“Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa Samuel dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Samuel baru saja keluar dari lift.
“Apa laporan yang aku minta siapkan sudah kau kerjakan?” Suara Samuel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.
“Sudah, Tuan. Laporan yang Anda minta sudah saya kerjakan semuanya. Saya juga sudah meletakan laporan itu ke atas meja kerja Anda, Tuan,” ujar sang sekretaris memberitahu. “Hm … Tuan, di ruang kerja Anda ada Nona Iris sudah menunggu Anda sejak satu jam yang lalu. Sebelumnya saya meminta Nona Iris untuk pulang, tapi beliau tidak mau, Tuan. Nona Iris ingin menunggu hingga Anda datang.” Sang sekretaris melanjutkan ucapannya.
Samuel mengembuskan napas kasar. Dia tak menyangka kalau Iris—tunangannya datang ke London. Padahal sebelumnya Samuel sudah meminta Iris untuk menunggu dirinya pulang.
Tanpa berkata apa pun, Samuel langsung melangkahkan masuk menuju ruang kerjanya. Pun sekretarisnya itu membungkukan kepala, kala Samuel sudah meninggalkannya.
“Sayang?” Iris memeluk tubuh Samuel dengan begitu erat. “Aku merindukanmu. Aku tidak bisa menahan diriku, untuk tidak menyusulmu ke sini.”
“Iris, bukankah aku sudah mengatakan padamu kalau aku tidak akan lama di London?” ucap Samuel dingin dan menegaskan. Pria itu tak membalas ataupun menolak pelukan Iris. Dia tetap membiarkan Iris memeluk tubuhnya.
Iris mendongakan kepalanya, menatap Samuel. “Iya, maaf, Sayang. Aku terlalu merindukanmu jadi aku memutuskan untuk menyusulmu ke London.”
Samuel berdecak pelan. “Sekarang lebih baik kau ke apartemenku. Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan.”
“Samuel … apa kau tidak mau membahas pernikahan kita? Sudah terlalu lama kita menunda pernikahan kita Samuel. Lima tahun. Itu bukan waktu yang sebentar. Usiamu bahkan sekarang sudah 35 tahun. Orang tuamu juga sudah sehat. Lalu mau tunggu apa lagi?” ucap Iris dengan rengekan manja pada Samuel.
Ya, pernikahan Samuel dan Iris terpaksa ditunda. Lima tahun lalu, kedua orang tua Samuel mengalami kecelakaan pesawat. Pesawat yang membawa orang tuanya itu jatuh ke hutan. Kala itu Samuel fokus mencari keberadaan pesawat kedua orang tuanya. Samuel memiliki keyakinan bahwa kedua orang tuanya masih hidup. Dan benar saja, kedua orang tua Samuel selamat hanya saja kedua orang tuanya mengalami luka parah. Kala itu Samuel meminta Iris untuk menunggu hingga kedua orang tuanya pulih. Membutuhkan waktu sekitar dua tahun sampai kedua orang tuanya benar-benar pulih. Namun, setelah kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya; Samuel banyak mengurus perusahaan keluarganya. Hal itu yang membuat Samuel dan Iris hingga detik ini belum juga menikah.
“Aku masih sibuk, Iris. Kau tahu aku baru saja membuka perusahaan pengacaraku di London,” jawab Samuel dingin.
Iris mengerutkan bibirnya sebal. Wanita itu langsung memeluk lengan Samuel sambil berkata, “Aku tidak bisa menunda lagi, Samuel. Ini sudah terlalu lama. Tahun ini juga kita harus menikah. Aku akan meminta asistenku menyiapkan pernikahan kita.”
Samuel mengembuskan napas berat seraya memejamkan mata lelah. “Fine … pernikahan kita akan diadakan tahun ini. Nanti aku akan meminta asistenku untuk mengurus yang kau butuhkan.”
Senyuman penuh kemenangan di wajah Iris terlukis. Wanita itu melingkarkan tangannya ke leher Samuel—lalu memberikan lumatan di bibir Samuel. “Terima kasih, Sayang. Yasudah, aku ingin ke salon. Kukuku tadi patah.”
“Ya,” jawab Samuel datar seraya memberikan kecupan singkat di bibir Iris.
