Share

7. Gara-Gara Bapak

Penulis: Mustacis
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-12 06:00:00

“Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.”

 

Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku.

 

Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.”

 

Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?”

 

“Kalau segini goceng bisa, Bu.”

 

“Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.”

 

Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada tiga kardus besar yang kuangkut. Satu di pundak dan dua lainnya masing-masing di tangan. Mengikuti ibu tersebut sampai ke salah satu angkot yang berdiam di terminal. 

 

“Ini, Mas.” 

 

Kuterima dua lembar uang lecek yang basah dan robek-robek di ujungnya itu. Satunya lembaran dua ribu, sedangkan sisanya seribu rupiah. Perasaanku membuncah saat menerimanya. 

 

Dulu pekerjaan ini adalah pekerjaan kebanggaan Bapak. Bapak dikenal sebagai buruh angkut paling terpercaya dan kuat, serta harganya murah. Banyak yang sampai rela mengantri untuk diangkutkan barangnya. Tidak sedikit pula yang memanggil Bapak untuk diangkutkan barang dari rumah ke rumah. Berapa pun uang yang diterima, Bapak selalu tersenyum tulus. Tak jarang kepalanya menengadah seperti berterima kasih pada Sang Pemilik Rezeki. 

 

“Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah.” Dua lembar uang itu kumasukkan di saku celana. Semangat kian membara setelah menerima upah pertama. 

 

Aku kembali menjajakan jasa pada setiap orang yang keluar dari pasar dan membawa barang banyak. Tarif yang kuberikan seakan tidak berguna karena mereka selalu meminta harga recehan, sisa ongkos ojek atau sisa uang pos katanya. Aku pun memaklumi. Uang mereka pasti sudah habis dipakai untuk belanja. 

 

“Sekalian ngojek ya, Bang?”

 

“Iya, Bu.” 

 

“Kalau gitu pakai jasa Abang aja, ya.”

 

Alhamdulillah. Bergegas aku menyalakan mesin motor dan mengantar salah satu pelanggan. Kuhitung-hitung ibu berhijab hijau lumut ini adalah orang ketujuh yang memesan jasa angkutku.

 

Dari narik sampai menerima orderan hingga jadi jasa angkut, alhamdulillah sampai hari menjelang sore, aku bisa dapat tiga kali lipat dari penghasilan harianku selama ini. “Alhamdulillah, dapat 94 ribu.” Bisa beli beras sekaligus ayam. Anak-anak, Eda, dan Bapak tidak perlu makan tahu dan tempe lagi.

 

Aku pulang membawa tiga liter beras dan sekantong ayam yang sudah dipotong-potong. Radit dan Bapak pasti akan senang, apalagi Eda. Dia juga mungkin sudah bosan menggoreng tempe dan tahu setiap hari. 

 

Setelah motorku berhenti di depan rumah yang gersang dan dipenuhi jemuran Eda, tahu-tahu Bapak merangkak dari dalam rumah sambil tertawa lebar melihatku, memperlihatkan giginya yang sudah rontok, hanya tersisa gusi. 

 

“Di situ aja, Pak! Nggak usah ke sini!” Cepat-cepat aku turun dari motor dan berlari ke teras sebelum Bapak terjatuh. 

 

Bapak berusaha meraihku sambil tertawa-tawa senang. “Au-lang! Lang mu!” 

 

Mungkin artinya ‘sudah pulang! Kamu pulang!’

 

Sejak menemukan Bapak di samping truk sampah, dia sudah tidak bisa berbicara lengkap. Seperti bayi yang baru belajar berbicara, tingkah Bapak pun seperti itu. Kata dokter, mungkin karena trauma atau efek dari penyakit jiwanya. Pikiran Bapak tidak stabil. 

 

Pandangan mataku mampir di lutut Bapak yang lecet. “Loh, ini kenapa, Pak?” Kusentuh lutut Bapak yang tergores dan kotor. 

 

Bapak menggeleng-geleng sambil mengibaskan tangan seperti mengatakan ‘tidak apa-apa’

 

“Kursi roda Bapak ke mana?” Aku berjongkok semakin dekat untuk memeriksa tubuh Bapak. Siku dan lengannya juga lecet. 

 

Bapak membuat gerakan tangan yang random dan tidak kumengerti. Melongokkan kepala ke dalam rumah, aku memanggil Eda berulang kali.  

