Jika Aku Membuang Bapak

Jika Aku Membuang Bapak

Oleh:  Mustacis  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
10
1 Peringkat
28Bab
966Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

"Kalau kamu nggak mau menitipkan bapak kamu ke kerabatnya, bawa aja ke panti jompo, atau taruh di jalanan. Pasti bakal ada orang kaya yang mau memelihara! Membesarkan dua anak aja gaji kamu pas-pasan, apalagi harus merawat bapak kamu yang setiap hari harus pakai popok dan minum obat!"

Lihat lebih banyak
Jika Aku Membuang Bapak Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Claudia Katipana
semangat yah kita swmua
2024-03-28 11:16:37
0
28 Bab
1. Bapak dan Eda
Bapak meraba-raba bagian kursi roda dengan tangan keriputnya yang disertai kekehan senang. Aku pun ikut tertawa sambil mendorong kursi Bapak memasuki rumah kontrakan yang luasnya tidak seberapa. Yah, cukup untuk kutinggali bersama istri, kedua anakku, dan juga Bapak. Ruang tengah yang tidak memiliki kursi ataupun sofa itu tampak sepi, lalu Eda–istriku tiba-tiba datang dari arah dalam. Tatapan Eda langsung tertuju pada kursi roda Bapak. Sesaat kemudian wanita itu mendelik tajam padaku sambil terus-terusan melirik Bapak. Rasanya aku bisa mengerti apa yang sedang bercokol di hati Eda. Ia pasti keberatan soal kursi roda ini. Mau bagaimana lagi. Bapak tidak bisa terus-terusan merangkak. Aku pun tidak bisa selalu menggendongnya sebab aku bekerja sampai sore.Kulihat mainan milik Radit, anak pertamaku yang berumur sembilan tahun tergeletak di samping kursi Bapak. Bola-bola squishy yang jika dipencet akan terasa sangat lembut. Bapak cukup sering memainkannya sambil tertawa senang layaknya a
Baca selengkapnya
2. Bapak Merepotkan
“Par, kamu ada duit cadangan, nggak?” Parwo mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Tatapannya padaku agak ragu dan tidak enak. “Ada sih, Mar, tapi buat nambahin duit hape anakku. Sekarang ngerjain tugas serba pakai teknologi. Ndak cukup pake buku aja. Belum lagi kalau mesti belajar online di rumah. Mau kukasih hapeku, tapi entar aku pake apa buat terima orderan?” Parwo adalah teman seprofesiku. Sama-sama tukang ojek online yang mengharuskan kami selalu siaga di depan layar ponsel menunggu dan menerima orderan. “Kali ini kenapa, Mar? Buat bayar kontrakan?”Aku menghela napas letih. “Kemarin abis beliin Bapak kursi roda, cuma bekas. Eda marah dan nuntut uangnya diganti. Itu memang jatah beli beras buat sebulan, sih.”“Bikin pusing juga masalahmu, Mar. Antara orang tua atau istri. Kalo saya mungkin bakalan marah ke istri, tapi kalo dipikir-pikir memang ada benarnya. Mau makan apa selama sebulan kalo uangnya dipake beli kursi roda?”“Aku lebih marah ke diri sendiri, Par. Karena b
Baca selengkapnya
3. Bapak Nggak Berjasa dalam Hidupmu
“Bapakmu kencing mulu, Bang! Aku capek!”Aku menghela napas sambil berusaha tetap mempertahankan posisi ponsel di dekat telinga. Di siang yang terik tanpa orderan ini, telepon keluhan dari Eda membuat keletihan semakin menumpuk. “Kan Bapak pakai popok, Da.”“Pakai sih pakai, tapi mesti digantiin mulu! Udah tiga kali kugantiin popoknya. Apa nggak habis duit kita belinya?!”“Jangan ngomong gitu. Itu bapakku, Eda. Kalau habis bakal kucari lagi duitnya.” “Ya udah, cari aja sampai mampus! Kerja keras sampai kamu bisa beli sepuluh popok tiap hari buat bapakmu!”Telepon terputus begitu saja. Dulu Eda menyebut Bapak tanpa embel-embel ‘bapakmu’. Sekarang Eda bahkan menganggap Bapak hanyalah orang tuaku saja. “Kenapa, Mar?”Kali ini Aziz yang tinggal menemaniku. Hari ini orderannya juga sulit masuk. Di antara aku, Parwo, dan Aziz, hanya aku yang selalu sepi penumpang setiap hari. “Rezeki selalu sempit, Ziz. Mau ngerokok aja susah.” Aku sangat jarang berpikir soal rokok lagi. Untuk makan se
Baca selengkapnya
4. Jika Aku Membuang Bapak
