“Amar, hari ini jajan ciloknya seribu aja, ya? Yang tiga ribunya kita bawa pulang buat ibu dan adekmu.”
Aku mengangguk. Diriku yang masih kecil dan lugu menuruti omongan Bapak. Usia sepuluh tahun adalah kenangan yang paling banyak kuingat bersama Bapak. Bapak punya kebiasaan. Dia selalu tertawa dengan suara renyah dan lembut lalu mengacak rambutku.
“Adek umur berapa sih, Pak?” tanyaku.
“Tiga tahun.”
“Emang udah bisa makan cilok.”
Bapak tertawa lagi. “Bisa. Yang penting jangan pedis-pedis, nanti perutnya meletus kayak gunung merapi.”
Aku tertawa, Bapak pun begitu. Lalu aku bertanya apa itu gunung merapi, seperti apa bentuknya dan kenapa bisa meledak. Bapak menjelaskannya sambil membentuk gunung dengan lengannya.
Di tepi jalan yang dipenuhi asap kendaraan, kami duduk dengan sepeda Bapak yang berdiri sambil menunggu penumpang. Cuaca tidak begitu panas. Di tanganku ada setusuk cilok yang kecapnya menetes ke kerikil.
Di sore hari menjelang Maghrib, Bapak mengayuh sepeda untuk membawaku pulang. Kayuhan kaki Bapak pelan dan santai. Bahunya tidak tegang sampai aku nyaman bersandar di punggung pria itu sambil menikmati cahaya senja yang menyinari sepanjang perjalanan kami.
“Pak, jadi orang dewasa itu enak, ya? Bisa cari duit dan beli jajan cilok setiap hari.”
Dengusan tawa Bapak terdengar. Aku ingin cepat-cepat dewasa dan mencari uang seperti Bapak. Setiap hari Bapak punya uang di kantong dan bebas membeli apa saja.“Nanti kamu juga bakal tau sendiri gimana rasanya.”
Waktu itu aku tidak mengerti arti senyuman dan perkataan Bapak. Aku hanya tahu, bahwa menjadi dewasa adalah menjadi kuat dan hebat seperti Bapak.
“Pak, nanti kalau besar Amar mau jadi kayak Bapak.”
“Jadi ojek sepeda?” Bapak menoleh sebentar lalu kembali fokus ke jalanan.
“Pokoknya cari uang setiap hari kayak Bapak.”
“Cita-cita itu yang tinggi, Nak. Jangan jadi kayak Bapak. Sekolah yang tinggi, jadi anak pintar, lalu membangun kehidupan kamu sendiri.”
“Emang Bapak sekolahnya nggak tinggi?”
“Bapak sekolahnya paling cuma sebentar. Tau hitung dan baca saja. Kalau sekolah Bapak tinggi, kamu nggak bakal naik sepeda ontel begini. Pasti Bapak boncengin pakai motor atau mobil biar nggak panas-panas.”
“Mobil bisa dipakai buat ngojek juga, Pak?”
Bapak tertawa lagi. Seolah pertanyaanku barusan sangatlah lucu sampai punggungnya bergetar. Kaos Bapak di bagian punggung sudah bolong-bolong. Aku menghitungnya dan menemukan tujuh bolongan kecil.
“Nanti kalau besar, Amar mau beli mobil terus ajak Bapak jalan-jalan sambil jajan cilok.”
“Hahaha! Aamiinnn! Kalau punya mobil, jangan cuma Bapak yang diajak jalan. Ada anak tetangga atau kenalan dikasih tumpangan juga. Makin banyak rezeki harus makin berguna untuk orang lain. Jangan cuma mau dinikmati sendiri.”
Kami sampai di rumah. Bapak memasukkan sepedanya ke kandang ayam sambil menepuk-nepuk kedua tangan. Nasihat Bapak barusan tidak begitu kuingat sampai aku masuk rumah, mandi, dan tidur sampai bangun di esok hari. Namun, ucapan itu merasuk ke kepala dan dapat kukenang sewaktu-waktu.
Bapak memberikan bungkusan cilok pada Ibu, juga gulungan uang yang sudah lecek. Unur yang dalam gendongan segera merebut kantong cilok dan antusias hendak memakannya. Tawa Bapak memenuhi rumah yang sempit dan cukup gelap. Tangan Bapak mengusap-usap kepala Unur.
“Amar udah dapat bagian?” tanya Ibu, yang saat itu kuingat memakai daster biru yang warnanya sudah pudar dan benangnya mencuat di bagian ujung daster.
“Udah, Bu. Tadi Amar beli cilok setusuk sama wafer.”
“Jangan jajan banyak-banyak. Bapak capek nyari duit buat kita.” Ibu memberiku tatapan tegas, tapi dengan nada suara yang biasa.
“Namanya juga anak-anak, maunya jajan terus. Nanti Unur kalau sudah besar mau jajan apa?” Bapak mencubit pelan pipi gembul Unur.Unur langsung memberontak ingin melompat ke gendongan Bapak. Bapak segera menghindar. “Bapak belum mandi, masih kotor. Itu ciloknya dihabisin dulu sambil nungguin Bapak mandi.” Bapak menepuk-nepuk kaosnya. “Ayo, Amar. Mandi dulu. Habis itu kerjakan PR-nya.”
“Hari ini kita makan apa, Pak?”
Bapak menggandengku ke kamar untuk melepas baju kotor kami. “Apa aja yang dimasakin Ibu mesti dimakan.”
“Kalau nggak enak?”
“Mana pernah ibumu masak nggak enak. Kalau nggak enak tetap dimakan. Nggak boleh buang-buang rezeki! Pamali!”
Bapak membantuku membuka baju lalu menggosok punggungku. Kami mandi bersama dengan sederet pertanyaan dariku yang harus Bapak jawab.
Tidak ada beban saat itu, sebab segalanya ditanggung oleh Bapak. Saat hendak tidur, kulihat Bapak duduk di meja bambu depan rumah dengan segelas kopi dan sebatang rokok dihisap secara pelan-pelan sambil menatap langit-langit malam yang gelap.
Selalu seperti itu. Setiap malam Bapak selalu duduk di sana dan melakukan hal yang sama. Aku tidak tahu kenapa beliau melakukannya, apa tidak bosan?
Sekarang aku tahu rasanya. Tempat Bapak aku yang gantikan. Di kursi plastik dan meja kecil sebagai tempat untuk menyimpan gelas kopi dan asbak rokok. Di teras yang sempit, aku memandang langit malam yang gelap gulita tanpa bintang.
Aku sudah menjadi bapak untuk anakku dan kelak aku tak ingin anakku membuangku pula. Sebab segala hal kecil yang mereka butuhkan, aku akan selalu mengusahakannya.
Meski hidup berkekurangan, aku ingin tetap bersama mereka. Barangkali itulah yang dirasakan Bapak.
Kopi hitam yang tinggal seteguk kuhabiskan dan rokok yang sudah pendek kumatikan. Sudah pukul sebelas malam. Orang-orang rumah telah tidur sejak tadi. Aku memperbaiki posisi sarung dan memutuskan masuk.
Rumah kontrakan yang harga sewanya 600 ribu sebulan ini tampak kusam. Lampu di ruang tengahnya mati dan tidak ada tambahan uang untuk menggantinya. Dua kamar yang hanya ditutupi dengan tirai berwarna hijau yang sudah bulukan kuperiksa satu per satu.
Eda berbaring miring sambil memeluk Fauzi sambil sesekali menepuk paha Radit. Matanya terpejam, tapi tangannya bergantian mengelus kedua anak kami. Dia melakukannya setiap malam sampai aku merasa Eda punya kekuatan super, bisa tidur sambil memastikan anak-anak kami tertidur pulas.
Sejujurnya, Eda bukanlah perempuan jahat yang menyuruhku menitipkan Bapak ke sembarang tempat tanpa alasan.
Eda sudah menemaniku selama sepuluh tahun di masa-masa yang sulit. Mulai dari tinggal di rumah Ibu di awal-awal menikah, Eda pun mesti mengurus Ibu yang sakit-sakitan sedangkan aku mencari nafkah untuk biaya berobat Ibu dan makan kami sehari-hari.
Eda tidak begitu mengeluh, sebab belum ada anak dan memikirkan betapa banyak Ibu berjasa untuk menyekolahkanku bersama Unur, serta menjual satu-satunya sawah sempit yang kami punya untuk biaya pernikahanku. Setahun kemudian, Ibu meninggal. Rumah peninggalan Ibu dijual untuk membayar utang-utang yang masih tersisa, serta melunasi utang yang Bapak tinggalkan.Tidak banyak yang tersisa. Aku membaginya dengan Unur. Bagianku lebih besar karena ada Eda bersamaku. Unur pun menerimanya untuk biaya merantau ke kota dan berjuang sendirian. Tak ada sedikit pun yang ditinggalkan oleh Bapak. Kata Eda, Bapak hanya memberi kami kesulitan.
Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain.Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu.Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan.Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak.
“Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.”Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku.Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.”Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?”“Kalau segini goceng bisa, Bu.”“Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.”Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada t
Motor yang sudah butut ini mengelilingi jalan poros, masuk ke gang-gang, dan mencari alamat sana-sini. Aku hanya mengandalkan ingatan puluhan tahun yang lalu soal letak rumah kerabat-kerabat Bapak yang dulu sering meminjam uang dan tidak dikembalikan.Sarung yang kuikat di punggung agar Bapak tidak terjatuh kulepas lalu membantunya turun dari motor. Kugendong Bapak di punggung lalu menyusuri lorong perumahan yang bersih. Setiap rumahnya bercat hijau dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Sepertinya kerabat Bapak hidup sangat layak setelah memanfaatkan semua tabungan Bapak.Sambil menenteng tas berisi pakaian Bapak, aku mengingat-ingat nomor rumah Bik Ntun, salah satu sepupu jauh Bapak yang dulu meminjam uang cukup banyak. Aku bisa menitipkan Bapak dengan jaminan utang itu. Mudah-mudahan Bik Ntun masih tinggal di sekitar sini.“Permisi, Bu!” Aku melihat gerombolan i
“Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna. “Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka. “Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.” Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”“Mem
Aku tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bapak selama ini. Jantungku berdenyut keras, dipenuhi harapan yang sangat besar, bahwa Bapak bisa sembuh. Bapak akan kembali sehat seperti dulu.Langsung kuambil tangan Bapak dan menggenggamnya erat. “Bapak bilang apa tadi?”“Pha pha!” Bapak membuka dan menutup bibirnya dengan keras sampai mengeluarkan bunyi letusan-letusan kecil.Aku semakin antusias meski kali ini Bapak bermain-main. “Pak, ayo kita ke rumah sakit. Kita bilang ke dokter kalau Bapak sudah bisa bicara.”“Jangan lebay kamu, Bang. Bapak itu cuma asal ngeluarin suara. Mau habis-habisin duit beli obat lagi? Bensin kamu kepenuhan?!” Eda berkacak pinggang.Semangatku merosot seketika. “Beli obat untuk Bapak
Setelah meninggalkan toko, aku kepikiran ucapan Pak Nurman. Selama ini Bapak tidak pernah meminta sesuatu padaku. Apa pun yang kubawakan untuknya, senyum Bapak selalu lebar layaknya anak kecil yang menerima mainan baru.Dalam perjalanan pulang, aku menoleh ke sana kemari. Apa yang bisa kubawakan untuk Bapak? Ini hari ulang tahunnya. Meski hanya hadiah kecil, aku ingin melihat tawa Bapak yang lebar.Mataku menangkap seorang anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, membawa banyak topi dalam gantungan kecil. Beberapa tergantung di leher dan pundaknya.Aku menepikan motor. “Topinya berapa, Dek?”Anak laki-laki kecil berkaos gombrong yang kerahnya sudah robek-robek itu menatapku polos. “Sepuluh ribu, Bang.” Suaranya cempreng. Kutaksir usianya sepantaran Radit.Apa dia tidak bersekolah?&l
Hari ini aku keluar subuh-subuh ke pasar, mendatangi beberapa pedagang yang sedang mengangkat barang mereka untuk dijual hari ini. Aku menawarkan diri untuk membantu.“Ini, Mas. Nggak banyak. Sebenarnya kita ada pegawai, kok.” Pemilik toko retail di tengah pasar itu memberiku uang 30 ribu. Aku tahu dia hanya kasihan saat menerima tawaranku karena memang anak buahnya banyak.“Ah, iya. Makasih ya, Pak.”“Iya sama-sama, Mas.”Pundakku ditepuk sekali. Aku menatap dua lembar uang itu dengan penuh rasa syukur. Tak membuang waktu, aku kembali berlari dan membantu pedagang sayuran yang sedang mengangkat beberapa keranjang besar sendirian.“Saya bantu ya, Pak!”“Oh iya, Mas. Kebetulan saya se
Pagi-pagi sekali aku membawa Bapak keluar rumah. Mengaitkan kain agar Bapak tidak terjatuh dari motor. Semilir angin pagi yang dingin membuatku khawatir Bapak akan masuk angin. Tapi apa mau dikata? Ini adalah satu-satunya jalan yang mampu kupikirkan. Aku akan rutin menengok Bapak dan menyisihkan uang. Dengan begitu, Bapak tidak akan mendengar omelan Eda dan melihat ekspresi tertekanku setiap hari. Ya, aku melakukannya demi Bapak. Atau … untuk diriku sendiri. Bangunan kecil di depan sana membuatku berkali-kali mengembuskan napas berat, seolah yang kuembuskan bukanlah udara, melainkan batu. Bapak aku gendong memasuki panti jompo dengan palang nama bertuliskan ‘Panti Tua’. Namanya menggambarkan bentuk bangunan yang sudah tua dengan cat mengelupas dan para penghuni yang ada di dalamnya. Lobi terasa kosong dan temaram. “Assalamu’alaikum, Mbak.” Petugas berhijab putih yang ada di balik meja tua menjawab salam dan menanyakan apa yang bisa dia lakukan untukku. “Saya ingin Bapak saya