Kini Iris melangkah meninggalkan ruang kerja Samuel; tampak wanita itu begitu bahagia. Namun, tepat dikala Iris sudah keluar dari ruang kerja Samuel; Vian—asisten pribadi Samuel memasuki ruang kerja Samuel.
“Tuan Samuel,” sapa Vian dengan sopan.
“Ada apa?” Samuel duduk di kursi kebesarannya. Kemudian, dia mengambil wine yang ada di hadapannya dan disesapnya perlahan.
“Ada yang ingin saya beritahu pada Anda, Tuan,” jawab Vian dengan nada yang serius.
Samuel menatap Vian dengan tatapan begitu lekat. “Katakan apa yang ingin kau beritahu padaku?”
“Saya baru saja mendapatkan kabar dari salah satu karyawan yang mengurus sewa jasa design interior untuk salah satu cabang perusahaan Anda yang baru, Tuan. Nicholas Design Interior ternyata milik Nona Selena. Kita juga sudah mengurus pembayaran sekitar lima puluh persen, Tuan.” Vian berujar memberitahu.
Samuel terdiam sesaat kala mendengar ucapan Vian. Ya, dia cukup terkejut mendengar pemilik Nicholas Design Interior adalah milik Selena. Yang Samuel tahu Selena memimpin salah satu perusahaan cabang keluarga wanita itu.
“Atur pertemuanku dengan mereka,” ucap Samuel dingin dan sorot mata yang sulit diartikan.
“Baik, Tuan. Saya akan mengatur pertemuan Anda dengan pihak Nicholas Design Interior besok. Nanti mereka akan menunjukan beberapa contoh design pada Anda,” balas Vian sopan.
Samuel menggerak-gerakan gelas sloki di tangannya. Tatapannya menatap lurus ke depan. Seketika seringai kejam di wajah Samuel terlukis. Bayang-bayang Samuel mengingat sifat Selena yang dulunya seekor kucing lemah menjadi harimau betina liar. Well, sedikit menarik.
“Katakan pada pihak Nicholas Design Interior untuk memberikan contoh design yang terbaik. Aku membayar mahal maka aku harus mendapatkan yang terbaik. Bekerja sama denganku maka mereka harus pastikan kualitas. Nama baik mereka menjadi taruhannya jika sampai aku tidak puas dengan hasil design mereka,” ucap Samuel dengan seringai di wajahnya.
“Baik, Tuan. Saya akan memperingati pihak Nicholas Design Interior,” jawab Vian dengan begitu patuh.
“Keluarlah, selesaikan pekerjaanmu,” tukas Samuel dingin.
Vian menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Samuel.
Samuel menyandarkan punggungnya di kursi. Pria itu menyesap wine yang ada di tangannya. Jemari kokohnya mengetuk pelan meja. Ya, Samuel tak menyangka kalau Selena tinggal di London. Sudah lama sekali dia tak melihat wanita itu. Tujuan Samuel ke London karena ingin membuka beberapa cabang perusahaan pengacara miliknya. Dan tak disangka-sangka, Samuel bertemu dengan sosok wanita yang dulunya selalu dia hindari. Hanya saja sekarang telah berbeda. Dulu Samuel menghindari seorang wanita yang selalu mengejarnya. Wanita yang persis seperti kucing lemah. Namun, sekarang wanita yang lemah itu telah menjelma menjadi harimau betina liar.
***
Sebuah restoran Perancis di London menjadi tempat di mana Samuel dan Selena bertemu. Sudah sekitar lima menit Samuel duduk di restoran itu. Pria itu datang lebih dulu dari Selena. Namun, tentu Samuel hanya memberikan batas tidak lebih dari sepuluh menit. Jika dalam lima menit ke depan Selena tidak datang maka Samuel akan membatalkan pertemuan dan tak jadi memakai jasa design interior wanita itu. Samuel termasuk masih memberikan toleransi orang yang datang terlambat kala menemuinya. Namun toleransi Samuel tidak lebih dari sepuluh menit. Karena bagi Samuel toleransi sepuluh menit sangatlah banyak. Di luar sana banyak orang yang sama sekali tidak memberikan tolensi.
“Tuan ini kopi Anda.” Sang pelayan mengantarkan kopi yang tadi dipesan oleh Samuel.
