Share

Bab 4 JDYT

Author: Pena_Zahra
last update Last Updated: 2023-07-23 10:02:40

Bab 4

Aina POV

Malam semakin larut, sementara aku tak kunjung mendapatkan tempat untuk bermalam. Sudah tiga malam lamanya aku menggelandang. Mata tak bisa terpejam, karena tak adanya tempat untuk sekedar merebahkan tubuh dan memejamkan mata.

Beruntung uang peganganku masih bisa digunakan untuk makan, sedikitnya dua kali dalam sehari, sehingga sumber energi dan gizi untuk diriku dan janin dalam kandunganku masih terpenuhi selama tiga hari ini.

Sejak keluar dari rumah, aku merasa benar-benar sendiri. Bukan aku tidak memiliki kerabat, aku mengenal beberapa saudara dari pihak abah maupun ummi yang tinggal tak jauh dari rumah, akan tetapi aku berpikir dua kali untuk menumpang di rumah mereka. Aku tak ingin membuat abah dan ummi semakin malu kalau sampai keluarga besarnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku. Lagipula, aku pun tak cukup punya muka jika sampai aibku tersebar ke mana-mana.

Sempat terbesit dalam pikiranku untuk singgah di pesantren tempatku menimba ilmu, setidaknya sebagai alumni fresh graduation, aksesku untuk menginap di pesantren masih sangat mudah. Aku masih banyak mengenal junior-junior di sana, juga dekat dengan beberapa ustadzah yang dulunya adalah teman-teman seniorku.

Tapi aku mengurungkan niat, aku merasa kotor, tubuh ini sudah ternoda, penuh dengan dosa, sehingga tak pantas menginjakkan kaki di sana. Pesantren adalah tempat yang suci, tempat orang-orang yang bersih. Bukan orang kotor sepertiku.

Aku tertawa getir, menertawai nasibku sendiri. Menangis dan meratap sudah tak kulakukan lagi. Aku sudah bosan dengan tangisan dan ratapan, semua hanya akan semakin menyiksaku, dan membuatku semakin terpuruk.

Air mata ini rasanya sudah kering, sekering hatiku yang tak lagi dialiri cinta dan kasih, bahkan dari orang tuaku sendiri.

Miris memang, seorang Aina, yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk menimba ilmu di pesantren atas kemauan abahnya, harus terbuang dan berujung menggelandang layaknya sampah yang tiada harganya. Tapi inilah kenyataan, sekuat apapun aku menampiknya, tetap saja jalan ini yang harus kutempuh.

Kuhembuskan nafas, berharap sesak dalam dada ini berangsur membaik, namun bukannya membaik, yang kurasakan justru semakin sesak.

Ya Tuhan ... Ke mana lagi aku harus pergi? Rasanya segala upaya sudah kulakukan, tapi aku tak kunjung mendapatkan hasilnya. Apakah memang seperti ini nasib seorang hamba yang kotor? Bahkan saat meminta sesuatu pun Tuhan seperti enggan mengabulkannya.

Aku membatin sambil terus menyusuri jalanan Surabaya yang seolah tak bertepi. Berjalan tanpa tujuan yang pasti. Aku lelah, namun aku tak tahu di mana aku harus berhenti.

Beberapa kali kurasakan kram dalam perutku akibat berjalan terlalu jauh, namun aku berusaha menahannya. Sesekali berhenti untuk beristirahat sejenak, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

"Ojek, Mbak?" Suara seseorang mengejutkanku, dan aku baru menyadari, bahwa aku baru saja melintas di depan pangkalan ojek.

"Mboten, Pak!" Aku menolak tawarannya, dengan tetap berusaha terlihat ramah.

"Mau ke mana, Mbake? Nggak apa-apa, ayo tak anter, harga miring wes!" Kang ojek tersebut masih merayu, kulihat mereka hanya tinggal bertiga, ia bahkan menawarkan diskon, mungkin karena kondisi hari yang mulai larut.

"Mboten, Pak, matur nuwun." Aku menolak sekali lagi. Aku memang tak membutuhkan jasanya, bahkan aku tak tahu ke mana tujuanku saat ini.

