'Ah … Jordan ….'
Memori menyakitkan itu kembali menyeruak, membuka sesuatu yang kelam. Dada Nagita terasa sesak. Bayangan pengkhianatan Jordan terekam jelas di kepala Nagita. Desahan Claudia dalam kurungan Jordan terus menggema di telinga, begitu nyata sekaligus menyakitkan. Nagita meremas selimut dengan kuat, menguatkan diri pada peristiwa traumatis yang menimpanya. "Jordan ...," Nagita dengan gemetar bersuara, " ... dia selingkuh ...." Kristal bening mulai mengalir melewati pipi. Ia terisak pilu. Percintaan panas Jordan dan Claudia sungguh melukai Nagita, mengoyak hati polosnya yang naif. Kepercayaan yang selalu Nagita beri seolah tidak berarti. Kesetiaan Jordan yang selalu Nagita percayai adalah bentuk kebodohan yang amat merobek hati. Namun, ingatan itu belum sepenuhnya lengkap. Masih ada peristiwa penting yang terjadi setelah Nagita memergoki perselingkuhan Jordan. Sesuatu yang jauh lebih gelap. Nagita memejamkan mata, terus menelusuri dan memaksakan diri untuk mengingat kelanjutannya. Ingatan itu terus menyeret Nagita ke jurang kegelapan. "Lalu ... aku ...." Nagita kesulitan mengungkapkan dengan perasaan tak tenang, kontan menghentikan cerita dengan napas tersengal. Daniel memilih diam, menahan diri untuk tidak buru-buru berkomentar. Ia menunggu dengan sabar apa yang hendak disampaikan Nagita hingga tuntas. "Aku tidak sengaja menjatuhkan ponsel saat ...." "Ya, ingatan Nagita kini benar-benar pulih. Sempat terjadi cekcok ketika perselingkuhan itu terbongkar, hingga akhirnya Jordan kalap dan mengempaskan Nagita ke ranjang. Tas yang di dalamnya terdapat ponsel ikut terpental. ".... Dia hendak memperkosaku." Daniel spontan mengepalkan tangan dengan kuat sampai buku-bukunya memutih. Mata Daniel berubah gelap dengan rahang mengeras. Kepedihan Nagita tergambar jelas dari sorot matanya, membuat perasaan Daniel campur aduk antara marah, terluka, dan rasa bersalah. "Bagaimana bisa ... aku baru mengetahui ini?" respon Daniel dengan suara serak tertahan, seakan suaranya sedang bergulat dengan emosinya. Nagita hanya menunduk, tidak berani menatap mata tajam Daniel yang penuh amarah. "Apa ia berhasil ...." Daniel menelan ludah dengan susah payah. "Hampir ...," cicit Nagita sembari terus menunduk lemah. "Aku berhasil kabur." Daniel melirik ke arah sudut bibir Nagita, dan menyadari bila bibir itu masih terlihat bengkak. "Seharusnya aku datang lebih cepat," sesal Daniel dengan tatapan bersalah. "Seharusnya aku tidak membiarkanmu sendirian menemui Jordan." "Ini bukan salahmu," terang Nagita cepat. "Aku saja yang bodoh." Daniel lalu mendekat, mempersempit jarak mereka. Tangannya terangkat dan menyentuh pipi mulus Nagita. "Tak akan kubiarkan kau bersama pria berengsek itu, Nagita," ujar Daniel tegas. "Lihat saja. Aku yang akan menikahimu." *** Nagita membuka mata perlahan. Suasana di luar masih tampak gelap, hanya ada sedikit cahaya bulan yang menyelinap masuk dari celah tirai jendela. Nagita melirik jam dinding. Arah jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Nagita terkesiap menyadari Daniel masih berada di kamarnya, tertidur pulas di sampingnya. Astaga ... mereka ketiduran. "Daniel ...." Nagita berbisik sembari menyentuh lengan Daniel, mencoba membangunkan pria itu. Daniel