Ctasshh!
Suara cambukan memenuhi ruangan berdinding batuan yang kasar. Isak tangis pilu wanita paruh baya mengiringi.
Pagi buta, seorang penduduk memberitahu kakek Shaw yang sedang memotong kayu di belakang rumah. Katanya, Shaw ditangkap dan dibawa ke dungeon. Nenek Shaw sedang memotong sayuran di ranjang kayu dekat pintu. Setelah mengunci pintu, kakek dan nenek Shaw bergegas pergi ke dungeon.
Ctasshh!
“Kenakalan apa lagi yang kau lakukan, hah?” Pria dengan setelan seragam abu-abu gelap mendekati Shaw yang bertelanjang dada. Tetesan darah segar mengalir dari bilur di punggung Shaw.
Ctasshh!
Suara cambuk menggema lagi. Pria tegap itu menatap Shaw dengan frustrasi. 143 cambukan sudah dilayangkan, tetapi Shaw masih enggan membuka suara.
Kepala Shaw tertunduk lesu, kedua tangannya telentang diikat rantai. Kedua kakinya terkulai, jatuh jika saja ikatan di kedua tangannya kendor.
Ctasshh!
“Kau keras kepala sekali. Tinggal katakan ke mana tujuan Daniel, maka hukumanmu bisa diringankan.” Pria tegap itu menggeram.
Ctasshh!
Bukan ia tidak mengenal Shaw. Malah, diakuinya Shaw adalah anak dengan pendirian teguh. Paling teguh yang pernah ia temui dan bahkan hal itu menular pada orang lain. Tuan mudanya adalah salah satu dari orang lain itu.
Betapa terkejutnya ia kala mengetahui anak lelaki yang membantu pelarian Daniel adalah Shaw. Sesuatu yang tidak pernah ia duga maupun inginkan.
Tatapan optimis dan keberanian Shaw bisa mengguncang Zanwan suatu saat nanti. Ia bisa melihat jiwa kepemimpinan yang kuat dalam diri Shaw, bahkan menerima luka untuk orang lain pun anak itu mau.
Ctasshh!
Sebenarnya, Shaw memiliki kualitas yang juga diharapkannya. Harapan untuk masa depan Zanwan, seseorang yang bisa membawa Zanwan mengukir sejarah yang lebih baik. Namun, dirinya terlalu sangsi untuk menunjukkan. Jabatan sebagai jagabaya serta keluarganya menjadi taruhan jika ia mencoba menjadi pengkhianat.
Ctasshh!
“Shaw!” Seseorang dari ambang pintu berteriak. Itu Tuan Muda. Napasnya terengah-engah.
Sang tuan muda menghampiri Shaw yang mendongakkan wajah; menatap dengan mata menyipit. Dilihatnya sumber amis darah yang masuk ke penciuman, lalu manik matanya membelalak melihat bilur di punggung Shaw.
Air mukanya memerah padam, ia alihkan pada pria tegap itu, lalu berkata, “Shaw tidak bersalah! Apa yang kau lakukan padanya, Alton?”
Lantang suara Tuan Muda sesaat menggema menggantikan cetar cambuk di ruangan tanpa jendela itu. Kakek dan nenek Shaw yang berdiri di samping dekat dinding menatap penuh harap atas kedatangannya.
“Sebaiknya Anda tidak ikut campur, Tuan Muda Bailey.” Alton berusaha tetap tenang. “Shaw membantu Daniel Dixon pergi. Anda tahu apa hukuman bagi mereka yang mencoba kabur dari Zanwan. Jadi, tolong menyingkirlah. Biarkan saya mengurus anak itu.”
Raut wajah Bailey mendingin seiring sorot mata yang menajam dan rahang yang mengeras.
“Lepaskan ikatannya!”
“Tidak sampai Shaw membuka mulut dan menyelesaikan hukumannya.” Alton bersikukuh. Ia diperintahkan untuk menangani ini dan ia tidak bisa melepaskannya begitu saja atau nyawanya akan melayang.
“Lepaskan ikatannya, Gregoriz!” Bailey mengulang ucapan pada Gregoriz, pria berbadan kekar, di belakang samping kirinya dan Shaw tanpa mengalihkan pandangan dari Alton.
“Tuan Muda, ini adalah perintah ayah Anda. Jadi, ….”
Kata-kata Alton terpotong oleh suara dentingan pedang beradu logam. Bailey menggunakan pedang dan hakinya, memotong paksa rantai yang mengikat kedua tangan Shaw pada tiang penyangga di kanan kiri sementara tangan bebas Bailey menahan tubuh Shaw yang limbung.
“Kau ingin menentangku, Alton Brooks?” Dingin Bailey berujar. Tatapan tajamnya mengintimidasi siapa pun, tidak terkecuali Alton.