Kudengar ia bergumam dan berbicara dengan ketiga temannya, namun aku tak lagi menghiraukannya.

Aku terus berjalan, memasuki gang-gang perkampungan. Tampak sepi, karena hari sudah cukup larut malam, saatnya semua orang terlelap dalam tidurnya.

Rasa kram di perut kembali mengganggu, kuputuskan untuk duduk di depan sebuah toko yang tertutup, memanfaatkan tumpukan kardus di depannya sebagai alas untuk duduk. Begitulah rutinitas yang selalu kulakukan selama tiga hari belakangan.

Kusandarkan punggung di tembok, memberikan sentuhan di perut yang masih rata, kukatakan pada janin yang baru memulai kehidupan di sana.

"Kamu harus kuat, Nak, setidaknya hanya kaulah yang kumiliki saat ini. Kau harus bertahan, dan menjemput nasib yang lebih baik dari ini." Aku berharap layaknya seorang ibu pada umumnya, namun di detik berikutnya aku tertawa. Menertawai diriku sendiri.

Aneh, bahkan untuk mengurus hidupku sendiri saja aku tak mampu, tapi dengan percaya dirinya aku memberikan kekuatan untuk janin dalam rahimku. Bagaimana jika ia terlahir dan kondisiku masih seperti ini? Bukankah ia akan semakin menderita?

Kuremas perut sebagai ungkapan kekecewaan terhadap diriku sendiri, betapa aku tak berdaya sebagai seorang ibu?

Kupejamkan mata sejenak, kemudian menghela nafas panjang dan kembali menghembuskannya melalui mulut. Setidaknya hal itu cukup mengurangi rasa kram di perut.

Kurogoh saku, mengambil selembar uang berwarna hijau, lembar uang terakhir yang tersisa di sana.

Kubuka lembar tersebut, kemudian memandanginya, uang ini, hanya cukup untuk sarapan besok pagi, paling hemat cuma cukup untuk makan seharian. Pagi dan malam. Terus selanjutnya aku harus makan apa?

Apa lagi yang harus kulakukan? Pekerjaan apa yang bisa kujalankan untuk menyambung hidup? Aku mulai kebingungan. Rasanya segala cara telah kucoba namun tak kunjung kudapatkan hasilnya. Haruskah aku menyerah?

"Permisi, Dek ...." Suara seorang wanita muda berpakaian serba terbuka menyapaku. Ia mengenakan rok mini sepaha, juga tank top yang memperlihatkan belahan kedua buah kenikmatannya.

"Ya, Mbak?" Aku menjawab sapaannya, berusaha untuk tetap ramah.

"Kamu kenapa?" Wanita itu bertanya dengan raut heran, ia memandangiku dari atas ke bawah, seolah tengah mencari jawaban atas pertanyaannya.

"Ehm ... saya lagi menempuh perjalanan, Mbak, di sini hanya numpang istirahat sebentar aja," jawabku sekenanya, mungkin terkesan tak nyambung dengan pertanyaannya, entahlah, belakangan ini aku kesulitan mendapatkan fokusku.

"Ehm ... kamu terlihat lelah dan lusuh. Kamu pergi dari rumah, ya?" tebaknya membuatku terhenyak. Aku bingung, bagaimana mungkin wanita di hadapanku ini mengetahui kondisiku? Cenayang kah ia?

"Kamu nggak usah bingung Mbak tahu dari mana. Mbak ini sudah kenyang ngerasain hidup di jalanan, jadi ya ... paham lah dengan kondisi kamu saat ini." Seolah mengetahui kebingunganku, ia pun menjelaskannya.

Wanita itu menunjukkan perhatiannya padaku, walau ia terlihat tak nyaman berada di dekatku, ia terus menarik-narik rok mininya untuk menutupi paha yang terbuka, mungkin merasa risih karena ia sedang berhadapan denganku yang berpenampilan lengkap layaknya seorang ustadzah.

Aku tersenyum tipis sebagai jawaban, kemudian termenung, kurasa, tak ada lagi yang perlu kujelaskan.

