Share

5. Kenangan Kecil Bersama Bapak

 “Amar, hari ini jajan ciloknya seribu aja, ya? Yang tiga ribunya kita bawa pulang buat ibu dan adekmu.”

Aku mengangguk. Diriku yang masih kecil dan lugu menuruti omongan Bapak. Usia sepuluh tahun adalah kenangan yang paling banyak kuingat bersama Bapak. Bapak punya kebiasaan. Dia selalu tertawa dengan suara renyah dan lembut lalu mengacak rambutku. 

“Adek umur berapa sih, Pak?” tanyaku. 

“Tiga tahun.”

“Emang udah bisa makan cilok.”

Bapak tertawa lagi. “Bisa. Yang penting jangan pedis-pedis, nanti perutnya meletus kayak gunung merapi.”

Aku tertawa, Bapak pun begitu. Lalu aku bertanya apa itu gunung merapi, seperti apa bentuknya dan kenapa bisa meledak. Bapak menjelaskannya sambil membentuk gunung dengan lengannya. 

Di tepi jalan yang dipenuhi asap kendaraan, kami duduk dengan sepeda Bapak yang berdiri sambil menunggu penumpang. Cuaca tidak begitu panas. Di tanganku ada setusuk cilok yang kecapnya menetes ke kerikil. 

Di sore hari menjelang Maghrib, Bapak mengayuh sepeda untuk membawaku pulang. Kayuhan kaki Bapak pelan dan santai. Bahunya tidak tegang sampai aku nyaman bersandar di punggung pria itu sambil menikmati cahaya senja yang menyinari sepanjang perjalanan kami. 

“Pak, jadi orang dewasa itu enak, ya? Bisa cari duit dan beli jajan cilok setiap hari.”

 

Dengusan tawa Bapak terdengar. Aku ingin cepat-cepat dewasa dan mencari uang seperti Bapak. Setiap hari Bapak punya uang di kantong dan bebas membeli apa saja. 

“Nanti kamu juga bakal tau sendiri gimana rasanya.” 

Waktu itu aku tidak mengerti arti senyuman dan perkataan Bapak. Aku hanya tahu, bahwa menjadi dewasa adalah menjadi kuat dan hebat seperti Bapak. 

“Pak, nanti kalau besar Amar mau jadi kayak Bapak.”

“Jadi ojek sepeda?” Bapak menoleh sebentar lalu kembali fokus ke jalanan. 

“Pokoknya cari uang setiap hari kayak Bapak.”

“Cita-cita itu yang tinggi, Nak. Jangan jadi kayak Bapak. Sekolah yang tinggi, jadi anak pintar, lalu membangun kehidupan kamu sendiri.”

“Emang Bapak sekolahnya nggak tinggi?”

“Bapak sekolahnya paling cuma sebentar. Tau hitung dan baca saja. Kalau sekolah Bapak tinggi, kamu nggak bakal naik sepeda ontel begini. Pasti Bapak boncengin pakai motor atau mobil biar nggak panas-panas.”

“Mobil bisa dipakai buat ngojek juga, Pak?”

Bapak tertawa lagi. Seolah pertanyaanku barusan sangatlah lucu sampai punggungnya bergetar. Kaos Bapak di bagian punggung sudah bolong-bolong. Aku menghitungnya dan menemukan tujuh bolongan kecil. 

“Nanti kalau besar, Amar mau beli mobil terus ajak Bapak jalan-jalan sambil jajan cilok.”

“Hahaha! Aamiinnn! Kalau punya mobil, jangan cuma Bapak yang diajak jalan. Ada anak tetangga atau kenalan dikasih tumpangan juga. Makin banyak rezeki harus makin berguna untuk orang lain. Jangan cuma mau dinikmati sendiri.”

Kami sampai di rumah. Bapak memasukkan sepedanya ke kandang ayam sambil menepuk-nepuk kedua tangan. Nasihat Bapak barusan tidak begitu kuingat sampai aku masuk rumah, mandi, dan tidur sampai bangun di esok hari. Namun, ucapan itu merasuk ke kepala dan dapat kukenang sewaktu-waktu. 

Bapak memberikan bungkusan cilok pada Ibu, juga gulungan uang yang sudah lecek. Unur yang dalam gendongan segera merebut kantong cilok dan antusias hendak memakannya. Tawa Bapak memenuhi rumah yang sempit dan cukup gelap. Tangan Bapak mengusap-usap kepala Unur. 

“Amar udah dapat bagian?” tanya Ibu, yang saat itu kuingat memakai daster biru yang warnanya sudah pudar dan benangnya mencuat di bagian ujung daster. 

“Udah, Bu. Tadi Amar beli cilok setusuk sama wafer.”

“Jangan jajan banyak-banyak. Bapak capek nyari duit buat kita.” Ibu memberiku tatapan tegas, tapi dengan nada suara yang biasa.

 

“Namanya juga anak-anak, maunya jajan terus. Nanti Unur kalau sudah besar mau jajan apa?” Bapak mencubit pelan pipi gembul Unur. 

Unur langsung memberontak ingin melompat ke gendongan Bapak. Bapak segera menghindar. “Bapak belum mandi, masih kotor. Itu ciloknya dihabisin dulu sambil nungguin Bapak mandi.” Bapak menepuk-nepuk kaosnya. “Ayo, Amar. Mandi dulu. Habis itu kerjakan PR-nya.”

“Hari ini kita makan apa, Pak?” 

Bapak menggandengku ke kamar untuk melepas baju kotor kami. “Apa aja yang dimasakin Ibu mesti dimakan.”

“Kalau nggak enak?”

“Mana pernah ibumu masak nggak enak. Kalau nggak enak tetap dimakan. Nggak boleh buang-buang rezeki! Pamali!”

Bapak membantuku membuka baju lalu menggosok punggungku. Kami mandi bersama dengan sederet pertanyaan dariku yang harus Bapak jawab. 

Tidak ada beban saat itu, sebab segalanya ditanggung oleh Bapak. Saat hendak tidur, kulihat Bapak duduk di meja bambu depan rumah dengan segelas kopi dan sebatang rokok dihisap secara pelan-pelan sambil menatap langit-langit malam yang gelap. 

Selalu seperti itu. Setiap malam Bapak selalu duduk di sana dan melakukan hal yang sama. Aku tidak tahu kenapa beliau melakukannya, apa tidak bosan? 

Sekarang aku tahu rasanya. Tempat Bapak aku yang gantikan. Di kursi plastik dan meja kecil sebagai tempat untuk menyimpan gelas kopi dan asbak rokok. Di teras yang sempit, aku memandang langit malam yang gelap gulita tanpa bintang. 

Aku sudah menjadi bapak untuk anakku dan kelak aku tak ingin anakku membuangku pula. Sebab segala hal kecil yang mereka butuhkan, aku akan selalu mengusahakannya. 

Meski hidup berkekurangan, aku ingin tetap bersama mereka. Barangkali itulah yang dirasakan Bapak. 

Kopi hitam yang tinggal seteguk kuhabiskan dan rokok yang sudah pendek kumatikan. Sudah pukul sebelas malam. Orang-orang rumah telah tidur sejak tadi. Aku memperbaiki posisi sarung dan memutuskan masuk. 

Rumah kontrakan yang harga sewanya 600 ribu sebulan ini tampak kusam. Lampu di ruang tengahnya mati dan tidak ada tambahan uang untuk menggantinya. Dua kamar yang hanya ditutupi dengan tirai berwarna hijau yang sudah bulukan kuperiksa satu per satu. 

Eda berbaring miring sambil memeluk Fauzi sambil sesekali menepuk paha Radit. Matanya terpejam, tapi tangannya bergantian mengelus kedua anak kami. Dia melakukannya setiap malam sampai aku merasa Eda punya kekuatan super, bisa tidur sambil memastikan anak-anak kami tertidur pulas. 

Sejujurnya, Eda bukanlah perempuan jahat yang menyuruhku menitipkan Bapak ke sembarang tempat tanpa alasan. 

Eda sudah menemaniku selama sepuluh tahun di masa-masa yang sulit. Mulai dari tinggal di rumah Ibu di awal-awal menikah, Eda pun mesti mengurus Ibu yang sakit-sakitan sedangkan aku mencari nafkah untuk biaya berobat Ibu dan makan kami sehari-hari. 

Eda tidak begitu mengeluh, sebab belum ada anak dan memikirkan betapa banyak Ibu berjasa untuk menyekolahkanku bersama Unur, serta menjual satu-satunya sawah sempit yang kami punya untuk biaya pernikahanku. Setahun kemudian, Ibu meninggal. Rumah peninggalan Ibu dijual untuk membayar utang-utang yang masih tersisa, serta melunasi utang yang Bapak tinggalkan.

Tidak banyak yang tersisa. Aku membaginya dengan Unur. Bagianku lebih besar karena ada Eda bersamaku. Unur pun menerimanya untuk biaya merantau ke kota dan berjuang sendirian. Tak ada sedikit pun yang ditinggalkan oleh Bapak. Kata Eda, Bapak hanya memberi kami kesulitan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status