Share

2. Impresif

Author: Maula Faza
last update Last Updated: 2021-07-21 18:17:15

“Jika resiko tertangkap adalah seperti yang kau ceritakan, anak itu akan berada dalam masalah serius. Dia antara bodoh dan keren, menyerah hidup atau memiliki ide gila.” Seseorang yang tadi menghampiri Daniel bersuara. Dari kursi depan di samping pilot, ia terus memperhatikan Shaw.

Daniel bungkam. Mulutnya terkunci melihat Shaw membalasnya dengan bahasa isyarat, “Aku takkan lari. Aku tidak pantas dan tidak akan pernah mampu menjadi penakluk Zanwan jika aku lari.”

“Apa yang kau lakukan, Bocah?!” Pekik tegas penuh amarah terlontar jelas dari belakang Shaw beriring mata memicing ke udara; menatap helikopter.

Shaw berbalik, menatap tenang lima jagawana yang datang.

“Siapa yang di sana itu?” tanya ketua tim jagawana, masih memicing pada helikopter yang terus menjauh. Tidak mendapat jawaban, sang ketua menoleh pada Shaw. “Dan siapa namamu?”

Shaw mengerjap, tetap menampilkan senyum manis yang justru membuat para jagawana bergidik.

“Bagaimana anak ini bisa bersikap setenang itu?” pikir mereka.

Cahaya rembulan dan bintang menerangi, wajah Shaw bercahaya dan itu makin membuat para jagawana bergidik.

“Apa kau tidak bisa bicara? Siapa namamu?” Ketua tim melirik helikopter yang makin menjauh lagi. “Dan siapa mereka?”

“Menurut Anda siapa?” Shaw melempar tanya, amat tenang.

Amarah sang ketua makin meninggi. Dengan nada bicara dingin, ia memberi perintah pada anggota timnya.

“Bawa dia!”

Di helikopter, perhatian terus berpusat kepada Shaw.

“Bagaimana anak itu?” Sang pilot membuka suara.

“Dia masih di sana dan kurasa dia akan benar-benar dalam masalah serius,” jawab seseorang di sampingnya.

“Waw ... impresif!”

“Diamlah kalian! Kau sebaiknya fokus pada helikopternya, Ang, dan kau, Niko, sebaiknya kau tidur sekarang. Perjalanan dari mansion ke sini tentulah bukan perjalanan yang sebentar,” timpal Daniel.

Mulai kacau pikiran Daniel membayangkan apa yang akan terjadi pada Shaw setelah ini.

“Aku serius. Dia punya nyali yang besar.”

“Ang benar. Dengan info dari kau juga, Dan, dia pasti lolos ke mansion.” Niko melirik Daniel di kursi belakang.

“Sudahlah.” Daniel menghela napas.

Nanti. Bagaimana bisa bicara soal nanti, soal masa depan, ketika nasib Shaw di sisa malam saja tidak bisa Daniel prediksi.

Menyaksikan para jagawana membawa Shaw pergi, Daniel berucap dalam hati, “Shaw, akan kuingat kau. Akan kubayar semuanya.”

Dua dari lima jagawana kembali ke pos; bergabung bersama dua orang lainnya, melempar sorot senter pada tiap inci sudut hutan, barangkali ada orang lain yang turut serta dalam rencana. Tiga jagawana lain termasuk sang ketua membawa Shaw ke dungeon.

Di hutan bagian lain, seorang jagawana dari pos hutan barat daya menemui jagabaya yang sedang bertugas.

“Pergilah ke kediaman Tuan Hunt. Laporkan hal ini padanya segera!” titah sang jagabaya usai mendengar laporan sang jagawana. Ia sendiri lekas menaiki kuda dan memacunya menuju dungeon, diikuti tiga anak buahnya.

Suara burung hantu terdengar bernada. Zanwan yang biasanya akan terasa mati saat larut malam kali ini terasa hidup. Mungkin akan lebih ramai, tidak lama lagi, pikir sang jagawana, mengalihkan fokus pada kuda dan jalanan.

Sampai di kediaman mansion Hunt, seorang prajurit, pengawal, menyambutnya dari balik gerbang.