 

“Da!! Ke sini … kursi roda Bapak ke mana?”

 

Selang beberapa menit, Eda baru keluar dengan wajah masam. “Kenapa sih, Bang? Pulang-pulang bukannya ngucap salam malah teriak-teriak!”

 

“Kursi roda Bapak ke mana? Kok Bapak merangkak begini?”

 

Eda mendecak lalu memutar bola mata tidak peduli. “Udah aku jual!”

 

Spontan aku berdiri, luar biasa terkejut dengan jawaban Eda. “Dijual? Beneran kamu jual?!”

 

“Iya! Kenapa, sih? Heboh banget!”

 

“Itu kursi roda Bapak, Daaa!!”

 

Eda mengurai lipatan tangannya lalu ganti memelototiku. “Mestinya kamu tanya kenapa aku jual, Bang!”

 

Jantungku berdebar kencang. Susah payah aku mengumpulkan uang untuk mengganti uang kursi roda itu. Rasa amarah menguasai hati ini. “Tega banget kamu, Eda. Kamu biarkan Bapak merangkak begini!”

 

Alih-alih minta maaf, Eda malah berkacak pinggang dan semakin menantangku. “Uang listrik sama air udah tiga bulan nunggak, Bang!!” Eda menaikkan tiga jari sambil melotot. “Mpok Nur ngancam bakal nyabut listrik dan meteran air kita kalau nggak dibayar hari ini juga!”

 

Aku terdiam. Mulut ini terkunci rapat-rapat.

 

“Mau gelap-gelapan dan nggak pake air? Duit kontrakan aja ditagih sampai akhir bulan, Baaangg … kalau bulan depan nunggak lagi, kita bakal diusir!” 

 

Allahu akbar. Ujian datang silih berganti. Kulirik kantongan beras dan ayam yang tergeletak begitu saja di lantai, lalu pada Bapak yang planga-plongo menatap kami dari bawah. 

 

“Aku nggak ada pegangan, Bang. Mau pinjam di mana? Nggak ada tetangga yang mau pinjemin.”

 

Pundak ini terasa sangat berat seperti ditimpa batu besar. 

 

“Kursi roda Bapak cuma laku 350 ribu, itu pun aku mesti keliling naik ojek dari satu toko ke toko lain sampai nawarin kursi roda itu di jalanan. Aku ini mohon-mohon sama Mpok Nur buat minjem ongkos ojek untuk nawarin kursi roda itu karena hapemu nggak bisa dihubungi. Sekali-kali hargai jerih payah aku, Bang. Jangan melulu pikirin kenyamanan bapakmu. Aku juga capek, Bang. Sengsara aku selama ini!” Sekujur wajah Eda memerah. Tatapan matanya seperti tersiksa. 

 

Perasaanku bercampur aduk, antara marah, pedih, dan merasa tidak berdaya. Kubelikan Bapak kursi roda bekas, itu pun harus dijual lagi untuk tagihan yang tak mampu aku lunasi. 

 

“Aku ini capeeekk, Bang~ mengurus Fauzi yang rewel, Radit yang minta uang mulu buat jajan, bapak kamu yang mesti disuapin, digantiin popoknya, dijagain. Rumah tiap hari aku beresin. Ya Allah, Bang … tiap hari aku masak nggak pernah absen. Tolong sedikiiittt aja dihargai. Aku ini sudah menemani Abang selama sepuluh tahun, sengsara, miskin, mesti ngurus mertua sejak awal nikah. Kurang apa kesetiaan dan perjuangan Eda, Bang?”

 

Mata Eda memerah. Hidungnya kembang kempis dan napas wanita berumur 34 tahun itu putus-putus. Tetes-tetes keringat jatuh di lehernya. 

 

“Kalau kamu terus mementingkan kenyamanan bapakmu, aku bisa muak, Bang. Lama-lama aku mundur jadi istrimu. Gajimu yang nggak seberapa itu mesti aku pelintir tiap hari sampai otakku ngebul. Jadi, tolong jangan mendikte aku untuk terus mengurus bapakmu.”

 

Aku pun diam, tak lagi sanggup membalas perkataan Eda. Berjongkok kembali dan menggendong Bapak layaknya menggendong anak kami yang masih berusia tujuh bulan. Amarah ini masih bertakhta di hati. Terlebih saat kucium bau pesing dari celana Bapak. Ternyata Bapak tidak memakai popok, Padahal aku sudah memberikan uang agar Eda membelikan popok untuk Bapak. 

