergi berdua, bahkan kami gak pernah berinteraksi lebih dari sekedar menyapa!” Jelas Aditya menegaskan.“Karena kamu suka sama dia, itu masalahnya!” Teriak R
Empat tahun berlalu... Maudy menatap pabriknya dengan bangga. Dulu, hanya sebuah ruangan kecil yang penuh semangat dan cita-cita, kini telah menjelma menjadi bangunan megah yang berdenyut dengan aktivitas. Aroma harum sambal menguar dari mesin-mesin pengolah, bercampur dengan wangi gurih makanan ringan dan aroma sedap makanan instan. Semuanya berkat kerja keras, tekad, dan sentuhan tangan kreatif Maudy dan Feby. Bisnisnya melesat bak roket. Sambal buatannya, yang dulu hanya dijual online, kini merajai rak-rak supermarket. Rasa otentik dan kualitas bahan terbaik menjadi kunci kesuksesannya. Tak hanya sambal, makanan ringan dan makanan instan buatan mereka juga laris manis. Maudy jeli melihat peluang dan kebutuhan pasar, menghadirkan produk-produk inovatif yang menggugah selera dan praktis untuk dikonsumsi. Para karyawannya, yang dulu hanya segelintir orang, kini telah menjadi keluarga besar yang saling bahu-membahu. Mobil Maudy berhenti di halaman rumah. Langkahnya pelan, namun se
“Baru pembukaan tujuh, Bu. Jadi harus nunggu dulu ya!” Jelas Dokter Merry. “Tapi rasanya sakit banget, Dok,” keluh Maudy. Suaranya bergetar menahan rasa sakit. Air matanya mulai menetes, membasahi pipinya yang pucat. “Itu wajar, Bu. Lebih baik di bawa jalan-jalan dulu di dalam ruangan ini agar pembukaannya cepat lengkap!” Jelas Dokter, sambil tersenyum. Ia tahu, rasa sakit itu adalah bagian tak terpisahkan dari proses melahirkan. Di luar ruangan, Feby tampak panik. Ia segera menghubungi orang tuanya untuk memberi tahu kabar Maudy. “Assalamu'alaikum, Ma,” Sapa Feby, suaranya bergetar menahan tangis. [Wa'alaikumsalam, kenapa, Nak??] “Ma, Maudy mau lahiran. Cepat kesini!” Pinta Feby. Jantungnya berdebar kencang, takut akan apa yang terjadi pada Maudy. [Kamu serius?] “Iya, Ma. Sekarang kami lagi di rumah sakit!” [Oke, Mama sama Papa kesana sekarang!!] Sementara itu, Dokter memutuskan untuk memasang infus pada Maudy yang terlihat lemah. Ia memanggil seorang perawat, “Sus, tolong
Feby menarik Maudy ke dalam pelukannya, menenangkan sepupunya, “Aku tau ini sakit, Maudy. Tapi kamu harus kuat. Kamu masih punya calon anak. Kamu masih punya aku dan keluarga kita. Kamu gak sendiri!!” Bisiknya, mencoba memberikan semangat pada Maudy. Maudy menangis di pelukan Feby. Ia merasa hancur dan kecewa pada Arya. Tapi ia harus kuat demi anak yang sedang ia kandung. “Aku akan lupain Mas Arya, Feb! Mencintainya hanya akan membuatku semakin sakit. Aku akan balas semua rasa sakit yang pernah dia berikan padaku!!” Ungkap Maudy. Berjanji akan melupakan pria itu. °°°°° Di kediaman Rayendra terasa panas dan mencekam. Arya berdiri di hadapan Elizabeth, wajahnya merah padam, mata menyorot kemarahan. Tangannya mencengkeram kuat leher Elizabeth, membuat wanita itu kesakitan dan mencoba menepis tangan Arya. “BERANINYA KAMU MENGUSIK HIDUPKU!!” Teriak Arya, “KAMU TAU AKU GAK MAU MENIKAHI AURORA! TAPI KENAPA KAMU SEBARKAN BERITA HOAX ITU?!! KAMU MAU MENGHANCURKAN HIDUPKU, HAH!!” Bentakny