“Apakah Tuan Hunt sudah bangun atau belum tidur? Ada hal penting yang hendak saya sampaikan,” kata sang jagawana.

Sang pengawal menginstruksi untuk menunggu, lalu mengambil langkah cepat menghampiri pengawal yang berjaga di depan pintu masuk; menyampaikan maksud kedatangan sang jagawana. Setelah mendapat anggukan dan melihat satu pengawal membuka pintu dan masuk, ia kembali ke depan; membuka gerbang.

“Masuklah.”

Sang jagawana mengangguk singkat, melajukan kuda memasuki pekarangan mansion Hunt.

Seorang pria, asisten sang tuan rumah, keluar disertai pengawal tadi.

“Mari, saya antar.”

Ia bergeser memberi jalan; membiarkan sang jagawana masuk terlebih dahulu. Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu cokelat tua. Sang asisten mengetuk pintu.

"Masuk," ucap suara bariton dari dalam.

Malam hampir sampai di penghujung. Hiruk pikuk tanda kehidupan masih terlampau sepi, seharusnya. Namun, penduduk Zanwan memang sudah terbiasa bangun pagi, beberapa bahkan saat hari masih teramat awal. Hanya saja mereka tetap di rumah.

Pagi yang masih belum bertemu langit berpendar jingga kali ini seolah-olah memaksa semua penduduk Zanwan untuk beranjak dari peraduan mereka, tepat ketika sebuah perintah diturunkan oleh sang pemimpin mutlak: penggeledahan.

Ratusan pengawal yang lebih cocok disebut prajurit berhamburan serentak. Gemuruh derap cepat tapal kuda berpacu ke distrik Acilav. Tidak jauh berbeda, dinding tebal lagi kokoh pagar rumah mewah di distrik Aloclya pun bobol; penggeledahan merata dari sudut ke sudut. Tidak ada pengecualian selain kediaman sang pemimpin mutlak.

Satu per satu penghuni rumah keluar, menunggu dengan harap-harap cemas juga bingung perihal apa dan mengapa pintu istana mereka terketuk di pagi hari buta oleh pasukan elite Zanwan. Tatkala sebab sudah nyata dalam genggaman, jelas dalam dengar di telinga, riuhlah isi kepala juga hati beberapa dari mereka dalam diam fisik dan suara.

Secepat embusan angin, kasak-kusuk mengudara di mana-mana. Gosip baru melambung tinggi di seantero Zanwan pagi buta itu. Siapakah berani menantang aturan Zanwan yang sedemikian ditakuti tersebab hukumannya? Batin dan akal mereka terus menerka.

Pada akhirnya, satu nama didapatkan. Adalah Daniel Dixon, remaja 17 tahun dengan mental orang dewasa. Anak lelaki sebatang kara yang tinggal sendirian sejak walinya, sang paman, meninggal di usia Daniel yang hendak menginjak angka 14. Daniel pemuda rajin nan pekerja keras. Dikenal sebagai buruh ternak di kesehariannya selain pelajar.

Daniel seorang lulusan muda sekolah lanjutan pertama di Zanwan, terkenal cerdas juga gigih. Keinginan dan tekad yang terus digemakannya membuat penduduk lain berpikir bahwa ia sudah gila di abun-abun; di hari kemarin lalu. Agaknya penilaian itu akan berubah total segera, terka mereka, terpental mentah-mentah oleh bantahan berbekal bukti tak terduga; si pemilik nama berhasil membuktikan gaungnya.

“Kau dengar itu, Hao Yi?” Sang pemimpin mutlak Zanwan, Ascal Hunt, bermonolog di ruang kerjanya. Ia sandarkan punggung dan kepala pada kursi hitam seempuk busa, tetapi tidak semegah singgasana para raja. Lurus tatapnya ia tujukan pada langit-langit ruangan sewarna biru laut berhias gumpalan-gumpalan kapas putih di atas. “Apimu telah menyala kembali. Haruskah kusebut api kita? Hangatnya mulai menyebar. Asapnya meninggi menggamit awan. Semangatmu kembali hidup, Hao Yi. Bara merah telah berkibar, harum sekali. Maru, ... impianmu mulai menampakkan entitasnya.”

