Home / Rumah Tangga / Jika Aku Membuang Bapak / 6. Bapak Tetap Bapak

Share

6. Bapak Tetap Bapak

Author: Mustacis
last update Last Updated: 2023-09-11 06:00:00

Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain. 

 

Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu. 

 

Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan. 

 

Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak. 

 

Kata Ibu, uang tabungan Bapak dipinjamkan ke saudara dan keluarganya. Bapak juga meminjamkan namanya sebagai penjamin utang teman-temannya. Utang-utang itu tidak dibayar dan Bapak tidak tega menagihnya terus-terusan. 

 

Bapak merasa malu dan lelah dikejar penagih utang sampai kabur begitu saja. Kabarnya Bapak sudah menikah lagi dan menjauhi seluruh keluarganya. 

 

Suatu hari datang surat cerai ke rumah Ibu yang harus ditandatangani. Aku ingat betul dengan raut wajah Ibu saat menandatangani surat itu. Kaku dan datar. Sorot mata Ibu pasrah saat membubuhkan coretan pada selembar kertas itu. 

 

Rasanya pedih untuk diingat. Sejujurnya Bapak menorehkan banyak luka pada kami bertiga. Namun, Bapak pun tidak sengaja melakukannya. Satu-satunya kesalahan Bapak adalah menanggung penyakitnya sendirian. Penyakit linglung itulah yang dimanfaatkan orang-orang untuk mengeruk seluruh tabungan yang sudah Bapak kumpulkan. 

 

Kami semua sudah melewati hidup yang pahit dan kecut. Aku tak bisa menyalahkan Bapak yang meninggalkan kami karena sakit dan terjerat utang. Tak pula menyalahkan Eda yang terus memintaku menitipkan Bapak di tempat lain. 

 

Mereka adalah kelurgaku yang jauh dari kata sempurna, aku pun tidak sempurna di mata mereka. Belum mampu memberikan yang terbaik. Aku harus berusaha lebih keras lagi agar Eda tidak lagi mengeluh soal Bapak. 

 

Aku berjongkok di samping kasur Bapak. Mengusap keningnya dan memandang lekat wajah yang dipenuhi guratan keriput itu. Bapak pernah menjadi pria terhebat di hidupku. 

 

Kendati banyak kesalahan yang beliau perbuat, Bapak tetaplah Bapak. 

 

Tak ada yang bisa menggantikan sosoknya di mataku. Hidupku pun tak akan lebih baik jika seandainya aku menitipkan Bapak ke orang lain. Allah memberiku kesempatan untuk menemani Bapak di masa-masa tua dan sulitnya. Itu sudah cukup. 

 

“Pak, panjang umur, ya. Doakan Amar bisa menjadi anak yang berbakti.” Aku berbisik di telinga Bapak lalu mengecup keningnya yang beraroma bedak bayi. 

 

Aku berdiri dan memutuskan keluar dari kamar Bapak. Merasa belum mengantuk, aku berpikir sepertinya akan bagus jika aku mendirikan salat dua rakaat dulu. Untuk merayu Allah agar memberiku kemudahan dalam hidup ini. Itu lebih baik ketimbang tinggal merenung sendirian di teras.

 

Aku melakukannya di ruang tengah. Duduk bersila setelah berzikir dan memikirkan apa yang salah selama ini. Kesalahan apa yang kulakukan sampai hidup terasa sangat sulit bagiku. 

 

“Hamba ini sudah sering berprasangka buruk padamu, Ya Malik. Ampuni, rahmati, dan kuatkan pundakku. Tunjukkan pada saya yang lemah ini jalan kemudahan dan ketenangan. Dada saya terasa sesak setiap waktu, tolong ringankanlah, Ya Karim. Sebab Engkau sanggup melakukan segalanya. Engkau bisa membalikkan hidup hamba semudah meniup debu yang paling kecil.”

 

Aku bermunajat. Mata terasa pedih dan sekujur tubuh bergetar. Hanya Allah yang tahu, untuk apa aku diberi kehidupan yang sulit seperti ini. Hanya Allah yang mampu memberikan petunjuk pada jiwa yang rapuh ini. 

