Share

Bab 0011

Yuna menengadahkan kepala dan menatapnya.

Tatapannya dingin, namun matanya berkaca-kaca.

"Kalau aku bilang iya, apa Pak Wano mau memaksaku operasi dan menggugurkan kandunganku?"

Tatapan Wano menjadi lebih dalam, dia memperhatikan wajah tirus Yuna untuk waktu yang lama.

Setelah terdiam cukup lama, dia akhirnya berkata, "Kenapa kamu nggak memberitahuku tentang hal sepenting ini?"

Yuna mencibir, "Semakin cepat aku memberitahumu, semakin cepat kamu ingin menggugurkan bayinya, 'kan?"

"Yuna, tolong dengarkan aku baik-baik!" Wano memegang dagunya dengan kuat.

Yuna menatap Wano dengan mata berkaca-kaca, "Pak Wano, kamu akan menikah dan punya anak dengan wanita lain. Bahkan kalau aku hamil, apa kamu masih akan peduli?"

Wano menatap wajah Yuna yang keras kepala, diam-diam merasa kesal.

Tanpa peduli bagaimana Yuna berontak, dia menggenggam pergelangan tangannya dan menyeretnya ke ruang Departemen Obstetri dan Ginekologi.

Dia berusaha melepaskan diri, tapi suara Wano sulit diabaikan oleh telinganya.

"Tenang saja, aku akan pastikan kamu mendapat dokter kandungan terbaik."

Mendengar hal itu, hati Yuna yang sudah hancur semakin terasa perih.

Di satu sisi, Wano membawa wanita yang dia cintai untuk melakukan tes kehamilan. Di sisi lain, dia ingin menggugurkan anaknya.

Kalau saja anak itu masih ada dan diaborsi oleh ayah kandungnya sendiri, bukankah hal itu akan membuatnya semakin terluka?

Memikirkan hal ini, Yuna memejamkan matanya dengan perasaan pilu.

Dia menepis tangan Wano dengan kasar, "Pak Wano nggak usah khawatir, aku nggak hamil."

Dia mundur beberapa langkah, menatap mata hitam Wano yang kelam dan penuh misteri, lalu berbalik dan pergi.

Baru beberapa langkah pergi, tubuhnya sudah terangkat dan digendong oleh seseorang.

Suara rendah dan berat Wano terdengar di telinganya.

"Kamu takut diperiksa, ya? Atau kamu berniat diam-diam melahirkan anak itu dan memanfaatkannya untuk meningkatkan statusmu dengan menikah dengan keluarga Lasegaf?"

Yuna berontak dan berusaha keras untuk melepaskan diri dari pelukan Wano, "Wano, orang sepertimu nggak pantas punya anak! Lepaskan aku!

Tanpa basa-basi, Wano menggendongnya masuk ke dalam ruang rawat VIP.

Baru pada saat itulah dia menyadari bahwa wajah Yuna tampak jauh lebih tirus.

Dia berkata dengan kesal, "Bukannya kamu cukup hebat? Kenapa setelah meninggalkanku kamu jadi seperti ini? Lihatlah wajahmu, apa masih bisa dikatakan pantas dilihat?"

Ujung jarinya yang dingin membelai pipi Yuna, suaranya menjadi lebih rendah dan serak.

"Sudah aku katakan, kalau kamu kembali ke sisiku, semua masalahmu akan selesai."

Yuna mencibir, "Hari itu nggak akan pernah datang!"

Begitu selesai bicara, dia hendak berdiri dan pergi.

Namun Wano mencekal bahunya dengan erat.

Di tengah pertengkaran mereka, ponsel Yuna berdering dan dia langsung mengangkatnya.

Nadanya yang tadinya dingin dan kaku, tiba-tiba saja berubah menjadi lembut.

"Kakak".

"Yuna, aku datang untuk menjenguk paman. Oh ya, aku juga bawakan dessert kesukaanmu. Kamu pergi kemana, sih?"

"Makasih ya, Kak. Aku akan segera kembali."

Setelah mematikan teleponnya, dia langsung menatap Wano dengan tajam, "Wano, aku nggak punya waktu buat ngeladenin kamu. Minggir, aku mau pergi."

Sepasang mata hitam Wano yang seperti sedalam samudera kini terasa sedingin es dan salju.

Tubuhnya yang tinggi dan besar menindih Yuna dengan kuat di atas tempat tidur.

"Yuna, selama aku belum setuju putus denganmu, kamu nggak boleh pacaran dengan pria lain."

Suaranya yang dingin seakan menusuk tulang, sedang napasnya begitu panas sangat mengerikan.

Tanpa menunggu reaksi Yuna, bibir dan lidah yang basah serta panas menyeruak masuk ke dalam mulutnya.

Saat bibir mereka bertemu, perasaan familiar itu langsung menjalar ke dalam hati masing-masing.

Yuna ingin memberontak, tetapi kedua tangannya ditahan erat oleh Wano.

Dia mencengkeram dagunya, menciumnya dengan kasar dan penuh paksaan.

Napas mereka berdua beradu dengan cepat.

Adegan mereka berdua yang pernah bersama tampak penuh gairah, bak film yang terputar berulang kali di kepala Wano.

Yuna memanggilnya dengan suara pelan.

Dia menangis dan memohon belas kasihan pada Wano.

Bekas ciuman berwarna merah muda menghiasi kulitnya yang putih bersih.

Setiap kenangan yang terlintas membuat Wano semakin menggila.

Saat ini, satu-satunya hal yang terlintas di benaknya, wanita ini adalah miliknya.

Qirana yang berdiri di luar pintu melihat adegan itu melalui celah pintu, dia sangat marah sampai mengepalkan tangannya kuat.

Dia ingin menjadi satu-satunya wanita yang dicintai Wano sampai mati.

Dia menggigit bibirnya dengan kuat, aroma darah dengan cepat menyebar di mulutnya.

Pada saat yang sama, suara Yanuar terdengar dari arah samping.

"Qirana, kamu lagi ngapain?"

Qirana langsung tersadar, tersenyum sembari berkata, "Aku lagi nungguin Kak Wano."

Dia menatap dokter yang berdiri di belakang Yanuar, "Kak Yanuar, dia siapa ...."

Yanuar berkata sambil menyeringai, "Ada yang bilang kalau dirinya akan menjadi seorang ayah dan memintaku mencarikan dokter untuk memastikannya. Ada apa? Memangnya apa yang dilakukan Wano di dalam?"

Dia menjulurkan kepalanya untuk melihat, tepat pada saat itu dia melihat Yuna menggigit bibir Wano dengan keras.

Tak lama kemudian, bibirnya mulai berdarah.

Yanuar tidak bisa menahan tawanya dan berkata, "Ck ck ck, digigit begitu masih bisa tertawa senang, dia benar-benar licik. Ini pertunjukan yang menarik, ayo kita masuk dan melihatnya."

Senyuman di wajah Qirana perlahan menjadi kaku.

Dia menatap tajam dokter kandungan di belakang Yanuar dan menggertakkan giginya dengan kesal.

Dia pikir jika memberi tahu Wano bahwa Yuna hamil, Wano pasti akan sangat marah.

Wano pasti akan memaksanya untuk menggugurkan kandungan, dengan begitu Yuna akan semakin membencinya.

Akan tetapi, dia sama sekali tidak menyangka, bahwa Wano menginginkan anak itu.

Untung saja bayinya sudah lama meninggal.

Dia menyunggingkan senyum dingin di bibirnya, lalu mengikuti Yanuar masuk ke dalam ruangan.

Melihat wajah mereka berdua yang merah dan bibir yang sedikit basah berkilau, Yanuar tersenyum nakal.

"Apa nggak bisa ditahan dulu? Jaga sikap dong, ini rumah sakit, bukan rumah kalian. Lagian, kalau Yuna beneran hamil, gimana kalau kamu malah nyakitin bayi di kandungannya?"

Wano menatapnya dengan dingin, "Keluar!"

Lalu, dia menoleh ke arah dokter di belakangnya dan berkata, "Periksa apakah dia hamil."

Dokter itu tersenyum dan mengangguk, "Pak Wano tak perlu khawatir, kita akan mengambil sedikit darah untuk di tes dan setelah itu hasilnya akan keluar dalam waktu dua puluh menit."

Dia melangkah ke arah Yuna sambil membawa peralatannya.

Sebelum Yuna sempat bereaksi, Qirana yang berdiri di belakangnya tiba-tiba saja menangis.

Dia berjalan mendekat ke arah Wano dan menatapnya dengan penuh rasa bersalah.

"Kak Wano, nggak perlu memeriksanya lagi. Bayinya sudah nggak ada. semua ini salahku. kalau saja aku nggak meneleponmu hari itu, kamu nggak akan melewatkan ulang tahun Yuna dan dia nggak akan marah sampai menggugurkan anak kalian."

Dia berkata sembari menyerahkan catatan operasi kepada Wano.

Melihat tumpukan kertas itu, tatapan Wano perlahan berubah semakin dingin.

Dia mengangkat tes hasil kehamilan, matanya tajam seperti pisau menatap Yuna, "Siapa yang memberimu hak untuk menggugurkan anakku?!"

Suaranya dingin bagaikan salju yang membeku.

Urat nadi di punggung tangannya yang pucat terlihat jelas.

Yuna membaca penjelasan dokter di lembar operasi, dia langsung tersenyum sinis.

Kemampuan Qirana benar-benar luar biasa.

Dia bahkan bisa masuk ke sistem rumah sakit dan mengubah rekam medis.

Keguguran dengan pendarahan hebat bahkan bisa diubah menjadi permintaan pasien untuk menggugurkan bayi.

Yuna menatap Wano dengan tatapan tajam, "Dia juga anakku, kalau bukan karena kamu mengabaikanku, dia nggak akan mati!"

Suaranya hampir serak, dia teringat bagaimana Wano yang mengabaikan permintaan tolongnya malam itu.

Namun, Wano tiba-tiba mencengkeram dagunya, matanya menunjukkan kekejaman yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status