menggeliat. Ia sedikit bergerak, tapi rasa kantuk yang masih dominan membuat Daniel masih memejamkan mata penuh kedamaian. Tanpa sadar, Nagita menyentuh rambut Daniel, mengelusnya lembut. Wajah Daniel tertidur begitu tenang. Napasnya pelan dan teratur. Rupanya sentuhan kecil yang Nagita berikan membuat pria itu lambat-laun merespon. Daniel tiba-tiba menarik tubuh Nagita, melingkarkan lengannya di pinggang ramping Nagita. Sontak Nagita terkejut bukan kepalang. Panik melanda hatinya, tapi entah kenapa terselip rasa hangat yang tak bisa Nagita cegah. Perasaan campur aduk ini menciptakan sensasi aneh dalam diri Nagita. "Daniel ...," panggil Nagita lembut, "... lepas ...." "Biarkan seperti ini, Nagita ...," pinta Daniel masih setengah sadar. Pria itu justru semakin mengencangkan pelukannya. Nagita menahan napas. Berada dalam pelukan Daniel tentu tidak baik untuk kesehatan jantung, tapi Nagita tidak bisa berbuat banyak. Perempuan itu hanya menunggu waktu yang pas, dengan sabar membiarkan Daniel tertidur lelap dan sepenuhnya kehilangan kesadaran. Tepat saat pelukan itu mulai mengendur, Nagita mulai melakukan gerakan. Perlahan-lahan ia melepaskan diri dari pelukan Daniel, dan akhirnya memilih turun dari ranjang. Tenggorokan Nagita kering. Perempuan itu berniat keluar dan mengambil minum. Nagita mendekati pintu kamar, menyentuh gagang pintu, mencoba memutarnya pelan. "Berhasil ...." Nagita cukup kaget saat pintu itu terbuka dengan mudah. Di mana Gilbert dan Lucas? Nagita bertanya-tanya. Kedua bodyguard itu tidak kelihatan, barangkali sedang beristirahat. Lorong terlihat sangat sepi. Seolah hanya kesunyian yang menyambut Nagita. Tiba-tiba ide itu terlintas di kepala. Hal yang saat ini Nagita pikirkan adalah kabur dari jeratan Daniel sekarang juga. Ia lantas melirik pria itu, bernapas lega karena Daniel rupanya masih terlelap tidur. Nagita mengatur napas. Kesempatan ada di depan mata. Ini saatnya ..... Dengan penuh perhitungan, Nagita melangkah meninggalkan kamar. Perempuan itu mulai menelusuri koridor yang panjang. Seingatnya terdapat pintu belakang yang terhubung langsung dengan taman. Nagita berpikir untuk keluar dari sana. Nagita tersenyum girang saat berhasil menemukan pintu tersebut. Tanpa pikir panjang ia segera mendorongnya, bergegas pergi meninggalkan mansion Daniel yang megah. Udara segar langsung menyentuh wajah Nagita, membelai lembut seakan membisikkan arti kebebasan. "Aku akan pulang ...." Senyum Nagita merekah lebar penuh bahagia. Ia berlari menembus remang-remang. Namun, ini tidak semudah yang Nagita bayangkan. Taman ini begitu luas dan membingungkan. Nagita sedari tadi berkeliling dan kembali di titik yang sama. "Ini seperti labirin ...," keluh Nagita yang mulai kehabisan tenaga. Ia menerjang hamparan rumput, melewati pepohonan besar, melangkah melalui jalan setapak ... tapi semua ini seakan tidak ada ujungnya. "Tidak mungkin ...." Nagita mulai putus asa. Peluh membasahi pelipisnya. Ia semakin kelelahan. Langkah kakinya semakin berat. Saat itulah, suara langkah yang begitu tenang nan pasti mendekati Nagita. Perempuan itu menelan ludah bersamaan dengan bulu kuduknya yang merinding ketakutan. Ia telah tertangkap basah. Di bawah cahaya rembulan, Nagita menangkap tatapan mematikan