 

Aku merendah, menundukkan kepala dan menitikkan air mata. “Jika diriku kurang bersyukur, maka genapkanlah hati ini. Lapangkanlah dada yang terasa berat untuk menerima segala ketentuan-Mu.”

 

Kuusap wajah hingga ke seluruh tubuh sambil mengumandangkan kata Aamiin yang menembus hingga ke hati. Tubuh menjadi ringan dan dada terasa lengang. Kendati semua masalah itu belum selesai, tapi alhamdulillah, Allah memberiku kelegaan hati. 

 

Besok mesti cari rezeki lagi. Besok harus menghadapi masalah lagi. Sajadah kulipat dengan perlahan. “Bismillah, hamba sedang berusaha, Ya Allah. Tolong dibantu.” 

 

Besoknya aku berangkat pagi-pagi sekali. Eda sudah bangun sejak pukul empat pagi, mencuci baju, dan membereskan rumah.

 

“Tumben berangkat pagi banget, Bang.”

 

Aku menunduk di kursi teras untuk memasang sepatu bututku yang sudah mengelupas sana-sini. “Iya, mau cari rezeki lebih pagi, biar berkah.”

 

“Sarapan dulu, Bang.” Eda mengulurkan sepiring nasi dengan lauk dua potong tempe dan mie goreng. 

 

Dengan semangat kuhabiskan sarapan yang sederhana itu. Ada perasaan tidak enak membayangkan Eda, kedua anak kami, serta Bapak harus makan seperti ini juga. Setidaknya aku ingin membelikan ayam atau ikan untuk mereka. 

 

“Daoakan Abang hari ini ya, Da. Semoga dapat rezeki yang banyak.”

 

“Aamiinn … hati-hati, Bang. Jangan ngebut. Eda selalu doain Abang di sini.” Eda memberiku senyum yang tulus dan sebagai gantinya, aku mengusap rambutnya yang kasar dan sedikit berminyak. Ah, sampo sudah habis sejak seminggu yang lalu. 

 

“Baik-baik di rumah ya, Sayang. Baik-baik sama Bapak juga.”

 

Eda langsung cemberut. “Iya iya. Aku ngeluh bukan karena benci sama Bapak, Bang. Aku juga masih punya bapak. Kamu ngerti ‘kan gimana capeknya aku ngurus mereka semua sekaligus ngerjain kerjaan rumah?”

 

“Abang ngerti, Eda. Doain Abang terus supaya bisa bikin kamu berkecukupan.”

 

Eda mengangguk. Pagi ini mata Eda berbinar memandangku. Setelah salat dua rakaat semalam, aku merasa beban di hatiku banyak berkurang. 

 

“Abang berangkat dulu, ya.”

 

Eda mengecup punggung tanganku lalu kubelai wajah Eda yang kasar dipenuhi bruntusan. Semoga suatu saat nanti aku bisa membelikan bedak dan alat perawatan wajah untuk Eda. 

 

“Cia ilah, pagi-pagi udah mesra amat~” Motor Parwo berhenti di jalanan depan rumah. Kupikir akulah yang paling pagi berangkat ngojek, ternyata Parwo juga begitu. 

 

“Buat berkah hari ini, Wo.” Aku mengeluarkan motor dari ruang tengah. “Pagi juga kamu berangkatnya, Wo. Biasanya juga jam delapan baru keluar.”

 

“Aduh, biasa, Mar. Anak-anak ada kebutuhan mendadak lagi. Disuruh beli seragam porseni di sekolah.” Bibir Parwo cemberut sambil menggelengkan kepala. 

 

Parwo punya tiga anak yang semuanya sudah bersekolah. Dua yang duduk di bangku SD, sedangkan yang terakhir masih TK. Dia juga punya tanggungan yang tidak sedikit. Jika orderan sepi, Parwo juga sering berkeliling untuk mencari penumpang. 

 

“Selain ngojek, kamu tau kerjaan lain buat sampingan nggak, Wo?” Suara kubesarkan untuk mengalahkan angin yang menghantam dari depan. Motorku dan motor Parwo bersisian di pinggir jalan,

 

“Buruh harian ada, Mar. Sebenarnya pekerjaan sampingan banyak. Kamu mau buka jasa angkut-angkut barang di pasar bisa, jasa bersih-bersih halaman sama rumah, pokoknya banyak dah. Tapi ya itu, hasilnya recehan.”

 

Semua pekerjaan itu sudah kulakoni saat remaja dulu, untuk menyambung hidup dan membayar utang-utang yang ditinggalkan Bapak. “Yang penting bisa nambah-nambah, Wo. Lumayan kalau digabungin sama hasil narik.”

 

“Ya gitulah, Mar. Kamu mau kerja sampingan apa?”

 

“Kayaknya jasa buruh angkut di pasar lumayan, Wo. Dulu sih pernah kukerjain. Gak papalah duitnya sedikit, yang penting bisa nambahin.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jika Aku Membuang Bapak   Penutup

    Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai

  • Jika Aku Membuang Bapak   27. Diary Bapak (End)

    5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.

  • Jika Aku Membuang Bapak   26. Amanat Terakhir Bapak

    Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.

  • Jika Aku Membuang Bapak   25. Pergi Jalan Senja

    Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau

  • Jika Aku Membuang Bapak   24. Bapak Sudah Sembuh

    Pukul empat pagi. Bapak mengerang kesakitan. Kami memutuskan bermalam karena Bapak tak mau pulang ke kosan. Unur pun ikut bermalam. Aku yang tidur bersama Bapak langsung terbangun. Bapak muntah hebat. Membasahi kasur tipis lusuh yang seprainya sudah menguning. Kugendong Bapak dengan panik sambil berteriak memanggil Eda dan Unur. Tak lama kemudian, Eda dan Unur berlarian dari kamar.Eda menggendong Faiz yang menangis keras, sementara Unur ikut panik. Ada ketakutan yang sangat dari bias matanya. “Bawa ke rumah sakit, Bang! Aku pesankan taksi.” Unur-lah yang mempersiapkan segala keperluan Bapak karena Eda kewalahan menenangkan anak bungsu kami. Subuh yang dipenuhi tangisan dan erangan itu terasa sangat ramai sampai sebuah taksi datang. Aku dan Unur masuk sementara Eda tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Setelah ditangani di rumah sakit, Bapak dipindahkan ke ruang ICU. Selang infus dan selang lainnya terpasang di tubuhnya yang kian ringkih. Bapak bahkan tak punya tenaga lagi untuk

  • Jika Aku Membuang Bapak   23. Anak Gadis yang Menemukan Kembali Pahlawannya

    ‘Unur, Abang diundang ke televisi sama Bapak. Tolong ditonton, ya.’Pesan itu kukirimkan untuk Unur yang sudah kembali ke Jerman selepas kedatangannya malam itu. Aku berharap ia berusaha menontonnya. Aku dengar semua acara TV bisa ditonton di Metube. Berbeda denganku yang merasa tegang, Bapak tampak senang dalam balutan baju batik yang rapi. Matanya berbinar-binar melihat beberapa kamera yang sudah bersiap merekam kami. Di sampingku ada Eda dan anak-anak serta Aziz dan Parwo yang sejak tadi mendampingi kami.“Jangan gugup, Mar. Nanti kau kelihatan kayak orang sawan. Santai,” ucap Parwo yang malah memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang super rapi. “Lu mau tampil juga, Wo?” tanya Aziz yang memakai jaket ojeknya seperti biasanya. Dia lebih santai daripada kami semua. “Yang diundang ‘kan si Amar, Ziz, tapi mana tahu aku disorot juga.” Parwo memamerkan senyum penuh harapannya. “Yok siap-siap! Satu menit lagi mulai!” Suara teriakan salah satu kru membuat kami semua terlonjak. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status