Beranda / Rumah Tangga / Jika Aku Membuang Bapak / 5. Kenangan Kecil Bersama Bapak

Share

5. Kenangan Kecil Bersama Bapak

Penulis: Mustacis
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-23 05:45:23

 “Amar, hari ini jajan ciloknya seribu aja, ya? Yang tiga ribunya kita bawa pulang buat ibu dan adekmu.”

Aku mengangguk. Diriku yang masih kecil dan lugu menuruti omongan Bapak. Usia sepuluh tahun adalah kenangan yang paling banyak kuingat bersama Bapak. Bapak punya kebiasaan. Dia selalu tertawa dengan suara renyah dan lembut lalu mengacak rambutku. 

“Adek umur berapa sih, Pak?” tanyaku. 

“Tiga tahun.”

“Emang udah bisa makan cilok.”

Bapak tertawa lagi. “Bisa. Yang penting jangan pedis-pedis, nanti perutnya meletus kayak gunung merapi.”

Aku tertawa, Bapak pun begitu. Lalu aku bertanya apa itu gunung merapi, seperti apa bentuknya dan kenapa bisa meledak. Bapak menjelaskannya sambil membentuk gunung dengan lengannya. 

Di tepi jalan yang dipenuhi asap kendaraan, kami duduk dengan sepeda Bapak yang berdiri sambil menunggu penumpang. Cuaca tidak begitu panas. Di tanganku ada setusuk cilok yang kecapnya menetes ke kerikil. 

Di sore hari menjelang Maghrib, Bapak mengayuh sepeda untuk membawaku pulang. Kayuhan kaki Bapak pelan dan santai. Bahunya tidak tegang sampai aku nyaman bersandar di punggung pria itu sambil menikmati cahaya senja yang menyinari sepanjang perjalanan kami. 

“Pak, jadi orang dewasa itu enak, ya? Bisa cari duit dan beli jajan cilok setiap hari.”

 

Dengusan tawa Bapak terdengar. Aku ingin cepat-cepat dewasa dan mencari uang seperti Bapak. Setiap hari Bapak punya uang di kantong dan bebas membeli apa saja. 

“Nanti kamu juga bakal tau sendiri gimana rasanya.” 

Waktu itu aku tidak mengerti arti senyuman dan perkataan Bapak. Aku hanya tahu, bahwa menjadi dewasa adalah menjadi kuat dan hebat seperti Bapak. 

“Pak, nanti kalau besar Amar mau jadi kayak Bapak.”

“Jadi ojek sepeda?” Bapak menoleh sebentar lalu kembali fokus ke jalanan. 

“Pokoknya cari uang setiap hari kayak Bapak.”

“Cita-cita itu yang tinggi, Nak. Jangan jadi kayak Bapak. Sekolah yang tinggi, jadi anak pintar, lalu membangun kehidupan kamu sendiri.”

“Emang Bapak sekolahnya nggak tinggi?”

“Bapak sekolahnya paling cuma sebentar. Tau hitung dan baca saja. Kalau sekolah Bapak tinggi, kamu nggak bakal naik sepeda ontel begini. Pasti Bapak boncengin pakai motor atau mobil biar nggak panas-panas.”

“Mobil bisa dipakai buat ngojek juga, Pak?”

Bapak tertawa lagi. Seolah pertanyaanku barusan sangatlah lucu sampai punggungnya bergetar. Kaos Bapak di bagian punggung sudah bolong-bolong. Aku menghitungnya dan menemukan tujuh bolongan kecil. 

“Nanti kalau besar, Amar mau beli mobil terus ajak Bapak jalan-jalan sambil jajan cilok.”

“Hahaha! Aamiinnn! Kalau punya mobil, jangan cuma Bapak yang diajak jalan. Ada anak tetangga atau kenalan dikasih tumpangan juga. Makin banyak rezeki harus makin berguna untuk orang lain. Jangan cuma mau dinikmati sendiri.”

Kami sampai di rumah. Bapak memasukkan sepedanya ke kandang ayam sambil menepuk-nepuk kedua tangan. Nasihat Bapak barusan tidak begitu kuingat sampai aku masuk rumah, mandi, dan tidur sampai bangun di esok hari. Namun, ucapan itu merasuk ke kepala dan dapat kukenang sewaktu-waktu. 

