Share

Ravenshire

Penulis: Kimaeraman
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-02 20:47:10

Angin malam berdesir melewati jendela-jendela kaca berwarna di Gereja St. Ethelred di desa Ravenshire. Pastor Gregory duduk di bangku kayu, dikelilingi oleh keheningan. Lilin-lilin kecil di altar memancarkan cahaya redup, bayangannya menari-nari di dinding gereja tua itu.

1335, Nunbit. Malam Yamibi telah tiba, dan Gregory tidak bisa mengabaikan perasaan gelisah yang merayap di hatinya. Ia membuka kitab tua di tangannya, kitab yang telah diwariskan dari pastor-pastor sebelumnya. Halamannya penuh coretan dan doa-doa kuno yang ditulis dalam bahasa kuno.

"Dullahan," gumamnya, matanya tertuju pada sebuah cerita yang terkubur di dalam kitab itu.

Legenda itu selalu dianggap sebagai dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak: penunggang kuda tanpa kepala yang muncul di malam Yamibi, mencari jiwa-jiwa yang telah terkutuk oleh dosa besar. Namun, Gregory tahu lebih dari itu. Ia tahu bahwa legenda itu bukan sekadar cerita.

Di dalam catatan pribadi pastor-pastor sebelumnya, disebutkan bahwa Dullahan pernah muncul di Ravenshire. Penampakan itu selalu terjadi setelah dosa besar dilakukan oleh seseorang di desa. Dan malam itu, Gregory merasa bahwa kehadiran Dullahan akan kembali mengunjungi Ravenshire.

Teng.. Teng... Teng... Ketika lonceng gereja berdentang menandai tengah malam, seorang gadis muda bernama Elise mengetuk pintu gereja. Ia tampak pucat, rambutnya basah oleh embun malam, dan matanya dipenuhi ketakutan.

“Pastor Gregory, saya melihatnya,” bisiknya dengan suara bergetar.

Gregory mengerutkan kening. “Melihat apa, Elise?”

“Penunggang itu... tanpa kepala... Dia ada di jalan utama desa. Lentera tengkoraknya menyala terang, dan kuda hitamnya mengeluarkan api dari kuku-kukunya.”

Gregory menatap gadis itu dengan serius. Ia tahu Elise bukanlah orang yang mudah terpengaruh oleh imajinasi. Jika ia benar-benar melihat sesuatu, maka itu pasti sesuatu yang nyata.

“Masuklah, Elise,” kata Gregory sambil mempersilakan gadis itu duduk.

Gregory segera mengambil kitab tua itu dan membuka halaman yang menceritakan tentang Dullahan. Ia membaca keras-keras: "Dullahan membawa lentera dari tengkorak manusia untuk mencari jiwa-jiwa yang ditakdirkan mati. Mereka yang melihatnya dan mendengar derap kudanya tidak akan selamat kecuali mereka telah membersihkan dosa mereka."

Sementara itu, di tempat lain di desa, Alaric, kepala desa, berdiri di ruang kerjanya. Keringat dingin mengalir di dahinya saat ia menatap dokumen-dokumen tua di meja kayu ek. Beberapa minggu lalu, ia memimpin ritual rahasia di tengah hutan untuk melindungi desa dari wabah penyakit. Tetapi, ritual itu melibatkan pengorbanan seekor domba hitam—dan beberapa warga percaya, pengorbanan itu lebih dari sekadar simbolis.

Alaric menyimpan rahasia besar: ia menggunakan mantra dari kitab gelap untuk melindungi dirinya sendiri, bukan untuk melindungi desa. Ia tahu ritual itu telah menarik perhatian kekuatan gelap, tetapi ia tidak menyangka bahwa legenda Dullahan akan menjadi kenyataan.

Tiba-tiba, suara derap kuda terdengar di luar jendelanya. Alaric gemetar. Ia mencoba mengintip, tetapi kabut tebal menghalangi pandangannya.

Malam itu, Dullahan mulai menampakkan dirinya di berbagai sudut desa. Beberapa warga melaporkan melihat bayangan besar di hutan, sementara yang lain mendengar derap kuda dan suara cambuk di dekat ladang. Catherine, janda muda yang tinggal di pinggir desa, mendapati bunga wolfsbane tergeletak di depan pintu rumahnya.

Ketika kabar tentang Dullahan menyebar, warga desa berkumpul di alun-alun, berharap Pastor Gregory dapat memberikan perlindungan. Gregory membawa kitab tua dan mencoba memimpin doa, tetapi rasa takut telah menguasai semua orang.

“Dullahan hanya datang untuk mereka yang bersalah,” kata Gregory, mencoba menenangkan warga. “Jika kita bertobat, mungkin kita bisa selamat.”

Namun, Alaric yang hadir di tengah kerumunan tampak semakin gelisah. Ia menyadari bahwa dosa-dosanya mungkin telah membawa kutukan ini ke desa.

Ketika malam semakin larut, Gregory memutuskan untuk memimpin warga ke kapel tua di hutan, tempat yang diyakini memiliki kekuatan perlindungan. Namun, saat mereka tiba, suara derap kuda dan cambuk terdengar semakin dekat. Kabut yang tebal mulai mengelilingi mereka, dan dari dalam kabut, lentera tengkorak milik Dullahan bersinar terang.

Dullahan muncul di hadapan mereka, kuda hitamnya meringkik keras, memancarkan api dari lubang hidungnya. Semua orang membeku di tempat, kecuali Gregory yang maju dengan kitab tua di tangannya.

“Dullahan!” seru Gregory. “Kami memohon belas kasihanmu!”

Namun, Dullahan tidak merespons. Ia mengangkat cambuknya yang terbuat dari tulang manusia dan mengarahkannya ke Alaric. Cahaya lentera tengkoraknya memancarkan bayangan wajah Alaric, memperlihatkan dosa-dosanya yang tersembunyi.

“Tidak! Ini bukan salahku!” teriak Alaric, mencoba melarikan diri. Tetapi cambuk Dullahan melingkari tubuhnya, menariknya masuk ke dalam kabut.

Setelah Alaric menghilang, Dullahan memandang Gregory dan warga lainnya. Namun, ia tidak menyerang. Sebaliknya, ia menghilang ke dalam kabut, meninggalkan suasana yang mencekam.

Keesokan harinya, kabut menghilang, tetapi desa Ravenshire tidak pernah sama. Catherine juga menemukan lentera tengkorak di depan rumahnya, dan Pastor Gregory menemukan catatan tambahan di kitab tua itu: "Mereka yang membawa dosa harus menghadapinya, tetapi mereka yang melihat kebenaran harus menanggung beban cerita ini."

Matahari pagi akhirnya mulai menembus kabut tebal yang menyelimuti Ravenshire. Kicauan burung terdengar seperti biasa, tetapi desa itu terasa berbeda. Para warga yang masih hidup tampak pucat, memandang rumah-rumah mereka yang berantakan. Pintu-pintu terlihat rusak, seperti telah dihantam oleh badai besar.

Di ladang sekitar desa, anak-anak yang biasanya bermain riang mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Thomas, seorang bocah berusia sembilan tahun, menunjuk ke arah sebuah rumah yang pintunya tergeletak di tanah, engselnya bengkok.

“Apa yang terjadi dengan rumah itu?” tanyanya kepada temannya, Eleanor.

Eleanor mengangkat bahu, matanya lekat memandangi jejak-jejak aneh di tanah, seperti bekas tapak kuda, tetapi lebih besar dan dalam.

“Sepertinya ada sesuatu yang lewat tadi malam,” jawabnya ragu.

Anak-anak lain mulai berdatangan, menyusuri jejak-jejak itu yang mengarah ke pusat desa. Mereka melihat rumah-rumah lain yang pintunya rusak, bahkan beberapa dinding yang retak. Rasa penasaran mereka semakin besar.

“Ayo kita tanya orang dewasa,” seru Thomas.

Ketika anak-anak kembali ke desa, mereka mendapati para orang dewasa sedang sibuk memperbaiki rumah-rumah yang rusak. Thomas mendekati ibunya, yang sedang memaku pintu baru di depan rumah mereka.

“Ibu, kenapa pintu rumah ini rusak?” tanyanya polos.

Ibunya, Clara, berhenti sejenak, jelas tampak bingung bagaimana menjelaskan hal yang sebenarnya. Ia menunduk, menatap mata anaknya, dan mencoba tersenyum.

“Oh, angin semalam sangat kuat, Thomas. Itulah yang merusaknya,” jawabnya dengan nada ringan.

Namun, Thomas mengernyit. “Angin? Tapi jejak di tanah itu terlihat seperti tapak kuda. Dan kenapa semua pintu rusak, bukan jendelanya?”

Clara terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Mungkin ada hewan liar yang tersesat ke desa. Jangan khawatir, semuanya sudah aman sekarang.”

Jawaban itu tidak memuaskan Thomas, tetapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

Sementara itu, Eleanor mendatangi Pastor Gregory di gereja. Ia membawa bunga wolfsbane yang ditemukannya di dekat pintu gereja.

“Pastor, kenapa bunga ini ada di sini? Dan kenapa banyak rumah rusak tadi malam?” tanyanya dengan mata penuh rasa ingin tahu.

Gregory menatap bunga itu, lalu menarik napas panjang. Ia tahu bahwa anak-anak tidak boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi, setidaknya untuk saat ini.

“Itu hanya bunga liar yang tertiup angin, Eleanor,” katanya lembut. “Adapun rumah-rumah yang rusak, itu hanyalah karena badai yang datang semalam.”

“Tapi, aku tidak mendengar badai,” balas Eleanor, matanya menyipit.

Gregory tersenyum samar, mencoba menenangkan gadis itu. “Kadang-kadang, badai datang tanpa suara. Jangan khawatir, Eleanor. Semua akan baik-baik saja.”

Ketika hari berlalu, desas-desus mulai menyebar di antara anak-anak. Mereka berkumpul di bawah pohon besar di ladang, mendiskusikan apa yang mereka lihat dan dengar.

“Aku dengar ibu ku bicara dengan ayah tadi pagi,” bisik Samuel, seorang bocah kecil dengan rambut ikal. “Mereka bilang ada sesuatu yang lewat tadi malam, sesuatu yang menakutkan.”

Eleanor mengangguk. “Aku juga merasa aneh. Pastor Gregory terlihat sangat gelisah tadi.”

Thomas yang biasanya ceria, kini duduk diam sambil memandangi jejak tapak kuda di tanah. “Menurutku, itu bukan badai. Tidak ada badai yang bisa membuat jejak seperti ini.”

Mereka memutuskan untuk menyusuri jejak itu, yang tampaknya mengarah ke hutan di pinggir desa. Namun, sebelum mereka bergerak lebih jauh, suara keras terdengar dari desa: lonceng gereja berdentang keras, tanda peringatan bahaya.

Anak-anak berlari kembali ke desa, di mana para orang dewasa berkumpul di sekitar sebuah sumur tua. Di dalam sumur itu, seorang pria menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku: sebuah helm tua yang retak dan sebuah cambuk panjang yang terbuat dari tulang.

Clara menutup mulutnya dengan tangan, mencoba menahan teriakan. Pastor Gregory melangkah maju, wajahnya pucat pasi.

“Ini... ini milik Dullahan,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.

Anak-anak yang mendengar itu segera memandang satu sama lain, takut tetapi juga penasaran.

“Siapa Dullahan?” tanya Thomas dengan lantang.

Gregory terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia menatap anak-anak dengan pandangan penuh keraguan, sebelum akhirnya berkata, “Dullahan hanyalah legenda lama. Jangan terlalu memikirkannya, anak-anak. Kembali ke rumah kalian.”

Namun, anak-anak tidak percaya. Mereka tahu, apa pun yang terjadi tadi malam adalah sesuatu yang jauh lebih besar daripada badai.

Malam akhirnya tiba, saat semua orang kembali ke rumah masing-masing, anak-anak berkumpul lagi di ladang. Mereka memutuskan untuk menyimpan semua yang mereka lihat dan dengar, tetapi pertanyaan mereka tetap menggantung: siapa atau apa yang menghantui desa mereka?

Sementara itu, di gereja, Gregory membuka kitab tua sekali lagi. Ia membaca sebuah paragraf yang sebelumnya terlewatkan:

"Dullahan tidak hanya mencari jiwa yang terkutuk, tetapi juga mereka yang ingin mengungkap rahasia gelap. Ketika kebenaran mendekat, bayangannya akan muncul kembali."

Gregory duduk diam di depan altar Gereja St. Ethelred, tenggelam dalam doa yang panjang. Udara dinginnya malam masih terasa menusuk, meskipun api lilin yang berkedip-kedip mencoba menghangatkan ruangan.

Gregory merasa hatinya lelah dan penuh beban. Kemunculan Dullahan bukanlah kebetulan. Ia yakin ini adalah akibat dari dosa-dosa yang semakin merajalela di Ravenshire. Kebohongan, ketamakan, perselingkuhan, bahkan ritual terlarang—semuanya menumpuk seperti bayangan gelap di atas desa kecilnya.

Gregory menundukkan kepala, meremas rosario di tangannya. “Tuhan, apakah ini hukuman-Mu atas kami? Apakah sudah terlambat untuk menyelamatkan mereka yang telah jatuh dalam dosa?”

Keheningannya pecah ketika pintu gereja berderit terbuka. Gregory menoleh dan melihat seorang pria kekar masuk kedalam. Itu adalah Tobias, seorang penebang kayu yang tinggal di tepi hutan. Tobias jarang terlihat di gereja, dan kedatangannya mengejutkan Gregory.

“Tobias,” sapa Gregory, suaranya lembut namun tegas. “Jarang sekali aku melihatmu di sini. Apa yang membawamu ke rumah Tuhan malam ini?”

Tobias tersenyum kecil, menggaruk tengkuknya yang kokoh. “Malam ini terasa... berbeda, Pastor. Aku merasa perlu berdoa.”

Gregory mengangguk perlahan, tetapi matanya tetap mengawasi Tobias. “Apakah sesuatu terjadi padamu? Atau mungkin ada sesuatu yang ingin kau akui?”

Tobias terdiam sesaat, lalu melangkah ke depan dan duduk di bangku kayu. Ia menatap altar dengan sorot mata yang sulit diartikan.

“Pastor,” ucapnya, suaranya berat. “Aku tahu aku jarang ke gereja. Aku selalu merasa... tak layak. Aku telah melakukan banyak hal yang mungkin tidak akan dimaafkan.”

Gregory memperhatikan pria itu dengan seksama. “Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk dimaafkan, Tobias, jika kau benar-benar bertobat.”

Tobias menarik napas panjang, seolah-olah mengumpulkan keberanian. “Pastor, aku tidak pernah cerita kepada siapa pun, tapi aku tahu tentang ritual yang dilakukan Alaric di hutan. Aku membantu dia mempersiapkan semuanya. Aku memotong kayu untuk altar dan membangun lingkaran batu di tengah hutan.”

Gregory tersentak. “Kau tahu apa yang Alaric lakukan di sana?”

Tobias mengangguk pelan, wajahnya muram. “Awalnya, dia bilang itu untuk melindungi desa dari wabah. Tapi kemudian dia membawa kitab tua.... Kitab hitam dengan simbol-simbol aneh. Dia membaca mantra yang tidak aku mengerti, dan... A6 merasa ada sesuatu yang salah.”

Gregory meremas tangannya di atas lutut, mencoba menenangkan pikirannya. “Kenapa kau tidak menghentikannya?”

“Aku takut,” jawab Tobias jujur. “Dia bilang itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan desa. Tapi sekarang aku sadar... semua ini salah.”

Gregory menatap Tobias dengan tatapan tajam, tetapi penuh belas kasih. “Kau tahu, Tobias, kemunculan Dullahan adalah akibat langsung dari perbuatan seperti itu. Kau telah membantu membuka pintu bagi kekuatan gelap untuk masuk ke Ravenshire.”

Tobias menundukkan kepalanya. “Aku tahu. Itulah kenapa aku datang ke sini, Pastor. Aku ingin meminta pengampunan.”

Gregory berdiri dan meletakkan tangannya di bahu Tobias. “Tuhan adalah maha pengampun, Tobias. Tapi pengampunan harus disertai dengan tindakan. Kau harus membantu memperbaiki kerusakan yang telah kau sebabkan.”

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Tobias, suaranya penuh ketakutan sekaligus harapan.

Gregory berjalan ke altar dan mengambil kitab tua dari lemari kecil di dekatnya. “Kita harus menghentikan ini sebelum Yamibi berikutnya. Dan untuk itu, kita harus memurnikan tempat di mana dosa ini dimulai—lingkaran batu di hutan.”

Tobias mengangguk dengan mantap, meskipun wajahnya tetap tegang. “Aku akan membantu, Pastor. Apa pun yang diperlukan.”

“Kita butuh wolfsbane, lilin suci, dan air suci,” kata Gregory. “Juga, aku butuh keberanianmu untuk menceritakan semua yang kau tahu tentang ritual itu. Setiap detail kecil bisa membantu.”

Tobias menceritakan semuanya—mantra-mantra aneh yang diucapkan Alaric, simbol-simbol yang digoreskan di tanah, dan bau menyengat dari darah hewan yang dikorbankan. Gregory mencatat semuanya dengan hati-hati, matanya menyipit setiap kali mendengar bagian yang semakin mengerikan.

“Kita akan mulai besok pagi,” ucap Gregory. “Tapi malam ini, aku ingin kau berdoa, Tobias. Doa adalah senjata kita yang paling kuat untuk melawan kegelapan.”

Tobias mengangguk dan berlutut di depan altar, tangannya menggenggam rosario dengan erat. Gregory menatap pria itu dengan penuh harapan. Ia tahu jalan untuk menebus dosa Ravenshire akan panjang dan penuh bahaya, tetapi malam ini, setidaknya, ada secercah harapan di tengah kegelapan.

Di luar gereja, angin malam berhembus lagi, membawa bisikan halus yang hanya bisa didengar oleh mereka yang peka. Gregory menoleh ke jendela, hatinya masih diliputi rasa takut. Ia tahu, Dullahan mungkin belum selesai dengan desa ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jeritan Malam Sang Vampir   Ravenshire

    Angin malam berdesir melewati jendela-jendela kaca berwarna di Gereja St. Ethelred di desa Ravenshire. Pastor Gregory duduk di bangku kayu, dikelilingi oleh keheningan. Lilin-lilin kecil di altar memancarkan cahaya redup, bayangannya menari-nari di dinding gereja tua itu.1335, Nunbit. Malam Yamibi telah tiba, dan Gregory tidak bisa mengabaikan perasaan gelisah yang merayap di hatinya. Ia membuka kitab tua di tangannya, kitab yang telah diwariskan dari pastor-pastor sebelumnya. Halamannya penuh coretan dan doa-doa kuno yang ditulis dalam bahasa kuno."Dullahan," gumamnya, matanya tertuju pada sebuah cerita yang terkubur di dalam kitab itu.Legenda itu selalu dianggap sebagai dongeng untuk menakut-nakuti anak-anak: penunggang kuda tanpa kepala yang muncul di malam Yamibi, mencari jiwa-jiwa yang telah terkutuk oleh dosa besar. Namun, Gregory tahu lebih dari itu. Ia tahu bahwa legenda itu bukan sekadar cerita.Di dalam catatan pribadi pastor-pastor sebelumnya, disebutkan bahwa Dullahan p

  • Jeritan Malam Sang Vampir   Moorwood

    Pagi itu, kabut melingkupi hutan Moorwood, menelusup di antara batang-batang pohon tua yang menjulang bak penjaga sunyi. Embun menetes pelan dari dedaunan, membentuk mutiara kecil yang seolah memantulkan cahaya redup matahari yang masih enggan menembus tirai tebal awan. Di tengah kesunyian itu, langkah-langkah berat mendekat, membangunkan burung-burung yang bersembunyi di dahan-dahan tinggi. Itu adalah Vlad, sang pemburu yang terkenal dengan kegagahannya, diiringi oleh beberapa pengawal setianya. Mereka adalah bayangan gelap di dalam rimba, bergerak dalam diam namun penuh kewaspadaan.Vlad, dengan mata tajamnya yang bagaikan mata elang, memimpin rombongan itu. Ia adalah sosok tinggi dengan mantel berbulu tebal yang melindunginya dari hawa dingin pagi. Busur kayu yang kokoh tergantung di punggungnya, sementara belati berhias ukiran halus tergantung di pinggangnya. Ia telah lama dikenal sebagai pemburu yang tak kenal takut, seorang pria yang selalu mendapatkan apa yang ia buru, baik itu

  • Jeritan Malam Sang Vampir   Kebangkitan

    Gadis itu merasakan sesuatu yang aneh. Kepalanya berdenyut-denyut, dan matanya terasa begitu berat, seakan-akan seluruh dunia dipenuhi kabut yang tebal. Ia membuka matanya perlahan, dan yang ia lihat hanya kegelapan yang hampir memabukkan. Suara air mengalir lembut terdengar di kejauhan, dan sesaat kemudian, bau tanah basah dan aroma batu tua memenuhi indra penciumannya.Perlahan, gadis itu merasakan permukaan keras di bawah tubuhnya. Ia menggeliat, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, namun pikirannya kosong. Semuanya terasa kabur, seperti lembaran yang telah terkoyak dari buku tak bernama. Di mana dia? Apa yang telah terjadi?Pandangannya perlahan mulai jernih, dan ia melihat sekelilingnya. Dinding batu besar tertutup lapisan debu menatapnya dalam diam. Lilin-lilin yang terpasang di dinding memberikan cahaya temaram, menciptakan bayangan panjang yang bergerak-gerak seolah hidup. Gadis itu perlahan bangkit, merasakan tubuhnya yang lemah dan goyah. Lengan kanannya terasa ter

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status