Sesekali, Rinai mencuri pandangan ke arah Rakha yang duduk di sampingnya. Lelaki itu terlihat begitu gelisah dan juga sibuk menghubungi seseorang melalui ponselnya. Namun, tampaknya panggilan itu tidak mendapat respons hingga Rakha terdengar menghela napas berulang kali.Rinai semakin dibuat penasaran, sebab setahu Rinai… Rakha belum pernah menikah, oh, atau jangan-jangan Rakha memang sudah menikah begitu hubungan mereka berakhir?Entahlah, makin Rinai pikirkan, Rinai justru makin merasa aneh dengan perasaannya sendiri. Nggak mungkin kalau yang ada di hatinya ini adalah rasa cemburu, bukan? Ah, nggak mungkin kok. Rinai terus menepis dan menyangkal hal aneh itu dari dalam kepalanya."Kha," panggil Rinai setelah menimbang-nimbang, bahkan hampir dua puluh menit perjalanan mereka menuju kediaman mewah milik keluarga Rakhayasa, keduanya tak saling bersuara.Rakha menoleh ke arah Rinai, tatapan mata mereka bertemu dan Rinai menemukan kesedihan di manik lelaki itu."Waradana itu…""Anakku,"
"Kalau mamamu tahu siapa aku yang sebenarnya… aku yakin, senyum itu bakal pudar dan aku akan kembali dibenci, juga dijauhi."Rakha yang sedang berjalan di samping Rinai itu pun dengan refleks menoleh ke samping, melirik Rinai yang juga menoleh kepadanya. Lantas, senyum kecil terbersit di sudut bibir Rakha seiring tangannya yang terulur untuk mengacak puncak kepala perempuan itu. "Mamaku nggak kayak gitu kok," ujar Rakha menenangkan Rinai.Namun, kalimat itu tentu saja tidak serta merta membuat hati Rinai tenang. Sebab Rinai tahu, mantan wanita panggilan sepertinya akan tetap dipandang hina dan kotor—terlepas dari alasan apapun yang membuatnya masuk ke lubang itu."Kalau mamaku terbukti nggak ilfeel sama kamu…" Rakha melirik Rinai dan kembali tersenyum saat menambahkan, "kamu mau tinggalkan Kala dan menikah sama aku, memangnya?" goda Rakha yang langsung menuai satu cubitan di lengannya."Dasar," celetuk Rinai.Rakha hanya terkekeh. Langkah mereka berdua terhenti tepat di depan sebuah k
"Katanya mau berangkat subuh," celetuk Rinai saat Rakha baru keluar dari kamarnya pukul setengah delapan pagi.Sementara Rinai sudah bangun sejak pukul empat, buru-buru mandi dan mengganti pakaian (yang telah disiapkan oleh Rakha melalui ART rumahnya), entah kapan pria itu membeli semuanya untuk Rinai."Jangan gampang percaya kalau Rakha bilang dia bakal bangun subuh, Nai."Rinai langsung menoleh ke arah sumber suara, di mana perempuan paruh baya yang kemarin selalu memuji kecantikan Rinai itu berdiri. Tanpa pikir panjang, Rinai bergegas bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri Hanim untuk menyalaminya dengan hormat."Bangun jam tujuh kayak sekarang aja udah prestasi yang luar biasa untuk seorang Rakhayasa Langit," sambung Hanim mengulum senyumnya karena berhasil membuat putra bungsunya mengerucutkan bibir dengan manja. "Ayo, Nai. Duduk lagi, kita sarapan dulu. Menghadapi anak mama yang super nyebelin ini butuh tenaga soalnya."Rinai mengangguk sungkan sebelum akhirnya duduk di ha
Are you happy to do this?”Langkah Rinai terhenti di ambang pintu kaca di hadapannya. Ia tahu pemilik suara di belakang punggungnya. Dengan aroma parfum yang khas dan juga sangat familier di hidungnya, tentu saja semua tidak terasa asing. Rinai terlihat enggan untuk berbalik. “Harusnya aku menanyakan hal ini,” sahutnya dengan malas.Kala tersenyum kecil, terlihat angkuh dan juga penuh kepuasan ketika membalik badan Rinai agar berhadapan dengannya. "Bagaimana rasanya melihat suami sendiri tengah bermesraan dengan wanita lain? Bagaimana rasanya menyaksikan suami sendiri memeluk dan mencium bibir wanita lain, Nai?" tanya Kala seakan tak punya perasaan.“Kamu serius sama pertanyaanmu itu, Kal?” Rinai justru ikut balik bertanya. “Aku nggak marah kok melihat bagaimana eratnya kamu memeluk Lisa. Aku nggak cemburu, justru aku jijik.”Dengan malas-malasan, Rinai melangkah menuju balkon, tempat di mana Lisa telah menunggunya. Mendorong dada Kala yang mencoba untuk menghalanginya. Dan Kala pun
Rinai terkekeh sembari memijat pelipisnya, mengamati tingkah Lisa yang menurutnya—kurang waras. Rinaj juga mengabaikan Kala yang meneriaki namanya hingga menggema di balkon tersebut."Kamu gila, Nai!" teriak Kala mendorong istrinya sebelum meraih tubuh Lisa yang masih terbaring di lantai. "Dasar saiko!"Lagi-lagi Rinai tergelak. "Ternyata begini ya… berurusan sama artis yang udah kebiasaan akting," celetuk Rinai tidak peduli dengan tatapan membunuh yang Kala layangkan kepadanya. "Dia yang sakiti diri sendiri, tapi berteriak seolah orang lain yang melukainya. Antara akting yang kelewat hebat atau otaknya yang udah nggak waras!"Kala menggeram kesal, lalu meminta manajer Lisa untuk segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Kala tampak begitu khawatir, pemandangan yang membuat perasaan Rinai bercampur aduk—kesal dan juga sedih ketika suaminya sendiri lebih percaya kebohongan Lisa dibanding dirinya."Urusan kita belum selesai," ucap Kala saat berpapasan dengan Rinai. "Kamu harus bayar tu
Kala menatap lekat-lekat ke arah Lisa yang tersenyum kepadanya. Ia pun membalasnya dengan senyum getir, meraih jemari perempuan itu untuk digenggam beberapa detik, sebelum akhirnya ia bawa ke bibir untuk mengecupnya lembut."Lie, aku minta maaf atas tindakan bodoh istriku," ungkap Kala setengah berbisik, namun terdengar begitu tulus.Lisa kembali tersenyum dan mengusap rahang penyanyi solo tersebut dengan tangannya yang bebas dari perban. Usapan lembut yang berhasil menghanyutkan Kala hingga kedua matanya memicing, menikmati momen ini dengan suka rela."Kamu nggak perlu minta maaf," ujar Lisa dengan lembut. "Mungkin Rinai salah paham dan kelewat cemburu. Dan juga mungkin… ini cara Rinai mengekspresikan rasa cemburunya itu dan aku anggap tindakannya masih manusiawi kok.""Tapi dia hampir aja mencelakai kamu, Lie…""That's okay," sela Lisa. "Anggap aja ini hukuman untukku."Mendengar nada lirih dan penuh rasa bersalah yang meluncur dari bibir Lisa—rasanya Kala ingin memeluk perempuan it
Rakha mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya ketika melihat layar monitor, di mana Kala dengan entengnya membicarakan tentang insiden yang menimpa calon istrinya dengan—menyalahkan Rinai sepenuhnya tanpa berniat untuk menyelidikinya terlebih dahulu.Sialnya lagi, Kala memastikan kalau dia akan menuntut Rinai dengan seadil-adilnya demi Lisa."Oh, Nai. Kamu udah lama berdiri di situ?" tanya Rakha sedikit terkejut saat mendapati Rinai mematung di ambang pintu, matanya pun tengah menatap monitor yang menempel di dinding ruangan kerja Rakha. "Kirain kamu masih istirahat di kamar," ujarnya lagi karena Rinai bergeming di tempatnya.Tatapan Rakha penuh rasa iba ketika melihat tangan Rinai turut bergetar, kedua matanya mulai berembun dan Rakha tahu apa yang kini ada di dalam hati dan pikiran perempuan itu—Rakha pernah berada di posisi itu—dituduh melakukan tindakan kriminal padahal dia tidak pernah melakukannya sama sekali.Sekelebat kenangan masa lalu pun melintas di benak Rakha, saat s
"Dasar sampah!""Pelacur nggak tahu diri!""Eh, kalau gilaaaa… ya gila aja, nggak usah mau bunuh idola kami dong!""Pelacur ini harus masuk penjara!""Keadilan untuk Lisa! Penjarakan si Jalang ini! Najis!"Rinai menutup kedua telinganya saat melewati lobi hotel, hinaan dan cacian itu terus saja masuk ke telinganya—belum lagi para penggemar Lisa dan Kala yang mulai bertindak brutal dengan melempar tisu dan botol air mineral ke arahnya.Dengan sigap, Rakha membuka jasnya agar bisa melindungi Rinai dari aksi brutal tersebut. Rakha juga memberi perintah pada sekuritinya agar memberi akses jalan untuknya dan juga Rinai.Bukan hanya para penggemar, tapi wartawan juga melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang enggan untuk Rinai tanggapi—pasti selalu menyudutkan dirinya yang memiliki track-record yang kurang bagus di mata masyarakat."Kamu nggak perlu hiraukan apa pun ucapan mereka," kata Rakha menguatkan Rinai yang ia yakin—perempuan itu akan stress dengan semua ini. "Mobilnya ada di sebelah ka