“Kita nikah pun dia nggak datang dan nggak nyumbang duit sepeser pun. Kita gelar resepsi dari hasil tabungan kamu dan sebagian lagi minjam di bank. Setelah nikah, kamu malah nyusahin diri sendiri dan nyusahin aku juga.”Jantungku tersentak mendengar celotehan Eda. Suaranya cukup keras. Aku khawatir Bapak yang ada di luar bisa mendengarnya. “Jangan ngomong begitu, Eda. Dia tetap bapakku bagaimanapun juga.”“Dia nggak punya peran dalam hidupmu dan membantu dalam masa-masa sulit. Kamu juga cerita kalau bapakmu sudah nikah lagi setelah meninggalkan keluargamu. Terus mana istri barunya? Katanya dia punya anak tiri, ‘kan? Kok nggak keliatan batang hidungnya?”Suasana yang tadi sempat tenang kini berubah tegang. Dulu sebelum aku membawa Bapak, Eda cukup tenang dan jarang protes meski penghasilanku sedikit. Semenjak ada Bapak, Eda berubah drastis. Setiap hari mengeluh dan protes terus. “Aku sudah kasih lebih banyak dari biasanya, Eda. Kamu harusnya bersyukur. Allah bisa persempit rezeki kita
Baca selengkapnya
5. Kenangan Kecil Bersama Bapak
“Amar, hari ini jajan ciloknya seribu aja, ya? Yang tiga ribunya kita bawa pulang buat ibu dan adekmu.”Aku mengangguk. Diriku yang masih kecil dan lugu menuruti omongan Bapak. Usia sepuluh tahun adalah kenangan yang paling banyak kuingat bersama Bapak. Bapak punya kebiasaan. Dia selalu tertawa dengan suara renyah dan lembut lalu mengacak rambutku. “Adek umur berapa sih, Pak?” tanyaku. “Tiga tahun.”“Emang udah bisa makan cilok.”Bapak tertawa lagi. “Bisa. Yang penting jangan pedis-pedis, nanti perutnya meletus kayak gunung merapi.”Aku tertawa, Bapak pun begitu. Lalu aku bertanya apa itu gunung merapi, seperti apa bentuknya dan kenapa bisa meledak. Bapak menjelaskannya sambil membentuk gunung dengan lengannya. Di tepi jalan yang dipenuhi asap kendaraan, kami duduk dengan sepeda Bapak yang berdiri sambil menunggu penumpang. Cuaca tidak begitu panas. Di tanganku ada setusuk cilok yang kecapnya menetes ke kerikil. Di sore hari menjelang Maghrib, Bapak mengayuh sepeda untuk membawak
Baca selengkapnya
6. Bapak Tetap Bapak
Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain.  Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu.  Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan.  Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak. 
Baca selengkapnya
7. Gara-Gara Bapak
“Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.” Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku. Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.” Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?” “Kalau segini goceng bisa, Bu.” “Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.” Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada t
Baca selengkapnya
8. Menitipkan Bapak
Motor yang sudah butut ini mengelilingi jalan poros, masuk ke gang-gang, dan mencari alamat sana-sini. Aku hanya mengandalkan ingatan puluhan tahun yang lalu soal letak rumah kerabat-kerabat Bapak yang dulu sering meminjam uang dan tidak dikembalikan.  Sarung yang kuikat di punggung agar Bapak tidak terjatuh kulepas lalu membantunya turun dari motor. Kugendong Bapak di punggung lalu menyusuri lorong perumahan yang bersih. Setiap rumahnya bercat hijau dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Sepertinya kerabat Bapak hidup sangat layak setelah memanfaatkan semua tabungan Bapak.  Sambil menenteng tas berisi pakaian Bapak, aku mengingat-ingat nomor rumah Bik Ntun, salah satu sepupu jauh Bapak yang dulu meminjam uang cukup banyak. Aku bisa menitipkan Bapak dengan jaminan utang itu. Mudah-mudahan Bik Ntun masih tinggal di sekitar sini.   “Permisi, Bu!” Aku melihat gerombolan i
Baca selengkapnya
9. Penebus Utang
“Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna. “Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka. “Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.” Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”“Mem
Baca selengkapnya
10. Hadiah Ulang Tahun untuk Bapak
Aku tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bapak selama ini. Jantungku berdenyut keras, dipenuhi harapan yang sangat besar, bahwa Bapak bisa sembuh. Bapak akan kembali sehat seperti dulu. Langsung kuambil tangan Bapak dan menggenggamnya erat. “Bapak bilang apa tadi?”  “Pha pha!” Bapak membuka dan menutup bibirnya dengan keras sampai mengeluarkan bunyi letusan-letusan kecil. Aku semakin antusias meski kali ini Bapak bermain-main. “Pak, ayo kita ke rumah sakit. Kita bilang ke dokter kalau Bapak sudah bisa bicara.” “Jangan lebay kamu, Bang. Bapak itu cuma asal ngeluarin suara. Mau habis-habisin duit beli obat lagi? Bensin kamu kepenuhan?!” Eda berkacak pinggang.  Semangatku merosot seketika. “Beli obat untuk Bapak
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status