Samuel mengangguk singkat. Lalu pelayan itu segera pamit undur diri. Detik selanjutnya, Samuel mengambil cangkir yang berisikan kopi itu dan disesapnya perlahan.
Sekitar sepuluh menit sudah Samuel menunggu di restoran itu, tatapan Samuel mulai teralih pada sosok wanita yang memakai gaun berwarna biru bermodel kemben. Gaun yang pas di tubuh wanita itu tampak seksi. Rambut pirang terjuntai ke punggung telanjang wanita itu. Sepasang mata birunya langsung membuat Samuel mengenali wanita itu.
“Maaf aku terlambat.” Selena duduk di hadapan Samuel, lalu dia menyodorkan iPad yang telah disiapkan. “Aku tidak suka berbasa-basi. Di iPad-ku sudah banyak contoh design khusus perkantoran. Kau boleh memilihnya sesukamu.”
Sebelah alis Samuel terangkat kala Selena langsung menyodorkan iPad padanya. “Apa begini cara pemilik Nicholas Design Interior bertemu dengan client-nya. Aku rasa kau pasti belajar bagaimana beretika, bukan?”
Selena tersenyum. “Maaf, Tuan Maxton. Aku tidak suka berbasa-basi. Tolong segera pilih design yang Anda inginkan. Nanti team-ku akan mengurus semuanya.”
Samuel tak menjawab ucapan Selena; pria itu mengambil iPad yang ada di hadapannya—lalu mulai memilih design yang ditunjukan oleh Selena. Tampak Samuel tak mengeluarkan sebuah komentar. Jika pria itu diama artinya dia cukup menyukai design yang ditampilkan.
“Aku memilih ini.” Samuel memberikan kembali iPad yang ada di tangannya pada Selena.
Selena mengangguk singkat. “Baiklah, team-ku akan segera menyelesaikan design yang kau minta. Aku rasa kita cukup sampai di sini. Kalau ada pertanyaan lanjutan, kau bisa menghubungi asistenku.” Selena segera bangkit berdiri, meninggalkan Samuel begitu saja.
Senyuman samar di wajah Samuel terlukis. Pria itu pun bangkit berdiri kala Selena keluar. Dia memberikan beberapa lembar pound sterling ke atas meja untuk membayar pesanannya. Lalu dia melangkah keluar dari restoran.
Namun … dikala Samuel baru saja keluar dari restoran, tatapan Samuel teralih pada Selena yang tampak mengumpat. Detik selanjutnya, tatapan Samuel teralih pada ban mobil Selena. Rupanya ban mobil wanita itu kempes. Samuel melangkahkan kakinya mendekat pada Selena.
“Aku rasa kau bisa menggunakan taksi tanpa harus diantar oleh orang lain kan?” Suara berat Samuel sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya. Terlihat sepasang iris mata biru Selena menatap dingin Samuel—yang kini ada di hadapannya.
Selena masih terdiam kala mendapatkan pertanyaan dari Samuel. Hingga kemudian, perlahan senyuman sinis di wajah Selena terlukis. Wanita itu mendekat pada Samuel. Mengikis jarak di antara mereka. “Sejak dulu aku terlalu terbiasa melakukan apa pun sendiri. Hanya karena ban mobilku kempes tentu itu bukanlah masalah besar bagiku.” Selena langsung mengeluarkan ponselnya, menghubungi taksi untuk datang menjemputnya.
“Sorry … I’ve to go.” Selena berucap kala sudah menghubungi pihak taksi. Kini Selena berbalik—melangkah menjauh dari Samuel yang masih bergeming di tempatnya. Tampak Samuel tak henti menatap punggung Selena. Bahkan dikala taksi sudah datang menjemput Selena pun; Samuel tak bergerak sedikit pun. Pria itu masih berdiri di tempat yang sama. Benaknya terbayang akan ucapan Selena. Dia nyaris tak mengenali sosok wanita lemah yang dia kenal dulu.
