Share

Bab 0008

Suara Qirana terdengar sangat keras hingga Yuna mendengarnya dengan jelas.

Dia juga mendengar kata-kata Wano yang begitu menyayat hati.

Yuna merasa tujuh tahun cintanya yang mendalam telah sia-sia.

Dia menatap Wano dengan dingin, "Aku hanya meminta Listi untuk menyalin rekamannya, nggak menyuruhnya menghapus."

Wano memandangnya datar, "Saksi dan bukti sudah ada, kamu masih beralasan?"

Yuna tersenyum getir.

Mengapa dia harus memberikan penjelasan padanya?

Apakah dia masih berharap Wano akan percaya padanya?

Wano selalu berdiri di pihak Qirana tanpa syarat, dalam setiap masalah yang melibatkan Qirana.

Yuna sedikit menggigit bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk menjaga emosinya tetap stabil.

"Karena begitu, mari kita melakukan penyelidikan secara resmi. Aku nggak akan mengakui hal-hal yang nggak kulakukan. Walaupun harus mengorbankan seluruh Keluarga Qalif, aku juga akan membersihkan nama baikku."

Yuna biasanya selalu bersikap lembut dan anggun. Dia juga sosok berperilaku baik dan patuh.

Ini pertama kalinya Wano melihatnya seperti ini.

Wano tersenyum tipis seraya berkata, "Kamu berani juga, ya?"

"Pak Wano, jangan lupa aku juga belajar hukum. Andai saja aku tak tergoda pada kekayaanmu sejak awal, aku pasti menjadi seorang pengacara yang sangat handal sekarang."

Ketika mengucapkannya, Yuna sengaja menekankan bagian "Tergoda akan kekayaan" dengan kuat sambil tersenyum acuh-tak acuh.

Dalam hatinya, dia seolah-olah sudah terbiasa dengan pandangan orang lain terhadapnya yang menganggapnya seperti itu.

Wano sangat marah hingga diam-diam menggertakkan gigi.

"Kalau begitu, semoga kamu beruntung!"

Setelah mengatakannya, dia membanting pintu dan pergi tanpa menoleh ke belakang.

Melihat Wano turun, Zakri segera keluar dari mobil dan buru-buru berkata, "Pak Wano, Anda lupa membawa suplemen yang dibeli untuk Sekretaris Yuna. Anda ingin memberikannya sendiri padanya atau saya ...."

Sebelum Zakri selesai bicara, dia mendengar suara dingin Wano yang penuh titah.

"Buang saja!"

Zakri melihat luka di sudut mulut Wano dan langsung bisa menebak apa yang baru saja terjadi.

Zakri mencoba membujuknya.

"Pak Wano, suplemen itu sudah Anda beli dengan susah payah. Bagaimana bisa kita membuangnya begitu saja?"

"Sekretaris Yuna hanya merasa kesal karena Anda nggak memperhatikannya, itu hal yang wajar."

"Kalau saya membawa pacar saya untuk mendonorkan darah kepada mantan saya, lalu meninggalkannya begitu saja, dia pasti juga akan marah sekali pada saya."

"Luka kecil pada wajah Anda itu tak seberapa."

"Setelah Sekretaris Yuna tenang, saya akan mengirimkan kepadanya. "

Wano memandangnya sambil merenung. Dalam sekelebat, bayangan wajah pucat Yuna kembali menghantui pikirannya.

Padahal itu hanya 400cc darah, tetapi bisa membuatnya seperti ini.

Semua makanan lezat yang dia bawakan untuk Yuna makan menjadi sia-sia.

Wano pun menjawab dengan datar, "Terserah kamu."

Setelah itu, Wano mengeluarkan sebatang rokok dari saku, menundukkan kepala dan menyalakannya. "Periksa rekamannya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."

Zakri langsung menyetujui perintahnya, "Saya akan segera memeriksanya. Anda pasti tak percaya bahwa Sekretaris Yuna akan bertindak seperti ini, bukan? Dia sangat kompeten dan Anda pun mengakuinya. Bisa jadi ada yang iri padanya dan ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk membuatnya pergi dan mengambil posisinya."

Wano menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengepulkan lingkaran asap hitam perlahan.

Wajah tampan itu kini diselimuti asap putih, membuatnya sedikit terlihat sedikit suram.

Dia memicingkan mata sambil berkata dengan dingin, "Mari kita lihat, siapa yang sebenarnya lancang di sini!"

Mobil itu perlahan pergi dan melaju menuju Grup Lasegaf.

Saat pintu kantor baru saja terbuka, terdengar suara ramah dari dalam.

"Cucuku, apakah kamu terkejut melihat nenek?"

Marisa mengenakan setelan berwarna biru, rambut keritingnya yang berwarna putih.

Meskipun usianya sudah melebihi tujuh puluh tahun, namun penampilannya sangat segar dan energik, seolah-olah terlihat sepuluh tahun lebih muda.

Wano yang awalnya tampak dingin seketika mengulas senyum tipis ketika melihat sang nenek.

"Kenapa datang ke sini? Kenapa nggak bersantai di rumah atau berkebun?"

"Itu semua nggak ada gunanya. Untuk apa aku menanamnya jika nggak punya cucu yang bisa kuajak bermain di sana?"