Seperti panggilannya, Bailey memang masih muda, sebaya dengan Shaw. Namun, sikapnya yang dingin dan datar tanpa ekspresi memberi kesan tersendiri, memperjelas aura dan kharismanya yang membuat ia disegani oleh orang lain di Zanwan. Ia bahkan digadang-gadang akan menjadi pemimpin dengan nama yang lebih besar dari ayahnya dan pemimpin-pemimpin sebelumnya.
“Tidak, Tuan Muda,” sahut Alton pelan, mengalihkan pandangan pada Gregoriz. “Buka rantainya.”
Gregoriz dengan cepat mengeluarkan kunci, membuka rantai di kedua pergelangan tangan Shaw yang terkulai dengan hati-hati.
Pengalaman Gregoriz di dungeon kira-kira setebal buku lima ratus lembar. Tidak sebentar, tetapi juga belum begitu lama. Ia pun pernah merasakan panasnya cambuk Zanwan di punggung untuk kasus lain dan 100 cambukan lebih dari cukup untuk membuat kulit terasa pedas jika disentuh, apalagi kali ini yang mengalaminya adalah seorang anak sebelas tahun. Gemetar jiwa Greg membayangkannya.
Alton pamit undur diri, melangkah pergi diikuti Gregoriz dan dua orang lainnya. Dalam pijakan pada tangga, pelan sekali Alton mengembuskan napas lega. Untuk pertama kali, dalam hati Alton bersyukur Bailey bertemu dengan Shaw. Ia yakin, Bailey akan menjadi pemimpin yang lebih baik dari para pendahulunya. Bersama Shaw, Bailey akan menjadi cahaya yang mengeluarkan Zanwan dari kegelapan.
Kakek dan nenek Shaw yang menonton sedari tadi bergegas mendekat, memegangi tubuh Shaw sementara Bailey menyarungkan pedangnya.
“Ouh, cucukuu ... huhuhu ....”
Melihat keadaan Shaw dari dekat, air mata nenek Shaw makin deras berderai.
“Naiklah ke punggungku, Shaw.”
Bailey berjongkok membelakangi Shaw. Dengan bantuan Kakek dan Nenek, Shaw menempelkan tubuhnya ke punggung Bailey. Kedua tangannya menjuntai ke depan tubuh sang tuan muda.
“Bertahanlah,” ujar Bailey seraya berdiri.
Kakek berjalan mendahului, membukakan pintu, lalu kembali ke belakang Bailey. Bersisian ia bersama istrinya yang terisak. Tangan ia ulurkan ke punggung istrinya; mengusap-usapnya lembut.
“Shaaw ....” Nenek Shaw terus menangis. Pelan ia menarik-narik pakaian bagian depan Kakek sembari menatap punggung Shaw yang bersimbah darah.
“Kita akan segera pulang. Shaw akan segera diobati.” Kakek masih mengusap lembut punggung istrinya; menyalurkan kekuatan, berharap istrinya itu akan lebih tabah dan tidak pingsan.
Ruangan bawah tanah ini adalah dungeon Zanwan. Dungeon ini memiliki dua lantai. Bagian lantai atas adalah penjara yang diperuntukkan bagi pelanggaran dan hukuman ringan sampai sedang, lantai bawah adalah penjara yang diperuntukkan bagi pelanggaran dan hukuman berat. Ada ruangan-ruangan kosong di lantai bawah yang disediakan untuk melangsungkan hukuman sebelum para terhukum memasuki jeruji mereka masing-masing.
“Bertahan, Shaw! Kau berhutang penjelasan padaku. Aku akan menginterogasimu nanti.” Ingin Bailey mengoceh, tetapi ia simpan dalam hati.
Ruangan tempat Shaw mendapatkan hukuman cambuk adalah ruangan paling ujung di lantai bawah. Untuk keluar, harus melewati lorong gelap juga ruangan-ruangan berjeruji besi, berisikan para pelanggar yang tidak ada satu pun dari mereka masuk ke sana dalam keadaan tubuh tanpa luka. Lantai ini akan lebih gelap dan pengap di malam hari karena penerangan hanya dari lentera yang digantung di tepian dinding. Amis anyir darah menguar di mana-mana. Bukan karena lantainya tak pernah dibersihkan. Namun, karena selalu ada yang dihukum hampir setiap harinya.
“Aku baru tahu kalau tubuhmu yang sama sekali tidak gemuk itu ternyata berat juga.”
Bailey membenarkan posisi dan mengeratkan pegangan; mempercepat langkah agar lekas sampai ke tangga. Muak ia, ingin segera terlepas dari suasana dan hawa yang tidak menyenangkan di lantai bawah. Shaw pun harus segera diobati. Tubuh Shaw makin lunglai dan Bailey seperti tidak merasakan Shaw bernapas.
“Malang sekali kau, Nak.” Suara seorang pria, lirih, terdengar dari salah satu jeruji.
Bailey mengabaikan ucapan tersebut. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah keluar dari dungeon.
Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da
“Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P
Kilau cahaya pohon dan jalan memandu Bailey ke kaki gunung sisi utara, melewati area yang Bailey datangi tempo lalu bersama Shaw dan yang lain pada malam operasi penambangan ilegal. Semak belukar lebih tinggi, lalu ketika Bailey sampai di timur, menuju belokan ke tenggara, kilau cahaya kemerahan berkelap-kelip di depan.Bailey segera menghentikan laju kudanya.“Profesor bilang warna lain selain hitam dan putih akan cenderung samar, tapi merah itu terlalu jelas,” gumam Bailey.Menggeser fokus tatapannya, Bailey menemukan lebih banyak siluet merah dengan haki yang menguar di dalam sebuah gua. Bailey mengamati sekitar lebih jeli. Terlihat oleh matanya dinding seperti kubah di atas.Bailey menyalurkan hakinya ke kuda, tetapi tetap menyamarkannya, kemudian membuat kuda berderap pelan dan santai. Sang kuda bagai berjalan di atas angin; tidak ada suara yang terdengar tiap kali kakinya memijak.Mendekati gua, Bailey turun dari kuda. Ia ikatkan tali kuda ke sebuah pohon, kemudian melanjutkan d
Aaban mengangguk, kemudian beralih tatap pada prajurit yang tadi membawakan kuda.“Buka gerbangnya.”Sang prajurit mengangguk patuh, kemudian berlari menuju pos jaga di sisi salah satu gerbang. Model pos agak tinggi dari permukaan tanah, jadi, ia mendongak dan berseru pada prajurit yang berada di pos.“Buka gerbangnyaaaa!”Prajurit di pos segera menjalankan perintah. Engsel gerbang segera berbunyi, lalu gerbang berderit, perlahan terbuka seiring Bailey menunggangi kuda.“Hati-hati, Tuan Muda!” kata Aaban.Bailey mengangguk. “Aku pergi.”Prajurit yang berseru pada prajurit di gerbang menyingkir, kembali ke sisi Aaban. Bailey menghentak tali kuda, melewati gerbang begitu gerbang terbuka lebar.“Tuan Muda sangat berani dan cerdik,” celetuk prajurit di sisi Aaban. Ia memandangi kepergian Bailey dengan binar takjub di matanya.“Dia putra pemimpin Zanwan. Keberanian dan kecerdikan akan bagus untuk menjadi bagian dari dirinya,” kata Aaban sambil memandangi Bailey yang menjauh, membelah padan
Matahari telah terbenam di ufuk barat. Malam telah bertakhta. Dinginnya udara menerpa Zanwan sedingin suasana di meja makan mansion Hunt.“Wilton, di mana Bailey?” Jillian bertanya.Piring-piring masih terisi, belum habis setengah hidangan di atasnya. Satu kursi di meja makan, kursi yang biasa diduduki Bailey, kini kosong. Wilton berdiri di belakang samping kursi tersebut.Pelayan mengatakan Bailey tidak ada di kamarnya beberapa saat lalu. Sebentar sebelum duduk ke kursinya, Jillian pun mengecek kamar Bailey, hanya menemukan ruangan kosong. Sampai Ascal tiba, Bailey belum juga muncul. Tak ayal Ascal memanggil Wilton.“Tuan Muda ….” Wilton bicara serupa suara bisikan di keramaian, nyaris tidak terdengar saking lirihnya.Jillian mengerjap. Ia melirik Wilton sambil makan. Wilton terus menunduk, bahkan tidak kunjung menyelesaikan bicaranya. Ascal berganti melontarkan tanya tanpa menoleh.“Wilton, di mana Bailey?”“Tuan Muda pergi ….” Wilton masih serupa anak kecil yang bersembunyi.“Wilto
Bailey manggut-manggut. “Aku tidak mengira kalian akan mengajukan pertanyaan semacam itu, bahkan tidak mengira kalian akan pernah menghiraukan hal semacam itu. Terima kasih, kurasa.”Senyum terukir di hati Bailey. Sebuah kabar gembira bagai menggema di dalam dirinya. Begitu pula yang dirasakan Otto dan Milo. Bailey menyambut baik, tentu itu kabar besar yang membahagiakan. Sekali lagi, perkiraan mereka salah. Sepertinya Bailey tidak mendengar pembicaraan mereka di kelas atau mungkin mendengar, tetapi tidak mempermasalahkan, dan itu membuat kegembiraan mereka kian bertambah.“Sanjungan lebih pantas untukmu,” kata Milo.Bailey merespon itu dengan senyum kecil. Otto dan Milo mengerjap, segera berpikir apakah mereka salah lihat. Namun, mereka dapati bahwa mereka tidak salah lihat. Bailey memang tersenyum. Senyum itu, Bailey tujukan kepada mereka.“Aku mulai dari pertanyaan pertama, ya,” kata Bailey, kemudian menghirup udara sejenak.Otto dan Milo mengangguk dan memasang telinga baik-baik.