Jessica tak mampu berkata-kata. Hatinya tertusuk oleh kata-kata tajam wanita di depannya. Sarah yang melihat gadis yang disukai Moses itu diam saja akhirnya melanjutkan ucapannya dengan nada lebih lunak, “Aku menguatirkan Moses, Jess. Dua hari ini dia tak bisa kuhubungi. Ponselnya tidak aktif. Kutelepon kantornya juga tak ada yang tahu dia berada di mana. Seakan-akan lenyap ditelan bumi. Padahal aku punya klien penting yang ingin melihat beberapa ruko yang dipasarkannya. Apa kamu tahu nomor ponselnya yang lain?”
Lawan bicaranya tersentak. Moses menghilang? Sejak dua hari yang lalu? Bukankah itu hari terakhir mereka bertemu di rumah barunya? Rumah baru…. Oh, jangan-jangan….
“Setahuku dia tidak punya nomor lain, Sar. Tapi akan kucoba membantumu. Aku akan mencarinya,” jawab Jessica.
Apa mungkin dia stres, ya? pikirnya galau. Tapi Moses kan sudah berpengalaman dalam hal hubungan asmara. Masa sampai frustasi gara-gara aku tidak memilihnya? Lagipula secara status, kami belum resmi berpacaran. Hanya…yah…teman yang sangat dekat dan istimewa….“Tom, sori aku nggak bisa ikut ke rumahmu. Cape banget badanku ini rasanya. Tolong kamu antar aku pulang aja, ya. Mau istirahat. Nggak apa-apa, kan?”Tommy menatap Jessica lekat-lekat. Ada sebuah firasat tidak enak yang dirasakannya sejak gadis itu berbicara serius dengan Sarah tadi pagi di depan kantor pengacara. Pun pemuda itu tak berani menanyakan apa yang diperbincangkan sampai kekasihnya itu memintanya menyingkir. Takut gadis yang dicintainya tersebut merasa tersinggung.
Hatinya ragu-ragu untuk masuk. Ini kamar laksana surga yang disiapkan Moses bagi mereka berdua. Gadis itu menutup mata dan menghela napas panjang. Dikuatkannya hatinya untuk membuka pintu.Jantungnya berdegup kencang. Lampu kamar menyala. AC-nya juga. Tercium bau kurang sedap yang campur aduk. Pandangannya lalu beralih pada lantai yang berantakan oleh kantung-kantung kresek, kotak-kotak makanan, dan berkaleng-kaleng bir di sana-sini. Di bagian tengah kamar tampak sesosok tubuh yang tidur meringkuk di atas sebuah kasur lipat berukuran 120x200 cm.Moses…, batin Jessica sedih. Dia masih memakai baju yang sama dengan dua hari yang lalu. Gadis itu melepaskan sepatu sandal yang dikenakannya dan diletakkannya di luar kamar. Kemudian dia melangkah masuk dan mendekati Moses. Sambil membungkuk, disentuhnya punggung
Sang gadis ragu-ragu sejenak. Dia akan segera menikah dengan Tommy dalam hitungan minggu. Masa pantas sekarang dia duduk di pangkuan laki-laki lain? “Sudahlah, nggak usah mikir macam-macam. Aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, kok. Moses yang patah hati cuma ingin berdekatan dengan gadis yang menolak cintanya sebelum dia pergi meninggalkan kota ini.” Jessica ternganga. “Apa kamu bilang? Mau pergi ke mana?!” tanyanya histeris. Tiba-tiba ulu hatinya terasa sakit sekali. Separuh jiwanya seakan hilang. “Nanti kuberitahu,” jawab laki-laki itu penuh teka-teki. “Sekarang ayo duduk sini dan ceritakan semuanya. Aku tahu kamu menyimpan beban yang besar dalam hatimu. Luapkan saja sekarang. Nangis sampai air matamu habis juga nggak apa-apa.
