Share

7. Gara-Gara Bapak

“Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.”

 

Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku.

 

Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.”

 

Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?”

 

“Kalau segini goceng bisa, Bu.”

 

“Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.”

 

Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada tiga kardus besar yang kuangkut. Satu di pundak dan dua lainnya masing-masing di tangan. Mengikuti ibu tersebut sampai ke salah satu angkot yang berdiam di terminal. 

 

“Ini, Mas.” 

 

Kuterima dua lembar uang lecek yang basah dan robek-robek di ujungnya itu. Satunya lembaran dua ribu, sedangkan sisanya seribu rupiah. Perasaanku membuncah saat menerimanya. 

 

Dulu pekerjaan ini adalah pekerjaan kebanggaan Bapak. Bapak dikenal sebagai buruh angkut paling terpercaya dan kuat, serta harganya murah. Banyak yang sampai rela mengantri untuk diangkutkan barangnya. Tidak sedikit pula yang memanggil Bapak untuk diangkutkan barang dari rumah ke rumah. Berapa pun uang yang diterima, Bapak selalu tersenyum tulus. Tak jarang kepalanya menengadah seperti berterima kasih pada Sang Pemilik Rezeki. 

 

“Alhamdulillah, terima kasih, Ya Allah.” Dua lembar uang itu kumasukkan di saku celana. Semangat kian membara setelah menerima upah pertama. 

 

Aku kembali menjajakan jasa pada setiap orang yang keluar dari pasar dan membawa barang banyak. Tarif yang kuberikan seakan tidak berguna karena mereka selalu meminta harga recehan, sisa ongkos ojek atau sisa uang pos katanya. Aku pun memaklumi. Uang mereka pasti sudah habis dipakai untuk belanja. 

 

“Sekalian ngojek ya, Bang?”

 

“Iya, Bu.” 

 

“Kalau gitu pakai jasa Abang aja, ya.”

 

Alhamdulillah. Bergegas aku menyalakan mesin motor dan mengantar salah satu pelanggan. Kuhitung-hitung ibu berhijab hijau lumut ini adalah orang ketujuh yang memesan jasa angkutku.

 

Dari narik sampai menerima orderan hingga jadi jasa angkut, alhamdulillah sampai hari menjelang sore, aku bisa dapat tiga kali lipat dari penghasilan harianku selama ini. “Alhamdulillah, dapat 94 ribu.” Bisa beli beras sekaligus ayam. Anak-anak, Eda, dan Bapak tidak perlu makan tahu dan tempe lagi.

 

Aku pulang membawa tiga liter beras dan sekantong ayam yang sudah dipotong-potong. Radit dan Bapak pasti akan senang, apalagi Eda. Dia juga mungkin sudah bosan menggoreng tempe dan tahu setiap hari. 

 

Setelah motorku berhenti di depan rumah yang gersang dan dipenuhi jemuran Eda, tahu-tahu Bapak merangkak dari dalam rumah sambil tertawa lebar melihatku, memperlihatkan giginya yang sudah rontok, hanya tersisa gusi. 

 

“Di situ aja, Pak! Nggak usah ke sini!” Cepat-cepat aku turun dari motor dan berlari ke teras sebelum Bapak terjatuh. 

 

Bapak berusaha meraihku sambil tertawa-tawa senang. “Au-lang! Lang mu!” 

 

Mungkin artinya ‘sudah pulang! Kamu pulang!’

 

Sejak menemukan Bapak di samping truk sampah, dia sudah tidak bisa berbicara lengkap. Seperti bayi yang baru belajar berbicara, tingkah Bapak pun seperti itu. Kata dokter, mungkin karena trauma atau efek dari penyakit jiwanya. Pikiran Bapak tidak stabil. 

 

Pandangan mataku mampir di lutut Bapak yang lecet. “Loh, ini kenapa, Pak?” Kusentuh lutut Bapak yang tergores dan kotor. 

 

Bapak menggeleng-geleng sambil mengibaskan tangan seperti mengatakan ‘tidak apa-apa’

 

“Kursi roda Bapak ke mana?” Aku berjongkok semakin dekat untuk memeriksa tubuh Bapak. Siku dan lengannya juga lecet. 

 

Bapak membuat gerakan tangan yang random dan tidak kumengerti. Melongokkan kepala ke dalam rumah, aku memanggil Eda berulang kali.  

 

“Da!! Ke sini … kursi roda Bapak ke mana?”

 

Selang beberapa menit, Eda baru keluar dengan wajah masam. “Kenapa sih, Bang? Pulang-pulang bukannya ngucap salam malah teriak-teriak!”

 

“Kursi roda Bapak ke mana? Kok Bapak merangkak begini?”

 

Eda mendecak lalu memutar bola mata tidak peduli. “Udah aku jual!”

 

Spontan aku berdiri, luar biasa terkejut dengan jawaban Eda. “Dijual? Beneran kamu jual?!”

 

“Iya! Kenapa, sih? Heboh banget!”