Dia melihat sekeliling kantor dengan senyum di wajahnya, lalu berkata, "Kudengar kamu punya seorang sekretaris muda yang sangat cantik dan kompeten. Kenapa aku nggak melihatnya?"

"Dia sudah mengundurkan diri."

Wano menjawab dengan tenang tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Wanita tua itu kemudian berkata menyalahkan, "Gadis yang baik, cerdas, cantik dan bijaksana seperti dia bahkan nggak bisa bertahan. Kamu ini memang nggak berguna! Padahal aku ingin menjadikannya cucu menantu."

Tampaknya, jika dia tak ikut turun tangan, cucu menantunya ini pasti akan melarikan diri.

Wano terkekeh tidak setuju.

Dia bilang Yuna baik dan bijaksana?' ujar Wano dalam hati.

Dulu memang sosoknya seperti itu.

Sekarang, Yuna ibarat bunga mawar berduri. Jika berani mendekat, maka dia akan menusukkan durinya.

Wano kembali frustrasi ketika mengingat hal ini.

....

Di sisi lain.

Setelah menyelidiki lebih lanjut, Yuna baru menyadari bahwa Listi rupanya telah berkhianat.

Listi bersikeras bahwa Yuna yang menyuruhnya untuk menghilangkan bukti.

Masih ada catatan transaksi senilai dua miliar di antara mereka.

Itu adalah uang yang dia pinjam dari Yuna.

Listi ingin segera menikah dengan pacarnya. Akan tetapi, uang untuk membeli dan merenovasi rumah masih kurang, jadi dia memutuskan untuk meminjam senilai dua miliar pada Yuna.

Tak disangka, uang tersebut diputarbalikkan sebagai upah atas kejahatannya.

Yuna hanya bisa menyeringai.

Kita harus selalu berhati-hati terhadap siapa pun termasuk teman dekat, karena tak semua orang bisa dipercaya sepenuhnya.

Yuna tak menyangka, seseorang yang sangat dia percaya malah membalikkan keadaan dan menyerangnya secara terang-terangan saat ini.

Dia menatap Xena, "Kak, tampaknya masalah ini akan menjadi rumit. Semua bukti menunjukkan bahwa akulah yang bersalah. Aku khawatir hal ini akan merusak reputasimu."

Xena tersenyum meremehkan, "Aku sudah bilang, 'kan? Selama aku di sini, nggak akan ada yang bisa menyakitimu lagi. Aku akan mencari buktinya sendiri. Kamu lebih baik istirahat saja untuk beberapa hari ini."

"Pulihkan kesehatanmu dulu, baru setelah itu kita bicara lagi, oke?"

"Mari kita selidiki bersama. Pasti ada dalang dibalik pengkhianatan Listi."

Ketika mereka sedang berdiskusi, tiba-tiba ponsel Yuna berdering.

Yuna terlihat kesal saat melihat layar panggilan tersebut.

Segera setelah Yuna menjawab telepon, suara kasar terdengar dari ujung telepon.

"Yuna, cepat ke sini sekarang juga!"

Panggilan itu berasal dari neneknya. Setiap kali neneknya menelepon, itu adalah pertanda bahwa suatu masalah tengah terjadi.

Begitu Yuna masuk ke ruang tamu Keluarga Qalif, sebuah cangkir teh dilemparkan ke arahnya.

Tanpa sempat menghindar, penutup cangkir teh mengenai dahinya. Dalam sekejap, darah merah segar mengalir di dahinya.

Dia spontan menutup luka itu dengan tangannya dan memandang Nuria dengan kebingungan.

"Apa salahku, Nek? Kenapa kamu begitu marah saat aku baru saja datang?"

"Kamu masih berani tanya? Proyek besar antara Keluarga Qalif dan Keluarga Lasegaf dihentikan. Bukankah ini semua gara-gara ulahmu?"

"Kamu sudah enak jadi sekretaris, lalu kenapa malah mengundurkan diri?"

"Lihat sekarang! Wano menyerang Keluarga Qalif. Keluarga Qalif akan hancur karenamu."

Sembari bicara, Nuria menggebrak meja teh di hadapannya.

Sosoknya terlihat begitu ganas.

Tidak ada sedikit pun kehangatan keluarga yang terasa di dalamnya.

Yuna tak lagi memperhatikan luka di dahinya, dia mulai memikirkan kembali perkataan neneknya barusan.

Keluarga Lasegaf memutus kerja sama dengan Keluarga Qalif.

Wano benar-benar melakukan apa yang dia katakan.

Yuna tersenyum pahit, "Jadi, apa maksudmu, Nek? Mau menyuruhku tetap berada di samping Wano tanpa status resmi dan hanya menjadi teman tidurnya untuk melampiaskan nafsunya?"

Nuria tertawa dingin, "Berani sekali kamu memimpikannya. Kamu sudah naik ke tempat tidurnya dan kini masih menginginkan status?"

"Sejak awal, kalau bukan karena bantuanku, kamu nggak akan punya kesempatan sebagus ini!"

Mata Yuna terbelalak ketika mendengar ucapan Nuria.

Yuna menatap sang nenek dengan tak percaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status