Nagita perlahan membuka mata, terbangun dengan kepala yang masih berdentum hebat. Meski tubuhnya masih terasa lemas, ia memaksakan diri untuk beranjak duduk, mengamati sekitar.
Kamar bernuansa putih gading, terletak lampu gantung kristal di atasnya, serta jendela besar dengan balutan tirai beludru yang langsung menampakkan keindahan taman membuat Nagita kontan menyipitkan mata. Ia sedang berada di kamar siapa? Namun, kamar ini entah kenapa terasa familiar. "Kau sudah bangun?" Suara khas seorang pria menyadarkan Nagita dari lamunan panjang. Pria itu mengenakan kemeja putih yang ia gulung sampai ke siku. Ia mendekati Nagita dengan penuh kekhawatiran, menempelkan telapak tangannya pada kening Nagita. "Syukurlah, ini lebih mendingan." "Daniel?" Nagita refleks mundur perlahan sampai tubuhnya menempel pada sandaran kasur. Ia panik saat menyadari pakaiannya sudah berganti tanpa sepengetahuannya. Piyama biru dengan ukuran yang pas membalut tubuh ramping Nagita. Ribuan pertanyaan lantas hinggap di kepalanya. Perempuan dewasa itu mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam, tapi yang ada justru kepalanya semakin pusing bila terus dipaksa. “A-apa yang terjadi ….” Rasa takut dan bingung membuat Nagita bergegas menutupi tubuhnya dengan selimut. Daniel terkekeh melihat gelagat Nagita. "Apa yang kau tutupi?" tanyanya dengan nada menantang. "Semalam aku telah melihat tubuh polosmu." Wajah Nagita seketika merah padam. "A-aku tidak ingat," ujarnya gugup. "Apa semalam ... kita ...." Nagita menelan ludahnya sendiri, tercekat melanjutkan pemikiran kotor yang terlintas di kepala. ‘Astaga, apa aku sudah gila?!’ Nagita merutuk sambil menjambak rambutnya frustrasi. Ia tak menduga dirinya sekotor itu …. “Aku hanya bercanda,” ujar Daniel sambil terkekeh. Nagita mendongak dan menatap pria itu sambil mengerjap. “A-apa?” Daniel memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Ia mengedikkan bahu ringan. “Pelayanku yang menggantinya," katanya. Nagita seketika menghela napas lega. Ternyata ia berpikir terlalu jauh. Daniel lantas mendekat dan menatap Nagita dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Atau kau mengharapkan sesuatu yang lebih?” Nagita sontak membuang pandangannya ke arah lain. “Teruslah bermimpi!” dengusnya dengan wajah memerah. Bisa-bisanya Daniel menggodanya di saat seperti ini?! Daniel tersenyum. Nagita telah kembali menjadi dirinya yang biasa. Pria itu tidak tahu apa yang terjadi semalam sampai Nagita terlihat begitu terluka, yang penting baginya saat ini adalah perempuan itu ada di sini bersamanya. "Kau pingsan. Semalam hujan lebat. Aku jadi tidak tega membiarkanmu terlelap kedinginan dengan pakaian basah." Nagita kontan menunduk, tidak berani menatap mata Daniel yang teduh. "Maaf merepotkanmu," ucapnya. Ia sampai menggigit bibir bawah saking malunya. Nagita mencoba mengingat lagi alasannya pingsan, tapi kepalanya masih berdenyut hebat. Kejadian pingsan semalam tentu saja merusak citra dirinya. Di mana perempuan kuat dan tangguh itu? Sepertinya malam itu ia tampak tidak berdaya. Daniel mengelus puncak kepala Nagita. "Tidak perlu memaksakan diri untuk mengingat kejadian semalam," sahut Daniel. "Yang penting sekarang kau aman bersamaku." Hati Nagita menghangat mendengar itu. "Kau pasti lapar. Mandi dan bersiaplah untuk sarapan. Aku tunggu di bawah." Daniel hendak meninggalkan Nagita, tapi perempuan itu mencegat pergerakannya. "Sebentar, bagaimana kalau aku tersesat?" Maksud Nagita, tempat ini tentu saja begitu luas. Tidak ada jaminan bila Nagita bisa menemukan ruang makan dengan mudah. Setidaknya, harus ada pelayan yang membantunya bersiap-siap dan menuntun jalan. Daniel sampai terkekeh mendengar ucapan Nagita. "Ini bukan kali pertama kau menginjakkan kaki ke sini, Nagita," jawab Daniel mengingatkan. "Tidak perlu berlaga lugu, bukankah dulu kau pernah gentayangan di rumah ini untuk mencari sesuatu?" Nagita menelan ludah. Apa Daniel sedari dulu mengetahuinya dari awal? Gadis itu berdiri dari duduknya, meminta penjelasan. "Kau ... apa yang kau bicarakan?" tanyanya menatap Daniel. Meski berusaha berpura-pura tidak tahu, tapi ia tetap merasa cemas. "Cincin berlian itu," terang