Share

6. Bapak Tetap Bapak

Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain. 

 

Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu. 

 

Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan. 

 

Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak. 

 

Kata Ibu, uang tabungan Bapak dipinjamkan ke saudara dan keluarganya. Bapak juga meminjamkan namanya sebagai penjamin utang teman-temannya. Utang-utang itu tidak dibayar dan Bapak tidak tega menagihnya terus-terusan. 

 

Bapak merasa malu dan lelah dikejar penagih utang sampai kabur begitu saja. Kabarnya Bapak sudah menikah lagi dan menjauhi seluruh keluarganya. 

 

Suatu hari datang surat cerai ke rumah Ibu yang harus ditandatangani. Aku ingat betul dengan raut wajah Ibu saat menandatangani surat itu. Kaku dan datar. Sorot mata Ibu pasrah saat membubuhkan coretan pada selembar kertas itu. 

 

Rasanya pedih untuk diingat. Sejujurnya Bapak menorehkan banyak luka pada kami bertiga. Namun, Bapak pun tidak sengaja melakukannya. Satu-satunya kesalahan Bapak adalah menanggung penyakitnya sendirian. Penyakit linglung itulah yang dimanfaatkan orang-orang untuk mengeruk seluruh tabungan yang sudah Bapak kumpulkan. 

 

Kami semua sudah melewati hidup yang pahit dan kecut. Aku tak bisa menyalahkan Bapak yang meninggalkan kami karena sakit dan terjerat utang. Tak pula menyalahkan Eda yang terus memintaku menitipkan Bapak di tempat lain. 

 

Mereka adalah kelurgaku yang jauh dari kata sempurna, aku pun tidak sempurna di mata mereka. Belum mampu memberikan yang terbaik. Aku harus berusaha lebih keras lagi agar Eda tidak lagi mengeluh soal Bapak. 

 

Aku berjongkok di samping kasur Bapak. Mengusap keningnya dan memandang lekat wajah yang dipenuhi guratan keriput itu. Bapak pernah menjadi pria terhebat di hidupku. 

 

Kendati banyak kesalahan yang beliau perbuat, Bapak tetaplah Bapak. 

 

Tak ada yang bisa menggantikan sosoknya di mataku. Hidupku pun tak akan lebih baik jika seandainya aku menitipkan Bapak ke orang lain. Allah memberiku kesempatan untuk menemani Bapak di masa-masa tua dan sulitnya. Itu sudah cukup. 

 

“Pak, panjang umur, ya. Doakan Amar bisa menjadi anak yang berbakti.” Aku berbisik di telinga Bapak lalu mengecup keningnya yang beraroma bedak bayi. 

 

Aku berdiri dan memutuskan keluar dari kamar Bapak. Merasa belum mengantuk, aku berpikir sepertinya akan bagus jika aku mendirikan salat dua rakaat dulu. Untuk merayu Allah agar memberiku kemudahan dalam hidup ini. Itu lebih baik ketimbang tinggal merenung sendirian di teras.

 

Aku melakukannya di ruang tengah. Duduk bersila setelah berzikir dan memikirkan apa yang salah selama ini. Kesalahan apa yang kulakukan sampai hidup terasa sangat sulit bagiku. 

 

“Hamba ini sudah sering berprasangka buruk padamu, Ya Malik. Ampuni, rahmati, dan kuatkan pundakku. Tunjukkan pada saya yang lemah ini jalan kemudahan dan ketenangan. Dada saya terasa sesak setiap waktu, tolong ringankanlah, Ya Karim. Sebab Engkau sanggup melakukan segalanya. Engkau bisa membalikkan hidup hamba semudah meniup debu yang paling kecil.”

 

Aku bermunajat. Mata terasa pedih dan sekujur tubuh bergetar. Hanya Allah yang tahu, untuk apa aku diberi kehidupan yang sulit seperti ini. Hanya Allah yang mampu memberikan petunjuk pada jiwa yang rapuh ini. 

 

Aku merendah, menundukkan kepala dan menitikkan air mata. “Jika diriku kurang bersyukur, maka genapkanlah hati ini. Lapangkanlah dada yang terasa berat untuk menerima segala ketentuan-Mu.”

 

Kuusap wajah hingga ke seluruh tubuh sambil mengumandangkan kata Aamiin yang menembus hingga ke hati. Tubuh menjadi ringan dan dada terasa lengang. Kendati semua masalah itu belum selesai, tapi alhamdulillah, Allah memberiku kelegaan hati. 

 

Besok mesti cari rezeki lagi. Besok harus menghadapi masalah lagi. Sajadah kulipat dengan perlahan. “Bismillah, hamba sedang berusaha, Ya Allah. Tolong dibantu.” 

 

Besoknya aku berangkat pagi-pagi sekali. Eda sudah bangun sejak pukul empat pagi, mencuci baju, dan membereskan rumah.

 

“Tumben berangkat pagi banget, Bang.”

 

Aku menunduk di kursi teras untuk memasang sepatu bututku yang sudah mengelupas sana-sini. “Iya, mau cari rezeki lebih pagi, biar berkah.”

 

“Sarapan dulu, Bang.” Eda mengulurkan sepiring nasi dengan lauk dua potong tempe dan mie goreng. 

 

Dengan semangat kuhabiskan sarapan yang sederhana itu. Ada perasaan tidak enak membayangkan Eda, kedua anak kami, serta Bapak harus makan seperti ini juga. Setidaknya aku ingin membelikan ayam atau ikan untuk mereka. 

 

“Daoakan Abang hari ini ya, Da. Semoga dapat rezeki yang banyak.”

 

“Aamiinn … hati-hati, Bang. Jangan ngebut. Eda selalu doain Abang di sini.” Eda memberiku senyum yang tulus dan sebagai gantinya, aku mengusap rambutnya yang kasar dan sedikit berminyak. Ah, sampo sudah habis sejak seminggu yang lalu. 

 

“Baik-baik di rumah ya, Sayang. Baik-baik sama Bapak juga.”

 

Eda langsung cemberut. “Iya iya. Aku ngeluh bukan karena benci sama Bapak, Bang. Aku juga masih punya bapak. Kamu ngerti ‘kan gimana capeknya aku ngurus mereka semua sekaligus ngerjain kerjaan rumah?”

 

“Abang ngerti, Eda. Doain Abang terus supaya bisa bikin kamu berkecukupan.”

 

Eda mengangguk. Pagi ini mata Eda berbinar memandangku. Setelah salat dua rakaat semalam, aku merasa beban di hatiku banyak berkurang. 

 

“Abang berangkat dulu, ya.”

 

Eda mengecup punggung tanganku lalu kubelai wajah Eda yang kasar dipenuhi bruntusan. Semoga suatu saat nanti aku bisa membelikan bedak dan alat perawatan wajah untuk Eda. 

 

“Cia ilah, pagi-pagi udah mesra amat~” Motor Parwo berhenti di jalanan depan rumah. Kupikir akulah yang paling pagi berangkat ngojek, ternyata Parwo juga begitu. 

 

“Buat berkah hari ini, Wo.” Aku mengeluarkan motor dari ruang tengah. “Pagi juga kamu berangkatnya, Wo. Biasanya juga jam delapan baru keluar.”

 

“Aduh, biasa, Mar. Anak-anak ada kebutuhan mendadak lagi. Disuruh beli seragam porseni di sekolah.” Bibir Parwo cemberut sambil menggelengkan kepala. 

 

Parwo punya tiga anak yang semuanya sudah bersekolah. Dua yang duduk di bangku SD, sedangkan yang terakhir masih TK. Dia juga punya tanggungan yang tidak sedikit. Jika orderan sepi, Parwo juga sering berkeliling untuk mencari penumpang. 

 

“Selain ngojek, kamu tau kerjaan lain buat sampingan nggak, Wo?” Suara kubesarkan untuk mengalahkan angin yang menghantam dari depan. Motorku dan motor Parwo bersisian di pinggir jalan,

 

“Buruh harian ada, Mar. Sebenarnya pekerjaan sampingan banyak. Kamu mau buka jasa angkut-angkut barang di pasar bisa, jasa bersih-bersih halaman sama rumah, pokoknya banyak dah. Tapi ya itu, hasilnya recehan.”

 

Semua pekerjaan itu sudah kulakoni saat remaja dulu, untuk menyambung hidup dan membayar utang-utang yang ditinggalkan Bapak. “Yang penting bisa nambah-nambah, Wo. Lumayan kalau digabungin sama hasil narik.”

 

“Ya gitulah, Mar. Kamu mau kerja sampingan apa?”

 

“Kayaknya jasa buruh angkut di pasar lumayan, Wo. Dulu sih pernah kukerjain. Gak papalah duitnya sedikit, yang penting bisa nambahin.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status