Daniel yang tajam. "Melarikan diri adalah keputusan yang salah, Nagita." Nagita terdiam, tak mampu berkata-kata. "Jadi hukuman apa yang mampu membuatmu jera?" Nagita mundur perlahan sampai kakinya kehilangan keseimbangan. Ia hampir terjatuh, tapi dengan sigap Daniel menahan tubuh perempuan itu. "Aku tidak akan pernah melepasmu lagi." Nagita menatap pasrah penuh lelah. Ia tahu, ia benar-benar terjebak. Daniel kemudian mengangkat tubuh mungil Nagita, membawanya kembali ke dalam mansion yang kini seperti penjara.Nagita diam-diam melangkah menuju apartemen Jordan. Ini sudah larut malam, lorong apartemen sudah lenggang, menjadi kesempatan untuk Nagita lebih leluasa masuk dengan tenang. Jordan yang masih terkapar di rumah sakit adalah suatu kesempatan emas untuk Nagita. Ia bisa lebih leluasa mengobrak-abrik ruangan Jordan sampai ponselnya ditemukan. Setelah memencet tombol angka password apartemen Jordan, pintu lantas terbuka. Nagita melesat masuk, lalu menutup pintu dengan pelan agar tidak menimbulkan suara. Nagita nekat kembali menyelinap masuk, mengingat ia belum sepenuhnya menyusuri ruangan Jordan. Nagita belum puas sampai ponselnya berada tepat di tangannya. Sekarang ia harus fokus menemukan benda pipih itu hingga ketemu. Dengan langkah pelan tapi pasti, ia bergerak menuju ruang tengah. Ia menyapu ke seluruh ruangan, mencoba berpikir keras. Di mana pria itu menyembunyikan ponselnya? Apa berada di laci meja kerja? Nagita mengingat-ingat, ia pernah memeriksa sekilas saat itu. Dan seingatn
Di ruang kerja Daniel yang luas dan tertata rapi, pria itu menatap layar ponselnya dengan perasaan tak karuan. Laporan yang ia terima dari Gilbert membuat ia spontan menggebrak meja. Jordan sialan! Apa pria itu belum puas mengusik Nagita? Rasanya kepala Daniel mendidih mengetahui kabar tersebut. Terlebih, ia terbakar cemburu saat Nagita masih menunjukkan kepedulian pada pria seberengsek Jordan. Hatinya tercabik panas saat tahu Nagita masih berbaik hati menemani Jordan di rumah sakit padahal pria itu jelas berniat jahat. Namun, yang membuat Daniel sedikit tenang adalah Nagita baik-baik saja. Perempuan itu aman berada di bawah pengawasan Gilbert dan Lucas. 'Aku segera menyusul.'Daniel segera mengirim pesan itu pada Gilbert. Rasanya Daniel tidak puas jika tidak melihat Nagita di depan matanya. Rasa rindu yang kian membesar tidak bisa lagi Daniel tahan. Daniel bisa gila jika rindu ini hanya sebatas rindu belaka. Ia perlu menyalurkan rindunya dengan menemui Nagita. Ia akan terus men
Nagita mencium bau khas rumah sakit yang menyengat hidung. Ditemani Gilbert dan Lucas, Nagita berada dalam salah satu ruang rawat inap, berdiri di sisi ranjang kamar Jordan. Nagita menatap dalam layar monitor yang berbunyi pelan, menandakan bahwa Jordan masih hidup walaupun pria itu entah kapan akan terbangun. Ia terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Lengannya telah dipasangi selang infus. Luka lebam yang Jordan terima terlihat membiru. "Kau terlalu baik pada pria tidak tahu diri itu, Nona," simpul Gilbert sembari bersender di dinding dengan tangan bersedekap. Ada rasa kesal dalam hatinya melihat pria seberengsek Jordan masih bernyawa dan dilarikan ke rumah sakit atas permintaan Nagita. Nagita menghela napasnya, menatap Jordan sembari mengingat kenangan yang sempat mereka ukir bersama. "Dia mungkin pantas mendapatkan ini, tapi dia pernah menjadi bagian dalam hidupku. Aku tidak setega itu jika meninggalkannya terluka." "Jadi Nona masih mencintai Jordan ...," Luca