Benarlah perkataan lama. Langkah mungkin akan terhapus ketika tungkai bergerak menjauh, tetapi jejaknya akan terekam. Eksistensi mungkin sudah tidak lagi terlihatkan, tetapi sirat makna kehadiran dan kenangan momen berharganya akan abadi dalam ingatan.

Di ruang lain, guratan halus tercipta di kening sang ahli waris takhta, putra pertama sang pemimpin mutlak, anak lelaki yang acapkali di panggil Tuan Muda. Hening suasana dan sejuk udara menyelusupkan riuh yang senyap dari para pelayan ke telinganya yang tajam.

“Eh, katanya ada yang melarikan diri dari Zanwan.” Pelayan yang sudah mulai sibuk di dapur saling berbisik, tidak jauh dari kamar sang tuan muda. Sungguh, rajin sekali mereka.

Ditutupnya buku yang sedari tadi ia baca, ditegakkannya raga yang sedari tadi tegap terduduk di kursi bertumpu tangan pada meja belajar, digerakkannya tungkai yang sedari tadi berpijak pada sebaris kayu yang membentang di bawah meja, menuju pintu; membuatnya bercelah sedikit. Sebelah matanya mencoba menerobos celah; mencuri pandang ke luar.

“Benar. Katanya ada yang bantu, anak kecil, tetapi mereka ketahuan. Hanya saja ... seseorang itu berhasil kabur sementara si anak kecil ditangkap jagawana yang bertugas,” sahut pelayan lain. 

“Hiiyy ... berani sekali anak itu. Dia pasti dibawa ke dungeon. Pasti. Yakin aku. Kalau aku jadi dia, sih, sudah pasti kutolak, tidak mau ikut dalam rencana,” timpal pelayan lainnya.

Satu detik, dua detik, tiga detik, ... sepuluh detik, ….

Mata yang menyipit itu membeliak seiring tubuh ditarik ke belakang dan pintu perlahan ditutup.

“Shaw! Itu pasti Shaw! Dan yang berhasil pergi itu pasti Kak Daniel! Mereka sempat membicarakan itu denganku saat berlatih di bukit batu timur beberapa hari lalu! Oh, bagaimana ini?” Ia, sang tuan muda, bergumam sangat lirih, berjalan bolak-balik di samping tempat tidur dari ujung ke ujung.

Tidak berapa lama kemudian, sang tuan muda mengambil jaket merah marun di lemari dan memakainya, juga pedang di atas meja. Ia lingkarkan sabuk di pinggang, menaruh pedang di sisi kiri, lalu kembali membuka pintu, sangat pelan. Matanya awas pada sekitar, pendengaran ia tajamkan. Langkahnya cepat ke pintu utama di ruang tamu, berjalan lurus mengabaikan penjaga di depan pintu.

“Buka gerbangnya!” titahnya tanpa beramah-ramah.

Satu penjaga gerbang mendekat tergopoh-gopoh. “Maaf, Tuan Muda. Ini masih sangat pagi. Hari masih gelap. Tuan Muda hendak ke mana? Biar saya temani.”

“Mencari kebenaran kabar burung. Tak lama. Aku akan kembali untuk sarapan dan tak usah ditemani.” Tegas suaranya mengisyaratkan dirinya tidak bercanda dan penjaga gerbang mengetahui itu. Sikap sedingin itu jarang Tuan Muda tunjukkan pada orang-orang di kediamannya. Jadi, ketika ia menunjukkannya, itu adalah pertanda dirinya tengah serius dan Tuan Muda yang serius tidak suka penolakan maupun sanggahan.

Mengangguk singkat, sang penjaga membuka gerbang dan menutupnya lagi setelah sang tuan muda berlalu.

Seutas lengkungan ke atas samar terlihat di wajah sang tuan muda. Derap langkah santainya makin cepat, berubah menjadi lari ketika ia sudah jauh dari mansion. Memasuki kawasan sepi, ia membelah hutan melewati jembatan jalan perbatasan dua distrik; menuju dungeon Zanwan.