Beberapa bulan kemudian … Zurich, Swiss. Langit begitu biru dan indah membaur dengan perkebunan buah anggur yang ada di Swiss. Cuaca pagi di musim semi sangatlah indah. Angin yang berembus ke kulit begitu menyejukan. Tampak tatapan Selena sedari tadi menatap Oliver yang tengah bersama dengan Javier memetik buah anggur di perkebunan. Meski ada empat pengawal yang menemani Oliver dan Javier tetap saja Selena tak bisa melepaskan tatapannya dari kedua anak laki-lakinya itu. “Sayang, Oliver bisa menjaga Javier dengan baik. Kau tenang saja.” Samuel membelai pipi Selena dengan lembut. Selena menghela napas dalam. Tatapan Selena mulai teralih ke dua bayi perempuan kembarnya yang tertidur lelap di stroller. Senyuman di wajah Selena pun terlukis hangat melihat Stacy dan Sierra tertidur pulas. Sekarang usia Stacy dan Sierra sudah 7 bulan. Tubuh kedua bayi perempuannya sangat gemuk dan sehat. Stacy yang lahir lebih dulu memiliki rambut berwarna cokelat tebal dan mata biru. Sedangkan Sierra—s
Miller International School, London. “Aw.” Seorang gadis kecil cantik terjatuh akibat bermain lari-larian dengan teman-temannya. Tampak lutut gadis kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Dengan pelan, gadis kecil itu berusaha untuk bangun tapi tubuhnya malah tak seimbang dan nyaris jatuh. Tepat dikala tubuh gadis kecil itu nyaris terjatuh, sosok bocah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi menangkap gadis kecil itu. “Terima kasih,” ucap gadis kecil itu melangkah menjauh dari laki-laki yang membantunya. Namun, tiba-tiba manik mata gadis kecil itu melebar terkejut kala menatap sosok laki-laki yang telah membantunya itu. “Oliver? Kau di sini?” Mata Nicole mengerjap beberapa kali menatap Oliver. Oliver menarik tangan Nicole, mendudukan tubuh Nicole di kursi, lalu bocah laki-laki itu mengambil kotak obat yang letaknya berada di ruang kesehatan. Beruntung ruang kesehatan tidak terlalu jauh dari posisi di mana Oliver dan Nicole berada. Saat kotak obat sudah ada di tangan Oliver,
“Bye, Sayang. Jaga diri kalian. Jangan membuat Grandpa William dan Grandma Marsha kerepotan. Ingat kalian harus patuh pada Grandpa dan Grandma.” Selena berseru pada Oliver dan Javier yang masuk ke dalam mobil. Terlihat Oliver dan Javier kompak mengangguk patuh merespon ucapan ibu mereka. Ya, hari ini Oliver dan Javier harus pergi ke rumah William dan Marsha. Menjelang Selena melahirkan, William dan Marsha memang berada di London. Sedangkan kakak dan adik Selena lain akan tiba di London dalam waktu beberapa hari lagi. Mengingat kakak dan adik Selena tak tinggal di negara yang sama, membuat Selena tak terlalu sering bertemu dengan kakak dan adiknya. Meski demikian, komunikasi selalu terjalin dengan sangat erat. “Bye, Papa, Mama.” Oliver dan Javier melambaikan tangan mereka kompak pada Selena dan Samuel. Pun Selena dan Samuel membalas lambaian tangan anak-anak mereka. Dan ketika mobil yang membawa Oliver dan Javier sudah pergi, Selena segera masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan pada S
“Oh, My God! Raven, Rosalie, kenapa kalian merusak make up Mommy? Astaga! Ini make up kesayangan Mommy, Sayang.” Juliet rasanya ingin menjerit melihat semua perlengkapan make up miliknya hancur berantakan. Mulai dari koleksi lipstick, eyeshadow, foundation, dan masih banyak lainnya. Semua sudah berantakan di lantai kamar. Baru beberapa detik Juliet ke kamar mandi karena mengambil ponselnya yang tertinggal di wastafel, tapi dalam hitungan detik juga kamar sudah seperti kapal pecah. Memang kedua anaknya itu sudah sangat aktif. Sore ini, Juliet sengaja tak meminta pengasuh untuk masuk ke dalam kamarnya, pasalnya Juliet ingin mengajak kedua anaknya itu bermain sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Tapi alih-alih niatnya terealisasi malah kekacauan sudah lebih dulu tiba menghampiri dirinya. Sungguh, Juliet bisa-bisanya lupa kalau kedua anaknya sangatlah aktif. Alhasil koleksi make up miliknya hancur lebur. Bedak saja sudah berceceran di lantai. Terutama lipstick yang tak lagi ber
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli