Share

Bab 3

Author: Astuti Ayu
Dengan gembira Kiara melompat-lompat kembali ke dalam rumah.

Aku mengikutinya masuk ke dalam kamar yang dulunya milikku.

Dulu, ini adalah kamar yang dipersiapkan oleh ibuku, tapi sekarang sudah tidak terlihat seperti sebelumnya.

Kiara berbaring di tempat tidur, tidak sabar untuk menelepon seseorang.

"Aku mau bilang, si tua Teddy itu sudah setuju."

Setelah itu, tidak tahu apa yang dikatakan di seberang telepon, tapi Kiara mengerutkan bibirnya dan berkata lagi.

"Tapi, kamu benar-benar nggak akan melepaskan Yolanda begitu saja, 'kan?"

....

Mendengar kata-kata Kiara, aku merasa sangat ketakutan.

Keesokan harinya, mereka pergi ke lokasi kompetisi dengan mobil.

Di sepanjang perjalanan, Ayah terlihat agak tidak fokus.

Matanya sesekali menatap ponsel, tetapi tidak melakukan apa-apa.

Aku mendekat dan baru menyadari bahwa namaku yang terpampang di layar itu.

Apakah Ayah ingin meneleponku?

Detik berikutnya, dia memang menelepon seperti yang aku duga.

"Maaf, nomor yang Anda hubungi ...."

Namun, sebelum kalimat itu selesai, Ayah sudah memutuskan panggilan.

Wajahnya terlihat sangat tidak senang, ada kemarahan yang tidak bisa ditahan di wajahnya.

Mungkin karena aku tidak pernah mengabaikan teleponnya.

Namun, sekarang aku sudah mati.

Aku tidak akan pernah bisa menjawab teleponnya lagi.

Meski begitu, kejadian kecil ini tidak mempengaruhi semangatnya.

Seiring lampu menyala, Kiara muncul dengan anggun seperti seekor angsa putih.

Ayah terpaku memandangnya, matanya berbinar-binar penuh kekaguman.

Tante Sandra pernah bilang ibuku juga seorang penari balet yang hebat.

Aku juga sering membayangkan diriku berdiri di atas panggung.

Akan tetapi, harapan itu dihancurkan oleh perkataan Ayah.

Pada hari itu, dia menatapku dengan dingin dan berkata.

"Seumur hidupmu, jangan pernah berpikir untuk belajar menari, aku mual melihatnya!"

Meski begitu, dia tidak ragu menyewa guru balet terbaik untuk Kiara, bahkan menyiapkan ruang latihan khusus untuknya.

Kini, melihat Kiara yang bersinar, hatiku rasanya seperti ditusuk jarum, sakit sekali.

Setelah pertunjukan selesai, Ayah bersiap membawa Kiara makan malam sebagai hadiah.

Namun, baru saja mereka keluar dari tempat acara, Tante Sandra langsung menelepon.

"Kak Teddy! Apa pun yang terjadi, Yolanda tetaplah putrimu dan kakakku, bagaimana kamu bisa memukulnya begitu keras?"

Terdengar suara Tante Sandra terisak dari telepon.

Namun, setelah menyebutkan ibuku, Ayah langsung berubah jadi marah.

"Dia yang menyebabkan kematian Susan. Dia membunuh ibunya sendiri! Aku nggak punya anak perempuan sekejam itu!"

"Dia bahkan berani mendorong Kiara dari tangga, kalau nggak dihukum, dia bisa saja melakukan yang lebih berbahaya!"

Air mata segera memburamkan pandanganku.

Aku tahu Ayah selalu menyalahkanku atas kematian ibuku, tetapi aku tidak tahu bahwa kebenciannya sebesar ini.

Namun, Ayah, jika waktu bisa diulang, lebih baik aku yang mati daripada Ibu.

Setelah hening sejenak, akhirnya Tante Sandra berkata sambil terisak.

"Tapi kamu ... kamu juga nggak bisa membunuh Yolanda begitu saja!"

Ayah tertegun sejenak.

Aku memperhatikan matanya, berharap dia akan cemas atau khawatir.

Namun, dia hanya berkata dengan dingin dan acuh tak acuh.

"Kamu sudah dewasa, masih saja ikut-ikutan dengan dia bermain sandiwara seperti ini!"

"Dia masih kecil, belum dewasa, kamu juga mau ikut-ikutan buat masalah?"

Suaranya keras, menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.

Di tengah hiruk pikuk percakapan yang ramai, suara Tante Sandra terdengar lemah dan serak dari seberang telepon.

"Mayat Yolanda terbaring di rumahmu, lihatlah sendiri apa kami sedang bersandiwara."

Setelah itu, telepon langsung terputus.

Ayah hanya tertegun di sana, tidak bergerak sama sekali.

Melihat itu, Kiara bertanya dengan nada hati-hati.

"Om Teddy, bagaimana kalau kita pulang dan melihat?"

Baru saat itu sepertinya Ayah tersadar, lalu berbicara dengan nada tidak sabar seperti biasanya.

"Baik! Aku ingin tahu apakah dia benar-benar mati atau berpura-pura!"

Tak lama kemudian, mereka kembali ke rumah keluarga Limanta.

Begitu turun dari mobil, Ayah langsung menuju ruang tamu dengan marah.

Namun, saat melihat Tante Sandra yang berlutut sambil menangis terisak, dia langsung berhenti.

Di depan Tante Sandra, terbaring mayatku yang sudah membusuk dan tidak berbentuk.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Itje Saloy
sama aku juga
goodnovel comment avatar
Fitri Ani
kok nggak bisa kebuka kuncinya pdhal dah beli tuh
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Jeritan yang Tak Terdengar   Bab 8

    "Kenapa?"Ayah bertanya dengan geram.Namun, Yansen tiba-tiba berteriak gila padanya."Perusahaan Limanta seharusnya memang milikku dari awal! Kamu yang mengambilnya dan juga membunuh ibuku! Aku bersembunyi di dekatmu selama lebih dari sepuluh tahun hanya untuk bisa membalas dendam!"Aku pikir Ayah akan memukulnya sampai mati, tetapi dia hanya berkata."Kamu hanya seorang anak haram. Bagaimana kamu bisa berpikir kamu layak mendapatkan Perusahaan Limanta?"Setelah mengatakan itu, dia tidak peduli lagi dengan sumpah serapah Yansen di belakang dan langsung membuka pintu.Sekelompok polisi menyerbu masuk.Pergeseran mendadak ini membuatku agak bingung."Aku hanya tertegun melihat bulan sejenak pada malam itu, dan Ayah tiba-tiba melakukan hal ini.Namun, aku lupa, dia memang selalu tenang dan teliti.Dia hanya tidak ingin memikirkan lebih jauh tentang masalahku, tidak mau mengakui bahwa aku tidak bersalah.Aku mengikuti dia kembali ke rumah tua keluarga Limanta.Aku melihatnya berjalan semp

  • Jeritan yang Tak Terdengar   Bab 7

    Kiara tertegun sejenak, namun tetap berpura-pura bingung."Om Teddy, apa maksudmu? Aku nggak mengerti!"Ayah langsung berkata kepadanya."Ternyata penculiknya adalah Yansen, dan kamu bersekongkol dengannya."Namun, Kiara masih berpura-pura bodoh."Om Teddy, aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan."Ayah menatapnya sambil tertawa mengejek.Pandangannya setajam elang, tertuju penuh pada Kiara, tanpa memberinya kesempatan untuk bersembunyi."Kalau kamu nggak tahu, biar aku jelaskan padamu.""Waktu itu, kamu memintaku hadir di kompetisi menarimu, ternyata niatmu adalah menculikku di perjalanan. Ketika rencana itu gagal, kamu dan Yansen berpikir untuk membuat seolah-olah kamu yang diculik, agar aku mau menukar saham perusahaan sebagai tebusan.""Tapi, saat panggilan video, aku melihat hal aneh. Tahi lalat di jari penculik itu sama persis dengan milik Yansen."Suara Ayah pelan, namun penuh wibawa, seolah-olah mampu menembus kedalaman hati.Setiap kata yang diucapkannya menghantam tepat pada k

  • Jeritan yang Tak Terdengar   Bab 6

    Ayah buru-buru menaruh kotak itu dan langsung berlari keluar.Yansen adalah asisten Ayah, tetapi umurnya tidak jauh berbeda dengan Ayah.Ayah berjalan mendekatinya dan langsung bertanya."Apa yang terjadi dengan Kiara?"Melihat Ayah begitu cemas terhadap Kiara, aku merasa iri. Iri karena dia mendapatkan kasih sayang Ayah dengan begitu mudah.Seolah-olah tanpa perlu melakukan apa pun, hati Ayah sepenuhnya ada padanya.Kasih sayangnya kepada Kiara, bahkan seperti pada anak kandungnya sendiri.Meski begitu, aku tidak menyalahkan Ayah.Yansen menundukkan kepala dan memberi tahu Ayah."Nona Kiara diculik, penculiknya ingin Bapak sendiri yang berbicara dengannya!"Mendengar itu, Ayah langsung bergegas ke pintu, tetapi sebelum keluar, dia berbalik dan bertanya dengan suara pelan,"Yansen, kamu benar-benar sudah melepaskan Yolanda, 'kan?"Sekilas ada kepanikan di mata Yansen, tetapi dia segera menyembunyikannya."Ya, Pak Teddy, sudah!"Ayah menatapnya sekali lagi sebelum keluar.Padahal, kalau

  • Jeritan yang Tak Terdengar   Bab 5

    Hari itu, saat Ayah kembali, matanya sudah penuh kemarahan dan dia berteriak padaku."Kenapa kamu harus berbohong?"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dia katakan, dan hanya bisa menangis ketakutan.Tiba-tiba, salah satu tangannya mencengkeram leherku dengan kencang.Aku kesulitan bernapas dan ingin mendorongnya pergi.Namun, kekuatannya luar biasa. Aku sudah berusaha sekuat tenaga tetapi tetap tidak bisa melepaskan diri.Aku bergumam tanpa sadar."A .... Ayah!"Saat aku berpikir bahwa aku akan mati dicekiknya, Tante Sandra datang dan menyelamatkanku."Kak Teddy, apa yang kamu lakukan?"Tante Sandra menarikku ke dalam pelukannya dan menatap Ayah dengan penuh tanya.Akan tetapi, Ayah hanya terus marah dan menunjuk ke arahku.Dia berkata, "Kalau saja dia nggak berbohong, Susan nggak akan sampai mati! Dia yang berbohong padaku!""Yolanda baru lima tahun, apa yang dia tahu? Bagaimana bisa kamu menyalahkan seorang anak kecil?""Dia tahu Susan ada di pantai, tapi dia sengaja berbohong.

  • Jeritan yang Tak Terdengar   Bab 4

    Sinar matahari masuk dan menyinari tubuh tak bernyawa itu.Udara dipenuhi oleh bau busuk yang sulit digambarkan, begitu menyengat hingga membuat orang sesak.Kulitku sudah berwarna hijau keabu-abuan yang tampak tidak sehat, membengkak sampai sulit dikenali bentuk aslinya.Jaringan otot di sekitar lukaku telah terurai menjadi cairan nanah yang kental.Pada saat itu, waktu seakan berhenti berdetak.Tatapan Ayah jatuh pada sosok tidak berbentuk yang ada di samping Tante Sandra.Matanya tiba-tiba menyipit, seperti terkena pukulan keras dari palu besi yang dingin, dan tubuhnya bergetar hebat."Nggak mungkin ...."Ayah bergumam tidak percaya.Dia terhuyung-huyung beberapa langkah ke depan, seperti ingin menyentuh, tetapi tiba-tiba menarik tangannya kembali."Bagaimana bisa ... ini ... ini nggak mungkin nyata ...."Tante Sandra bangkit dengan sempoyongan, mendekati Ayah, dan dengan lemah menggenggam lengannya sambil bertanya."Bagaimanapun juga, Yolanda adalah anak kandungmu, satu-satunya dar

  • Jeritan yang Tak Terdengar   Bab 3

    Dengan gembira Kiara melompat-lompat kembali ke dalam rumah.Aku mengikutinya masuk ke dalam kamar yang dulunya milikku.Dulu, ini adalah kamar yang dipersiapkan oleh ibuku, tapi sekarang sudah tidak terlihat seperti sebelumnya.Kiara berbaring di tempat tidur, tidak sabar untuk menelepon seseorang."Aku mau bilang, si tua Teddy itu sudah setuju."Setelah itu, tidak tahu apa yang dikatakan di seberang telepon, tapi Kiara mengerutkan bibirnya dan berkata lagi."Tapi, kamu benar-benar nggak akan melepaskan Yolanda begitu saja, 'kan?"....Mendengar kata-kata Kiara, aku merasa sangat ketakutan.Keesokan harinya, mereka pergi ke lokasi kompetisi dengan mobil.Di sepanjang perjalanan, Ayah terlihat agak tidak fokus.Matanya sesekali menatap ponsel, tetapi tidak melakukan apa-apa.Aku mendekat dan baru menyadari bahwa namaku yang terpampang di layar itu.Apakah Ayah ingin meneleponku?Detik berikutnya, dia memang menelepon seperti yang aku duga."Maaf, nomor yang Anda hubungi ...."Namun, se

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status