Share

Bab 0010

Yuna langsung menjawabnya tanpa pikir panjang, "Aku bisa memberikan semuanya, kecuali hal ini."

Wano mencubit dagunya sambil terkekeh, "Tapi aku hanya menginginkan hal ini."

"Wano, meskipun kamu menganggapku mendekatimu dengan tujuan tertentu, tapi selama tiga tahun ini aku telah merawatmu dengan baik. Aku nggak berutang apa pun kepadamu, jadi kamu nggak punya alasan untuk menghalangi kepergianku."

Wano melihat mata tegar Yuna dan bibir mungil yang terus mengoceh itu.

Lekuk tubuh Yuna juga tak luput dari pandangannya.

Semua itu membuat jakunnya tak bisa diam.

Dia memeluk Yuna ke dalam pangkuannya, lalu menyandarkan dagunya ke pundak Yuna sambil berkata dengan serak, "Kalau begitu, jelaskan bagaimana caramu merawatku selama ini?"

Suara magnetisnya yang dalam membuat kulit kepala Yuna tergelitik. Tangan besarnya kini mulai meraba-raba ke dalam pakaian Yuna.

Yuna ingin melepaskan diri, tetapi Wano mendekapnya semakin erat.

Dalam keputusasaan, dia menundukkan kepalanya dan menggigit bahu Wano.

Dia melampiaskan semua keluhan dan ketidakpuasannya pada gigitan ini.

Dia terus menggigit sampai merasakan darah di mulutnya.

Dengan berderai air mata, suara Yuna terdengar gemetaran, "Wano, jangan membuatku marah. Orang yang nggak berdaya sekalipun bisa menyakiti kalau dirinya terpojok."

Setelah mengucapkan hal itu, dia mendorong Wano menjauh, meninggalkan Wano dengan wajah penuh kesedihan.

Ketika Zakri kembali ke mobil, dia kebetulan melihat presdirnya tengah memotret bahunya menggunakan ponsel.

Melalui kaca spion, dia melihat bekas gigitan yang berdarah di bahu sang presdir.

Ck, ck.

Sang presdir kembali membuatnya gelisah.

Dia bertanya dengan penuh simpati, "Pak Wano, apa bapak ingin diobati dulu?"

Wano menatap Zakri dengan kesal, "Apa aku kelihatan semanja itu?"

Zaki menjawab dalam hati, 'Bukannya manja, tapi Anda menyimpan buktinya. Bukankah tadi seharusnya Anda membicarakannya dengan Bu Yuna?'

Wano mengambil beberapa foto secara beruntun sebelum memakai pakaian kembali, lalu dengan suara dingin bertanya, "Siapa yang membatalkan proyek dengan Keluarga Qalif?"

Zakri menunduk, kemudian menjawab dengan ragu setelah berdiam cukup lama, "Nyonya yang melakukannya."

"Kenapa nggak ada yang memberitahuku?"

"Nyonya melarang kami mengatakannya."

"Zakri, kamu ini asistenku atau asisten dia?"

Zakri buru-buru menjawab, "Pak Wano, sepertinya nyonya tahu tentang hubungan Anda dengan Bu Yuna. Dia telah mengirim orang untuk menyelidiki semua kegiatan Bu Yuna selama tiga tahun terakhir, serta kerjasama antara Grup Qalif dan Grup Lasegaf."

"Menurutku, dia memiliki niat jahat kali ini."

Tangan Wano yang ramping menarik dasinya dengan kuat.

Sorot matanya terlihat begitu dingin.

Dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon ibunya.

Saat panggilan tersambung, suara dingin seorang wanita terdengar dari seberang telepon.

"Kalau kamu ingin membela keluarga Qalif, lebih baik hentikan, aku nggak akan membiarkanmu melakukannya!"

Wajah Wano terlihat kesal, "Dia punyaku, kamu nggak berhak menyentuhnya."

Vina tertawa dingin, "Justru karena dia adalah punyamu, itulah kenapa aku berani menyentuhnya. Apa kamu tahu kalau ibunya pernah mencoba merayu ayahmu?"

"Seorang wanita yang berani melakukan segala cara untuk merayu pria. Lantas, apakah putrinya bisa sebaik itu?"

Wano terkekeh tidak setuju, "Itu ibunya, sama sekali nggak ada hubungannya dengan dia!"

"Wano, Keluarga Lasegaf kita nggak akan pernah membiarkan wanita seperti ini masuk ke keluarga kita. Kamu nggak akan pernah bahagia bersamanya!"

"Apa kamu dan ayah benar-benar bahagia? Sejak aku kecil, kalian berdua terus bertengkar, berpisah dan rujuk berkali-kali selama puluhan tahun. Hal itu membuatku takut akan pernikahan dan membuat kakak perempuanku kehilangan kepercayaan pada cinta. Dia bahkan masih saja melajang sampai usia tiga puluhan."

"Kenapa kalian nggak introspeksi diri dan malah membuat kami terjerumus ke dalam keputusasaan seperti ini?"

Wano berkata dengan suara bergetar.

Pikirannya dipenuhi bayangan orangtuanya yang terus-menerus bertengkar.

Kakaknya selalu membawanya ke sebuah ruangan kecil yang gelap sambil menangis tanpa suara.

Kalau tidak ada nenek yang merawat mereka dengan penuh kasih, mereka takkan bisa tumbuh dengan baik.

Dia bersandar di kursinya dan menekankan jari-jarinya dengan pelan ke pelipisnya.

Setiap kali dia memikirkan hal-hal ini, dia merasa kepalanya begitu pusing.