Bapak memberikan bungkusan cilok pada Ibu, juga gulungan uang yang sudah lecek. Unur yang dalam gendongan segera merebut kantong cilok dan antusias hendak memakannya. Tawa Bapak memenuhi rumah yang sempit dan cukup gelap. Tangan Bapak mengusap-usap kepala Unur. 

“Amar udah dapat bagian?” tanya Ibu, yang saat itu kuingat memakai daster biru yang warnanya sudah pudar dan benangnya mencuat di bagian ujung daster. 

“Udah, Bu. Tadi Amar beli cilok setusuk sama wafer.”

“Jangan jajan banyak-banyak. Bapak capek nyari duit buat kita.” Ibu memberiku tatapan tegas, tapi dengan nada suara yang biasa.

 

“Namanya juga anak-anak, maunya jajan terus. Nanti Unur kalau sudah besar mau jajan apa?” Bapak mencubit pelan pipi gembul Unur. 

Unur langsung memberontak ingin melompat ke gendongan Bapak. Bapak segera menghindar. “Bapak belum mandi, masih kotor. Itu ciloknya dihabisin dulu sambil nungguin Bapak mandi.” Bapak menepuk-nepuk kaosnya. “Ayo, Amar. Mandi dulu. Habis itu kerjakan PR-nya.”

“Hari ini kita makan apa, Pak?” 

Bapak menggandengku ke kamar untuk melepas baju kotor kami. “Apa aja yang dimasakin Ibu mesti dimakan.”

“Kalau nggak enak?”

“Mana pernah ibumu masak nggak enak. Kalau nggak enak tetap dimakan. Nggak boleh buang-buang rezeki! Pamali!”

Bapak membantuku membuka baju lalu menggosok punggungku. Kami mandi bersama dengan sederet pertanyaan dariku yang harus Bapak jawab. 

Tidak ada beban saat itu, sebab segalanya ditanggung oleh Bapak. Saat hendak tidur, kulihat Bapak duduk di meja bambu depan rumah dengan segelas kopi dan sebatang rokok dihisap secara pelan-pelan sambil menatap langit-langit malam yang gelap. 

Selalu seperti itu. Setiap malam Bapak selalu duduk di sana dan melakukan hal yang sama. Aku tidak tahu kenapa beliau melakukannya, apa tidak bosan? 

Sekarang aku tahu rasanya. Tempat Bapak aku yang gantikan. Di kursi plastik dan meja kecil sebagai tempat untuk menyimpan gelas kopi dan asbak rokok. Di teras yang sempit, aku memandang langit malam yang gelap gulita tanpa bintang. 

Aku sudah menjadi bapak untuk anakku dan kelak aku tak ingin anakku membuangku pula. Sebab segala hal kecil yang mereka butuhkan, aku akan selalu mengusahakannya. 

Meski hidup berkekurangan, aku ingin tetap bersama mereka. Barangkali itulah yang dirasakan Bapak. 

Kopi hitam yang tinggal seteguk kuhabiskan dan rokok yang sudah pendek kumatikan. Sudah pukul sebelas malam. Orang-orang rumah telah tidur sejak tadi. Aku memperbaiki posisi sarung dan memutuskan masuk. 

Rumah kontrakan yang harga sewanya 600 ribu sebulan ini tampak kusam. Lampu di ruang tengahnya mati dan tidak ada tambahan uang untuk menggantinya. Dua kamar yang hanya ditutupi dengan tirai berwarna hijau yang sudah bulukan kuperiksa satu per satu. 

Eda berbaring miring sambil memeluk Fauzi sambil sesekali menepuk paha Radit. Matanya terpejam, tapi tangannya bergantian mengelus kedua anak kami. Dia melakukannya setiap malam sampai aku merasa Eda punya kekuatan super, bisa tidur sambil memastikan anak-anak kami tertidur pulas. 

Sejujurnya, Eda bukanlah perempuan jahat yang menyuruhku menitipkan Bapak ke sembarang tempat tanpa alasan. 