Malam harinya Tommy berperang dengan perasaannya sendiri. Bingung akan menelepon kekasihnya atau tidak. Kalau menelepon dan diangkat, dia takut mendengar kebohongan dari mulut Jessica. Sebaliknya kalau tidak diangkat, hatinya akan semakin penasaran apa yang tengah dilakukan calon istrinya.Kalau dia memang menaruh hati pada Moses, kenapa bersedia menikah denganku? pikirnya tak terima. Apakah karena merasa kasihan padaku? Atau pada janin yang dikandung Melani? Atau karena sudah telanjur berjanji pada Mama untuk menjagaku?Berbagai prasangka berkecamuk dalam benak pemuda itu. Kepalanya terasa sakit sekali seperti mau pecah. Diambilnya obat sakit kepala yang biasa diminumnya. Ditelannya sebutir tablet dengan air putih. Biasanya hanya dalam waktu lima belas menit sakit kepalanya hilang. Pemuda itu lalu berbaring di atas tempat
Diletakkannya surat itu di atas lantai. Lalu dirapikannya seprai pada kasur lipat. “Selamat tinggal, Moses,” ucapnya lembut. Hatinya terasa ringan. Ditaruhnya surat di atas kasur.Gadis itu lalu bangkit berdiri. Pandangannya menerawang ke segenap penjuru ruangan. Menikmati surga untuk terakhir kalinya. “Selamat tinggal, Surga. Terima kasih buat momen yang indah semalam. Sekarang aku akan menjalani hidup pilihanku dan menciptakan surga yang baru.”Dengan hati lapang Jessica melangkah meninggalkan kamar tanpa menoleh lagi. Waktu sampai di teras rumah, dilihatnya carport sudah kosong. Tak terlihat mobil Moses. Setelah menghela napas panjang sejenak, gadis itu lalu membuka pagar dan melangkah masuk ke dalam mobilnya sendiri. Dinyalakannya mesin mobil. Beberapa saat kemudian Sigra putih itu
“Aku ingin dia bahagia,” aku Moses sepenuh hati. “Tidakkah kau melihat binar-binar di matanya ketika berkata akan mengadopsi anak Melani? Jessica membutuhkan seorang anak untuk mengobati perasaan tidak berharga dalam dirinya akibat tak bisa mempunyai keturunan. Tidakkah kau mengerti hal itu?” Tommy menggeleng sedih. Rasanya malu sekali hati ini. Pria di depannya jauh lebih memahami Jessica daripada dirinya yang notabene adalah calon suami si gadis. “Terima kasih,” ucapnya lirih. “Buat apa?” tanya lawan bicaranya tak mengerti. “Mengalah demi Sica….” Moses tertawa. “Mungkin ini karma. Selama ini aku banyak bermain wanita. Sekarang cinta tulusku tak mendapat balasan. Barangkali Tuhan ingin aku introspeksi diri.” “Apa yang akan kau lakukan di Jakarta?” tanya Tommy ingin tahu. Perasaan cemburu dan marahnya hilang sudah. Dia justru merasa tenang bercaka
Gadis itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan rupawan. Mata Jessica berbinar-binar melihatnya. Tommy tersenyum bahagia. Benar kata Moses, batinnya menyadari. Sica sangat mendambakan seorang anak. Berbulan-bulan dia mencari-cari nama yang pas buat calon anak mereka. Kebetulan Melani sudah mengirimkan kabar bahwa janin yang dikandungnya berjenis kelamin laki-laki.“Akhirnya kau beri nama siapa, Sayang?” tanya Tommy sembari merangkul mesra sang istri. Dengan wajah berseri-seri Jessica menjawab, “Nathanael. Artinya hadiah dari Tuhan.”Sang suami mengangguk setuju. Bayi ini memang hadiah dari Tuhan untuk mengisi kekosongan dalam hati istrinya sekaligus menyempurnakan kebahagiaan perkawinan mereka.***Tujuh tahun telah berlalu. Nathanael tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas, baik hati, dan sangat menyayangi kedua orang tuanya. Jessica sudah tidak bekerja di perusaha
Dua minggu kemudian Tommy pergi menemui pengacaranya. Pria tua yang sudah puluhan tahun menjadi kuasa hukum keluarganya itu menatapnya serius. “Apakah sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu ini, Tom? Perusahaan itu adalah peninggalan keluargamu. Warisan buat anakmu kelak,” nasihatnya gundah. Bagaimanapun juga dia sudah lama sekali menangani aset keluarga Saputra. Ada ikatan antara dirinya dengan keluarga itu yang tak bisa dinilai dengan uang.Tommy tersenyum yakin. “Kesehatan saya tak memungkinkan untuk terus menjalankan perusahaan itu, Pak. Saya juga tidak mau memaksakan istri saya untuk meneruskan bisnis yang tak diminatinya. Dia pernah membantu saya di perusahaan sebelum Nathanael lahir. Selama berbulan-bulan itu saya bisa menilai bahwa minatnya bukan di bisnis pengalengan ikan.”“Kamu k