Vina tidak merasa tertekan sedikit pun dan tidak menyerah sama sekali, "Apakah ini salahku sendiri? Jika ayahmu nggak cari masalah, apakah aku akan bertengkar dengannya?"

"Wano, biar kuberitahu padamu, aku punya kendali atas Yuna."

"Aku tidak akan pernah membiarkan wanita itu tinggal di sisimu, terlebih sebagai kekasih!"

Setelah mengatakannya, Vina menutup telepon dengan kasar.

Wano sangat marah sehingga dia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus rokoknya. Lalu, dia menunduk dan menyalakannya.

Wano bersandar pada kursi dan menghirup rokoknya dalam-dalam.

....

Beberapa hari kemudian.

Seusai mengatur makan siang ayahnya, tiba-tiba dia menerima telepon dari Departemen Obstetri dan Ginekologi rumah sakit.

Setelah keguguran, dia menjalani pemeriksaan ginekologi secara menyeluruh. Saat ini, hasilnya pasti sudah keluar.

Dia keluar dari ruang rawat dan menekan ponselnya untuk menjawab panggilan tersebut.

"Nona Yuna, tampaknya ada masalah dengan laporan pemeriksaanmu. Sebaiknya kamu segera datang."

Yuna merasa ada yang tidak beres.

Setelah menutup telepon, dia memberi tahu ayahnya dan mencari alasan untuk pergi.

Dokter mengerutkan kening dan melihat data laporan, lalu menatap Yuna seraya melemparkan pertanyaan, "Apa kamu sering minum pil pencegah kehamilan?"

Yuna pun mengangguk.

Wano bisa tiba-tiba berhasrat kapanpun dan dimanapun sehingga terkadang sudah terlambat untuk membeli alat pencegah kehamilan. Itu sebabnya dia hanya bisa meminum pil pencegah kehamilan setiap waktu.

Terakhir kali dia sampai hamil, itu karena dia digempur habis-habisan oleh Wano hingga mengalami demam tinggi dan lupa minum obat.

Dokter melihatnya dengan penuh simpati, "Kamu memiliki posisi uterus di bagian belakang, dinding dalamnya juga tipis. Ditambah lagi, kamu sering minum pil pencegah kehamilan. Itu membuat tanda-tanda awal penurunan fungsi ovarium juga terlihat. Ini bisa membuatmu kesulitan untuk hamil."

"Meskipun hamil adalah perkara yang sulit, tapi kamu nggak menjaga kesehatan dengan baik, itu sebabnya bisa sampai keguguran dan pendarahan hebat. Hal ini sangat merugikan kesehatanmu."

"Laporan menunjukkan bahwa peluangmu untuk hamil lagi sangat rendah dan nggak lebih dari dua puluh persen."

Mendengar pernyataan tersebut, Yuna merasa ada sebilah belati yang menusuk hatinya.

Rasa sakit yang luar biasa membuatnya merasa sesak.

Tangan kecilnya yang dingin menggenggam erat ujung bajunya.

Dia teringat akan seorang kerabat yang peluang hamilnya sebesar empat puluh persen. Akan tetapi, wanita itu tak kunjung hamil meskipun sudah lima tahun menikah.

Apa ini berarti dia sudah tak memiliki peluang untuk menjadi ibu dengan peluang hamil yang kurang dari dua puluh persen?

Yuna bertanya dengan suara serak, "Dokter, apa nggak ada lagi yang bisa dilakukan?"

Dokter menggelengkan kepalanya tak berdaya, "Aku akan memberimu obat tradisional untuk mengobatinya, bisa jadi peluangnya akan meningkat. Tapi ingat, jangan pernah minum pil pencegah kehamilan lagi setelahnya."

"Begitu seorang wanita kehilangan haknya untuk menjadi seorang ibu, dia akan menyesal seumur hidupnya."

"Jika seorang pria benar-benar mencintaimu, ada banyak metode untuk mencegah kehamilan, jadi dia nggak hanya akan memedulikan kesenangannya sendiri, tetapi juga tubuhmu."

Yuna tersenyum sedih.

Benar juga.

Jika Wano benar-benar mencintainya, mana mungkin dia rela membiarkannya menanggung semua ini.

Yuna terhuyung keluar sambil memegang sebuah berkas. Begitu dia sampai di pintu, pasien berikutnya sudah membuka pintu masuk terlebih dahulu.

Dia tidak ingin repot-repot melihat wajah orang itu dan bergegas melewatinya, tetapi Yuna malah tak sengaja menabrak samping tubuhnya.

Saat dia berjalan beberapa langkah, sebuah suara yang familiar terdengar di telinganya.

"Dokter, aku ingin melakukan tes kehamilan. Aku ingin punya anak setelah menikah."

Yuna mematung seketika.

Beberapa saat kemudian, dia menoleh ke belakang dengan perlahan.

Dia melihat Qirana yang tersenyum begitu cerah.

Wano sama sekali tak ingin menikah atau memiliki anak dengan Yuna.

Bahkan, demi mencegah kehamilannya, Wano memberinya berbagai obat yang membuatnya mendapat risiko berupa peluang hamil di bawah dua puluh persen.

Namun, di sisi lain dia ternyata ingin menikah dan memiliki anak dengan wanita pilihannya ini.

Tanpa sebuah perbandingan, seseorang takkan pernah merasakan sebuah luka dan menyadari kebodohannya.

Hati Yuna tak pernah sesakit ini sebelumnya.

Dia berjalan keluar dengan langkah kaku.

Begitu dia mengambil beberapa langkah keluar, tiba-tiba saja dia jatuh ke dalam pelukan yang terasa familiar.

Sebelum dia sempat bereaksi, suara dingin Wano terdengar dari atas kepalanya.

"Apa kamu hamil?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status