“Nekat! Kau nekat sekali, Shaw! Kenapa ... kenapa kau melakukannya? Kenapa kau ikut? Kenapa membahayakan diri sendiri? Kenapa tidak bersembunyi dan lari? Kenapa? Kau sudah bosan hidup? Kau benar-benar nekat!” Tuan Muda membatin sepanjang jalan. Benaknya dipenuhi tanda tanya. Cemas terasa, larinya makin cepat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jeruji Tanah Anarki   108. Beginikah rasanya punya anak?

    “Tuan Bexter!”Seruan mengudara dari paviliun. Mival yang semula duduk di teras jadi berdiri, menyambut Bexter dengan wajah berseri-seri.“Mival.” Lirih Bexter bergumam, mengarahkan langkah menuju Mival. Ia berhenti tiga langkah di depan Mival, kemudian bertanya, “Sudah malam. Kenapa di sini?”Semestinya itu tidak jadi pertanyaan. Bexter sudah punya jawabannya meski tidak tahu benar atau tidak.“Aku menunggu Tuan Bexter.”“Menungguku? Ada sesuatu?”“Hum!” Mival mengangguk cepat. “Aku ingin tanya soal Bailey dan Shaw.”Jawaban dalam pikiran Bexter memang benar. Hal itulah yang bakal jadi pertanyaan Mival.Bexter mengulas senyum. “Pertanyaan yang bagaimana itu?”“Kudengar Shaw diserang di hutan ketiga. Aku juga dengar Bailey pergi, belum kembali sampai sekarang. Katanya, Bailey pergi menyusul Shaw. Aku juga tidak melihat Bailey hari ini. Apa itu benar?”Muka cerah Mival sirna. Siapa pun yang memperhatikan pasti dapat melihat kecemasan dan rasa ingin tahu yang besar pada Mival saat ini.

  • Jeruji Tanah Anarki   107. Teka-teki Amory

    “Tuan seorang penerka andal!” Shaw cengar-cengir.“Oh, tentu! Aku hafal bocah-bocah sepertikau.” Amory menunjuk Shaw dengan sendok seraya terkekeh.Cengiran Shaw makin lebar. Suasana hatinya memang membaik, kian jernih pula pikirannya hingga ia teringat akan tujuan kedatangannya. Bertepatan dengan itu, hanya sesaat sebelum Shaw mengeluarkan kata, Amory melempar tanya.“Jadi, apa yang membawamu kemari? Takkan kau datang untuk panasea atau sekadar berkunjung.”Baru saja Shaw hendak membawa topik itu ke udara. Amory ini seperti pemanah berpengalaman, penembak jitu yang mampu segera meraih inti pembicaraan. Kalau ia ada di meja bundar petinggi Zanwan, pastilah banyak permasalahan segera teratasi.Secara alami, karakteristik Amory mulai terukir pada pusat pemahaman Shaw. Ia makin mengenal Amory, makin tahu orang seperti apa paman Bailey ini.“Tugas. Aku ke sini karena tugas.”Shaw mengatur makanannya, mengambil sedikit-sedikit dari tiap makanan yang ada kecuali lauk berkuah cokelat pekat,

  • Jeruji Tanah Anarki   106. Kemampuan warisan Hunt

    Amory kembali dengan sebuah keranjang bambu kecil. Ia letakkan keranjang itu di nakas, kemudian menyalakan penerangan―lentera. Kala ia berbalik, dilihatnya Shaw yang murung menatap Bailey.“Bailey hanya sedang menyesuaikan diri. Tubuhnya sedang beradaptasi. Dia akan segera pulih,” kata Amory sambil mendekati tempat tidur.Shaw beranjak, memberi tempat duduk kepada Amory.“Beradaptasi dengan apa?”“Kemampuan warisan Hunt.”Sesaat, Shaw tidak bertanya lagi. Ia menatap wajah Bailey, melihat mata Bailey terus meneteskan air. Ia baru mengajukan pertanyaan saat Amory mengolesi obat herbal di kening Bailey.“Berapa lama dia akan seperti itu? Berapa lama waktu adaptasinya?”“Setidaknya dua hari. Bisa lebih lama, tapi tidak sampai sepekan.”“Dua hari itu lama. Apa Bailey sungguh akan baik-baik saja? Apa dia akan makan minum atau kita membantunya makan minum?”Amory tersenyum menanggapi pertanyaan tersebut. Ia menarik tangan dari kening Bailey, sejenak menatap Shaw.“Kau ini sangat khawatir, ya