Daniel enteng. "Bukankah kau yang mencurinya?" Ucapan Daniel jelas bukan sekedar pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan mutlak yang tidak bisa terelakkan. Nagita tidak mampu berkata-kata. Kalau Daniel sudah tahu siapa pencuri sebenarnya, kenapa selama ini laki-laki itu tidak mencari dan menjebloskan Nagita ke penjara? Atau kenapa tidak menjual dirinya ke pasar gelap? Masalahnya, Daniel membeli cincin itu dengan harga yang fantastis dan hanya ada satu di dunia ini. "Bersiap-siaplah. Aku akan menunggumu di ruang makan," ujar pria itu. Seolah, bagi Daniel pencurian itu tidak ada artinya. Daniel bahkan berlalu dengan langkah ringan sembari bersiul santai. Respon Daniel membuat Nagita kontan menelan ludah. Pencurian yang Nagita lakukan di masa lalu tentu saja membutuhkan perjuangan yang tidak mudah, tapi Daniel menganggap Nagita seperti mencuri donat kentang. "Pria sultan ini membuatku merinding," gumam Nagita menatap kepergian Daniel. Sekelabat bayangan tiga tahun lalu kembali berputar di kepala Nagita. Di sebuah tempat pelelangan, Nagita berusaha mendapatkan cincin berlian yang amat menarik perhatiannya. Namun, Daniel terus saja menawarkan harga yang lebih tinggi dari Nagita. Mendominasi. Pria itu tidak berhenti menaikkan harga sampai Nagita kewalahan menghadapinya. Pria ini jelas lebih kaya darinya. Nagita tidak akan bisa menang melawan Daniel. Maka, Nagita terpaksa merelakan perhiasan yang begitu ia damba. 'Perempuan ambisius sepertimu wajib bersanding dengan pria yang jauh lebih kaya darimu, Nona. Misalnya seperti aku.' Suara Daniel tiga tahun lalu masih terekam dengan jelas, kembali mengusik Nagita. Itu percakapan pertama mereka setelah Daniel menang mutlak mendapatkan cincin berlian. Saat itu, Nagita hanya merespon ungkapan Daniel dengan raut wajah masam, masih teramat kesal kepada pria itu, sebab jika bukan karena Daniel, mungkin Nagita bisa mendapatkan cincin itu dengan mudah. Jika saja cincin berlian itu sedari awal adalah miliknya, ia tidak harus bersusah payah menjadi seorang pencuri kelas teri. Dengan helaan napas kasar, Nagita mulai beranjak dari kasur. Ia tidak ingin berlarut-larut memikirkan banyak hal. Bergegas Nagita masuk ke kamar mandi, membersihkan diri. Ia harus mencari cara agar bisa lekas pergi dari sini. Berada terlalu lama di sekitar Daniel tentu bukan pilihan yang bijak.Nagita diam-diam melangkah menuju apartemen Jordan. Ini sudah larut malam, lorong apartemen sudah lenggang, menjadi kesempatan untuk Nagita lebih leluasa masuk dengan tenang. Jordan yang masih terkapar di rumah sakit adalah suatu kesempatan emas untuk Nagita. Ia bisa lebih leluasa mengobrak-abrik ruangan Jordan sampai ponselnya ditemukan. Setelah memencet tombol angka password apartemen Jordan, pintu lantas terbuka. Nagita melesat masuk, lalu menutup pintu dengan pelan agar tidak menimbulkan suara. Nagita nekat kembali menyelinap masuk, mengingat ia belum sepenuhnya menyusuri ruangan Jordan. Nagita belum puas sampai ponselnya berada tepat di tangannya. Sekarang ia harus fokus menemukan benda pipih itu hingga ketemu. Dengan langkah pelan tapi pasti, ia bergerak menuju ruang tengah. Ia menyapu ke seluruh ruangan, mencoba berpikir keras. Di mana pria itu menyembunyikan ponselnya? Apa berada di laci meja kerja? Nagita mengingat-ingat, ia pernah memeriksa sekilas saat itu. Dan seingatn
Di ruang kerja Daniel yang luas dan tertata rapi, pria itu menatap layar ponselnya dengan perasaan tak karuan. Laporan yang ia terima dari Gilbert membuat ia spontan menggebrak meja. Jordan sialan! Apa pria itu belum puas mengusik Nagita? Rasanya kepala Daniel mendidih mengetahui kabar tersebut. Terlebih, ia terbakar cemburu saat Nagita masih menunjukkan kepedulian pada pria seberengsek Jordan. Hatinya tercabik panas saat tahu Nagita masih berbaik hati menemani Jordan di rumah sakit padahal pria itu jelas berniat jahat. Namun, yang membuat Daniel sedikit tenang adalah Nagita baik-baik saja. Perempuan itu aman berada di bawah pengawasan Gilbert dan Lucas. 'Aku segera menyusul.'Daniel segera mengirim pesan itu pada Gilbert. Rasanya Daniel tidak puas jika tidak melihat Nagita di depan matanya. Rasa rindu yang kian membesar tidak bisa lagi Daniel tahan. Daniel bisa gila jika rindu ini hanya sebatas rindu belaka. Ia perlu menyalurkan rindunya dengan menemui Nagita. Ia akan terus men
