Langkah Kala sempat terhenti di undakan anak tangga menuju lantai dasar, tempat di mana Rakhayasa tengah duduk dan mengamati beberapa lukisan yang terpajang di ruangan tersebut. Lelaki itu terlihat begitu tampan dengan rahang yang sangat tegas. Tatapannya yang dingin seperti biasa, tapi terlihat memesona.
Dan hal itu tidak luput dari pengamatan Kala, terkadang itu membuatnya jengah tapi Kala selalu memungkirinya.Meskipun Rakhayasa adalah sepupunya, tapi Kala tidak terlalu akrab dengannya. Apalagi setelah pertemuannya dengan lelaki itu di sebuah night club ternama di daerah Jakarta Selatan setahun yang lalu, malam yang akhirnya membuat Kala terus membenci sepupunya ini."Hai, apa kabar?" sapa Rakha dengan nada dingin dan juga datar.Kala membalasnya dengan senyum kecut sebelum akhirnya menghampiri Rakha yang duduk di sofa berwarna navy tersebut. Mengulurkan tangan ke arahnya, namun diabaikan begitu saja oleh Rakha yang balas tersenyum sinis padanya.Tatapan keduanya saling beradu sengit untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Rakha berdehem pelan dan menanyakan keberadaan Rinai—pertanyaan yang membuat Kala terlihat kesal dan uring-uringan karenanya."Rinai nggak turun ya? Ini aku bawa oleh-oleh dari Thailand untuk Rinai," ucap Rakha mengulurkan paper bag di tangannya ke arah Kala yang menatap geram pada tentengan itu. "Aku juga baru dengar soal anak kalian dari tante Sha, aku turut berduka cita untuk itu."Lagi, Kala tersengih. "Bukannya itu yang kamu harapkan?""Aku nggak pernah mengharapkan kematian seseorang agar bisa mendapatkan apa yang aku inginkan," sahut Rakha dengan tenang sebelum menaruh kembali paper bag yang diabaikan oleh sepupunya tersebut ke atas meja. "Tapi kalau kamu nggak bisa jaga Rinai dengan baik—aku siap untuk menjaganya lebih dari kamu. Aku bisa memberikan effort yang lebih untuk Rinai, bukan seperti pecundang kayak kamu."Mendengar bagaimana Rakha merendahkannya secara tidak langsung, tentu itu membuat Kala geram dan kedua tangannya mengepal dengan refleks."Mengumumkan pertunangan dengan wanita lain, ketika statusmu justru masih sah sebagai suami Rinai… kayaknya itu tindakan seorang pengecut yang takut popularitasnya turun," ejek Rakha.Mendengar hal itu, Kala langsung terbawa emosi dan menggemeretakkan giginya dengan kuat. Khawatir kalau kesabarannya yang setipis tisu itu makin sulit dikendalikan, ia pun mendengus pelan."Gimana kalau aku mengumumkan ke media kalau Rinai adalah calon istriku?"Dan benar, kesabaran Kala langsung lari entah kemana mendengar pertanyaan Rakha. Suami Rinai tersebut telah berniat untuk melayangkan satu pukulan ke wajah sepupunya ketika Rinai datang dan mencegahnya dengan cepat.Kala kembali menggeram saat pergelangan tangannya ditarik turun oleh Rinai yang kini menatapnya dengan tajam. Ada kilatan emosi di manik mata perempuan itu dan jujur—Kala tidak menyukainya."Nai, kamu baik-baik aja kan?" Rakha yang tadinya dingin dan ketus, berubah jadi hangat dan lembut ketika tatapannya dan Rinai bertemu. "Aku turut berduka cita, maaf aku baru bisa datang ke sini untuk melihat kondisimu. Aku tahu kalau kamu nggak baik-baik aja, tapi aku yakin kamu bakal kuat dan sabar.""Dia nggak butuh kehadiranmu juga," sela Kala meraih pinggul Rinai dan memeluknya dengan posesif.Pandangan Rakha pun berpindah ke arah tangan Kala yang melingkar di pinggul wanita yang selalu menari-nari di dalam pikirannya. Rakha tidak pernah ingin menyangkal tentang perasaannya pada Rinai—bahkan saat Rinai melewati masa tersulit dalam hidupnya, dia adalah orang pertama yang akan menguatkannya.Mungkin di rumah ini, hanya Rakha yang tahu tentang hal bejat yang telah dilakukan Angkasa pada Rinai beberapa tahun yang lalu. Dia juga yang paling tahu, betapa hancur leburnya hidup Rinai sejak saat itu. Rinai yang ceria, kehilangan senyumnya karena ulah nafsu bejat Angkasa.'Nai, cukup om Angkasa yang membuat hidupmu hancur. Aku nggak mau kalau kali ini, Kala akan membuatmu lebih terluka lagi. Kamu berhak bahagia Nai, tapi bukan bareng