"Aku tidak ingin anak dari Claudia. Aku hanya ingin punya anak darimu, Nagita." Bualan yang Jordan lontarkan membuat Nagita spontan menjaga jarak. Nagita mundur beberapa langkah saat matanya menangkap sorot penuh hasrat dari mata Jordan. "Menjauh dariku!" Nagita terus mundur, sampai akhirnya pergerakannya terhenti karena dinding yang membatasi. Jordan melangkah lebih dekat, menempelkan telapak tangannya ke dinding, mengurung Nagita dengan senyuman miring. "Aku hanya menginginkanmu, Nagita. Hanya kamu satu-satunya." Nagita benci situasi ini. Saat Jordan mengatakan omong kosong itu, membuat hatinya jelas teriris. Apa yang Jordan katakan sebagai satu-satunya? Nagita justru menyadari bahwa ia hanyalah salah satunya. Tanpa pikir panjang, Nagita mendorong dada Jordan sekuat tenaga. "Berengsek!" Nagita mulai berlari mendekati pintu. Jordan yang menyadari Nagita berniat kabur, dengan cekatan mengejar Nagita, mencengkeram pergelangan tangan Nagita dengan kuat. "Mau lari ke mana, Saya
Nagita terbangun dengan nuansa yang nampak berbeda. Tidak ada lagi kamar putih gading yang luas tapi terasa seperti penjara saat ia membuka mata. Namun, meski begitu, ini juga bukan kamar lama Nagita setelah ia memutuskan pergi dari mansion Daniel. Ini kamarnya yang baru. Nagita membeli apartemen baru dengan black card milik Daniel. Entah Daniel menyadari ini atau tidak, yang jelas Nagita terpaksa bertahan hidup dengan kartu hitam yang berharga itu. Semua kebutuhannya bisa terpenuhi hanya dengan memegang kartu yang diberikan oleh Daniel. Mereka memang tidak lagi tinggal bersama, tapi kartu ini menjelaskan bahwa keduanya masih terikat. Tidak banyak yang Nagita lakukan di apartemen barunya. Aktivitasnya hanya merenungi nasib. Ia kehilangan semangat, menutup diri dari berbagai aktivitas. Untuk keperluan makan pun, ia lebih memilih gofood. Beberapa hari ini hanya kegiatan monoton dan memuakkan itu yang Nagita lakukan. Keluarganya pun tidak mencarinya. Ini semakin membuat Nagita kecewa
Semua barang milik Nagita berada di apartemen, dan sayangnya ia tidak punya akses untuk masuk ke dalam sana. Nagita merasa buntu, terjebak tanpa tahu jalan keluar. Nagita bahkan baru menyadari satu hal, ia tidak punya ongkos untuk pergi menemui keluarganya. Nagita merasa sendirian, seperti anak tersesat yang tidak tahu jalan pulang. Nagita lalu iseng meraba tas yang ia bawa, yang di dalamnya ia masukkan wig dan juga kacamata. Nagita merasa ... kedua benda itu akan ia gunakan di lain kesempatan. Firasatnya mengatakan benda itu penting untuk Nagita simpan. "Hah?" Dan betapa terkejutnya Nagita saat menemukan black card terselip di dalamnya. Daniel rupanya diam-diam memasukkan benda itu ke dalam tas Nagita. Perempuan itu sontak bernapas lega. Meski Daniel melepasnya pergi, tapi pria itu masih menunjukkan kepedulian yang nyata untuk Nagita. Namun .... Nagita ragu untuk menggunakan kartu eksklusif itu. Bukankah ia tak ingin terlibat lagi? Bukankah ia bertekad untuk tak mau merepotk