  • Jeruji Tanah Anarki   105. Tumbang

    “Aku cukup ingat jalannya kalau dari barat,” kata Shaw dengan suara rendah. Ia berpaling tatap ke sungai, lalu meneruskan, “Petunjuk yang aku punya cuma sungai dan tebing dengan air terjun.”“Ya sudah, kita teruskan. Ikuti sungai itu saja.” Tangan basah Bailey menepuk pelan pundak Shaw. “Tak ada waktu berpikir. Pemburu kita sangat banyak.”Shaw tidak enak hati. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Bailey, tetapi ia pun tidak punya ide lain kecuali sesuatu yang barusan hadir di kepalanya.“Sebentar, Bailey.”Shaw mencekal lengan Bailey, menahannya yang hendak berlari. Shaw menarik tangannya setelah Bailey menghadap dirinya dengan sorot tanya. Sesudah itu, kedua tangan Shaw bertemu, tetapi tidak benar-benar menempel telapak tangannya.Semilir angin berembus. Sekejap berselang, Shaw mengarahkan telapak tangannya ke dada Bailey.Bailey keberatan, tetapi matanya spontan memperhatikan penampilan Shaw, lalu ia bergeming―tidak menahan maupun menolak apa yang Shaw lakukan.“Kudengar kau

  • Jeruji Tanah Anarki   104. Bailey dalam pengejaran

    Bailey tiba di bagian hutan dengan dominasi pepohonan berbatang putih yang ramping serta bertutul hitam. Jejak haki Shaw makin kuat, tetapi yang Bailey temukan sesampainya ia di pohon tujuan hanyalah kekosongan.Bailey turun dari kuda, memperhatikan tanah di sekitar pohon. Tapak yang bercetak di sana segera dikenalinya, hanya beberapa tapak, yang kemudian berakhir sekitar dua meter dari pohon.“Kau di mana, Shaw?” Bailey mendesis.Tiga orang misterius yang mengejar Bailey segera hadir dalam pikirannya, lalu kekhawatiran menyeruak. Sejenak Bailey mendongak dan memejam, melangitkan harap akan keadaan Shaw.Tugas adalah tugas. Bailey tahu Shaw akan menuntaskannya bagaimanapun jalannya, betapa sulit pun prosesnya. Satu-satunya yang kini tersisa pada terkaan Bailey hanyalah Shaw meneruskan perjalanan. Tentu ada pikiran lain, tetapi Bailey tidak memberinya panggung barang sedikit―terlalu buruk terkaan itu untuk ia pedulikan. Di atas semua itu, paling tidak perasaannya telah lapang, lepas da

  • Jeruji Tanah Anarki   103. Hutan seribu warna

    “Kalau aku meladeni mereka, ada kemungkinan orang-orang di dalam akan terpancing dan keluar. Aku belum tentu mampu hadapi mereka semua.” Bailey mulai berpikir. Atensinya terbagi banyak: pada sesosok di sisi kirinya yang menggenggam pedang, pada dua sosok di sisi kanan yang juga siap menerkamnya.Untuk sesaat, Bailey dan tiga sosok tidak bergerak; mereka saling menunggu pergerakan lawan.Dari balik topeng, mata Bailey melirik dedaunan di tanah, kemudian pepohonan di sekitar. Bailey ingat betapa rimbun pepohonan di kawasan tersebut. Dalam hitungan detik, Bailey mengaktifkan haki dengan cepat, membuka kaki untuk memasang kuda-kuda, dan mengangkat tangan seiring ia menyalurkan haki ke tanah yang menyebabkan dedaunan, butiran tanah, serta batu kerikil terangkat, beterbangan membentuk layaknya topan. Segera setelah itu Bailey membuka tangan ke arah berlawanan, kanan dan kiri. Dedaunan menerpa tiga sosok dalam sekejap, melahap mereka seperti badai ganas yang menggilas apa pun dengan rakus. P

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status