Kala. Percaya sama aku, bukan dia orang yang tepat untukmu.'Rinai menghembuskan napasnya dengan perlahan saat kata-kata yang pernah meluncur dari bibir Rakha, kembali diputar ulang oleh ingatannya. Bagaimana lelaki itu mencegah Rinai untuk menjalin hubungan dengan Kala. Rakha yang terus berusaha mencegah Rinai agar tidak jatuh cinta pada lelaki yang ia yakin—Rinai akan semakin terluka karena harus bertemu kembali dengan pria paling brengsek yang pernah merusak hidupnya.'Karena kalau kamu terluka, aku juga akan merasakan sakit yang sama dengan itu. Karena kamu nggak kenal dan nggak tahu siapa Kala sebenarnya. Kalau kamu tahu, kamu pasti memilih untuk tidak pernah mengenalnya, Nai…'Tatapan teduh milik Rakha saat ini terus saja menggulir ingatan Rinai ke masa lalu."Kamu benar, Kha.""Hah?" gumam Rakha mengernyitkan keningnya. "Benar apa, Nai?"Mendengar dua orang yang pernah saling bertukar saliva tersebut mulai berinteraksi, Kala pun bergerak cepat untuk mempererat pelukannya di pinggul Rinai, seakan mencoba untuk menghentikannya."Semua yang kamu bilang dulu," sahut Rinai seolah tidak peduli dengan kehadiran Kala di sampingnya.Tampaknya Rakha pun menyadari hal tersebut dan langsung tersenyum lembut ke arah Rinai dan berkata, "Kamu belum terlambat untuk memperbaikinya, Nai.""Rakhayasa Langit!" hardik Kala. "Kamu nggak bisa hargai kehadiran suami Rinai di sini ya?!" protes Kala terlihat begitu kesal."Oh, kamu suaminya Rinai?" balas Rakha dengan datar, tanpa riak emosi dari wajah dan juga suaranya. "Karena seingatku, dunia tahunya kamu itu tunangan artis terkenal bernama Lisa. Kamu sendiri yang memberi validasi akan hal itu, jadi kenapa aku harus hargai suami yang menyembunyikan istrinya sendiri?"Tatapan keduanya terlihat makin sengit, seakan tengah terjebak dalam perang panas yang akan segera meledak."Brengsek!" umpat Kala kehilangan kendali atas emosinya sendiri. Dorongan kuat dari kedua telapak tangannya, berhasil menghantam dada Rakha yang cukup kuat menjaga keseimbangan tubuhnya. "Kamu kangen tidur bareng Rinai, hah?!""Kita kan nggak bisa memilih, pada siapa hati ini akan jatuh."Rakha menatap mata Rinai dengan lekat. "Ya, kita nggak pernah bisa memilih tentang jatuh cinta. Tapi kita bisa memutuskan, siapa yang akan menetap dan bertahan di hati kita. Dan aku tahu, aku nggak cukup berarti untukmu kan, Nai?""Hm?""Karena pada akhirnya kamu memilih untuk pergi dan meninggalkanku tanpa penjelasan," jawab Rakha dengan tenang."Untuk kebahagiaan kamu, Kha.""Untuk kebahagiaanmu, bukan aku."Rinai mengulas senyum tipis seraya mengangguk pelan. Seakan tengah mengiyakan pernyataan Rakha barusan. "Kamu harus melepaskan sesuatu agar kamu bisa memulai hal yang baru.""Seperti kamu yang memulai semua dengan Sambara?" tembak Rakha."Mungkin," dusta Rinai yang sebenarnya belum memulai hubungan dengan siapa pun.Mendengar jawaban Rinai, tentu saja itu membuat pikiran Rakha langsung menggila. Ia condongkan wajahnya pada perempuan itu, lebih dekat dan lebih rapat lagi. Rakha tancapkan tatapan matanya, tepat di mani
"Nai…" Langkah Sambara terhenti di ambang pintu masuk hotel mewah, tempatnya akan bertemu klien penting hari ini. Tangannya bergerak cepat menahan pergelangan Rinai, lalu tersenyum bimbang ke arah perempuan yang justru mengerutkan keningnya dengan heran. "A—aku boleh minta tolong, nggak?""Hm? Kenapa? Tolong apa?" balas Rinai dengan balik bertanya. "Kamu sakit? Pusingnya kumat? Atau gimana? Diare lagi? Panic attack-nya kumat-kah?" todong Rinai dengan cemas, mengusap-usap lengan dan bahu Sambara dengan khawatir.Di tempatnya, Sambara mengangguk samar. Meminta Rinai menggenggam jemarinya—seperti biasa setiap kali dia panik—hanya saja, kali ini Sambara tidak benar-benar sedang mengalami gejala panic attack seperti biasa.Dengan cemas, Rinai menautkan jemari mereka tanpa ragu sedikitpun. "Tenang, Sam… Ada aku di sini, kamu nggak sendiri kok. Tenang ya, tarik napas dalam dan lepaskan perlahan," ucap Rinai berusaha menenangkan Sambara yang mengikuti ucapan wanita itu tanpa pikir panjang.Beb