Nagita mencium bau khas rumah sakit yang menyengat hidung. Ditemani Gilbert dan Lucas, Nagita berada dalam salah satu ruang rawat inap, berdiri di sisi ranjang kamar Jordan. Nagita menatap dalam layar monitor yang berbunyi pelan, menandakan bahwa Jordan masih hidup walaupun pria itu entah kapan akan terbangun. Ia terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Lengannya telah dipasangi selang infus. Luka lebam yang Jordan terima terlihat membiru. "Kau terlalu baik pada pria tidak tahu diri itu, Nona," simpul Gilbert sembari bersender di dinding dengan tangan bersedekap. Ada rasa kesal dalam hatinya melihat pria seberengsek Jordan masih bernyawa dan dilarikan ke rumah sakit atas permintaan Nagita. Nagita menghela napasnya, menatap Jordan sembari mengingat kenangan yang sempat mereka ukir bersama. "Dia mungkin pantas mendapatkan ini, tapi dia pernah menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak setega itu jika meninggalkannya terluka." "Jadi Nona masih mencintai Jordan ...," Luca
"Aku tidak ingin anak dari Claudia. Aku hanya ingin punya anak darimu, Nagita." Bualan yang Jordan lontarkan membuat Nagita spontan menjaga jarak. Nagita mundur beberapa langkah saat matanya menangkap sorot penuh hasrat dari mata Jordan. "Menjauh dariku!" Nagita terus mundur, sampai akhirnya pergerakannya terhenti karena dinding yang membatasi. Jordan melangkah lebih dekat, menempelkan telapak tangannya ke dinding, mengurung Nagita dengan senyuman miring. "Aku hanya menginginkanmu, Nagita. Hanya kamu satu-satunya." Nagita benci situasi ini. Saat Jordan mengatakan omong kosong itu, membuat hatinya jelas teriris. Apa yang Jordan katakan sebagai satu-satunya? Nagita justru menyadari bahwa ia hanyalah salah satunya. Tanpa pikir panjang, Nagita mendorong dada Jordan sekuat tenaga. "Berengsek!" Nagita mulai berlari mendekati pintu. Jordan yang menyadari Nagita berniat kabur, dengan cekatan mengejar Nagita, mencengkeram pergelangan tangan Nagita dengan kuat. "Mau lari ke mana, Saya
Nagita terbangun dengan nuansa yang nampak berbeda. Tidak ada lagi kamar putih gading yang luas tapi terasa seperti penjara saat ia membuka mata. Namun, meski begitu, ini juga bukan kamar lama Nagita setelah ia memutuskan pergi dari mansion Daniel. Ini kamarnya yang baru. Nagita membeli apartemen baru dengan black card milik Daniel. Entah Daniel menyadari ini atau tidak, yang jelas Nagita terpaksa bertahan hidup dengan kartu hitam yang berharga itu. Semua kebutuhannya bisa terpenuhi hanya dengan memegang kartu yang diberikan oleh Daniel. Mereka memang tidak lagi tinggal bersama, tapi kartu ini menjelaskan bahwa keduanya masih terikat. Tidak banyak yang Nagita lakukan di apartemen barunya. Aktivitasnya hanya merenungi nasib. Ia kehilangan semangat, menutup diri dari berbagai aktivitas. Untuk keperluan makan pun, ia lebih memilih gofood. Beberapa hari ini hanya kegiatan monoton dan memuakkan itu yang Nagita lakukan. Keluarganya pun tidak mencarinya. Ini semakin membuat Nagita kecewa
Semua barang milik Nagita berada di apartemen, dan sayangnya ia tidak punya akses untuk masuk ke dalam sana. Nagita merasa buntu, terjebak tanpa tahu jalan keluar. Nagita bahkan baru menyadari satu hal, ia tidak punya ongkos untuk pergi menemui keluarganya. Nagita merasa sendirian, seperti anak tersesat yang tidak tahu jalan pulang. Nagita lalu iseng meraba tas yang ia bawa, yang di dalamnya ia masukkan wig dan juga kacamata. Nagita merasa ... kedua benda itu akan ia gunakan di lain kesempatan. Firasatnya mengatakan benda itu penting untuk Nagita simpan. "Hah?" Dan betapa terkejutnya Nagita saat menemukan black card terselip di dalamnya. Daniel rupanya diam-diam memasukkan benda itu ke dalam tas Nagita. Perempuan itu sontak bernapas lega. Meski Daniel melepasnya pergi, tapi pria itu masih menunjukkan kepedulian yang nyata untuk Nagita. Namun .... Nagita ragu untuk menggunakan kartu eksklusif itu. Bukankah ia tak ingin terlibat lagi? Bukankah ia bertekad untuk tak mau merepotk