Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau
Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.
5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.
Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai
Bapak meraba-raba bagian kursi roda dengan tangan keriputnya yang disertai kekehan senang. Aku pun ikut tertawa sambil mendorong kursi Bapak memasuki rumah kontrakan yang luasnya tidak seberapa. Yah, cukup untuk kutinggali bersama istri, kedua anakku, dan juga Bapak. Ruang tengah yang tidak memiliki kursi ataupun sofa itu tampak sepi, lalu Eda–istriku tiba-tiba datang dari arah dalam. Tatapan Eda langsung tertuju pada kursi roda Bapak. Sesaat kemudian wanita itu mendelik tajam padaku sambil terus-terusan melirik Bapak. Rasanya aku bisa mengerti apa yang sedang bercokol di hati Eda. Ia pasti keberatan soal kursi roda ini. Mau bagaimana lagi. Bapak tidak bisa terus-terusan merangkak. Aku pun tidak bisa selalu menggendongnya sebab aku bekerja sampai sore.Kulihat mainan milik Radit, anak pertamaku yang berumur sembilan tahun tergeletak di samping kursi Bapak. Bola-bola squishy yang jika dipencet akan terasa sangat lembut. Bapak cukup sering memainkannya sambil tertawa senang layaknya a
“Par, kamu ada duit cadangan, nggak?” Parwo mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Tatapannya padaku agak ragu dan tidak enak. “Ada sih, Mar, tapi buat nambahin duit hape anakku. Sekarang ngerjain tugas serba pakai teknologi. Ndak cukup pake buku aja. Belum lagi kalau mesti belajar online di rumah. Mau kukasih hapeku, tapi entar aku pake apa buat terima orderan?” Parwo adalah teman seprofesiku. Sama-sama tukang ojek online yang mengharuskan kami selalu siaga di depan layar ponsel menunggu dan menerima orderan. “Kali ini kenapa, Mar? Buat bayar kontrakan?”Aku menghela napas letih. “Kemarin abis beliin Bapak kursi roda, cuma bekas. Eda marah dan nuntut uangnya diganti. Itu memang jatah beli beras buat sebulan, sih.”“Bikin pusing juga masalahmu, Mar. Antara orang tua atau istri. Kalo saya mungkin bakalan marah ke istri, tapi kalo dipikir-pikir memang ada benarnya. Mau makan apa selama sebulan kalo uangnya dipake beli kursi roda?”“Aku lebih marah ke diri sendiri, Par. Karena b
“Bapakmu kencing mulu, Bang! Aku capek!”Aku menghela napas sambil berusaha tetap mempertahankan posisi ponsel di dekat telinga. Di siang yang terik tanpa orderan ini, telepon keluhan dari Eda membuat keletihan semakin menumpuk. “Kan Bapak pakai popok, Da.”“Pakai sih pakai, tapi mesti digantiin mulu! Udah tiga kali kugantiin popoknya. Apa nggak habis duit kita belinya?!”“Jangan ngomong gitu. Itu bapakku, Eda. Kalau habis bakal kucari lagi duitnya.” “Ya udah, cari aja sampai mampus! Kerja keras sampai kamu bisa beli sepuluh popok tiap hari buat bapakmu!”Telepon terputus begitu saja. Dulu Eda menyebut Bapak tanpa embel-embel ‘bapakmu’. Sekarang Eda bahkan menganggap Bapak hanyalah orang tuaku saja. “Kenapa, Mar?”Kali ini Aziz yang tinggal menemaniku. Hari ini orderannya juga sulit masuk. Di antara aku, Parwo, dan Aziz, hanya aku yang selalu sepi penumpang setiap hari. “Rezeki selalu sempit, Ziz. Mau ngerokok aja susah.” Aku sangat jarang berpikir soal rokok lagi. Untuk makan se
“Kita nikah pun dia nggak datang dan nggak nyumbang duit sepeser pun. Kita gelar resepsi dari hasil tabungan kamu dan sebagian lagi minjam di bank. Setelah nikah, kamu malah nyusahin diri sendiri dan nyusahin aku juga.”Jantungku tersentak mendengar celotehan Eda. Suaranya cukup keras. Aku khawatir Bapak yang ada di luar bisa mendengarnya. “Jangan ngomong begitu, Eda. Dia tetap bapakku bagaimanapun juga.”“Dia nggak punya peran dalam hidupmu dan membantu dalam masa-masa sulit. Kamu juga cerita kalau bapakmu sudah nikah lagi setelah meninggalkan keluargamu. Terus mana istri barunya? Katanya dia punya anak tiri, ‘kan? Kok nggak keliatan batang hidungnya?”Suasana yang tadi sempat tenang kini berubah tegang. Dulu sebelum aku membawa Bapak, Eda cukup tenang dan jarang protes meski penghasilanku sedikit. Semenjak ada Bapak, Eda berubah drastis. Setiap hari mengeluh dan protes terus. “Aku sudah kasih lebih banyak dari biasanya, Eda. Kamu harusnya bersyukur. Allah bisa persempit rezeki kita