Eda sudah menemaniku selama sepuluh tahun di masa-masa yang sulit. Mulai dari tinggal di rumah Ibu di awal-awal menikah, Eda pun mesti mengurus Ibu yang sakit-sakitan sedangkan aku mencari nafkah untuk biaya berobat Ibu dan makan kami sehari-hari. 

Eda tidak begitu mengeluh, sebab belum ada anak dan memikirkan betapa banyak Ibu berjasa untuk menyekolahkanku bersama Unur, serta menjual satu-satunya sawah sempit yang kami punya untuk biaya pernikahanku. Setahun kemudian, Ibu meninggal. Rumah peninggalan Ibu dijual untuk membayar utang-utang yang masih tersisa, serta melunasi utang yang Bapak tinggalkan.

Tidak banyak yang tersisa. Aku membaginya dengan Unur. Bagianku lebih besar karena ada Eda bersamaku. Unur pun menerimanya untuk biaya merantau ke kota dan berjuang sendirian. Tak ada sedikit pun yang ditinggalkan oleh Bapak. Kata Eda, Bapak hanya memberi kami kesulitan. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jika Aku Membuang Bapak   Penutup

    Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai

  • Jika Aku Membuang Bapak   27. Diary Bapak (End)

    5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.

  • Jika Aku Membuang Bapak   26. Amanat Terakhir Bapak

    Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.

  • Jika Aku Membuang Bapak   25. Pergi Jalan Senja

    Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau

  • Jika Aku Membuang Bapak   24. Bapak Sudah Sembuh

    Pukul empat pagi. Bapak mengerang kesakitan. Kami memutuskan bermalam karena Bapak tak mau pulang ke kosan. Unur pun ikut bermalam. Aku yang tidur bersama Bapak langsung terbangun. Bapak muntah hebat. Membasahi kasur tipis lusuh yang seprainya sudah menguning. Kugendong Bapak dengan panik sambil berteriak memanggil Eda dan Unur. Tak lama kemudian, Eda dan Unur berlarian dari kamar.Eda menggendong Faiz yang menangis keras, sementara Unur ikut panik. Ada ketakutan yang sangat dari bias matanya. “Bawa ke rumah sakit, Bang! Aku pesankan taksi.” Unur-lah yang mempersiapkan segala keperluan Bapak karena Eda kewalahan menenangkan anak bungsu kami. Subuh yang dipenuhi tangisan dan erangan itu terasa sangat ramai sampai sebuah taksi datang. Aku dan Unur masuk sementara Eda tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Setelah ditangani di rumah sakit, Bapak dipindahkan ke ruang ICU. Selang infus dan selang lainnya terpasang di tubuhnya yang kian ringkih. Bapak bahkan tak punya tenaga lagi untuk

  • Jika Aku Membuang Bapak   23. Anak Gadis yang Menemukan Kembali Pahlawannya

    ‘Unur, Abang diundang ke televisi sama Bapak. Tolong ditonton, ya.’Pesan itu kukirimkan untuk Unur yang sudah kembali ke Jerman selepas kedatangannya malam itu. Aku berharap ia berusaha menontonnya. Aku dengar semua acara TV bisa ditonton di Metube. Berbeda denganku yang merasa tegang, Bapak tampak senang dalam balutan baju batik yang rapi. Matanya berbinar-binar melihat beberapa kamera yang sudah bersiap merekam kami. Di sampingku ada Eda dan anak-anak serta Aziz dan Parwo yang sejak tadi mendampingi kami.“Jangan gugup, Mar. Nanti kau kelihatan kayak orang sawan. Santai,” ucap Parwo yang malah memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang super rapi. “Lu mau tampil juga, Wo?” tanya Aziz yang memakai jaket ojeknya seperti biasanya. Dia lebih santai daripada kami semua. “Yang diundang ‘kan si Amar, Ziz, tapi mana tahu aku disorot juga.” Parwo memamerkan senyum penuh harapannya. “Yok siap-siap! Satu menit lagi mulai!” Suara teriakan salah satu kru membuat kami semua terlonjak. A

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status