Tiga tahun telah berlalu…"Jangan takut membuka hati hanya karena masa lalumu. Trauma bisa dipulihkan, jadi jangan abaikan orang-orang yang ingin mendekatimu hanya karena ketakutanmu mengulang kisah pahit di masa lalu."Rinai tetap fokus pada layar laptopnya, mengabaikan pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya—bahkan, berada di sisinya puluhan bulan terakhir."Rinai… semua orang ada masanya, setiap masa, pasti ada orangnya. Kamu pernah dengar itu, kan?" bisiknya lagi meksipun dia tahu, Rinai akan tetap mengabaikannya. "Nai, biarkan aku menjadi orang yang akan menghapus jejak-jejak luka di hatimu. Siapa tahu, akulah orang yang dijadikan Tuhan sebagai jawaban dari doa-doa yang selalu kamu minta."Suara tawa Rinai memecahkan keheningan yang sedari tadi berusaha diciptakan olehnya. Beberapa kali pukulan pelan melayang ke lengan lelaki yang ikut terkekeh melihat bagaimana kedua mata Rinai terpicing karena tawanya. Meskipun berulang kali menyatakan cinta, dan berulang kali juga diabaika
"Nai.""Hm?" Rinai bergumam pelan, tanpa menoleh ke arah Rafko yang berdiri tepat di belakangnya.Tampak ragu, tapi akhirnya Rafko menceritakan apa yang baru saja ia temukan di layar gawainya. Sembari mengarahkan portal berita yang sejak tadi ia baca. "Angkasa ditemukan tewas di kamarnya," jelas Rafko.Awalnya Rinai terlihat enggan untuk mengamati layar ponsel yang Rafko sodorkan ke arah matanya, tetapi kalimat sepupunya itu berhasil menyita perhatian Rinai hingga dia bergerak refleks untuk meraih benda pipih itu dan menggulir layarnya.Keningnya mengerut, lantas menggigit ujung bibirnya berulang kali. Jemarinya terus mencari-cari berita yang berkaitan dengan insiden tersebut."Pihak kepolisian sudah menyatakan kalau Angkasa bunuh diri, tapi beberapa rumor aneh juga lagi beredar di Indonesia."Rinai mengangkat wajahnya, menatap Rafko dengan wajah bingung dan penuh tanda tanya.Seolah tahu maksud dari tatapan itu, Rafko pun segera mengatakan, "Ada rumor yang mengatakan kalau Angkasa se
"Jawab pertanyaanku, Pa!" desak Kala setelah mendorong ayahnya ke arah balkon kamar pria tersebut. "Apa benar papa telah memerkosa Rinai dan membuatnya hamil?!"Sorot amarah dan kebencian tidak bisa dipungkiri dari tatapan mata Kala saat ini. Ia melotot, seolah akan memakan Angkasa hidup-hidup saat ini juga."Jawab!" hardiknya lagi."Omong kosong macam apa itu, Kal?" Angkasa berusaha untuk membantahnya. "Mana mungkin papa melecehkan istrimu sendiri. Kamu tahu sendiri kan kalau Rinai itu mantan pelacur, jadi—"Kala mencekik leher sang ayah, membuat pria paruh baya tersebut tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Papa melecehkan dia jauuuuh sebelum Rinai menjadi wanita panggilan," tuding Kala kembali berapi-api. "Dan papalah yang membuat Rinai terjerumus dalam dunia gelap itu. Papa yang menghancurkan hidup Rinai, sampai dia putus asa dan akhirnya memilih jalan untuk melacur. Karena papa, semua karena papa!"Mendengar bagaimana lantangnya suara putranya ketika menguak tentang dosa-dosanya, A
+628137232—Nai, kamu ke mana? Kamu kok nggak ngomong kalau kamu akan pergi?+628137232—Nggak begini caranya Nai… Aku nggak akan cegah kamu untuk meninggalkanku, tapi aku terlalu khawatir tentang keadaanmu. Kabari aku begitu kamu baca pesan ini. Kamu tahu kan, kamu adalah duniaku. Kamu adalah impianku, dan aku menunggumu tak peduli harus menghabiskan jutaan menit untuk bisa memilikimu.Rakha menghela napas panjang setelah mengirimi pesan yang tidak pernah mendapat respons, bahkan setelah sebulan berlalu dan Rakha masih terus melayangkan pesan itu pada Rinai.Lelaki itu mendekatkan gawai ke telinganya, dan tetap sama… Nomor Rinai di luar jangkauan dan bahkan whatsapp-nya pun tidak pernah aktif lagi. Membuat Rakha frustasi berulang kali, setiap hari."Kamu ke mana sih, Nai?" lirih Rakha melirik ke arah jendela ruang kerjanya. Menatap gedung menjulang tinggi yang sejajar dengan tempat duduknya saat ini, namun pikirannya tidak berada di tempat tersebut.Makin frustasi, Rakha mencengkram ke