Selena menatap pantulan cermin. Melihat dirinya sudah rapi dan segar. Dress dengan model tali spaghetti berwarna merah motif bunga-bunga begitu indah membalut tubuhnya. Harusnya dari penampilan wajah Selena pun tampak cerah tapi tidak dengan kenyataan. Raut wajah Selena terlihat sedikit muram. Ya, hari ini Selena harus mengunjungi gedung perusahaan milik Samuel. Hari ini pembangunan kantor Samuel sudah dimulai. Pun Selena sudah meminta team-nya memulai mengatur semuanya. Akan tetapi Selena tetap harus memberikan pengawasan. Karena memang Selena merintis semua usahannya dari bawah. Selena bukanlah atasan yang menyerahkan sepenuhnya pekerjaan pada bawahan. Tidak, Selena tidak seperti itu. Selama ini Selena selalu ingin memastikan client-nya merasa puas dengan perusahaannya. Apalagi perusahannya bergerak di bidang jasa. Di mana kepuasan pelanggan adalah nomor satu.
Dan hal yang menjadi masalah adalah client-nya kali ini adalah Samuel Maxton—pria yang tak pernah ingin lagi Selena temui. Andai saja dirinya tak bertemu lagi dengan Samuel maka hidupnya akan tenang dan bahagia. Tak dipungkiri bayang-bayang masa lalu selalu muncul di benak Selena setiap kali bertemu dengan Samuel. Manik mata cokelat Oliver begitu mirip dengan Samuel. Bahkan sangat mirip. Paras wajah Oliver bagaikan cerminan Samuel. Dulu impian Selena adalah Oliver memiliki mata biru seperti dirinya tapi ternyata Oliver memiliki manik mata cokelat pekat mirip Samuel. “Mama…” Suara Oliver memasuki kamar Selena; refleks, Selena mengalihkan pandangannya kala mendengar suara Oliver. Seketika senyum di wajah Selena terlukis hangat melihat Oliver melangkah mendekat padanya. “Anak Mama yang tampan.” Selena bersimpuh, mensejajarkan wajahnya pada Oliver. “Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut dan penuh kasih sayang seorang ibu. “Mama … Mama ingin bekerja, ya?” tanya Oliver polos. Selena menganggukan kepalanya. “Iya, Nak. Mama ingin bekerja. Nanti pulang Mama akan mampir restoran jepang. Oliver mau sushi? Kalau mau nanti Mama akan belikan Oliver sushi.” Oliver tersenyum. “I want, Mama. I want sushi.” “Oke, Mama akan membelikanmu sushi untukmu.” Selena menangkup kedua pipi Oliver, lalu memberikan kecupan di pipi bulat Oliver. “Sekarang Mama harus berangkat dulu. Mama berjanji hari ini pulang tidak akan terlambat.” “Really, Ma?” Oliver memiringkan kepalanya, menatap Selena dengan mata yang berbinar bahagia. Selena menganggukan kepalanya. “Iya, Sayang. Mama tidak akan pulang terlambat.” Oliver tersenyum. “Oke, Mama. I’m waiting.” Selena pun tersenyum hangat. Lalu dia meminta pengasuh Oliver untuk membawa putra kecilnya itu. Ya, tepat dikala pengasuh Oliver sudah membawa Oliver; Selena segera melangkah keluar dari penthouse miliknya. *** “Selamat pagi, Nona Selena.” Jenia menyapa Selena yang baru saja tiba di gedung perkantoran milik Maxton & Maxton Company. Gedung yang masih kosongan. Dan menjadi project dari Nicholas Design Interior. “Pagi … apa ada masalah?” tanya Selena seraya menatap Jenia. “Tidak, Nyonya. Semua berjalan dengan baik. Oh, ya, Nyonya. Nanti di lantai lima dan lantai sepuluh akan dibangun khusus kafe untuk para karyawan, Nyonya. Saya baru saja mendapatkan informasinya tadi,” ujar Jenia memberitahu. Selena menganggukan kepalanya. “Baiklah, kita ke dalam sekarang. Aku ingin melihat para pekerja kita memulai pekerjaan mereka.” Jenia menundukan kepalanya mematahui Selena. Kemudian, dia melangkah mengikuti Selena masuk ke dalam gedung. Setiap lantai gedung pencakar langit itu sudah mulai dikerjakan mendesign tata ruang sesuai dengan keinginan Samuel. Saat tiba di lantai lima puluh, Selena menatap para pekerja yang tengah sibuk. Tampak Selena mengamati material yang dipilih. Mulai dari jenis kayu, lampu, dan pajangan. Terakhir Selena mengingat jelas kalau Samuel memintanya meletakan lukisan alam terletak sebagai pajangan di dinding. “Jenia … jangan lupa nanti wallapaper-nya berwarna abu tua,” kata Selena mengingatkan Jenia. Jenia menganggukan kepalanya. “Baik, Nyonya.” “Aku tidak mau wallpaper abu tua. Ganti warna wallpaper dengan cokelat tua.” Suara bariton dari arah belakang sontak membuat Selena dan Jenia mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Dan seketika raut wajah Selena berubah melihat sosok pria dengan balutan jas berwarna navy mendekat pada mereka. Tampak Selena mengembuskan napas kasar melihat sosok pria yang tak asing di matanya itu. Tubuh tinggi tegap. Wajah begitu tampan. Rahang tegas. Hidung mancung nan kokoh. Jambang yang rapi dan terawat. Ya, bagi Selena pria di hadapannya adalah iblis yang tersembunyi di balik wajah dewa. “Tuan Samuel.” Jenia menyapa Samuel yang baru saja datang dengan sopan. Samuel tak banyak bicara. Pria itu hanya menggerakan kepalanya meminta asistennya serta Jenia untuk pergi, meninggalkannya berdua dengan Selena. Pun Vian serta Jenia pamit undur diri dari hadapan Samuel dan Selena. “Sebelumnya kau memilih wallpaper berwarna abu tua, Tuan Maxton. Aku masih ingat design yang kau pilih adalah nuansa abu-abu,” tukas Selena seraya menatap Samuel dingin. “Aku ingin menggantinya dengan cokelat tua. Sepertinya lebih hidup jika nuansa cokelat tua sesuai dengan warna kayu yang aku pilih,” jawab Samuel dingin dan tersirat keangkuhan. Selena berdecak. “Kau tidak bisa mengganti-ganti seperti itu, Tuan Maxton. Semuanya material sudah aku siapkan.” Samuel tersenyum misterius. Lalu pria itu melangkah mendekat pada Selena. Mengikis jarak di antara mereka sambil berkata, “Kau pasti pernah mendegar kan kalau customer adalah raja? Jadi aku tidak perlu menjawab ucapanmu itu.” Selena mengumpat dalam hati. Meredakan kekesalan dalam dirinya. Sejenak, Selena berusaha mengendalikan dirinya agar emosinya tak terpancing menghadapi pria sialan yang ada di hadapannya itu. “Alright, aku akan mengganti wallpaper yang kau inginkan tapi lain kali aku harap kau tidak lagi mengubahnya. Karena jika wallpaper sudah terpasang dan kau mengubah maka akan adanya additional charge.” Selena berucap dengan nada dingin dan penuh penegasan. Samuel mengangkat bahunya tak acuh. “Well, uang bukan masalah untukku. Selama design yang kau berikan membuatku puas maka berapa pun harganya akan aku bayar. Aku rasa kau sangat tahu akan hal itu, Nona Selena.” Selena tersenyum sinis mendengar ucapan Samuel. Wanita itu tak banyak basa basi. Detik selanjutnya, Selena membalikan tubuhnya dan hendak meninggalkan Samuel. Namun tiba-tiba heels Selena menginjak lantai yang tak rata. Tubuh Selena terhuyung nyaris jatuh. Dan Samuel yang ada di belakang Selena dengan mudahnya menangkap tubuh wanita itu. “Kau boleh marah tapi perhatikan langkahmu,” bisik Samuel dengan nada yang menusuk ke indra pendengaran Selena. Selena membenarkan posisi berdisinya. Wanita itu menjauhkan tubuhnya dari Samuel. Baginya Samuel adalah virus yang wajib dihindari. “Terima kasih sudah membantuku tapi lain kali harusnya kau membiarkanku terjatuh. Karena bukankah itu kesukaanmu? Membuatku terjatuh? Tenang saja, sekalipun aku terjatuh aku tahu bagaimana cara untuk bangkit.” Perkataan tajam Selena seketika membuat Samuel terdiam. Bahkan kini Selena melangkahkan kakinya meninggalkan Samuel yang bergeming di tempatnya. Lagi. Selena sukses membuat Samuel terdiam. Dan perkatan tajam Selena seolah memiliki banyak arti yang sulit untuk dipaparkan.Beberapa bulan kemudian … Zurich, Swiss. Langit begitu biru dan indah membaur dengan perkebunan buah anggur yang ada di Swiss. Cuaca pagi di musim semi sangatlah indah. Angin yang berembus ke kulit begitu menyejukan. Tampak tatapan Selena sedari tadi menatap Oliver yang tengah bersama dengan Javier memetik buah anggur di perkebunan. Meski ada empat pengawal yang menemani Oliver dan Javier tetap saja Selena tak bisa melepaskan tatapannya dari kedua anak laki-lakinya itu. “Sayang, Oliver bisa menjaga Javier dengan baik. Kau tenang saja.” Samuel membelai pipi Selena dengan lembut. Selena menghela napas dalam. Tatapan Selena mulai teralih ke dua bayi perempuan kembarnya yang tertidur lelap di stroller. Senyuman di wajah Selena pun terlukis hangat melihat Stacy dan Sierra tertidur pulas. Sekarang usia Stacy dan Sierra sudah 7 bulan. Tubuh kedua bayi perempuannya sangat gemuk dan sehat. Stacy yang lahir lebih dulu memiliki rambut berwarna cokelat tebal dan mata biru. Sedangkan Sierra—s
Miller International School, London. “Aw.” Seorang gadis kecil cantik terjatuh akibat bermain lari-larian dengan teman-temannya. Tampak lutut gadis kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Dengan pelan, gadis kecil itu berusaha untuk bangun tapi tubuhnya malah tak seimbang dan nyaris jatuh. Tepat dikala tubuh gadis kecil itu nyaris terjatuh, sosok bocah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi menangkap gadis kecil itu. “Terima kasih,” ucap gadis kecil itu melangkah menjauh dari laki-laki yang membantunya. Namun, tiba-tiba manik mata gadis kecil itu melebar terkejut kala menatap sosok laki-laki yang telah membantunya itu. “Oliver? Kau di sini?” Mata Nicole mengerjap beberapa kali menatap Oliver. Oliver menarik tangan Nicole, mendudukan tubuh Nicole di kursi, lalu bocah laki-laki itu mengambil kotak obat yang letaknya berada di ruang kesehatan. Beruntung ruang kesehatan tidak terlalu jauh dari posisi di mana Oliver dan Nicole berada. Saat kotak obat sudah ada di tangan Oliver,
“Bye, Sayang. Jaga diri kalian. Jangan membuat Grandpa William dan Grandma Marsha kerepotan. Ingat kalian harus patuh pada Grandpa dan Grandma.” Selena berseru pada Oliver dan Javier yang masuk ke dalam mobil. Terlihat Oliver dan Javier kompak mengangguk patuh merespon ucapan ibu mereka. Ya, hari ini Oliver dan Javier harus pergi ke rumah William dan Marsha. Menjelang Selena melahirkan, William dan Marsha memang berada di London. Sedangkan kakak dan adik Selena lain akan tiba di London dalam waktu beberapa hari lagi. Mengingat kakak dan adik Selena tak tinggal di negara yang sama, membuat Selena tak terlalu sering bertemu dengan kakak dan adiknya. Meski demikian, komunikasi selalu terjalin dengan sangat erat. “Bye, Papa, Mama.” Oliver dan Javier melambaikan tangan mereka kompak pada Selena dan Samuel. Pun Selena dan Samuel membalas lambaian tangan anak-anak mereka. Dan ketika mobil yang membawa Oliver dan Javier sudah pergi, Selena segera masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan pada S
“Oh, My God! Raven, Rosalie, kenapa kalian merusak make up Mommy? Astaga! Ini make up kesayangan Mommy, Sayang.” Juliet rasanya ingin menjerit melihat semua perlengkapan make up miliknya hancur berantakan. Mulai dari koleksi lipstick, eyeshadow, foundation, dan masih banyak lainnya. Semua sudah berantakan di lantai kamar. Baru beberapa detik Juliet ke kamar mandi karena mengambil ponselnya yang tertinggal di wastafel, tapi dalam hitungan detik juga kamar sudah seperti kapal pecah. Memang kedua anaknya itu sudah sangat aktif. Sore ini, Juliet sengaja tak meminta pengasuh untuk masuk ke dalam kamarnya, pasalnya Juliet ingin mengajak kedua anaknya itu bermain sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Tapi alih-alih niatnya terealisasi malah kekacauan sudah lebih dulu tiba menghampiri dirinya. Sungguh, Juliet bisa-bisanya lupa kalau kedua anaknya sangatlah aktif. Alhasil koleksi make up miliknya hancur lebur. Bedak saja sudah berceceran di lantai. Terutama lipstick yang tak lagi ber
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli