“Hukum Zanwan memang tegas. Namun, juga keterlaluan!” Seseorang dari jeruji lain menimpali.
Bailey terus berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.
“Mau bagaimana lagi? Memasukkan toleransi dan sedikit hati ke dalam hukum Zanwan bagaikan mengharap oasis di padang pasir.” Lagi, seorang pria bersua dari balik jeruji yang baru saja dilalui Bailey, Shaw, Kakek, dan Nenek.
“Benar. Itu pun jika mungkin. Para cecunguk itu tentu tidak akan tinggal diam,” sahut tahanan yang lain.
Semua tahanan di lorong ini adalah lelaki. Sel tahanan bagi perempuan terpisah guna mencegah hal yang tidak diinginkan. Ada juga penjaga dan pengawal wanita, tetapi jumlahnya masih sebatas hitungan jari. Sedikit sekali.
Bailey mengeratkan pegangan tangannya, menaiki tangga dengan hati-hati. Kakek Shaw kembali berjalan ke depan, membukakan pintu. Mereka melewati lusinan sel yang berjajar di kanan kiri sampai di ujung pintu utama dungeon.
“Pergilah ke tempat Dokter Edvard. Katakan padanya untuk datang ke rumah Tuan Spencer Porter saat ini juga!” titah Bailey pada prajurit penjaga di luar pintu dungeon yang kemudian mengangguk dan salah satunya bergegas pergi.
Bailey melanjutkan langkah, menuju rumah Spencer. Ia tidak bisa membawa Shaw ke tempat tinggalnya, khawatir akan mendatangkan amukan ayahnya. Maka dari itu, Bailey memilih membawa Shaw ke rumah Spencer yang juga merupakan tempat tinggal Shaw. Meski akan lebih lama untuk Shaw mendapat pengobatan, tetapi setidaknya lebih aman daripada membawa Shaw ke tempat tinggalnya.
Mereka melewati jalanan setapak hutan rindang, cukup jauh untuk sampai ke perumahan penduduk, tetapi tidak terlalu jauh ke rumah Spencer karena rumah mereka terletak di pedalaman hutan; memisahkan diri dari keramaian.
“Bertahanlah, Shaw! Tetaplah bernapas! Tetaplah bersama suaraku!” Bailey gusar, mempercepat langkah.
Di mansion Hunt, Ascal sedang di teras, memandang hamparan rumput dan bunga-bunga.
“Jadi, putraku membebaskan Shaw?” ucap Ascal, berdiri dengan setelan jas hitam, menautkan kedua tangan di belakang. Ia sudah mendengar perihal kepergian Bailey pagi buta tadi.
Di belakang samping kiri Ascal, berdiri Alton dan tiga anak buahnya.
“Benar, Tuan,” sahut Alton.
“Bailey nampaknya semakin menunjukkan posisi dan kuasanya.” Ascal tidak menunjukkan ekspresi, bahkan dalam nada suaranya.
Alton mengangguk kecil. “Bukankah itu sesuatu yang bagus?”
“Tapi ....” Seseorang yang berdiri di belakang samping kanan Ascal membuka suara. Itu Dokter Edvard Eidem. “Tuan Muda masih terlalu belia untuk bersikap seperti itu. Perkembangannya terlalu pesat. Dia menguasai semua yang dipelajari dalam waktu singkat. Saya khawatir akan bagaimana dirinya saat dewasa nanti jika di usia sebelia itu pun sudah bersikap demikian.”
Ascal masih dengan tenangnya memandang halaman di depan mata. Benaknya tertuju pada Bailey yang menjadi pusat perhatian para petinggi desa akhir-akhir ini.
Benar, Bailey masih muda. Ada banyak hal yang terlewat oleh Ascal mengenai pertumbuhan dan perkembangan putranya itu. Satu atap tidak menjadikan mereka dekat selayaknya ayah dan anak.
Sesaat kemudian, perhatian Ascal teralih pada derap langkah cepat dari arah kiri. Langkah sang prajurit dungeon. Walau begitu, pandangan Ascal tetap lurus ke depan.
“Saya membawa pesan Tuan Muda Bailey untuk Dokter Edvard,” ujar sang prajurit dungeon seraya menundukkan kepala. Ia dari klinik Edvard. Asisten Edvard mengatakan Edvard pergi ke mansion Hunt untuk jadwal periksa rutin kesehatan Ascal.
Singkat ucapan mengundang tanya hingga semua menoleh pada sang prajurit termasuk Ascal.
Edvard mengernyit. “Katakan!”
“Katakan pada Dokter Edvard untuk datang ke rumah Tuan Spencer Porter saat ini juga. Itu adalah pesannya.”
Usai menyampaikan pesan, sang prajurit berkomat-kamit dalam hati, berharap tidak akan mendapat masalah atas pesan yang ia bawa.
Lagi, Edvard mengernyit, menatap tanya akan gerangan apa yang membuat Tuan Muda memangganggilnya ke kediaman Spencer. Namun, ia segera teringat perihal Shaw yang dibicarakan barusan. Ia pun pamit undur diri.
“Semoga tidak ada masalah setelah ini,” gumam Edvard, menunggangi kuda dan memacunya keluar pekarangan mansion Hunt, melaju cepat melewati jalanan hingga perbatasan distrik Aloclya.
Di tempat lain, Bailey, Shaw, Kakek, dan Nenek baru tiba di halaman rumah.
“Silakan masuk, Tuan Muda.” Spencer menyingkir setelah membuka pintu rumah, membiarkan Bailey dan istrinya masuk terlebih dahulu.
Gracie Baker, nenek Shaw, langsung menuntun Bailey ke dapur. Ia menunjuk sebuah ranjang kayu di sana.
“Baring di sana dahulu, Tuan Muda.”
Gracie mengambil sebaskom kecil air dan handuk kecil untuk membersihkan luka Shaw sementara Spencer membantu Bailey membaringkan Shaw dengan posisi telungkup.
Kembali Gracie, pelan menggerakkan jemarinya, membersihkan darah di punggung Shaw. Tangannya gemetar. Matanya yang sudah berhenti meneteskan air mata pun kembali berembun, meringis melihat luka yang banyak dan dalam di punggung Shaw. Suaminya, Spencer, memperhatikan dalam duka, bergetar hati melihat Shaw terkulai dengan luka separah itu.
Bailey mundur beberapa langkah ke belakang. Tangannya mengepal mencengkeram ujung pakaian sembari menggigit sedikit bibir bawahnya, menahan diri agar tidak menangis. Sesekali ia menengok ke arah ruang depan, menggerutu dalam hati karena Edvard tidak kunjung datang.
Shaw yang terkejut menunjukkan tanda-tanda sadar. Tubuhnya berulang kali bergetar dan menegang, matanya terpejam erat. Sentuhan kecil pada kulitnya saja terasa menyakitkan, ditambah sapuan air pada luka-lukanya. Berulang kali ia mengerang dalam hati akan perih luar biasa yang dirasakannya.
Suara kuda terdengar dari luar rumah. Edvard akhirnya tiba.
“Baiklah, sampai.” Edvard turun dari kudanya.
Spencer pergi ke depan untuk membuka pintu, mendapati seorang pria muda mengenakan mantel abu-abu gelap sedang menalikan tali kuda pada tiang kecil di depan samping rumah. Spencer tersenyum ramah, membuka pintu lebar-lebar; mempersilakan Edvard masuk dan menuntunnya ke dapur.
“Oh, astaga!” Edvard memekik setibanya ia di dapur.
Gracie menoleh, lalu berdiri setelah selesai membersihkan luka Shaw; berlalu ke belakang. Sekarang terlihat jelas garis-garis cambuk di sana, merah menghitam terbuka. Beberapa memperlihatkan tulang punggung Shaw yang putih. Edvard sigap mendudukkan diri di samping Shaw, membuka kotak obat yang ia bawa. Tangannya lihai mengobati Shaw sepelan mungkin.
Hening, tidak ada lagi yang bersuara setelahnya.
Waktu terasa berjalan lambat sampai Edvard selesai mengobati Shaw.
“Lukanya harus dibersihkan dua kali sehari, jangan sampai terkena angin secara langsung terlebih dahulu, dan Shaw harus istirahat total.” Edvard memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka, menutup kotak obatnya, lalu berdiri.
“Mari minum, Dokter.” Gracie membawa nampan berisi beberapa gelas minum dan camilan ke ruang tamu.
Spencer pergi ke kamarnya, mengambil sesuatu.
“Terima kasih, Nyonya, tetapi sepertinya saya akan langsung kembali ke klinik.
“Dokter ….” Spencer kembali dari kamarnya, membawa kantung berwarna krem berukuran sedang. Ia sodorkan kantung itu kepada Edvard. “Ini semua uang yang saya punya. Terima kasih telah mengobati Shaw. Kalau boleh tahu, berapa harga untuk mengobati Shaw? Kekurangannya akan saya usahakan bayar segera.”
Edvard bergeming, mematung sesaat menatap Spencer dan kantung yang disodorkan padanya. Terdengar olehnya gemerincing uang logam di dalam sana. Terenyuh ia oleh penuturan Spencer. Bagaimanapun, uang itu bahkan masih jauh dari kata cukup untuk membayar jasanya sekadar mengecek kondisi Shaw.
Sebagai seorang dokter lulusan universitas terkemuka di negeri luar, Edvard menjadi dokter elite di Zanwan. Pasiennya adalah para petinggi Zanwan beserta kerabat-kerabatnya. Hal itu pulalah yang menjadi satu dari sekian alasan Edvard direkrut sebagai dokter pribadi keluarga Hunt, pemimpin Zanwan.
Tidak seperti kebanyakan orang lain yang tinggal di kawasan elite di Zanwan, Edvard memiliki pola pikir yang berbeda semenjak ia melancong ke negeri jauh untuk belajar. Dari pengalamannya selama belajar di negeri lain, Edvard belajar tentang banyak hal yang tidak didapatkannya di Zanwan. Pola pikir dan perasaannya pun berubah seiring ilmu dan pengetahuan yang ia dapatkan.
Baru saja Edvard hendak membuka mulutnya, Bailey sudah bersuara.
“Tidak perlu, Kakek. Bayaran Dokter Edvard dan obatnya, aku yang menanggungnya.”
Bailey tersenyum hangat pada Spencer, lalu sekali lagi, untuk sesaat Edvard mematung. Amat jarang Edvard melihat Bailey tersenyum serekah itu dan mendengar bagaimana Bailey memanggil Spencer membuat Edvard tertegun.
“Sedekat itukah Tuan Muda dengan keluarga ini?” tanya Edvard dalam hati.
“Tapi ....” Spencer meragu, tidak enak hati pada Bailey, pun tidak ingin ada masalah apa pun yang menghampiri keluarganya di masa depan.
Raut muka Bailey berubah. Ia memasang wajah cemberut.
“Aku punya uang, Kakek, dan bukankah Kakek bilang kalau Kakek menganggapku seperti cucu sendiri? Biasanya Shaw yang membantu kalian, bekerja dan menghasilkan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Nah, berhubung sekarang Shaw sedang terluka, biarkan aku menggantikannya.” Bailey melipat tangan dan menggelembungkan pipi.
“Tuan Bexter!”Seruan mengudara dari paviliun. Mival yang semula duduk di teras jadi berdiri, menyambut Bexter dengan wajah berseri-seri.“Mival.” Lirih Bexter bergumam, mengarahkan langkah menuju Mival. Ia berhenti tiga langkah di depan Mival, kemudian bertanya, “Sudah malam. Kenapa di sini?”Semestinya itu tidak jadi pertanyaan. Bexter sudah punya jawabannya meski tidak tahu benar atau tidak.“Aku menunggu Tuan Bexter.”“Menungguku? Ada sesuatu?”“Hum!” Mival mengangguk cepat. “Aku ingin tanya soal Bailey dan Shaw.”Jawaban dalam pikiran Bexter memang benar. Hal itulah yang bakal jadi pertanyaan Mival.Bexter mengulas senyum. “Pertanyaan yang bagaimana itu?”“Kudengar Shaw diserang di hutan ketiga. Aku juga dengar Bailey pergi, belum kembali sampai sekarang. Katanya, Bailey pergi menyusul Shaw. Aku juga tidak melihat Bailey hari ini. Apa itu benar?”Muka cerah Mival sirna. Siapa pun yang memperhatikan pasti dapat melihat kecemasan dan rasa ingin tahu yang besar pada Mival saat ini.
“Tuan seorang penerka andal!” Shaw cengar-cengir.“Oh, tentu! Aku hafal bocah-bocah sepertikau.” Amory menunjuk Shaw dengan sendok seraya terkekeh.Cengiran Shaw makin lebar. Suasana hatinya memang membaik, kian jernih pula pikirannya hingga ia teringat akan tujuan kedatangannya. Bertepatan dengan itu, hanya sesaat sebelum Shaw mengeluarkan kata, Amory melempar tanya.“Jadi, apa yang membawamu kemari? Takkan kau datang untuk panasea atau sekadar berkunjung.”Baru saja Shaw hendak membawa topik itu ke udara. Amory ini seperti pemanah berpengalaman, penembak jitu yang mampu segera meraih inti pembicaraan. Kalau ia ada di meja bundar petinggi Zanwan, pastilah banyak permasalahan segera teratasi.Secara alami, karakteristik Amory mulai terukir pada pusat pemahaman Shaw. Ia makin mengenal Amory, makin tahu orang seperti apa paman Bailey ini.“Tugas. Aku ke sini karena tugas.”Shaw mengatur makanannya, mengambil sedikit-sedikit dari tiap makanan yang ada kecuali lauk berkuah cokelat pekat,
Amory kembali dengan sebuah keranjang bambu kecil. Ia letakkan keranjang itu di nakas, kemudian menyalakan penerangan―lentera. Kala ia berbalik, dilihatnya Shaw yang murung menatap Bailey.“Bailey hanya sedang menyesuaikan diri. Tubuhnya sedang beradaptasi. Dia akan segera pulih,” kata Amory sambil mendekati tempat tidur.Shaw beranjak, memberi tempat duduk kepada Amory.“Beradaptasi dengan apa?”“Kemampuan warisan Hunt.”Sesaat, Shaw tidak bertanya lagi. Ia menatap wajah Bailey, melihat mata Bailey terus meneteskan air. Ia baru mengajukan pertanyaan saat Amory mengolesi obat herbal di kening Bailey.“Berapa lama dia akan seperti itu? Berapa lama waktu adaptasinya?”“Setidaknya dua hari. Bisa lebih lama, tapi tidak sampai sepekan.”“Dua hari itu lama. Apa Bailey sungguh akan baik-baik saja? Apa dia akan makan minum atau kita membantunya makan minum?”Amory tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Ia menarik tangan dari kening Bailey, sejenak menatap Shaw.“Kau ini sangat khawatir, ya
“Aku cukup ingat jalannya kalau dari barat,” kata Shaw dengan suara rendah. Ia berpaling tatap ke sungai, lalu meneruskan, “Petunjuk yang aku punya cuma sungai dan tebing dengan air terjun.”“Ya sudah, kita teruskan. Ikuti sungai itu saja.” Tangan basah Bailey menepuk pelan pundak Shaw. “Tak ada waktu berpikir. Pemburu kita sangat banyak.”Shaw tidak enak hati. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Bailey, tetapi ia pun tidak punya ide lain kecuali sesuatu yang barusan hadir di kepalanya.“Sebentar, Bailey.”Shaw mencekal lengan Bailey, menahannya yang hendak berlari. Shaw menarik tangannya setelah Bailey menghadap dirinya dengan sorot tanya. Sesudah itu, kedua tangan Shaw bertemu, tetapi tidak benar-benar menempel telapak tangannya.Semilir angin berembus. Sekejap berselang, Shaw mengarahkan telapak tangannya ke dada Bailey.Bailey keberatan, tetapi matanya spontan memperhatikan penampilan Shaw, lalu ia bergeming―tidak menahan maupun menolak apa yang Shaw lakukan.“Kudengar kau
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P