 

Bapak kududukkan di lantai kamarnya. Dengan ekspresi kaku, aku menggantikan celana Bapak yang basah, tak peduli jika pakaianku juga ikut berbau. 

 

Padahal selama seharian ini, aku sangat bersemangat dan bersyukur. Namun, dalam sekejap hati ini membara kembali. Rasa marah bergejolak sehingga dadaku terasa panas. Apakah gara-gara Bapak kami jadi seperti ini? 

 

Pikiranku bercampur aduk, mengingat semua perkataan Eda soal Bapak yang pergi meninggalkan kami untuk kemudian menikah lagi. Sebelum aku menemukan Bapak, hidup kami baik-baik saja. Bisa dibilang cukup untuk membayar listrik dan air tiap bulan, juga makan ikan. 

 

Setiap minggu aku membelikan ayam untuk digoreng. Namun, setelah Bapak datang, kecukupan itu merosot. Kami serba kekurangan, sebab Bapak memerlukan obat, popok, dan juga susu. 

 

“Pak, maafkan Amar. Besok kita cari kerabat kita ya, biar Bapak bisa jalan-jalan dan nginap di rumah kerabat kita.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jika Aku Membuang Bapak   Penutup

    Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai

  • Jika Aku Membuang Bapak   27. Diary Bapak (End)

    5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.

  • Jika Aku Membuang Bapak   26. Amanat Terakhir Bapak

    Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.

  • Jika Aku Membuang Bapak   25. Pergi Jalan Senja

    Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau

  • Jika Aku Membuang Bapak   24. Bapak Sudah Sembuh

    Pukul empat pagi. Bapak mengerang kesakitan. Kami memutuskan bermalam karena Bapak tak mau pulang ke kosan. Unur pun ikut bermalam. Aku yang tidur bersama Bapak langsung terbangun. Bapak muntah hebat. Membasahi kasur tipis lusuh yang seprainya sudah menguning. Kugendong Bapak dengan panik sambil berteriak memanggil Eda dan Unur. Tak lama kemudian, Eda dan Unur berlarian dari kamar.Eda menggendong Faiz yang menangis keras, sementara Unur ikut panik. Ada ketakutan yang sangat dari bias matanya. “Bawa ke rumah sakit, Bang! Aku pesankan taksi.” Unur-lah yang mempersiapkan segala keperluan Bapak karena Eda kewalahan menenangkan anak bungsu kami. Subuh yang dipenuhi tangisan dan erangan itu terasa sangat ramai sampai sebuah taksi datang. Aku dan Unur masuk sementara Eda tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Setelah ditangani di rumah sakit, Bapak dipindahkan ke ruang ICU. Selang infus dan selang lainnya terpasang di tubuhnya yang kian ringkih. Bapak bahkan tak punya tenaga lagi untuk

  • Jika Aku Membuang Bapak   23. Anak Gadis yang Menemukan Kembali Pahlawannya

    ‘Unur, Abang diundang ke televisi sama Bapak. Tolong ditonton, ya.’Pesan itu kukirimkan untuk Unur yang sudah kembali ke Jerman selepas kedatangannya malam itu. Aku berharap ia berusaha menontonnya. Aku dengar semua acara TV bisa ditonton di Metube. Berbeda denganku yang merasa tegang, Bapak tampak senang dalam balutan baju batik yang rapi. Matanya berbinar-binar melihat beberapa kamera yang sudah bersiap merekam kami. Di sampingku ada Eda dan anak-anak serta Aziz dan Parwo yang sejak tadi mendampingi kami.“Jangan gugup, Mar. Nanti kau kelihatan kayak orang sawan. Santai,” ucap Parwo yang malah memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang super rapi. “Lu mau tampil juga, Wo?” tanya Aziz yang memakai jaket ojeknya seperti biasanya. Dia lebih santai daripada kami semua. “Yang diundang ‘kan si Amar, Ziz, tapi mana tahu aku disorot juga.” Parwo memamerkan senyum penuh harapannya. “Yok siap-siap! Satu menit lagi mulai!” Suara teriakan salah satu kru membuat kami semua terlonjak. A

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status