 

“Itu kursi roda Bapak, Daaa!!”

 

Eda mengurai lipatan tangannya lalu ganti memelototiku. “Mestinya kamu tanya kenapa aku jual, Bang!”

 

Jantungku berdebar kencang. Susah payah aku mengumpulkan uang untuk mengganti uang kursi roda itu. Rasa amarah menguasai hati ini. “Tega banget kamu, Eda. Kamu biarkan Bapak merangkak begini!”

 

Alih-alih minta maaf, Eda malah berkacak pinggang dan semakin menantangku. “Uang listrik sama air udah tiga bulan nunggak, Bang!!” Eda menaikkan tiga jari sambil melotot. “Mpok Nur ngancam bakal nyabut listrik dan meteran air kita kalau nggak dibayar hari ini juga!”

 

Aku terdiam. Mulut ini terkunci rapat-rapat.

 

“Mau gelap-gelapan dan nggak pake air? Duit kontrakan aja ditagih sampai akhir bulan, Baaangg … kalau bulan depan nunggak lagi, kita bakal diusir!” 

 

Allahu akbar. Ujian datang silih berganti. Kulirik kantongan beras dan ayam yang tergeletak begitu saja di lantai, lalu pada Bapak yang planga-plongo menatap kami dari bawah. 

 

“Aku nggak ada pegangan, Bang. Mau pinjam di mana? Nggak ada tetangga yang mau pinjemin.”

 

Pundak ini terasa sangat berat seperti ditimpa batu besar. 

 

“Kursi roda Bapak cuma laku 350 ribu, itu pun aku mesti keliling naik ojek dari satu toko ke toko lain sampai nawarin kursi roda itu di jalanan. Aku ini mohon-mohon sama Mpok Nur buat minjem ongkos ojek untuk nawarin kursi roda itu karena hapemu nggak bisa dihubungi. Sekali-kali hargai jerih payah aku, Bang. Jangan melulu pikirin kenyamanan bapakmu. Aku juga capek, Bang. Sengsara aku selama ini!” Sekujur wajah Eda memerah. Tatapan matanya seperti tersiksa. 

 

Perasaanku bercampur aduk, antara marah, pedih, dan merasa tidak berdaya. Kubelikan Bapak kursi roda bekas, itu pun harus dijual lagi untuk tagihan yang tak mampu aku lunasi. 

 

“Aku ini capeeekk, Bang~ mengurus Fauzi yang rewel, Radit yang minta uang mulu buat jajan, bapak kamu yang mesti disuapin, digantiin popoknya, dijagain. Rumah tiap hari aku beresin. Ya Allah, Bang … tiap hari aku masak nggak pernah absen. Tolong sedikiiittt aja dihargai. Aku ini sudah menemani Abang selama sepuluh tahun, sengsara, miskin, mesti ngurus mertua sejak awal nikah. Kurang apa kesetiaan dan perjuangan Eda, Bang?”

 

Mata Eda memerah. Hidungnya kembang kempis dan napas wanita berumur 34 tahun itu putus-putus. Tetes-tetes keringat jatuh di lehernya. 

 

“Kalau kamu terus mementingkan kenyamanan bapakmu, aku bisa muak, Bang. Lama-lama aku mundur jadi istrimu. Gajimu yang nggak seberapa itu mesti aku pelintir tiap hari sampai otakku ngebul. Jadi, tolong jangan mendikte aku untuk terus mengurus bapakmu.”

 

Aku pun diam, tak lagi sanggup membalas perkataan Eda. Berjongkok kembali dan menggendong Bapak layaknya menggendong anak kami yang masih berusia tujuh bulan. Amarah ini masih bertakhta di hati. Terlebih saat kucium bau pesing dari celana Bapak. Ternyata Bapak tidak memakai popok, Padahal aku sudah memberikan uang agar Eda membelikan popok untuk Bapak. 

 

Bapak kududukkan di lantai kamarnya. Dengan ekspresi kaku, aku menggantikan celana Bapak yang basah, tak peduli jika pakaianku juga ikut berbau. 

 

Padahal selama seharian ini, aku sangat bersemangat dan bersyukur. Namun, dalam sekejap hati ini membara kembali. Rasa marah bergejolak sehingga dadaku terasa panas. Apakah gara-gara Bapak kami jadi seperti ini? 

 

Pikiranku bercampur aduk, mengingat semua perkataan Eda soal Bapak yang pergi meninggalkan kami untuk kemudian menikah lagi. Sebelum aku menemukan Bapak, hidup kami baik-baik saja. Bisa dibilang cukup untuk membayar listrik dan air tiap bulan, juga makan ikan. 

 

Setiap minggu aku membelikan ayam untuk digoreng. Namun, setelah Bapak datang, kecukupan itu merosot. Kami serba kekurangan, sebab Bapak memerlukan obat, popok, dan juga susu. 

 

“Pak, maafkan Amar. Besok kita cari kerabat kita ya, biar Bapak bisa jalan-jalan dan nginap di rumah kerabat kita.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status