Wanita itu balas tersenyum, "Kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku malam ini. Kamu boleh tinggal dan istirahat di tempatku. Tapi mungkin hanya malam ini. Karena untuk besok dan seterusnya, tempatku nggak akan aman untukmu, bagaimana?" tawarnya padaku, mbak-mbak itu terlihat tulus.

"Ehm ... Nggak usah, Mbak, terima kasih." Aku menolak halus. Bukan maksudku tak menghargai penawarannya, akan tetapi aku merasa tak enak hati. Dia orang asing, bahkan kami tak saling mengenal sebelumnya.

"Nggak apa-apa, nggak usah sungkan, Dek. Dari pada kamu bermalam di sini, kan? Nggak baik menolak rizki, mumpung ada yang bersedia menumpangi, lho!" Dia merayuku, bahkan mengakrabkan diri dengan memanggilku menggunakan sebutan 'Dek'.

Aku menimbang, sepertinya tak ada salahnya menerima penawarannya. Tubuh ini rasanya sudah tak tahan lagi, ingin segera menemukan tempat untuk berbaring dan memejamkan mata, setidaknya untuk malam ini. Tiga hari hidup luntang-luntung di luar membuatku benar-benar merasa lelah.

"Maaf, Mbak, apa tidak merepotkan?"tanyaku masih merasa tak enak hati.

"Nggak, sama sekali nggak repot kok, Kebetulan di rumahku ada kamar kosong. Udah nggak usah sungkan, ayo ikut!" Dia meraih tanganku, dan aku mengikutinya.

Kami berjalan menyusuri gang ke arah jalan raya, kira-kira sekitar 500 meter. Tak banyak yang kita bicarakan, kita hanya saling berkenalan, Mbak Tasya, itulah namanya. Tak ada basa-basi di antara kami, ia tak banyak bertanya, begitupun denganku.

Sesampainya di jalan raya, ia menghentikan sebuah taxi. Kami menaiki taksi tersebut. Kemudian sang sopir bertanya, "mau ke mana, Mbak?"

"Ke gang Dolly ya, Pak," jawabnya seraya merapikan penampilan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jiwa Dara yang Terkoyak   Bab 33 - EPILOG

    Awan meredup tatkala tanah mulai menimbun raga Aina yang tak lagi bernyawa, seolah bumi tak rela ditinggalkan salah satu penghuni terbaiknya.Mendung yang sama juga menebal dan menggelap di mata suami Aina. Kelopak mata indah itu sejak tadi bekerja keras untuk membendung air yang berdesak-desakan ingin ditumpahkan dari sana. Berkali-kali Arsen menengadahkan wajahnya ke langit, menahan agar air matanya tak sampai jatuh membasahi tanah kubur sang istri."Ikhlaskan, Arsen ... ikhlaskan!" gumamnya menguatkan diri sendiri, kemudian lanjut mengayun cangkul untuk mengubur jasad Aina. Ia sengaja ingin ikut serta di dalam step by step prosesi pemakaman Aina. Mulai dari memandikan, mengkafani, mengantar jenazah, hingga menguburkan, dia selalu turut serta, dibantu orang-orang yang bertugas.Di sisi kiri liang lahat, ustadz Sofyan tergugu di atas kursi rodanya. Kabar tentang kematian putrinya benar-benar mengguncang jiwanya. Belum kering rasanya air mata kesedihan ata

  • Jiwa Dara yang Terkoyak   Bab 32 JDYT

    "Kalau sekarang Mas Arsen bertanya apakah Aina bahagia? maka Aina akan menjawab, iya, Aina sangat bahagia. Bahkan saat ini Aina berada di atas puncak kebahagiaan Aina.Bagaimana mungkin Aina tidak berbahagia, sementara Aina memiliki keluarga yang utuh, dan sangat-sangat menyayangi Aina, menerima Aina dengan segala kekurangan yang Aina miliki.Bagaimana Aina tidak bahagia, Mas? sedangkan Allah memberikan anugerah terindah di dalam hidup Aina, anugerah itu berupa Shena dan juga kamu Mas Arsen, kalian berdua adalah warna di dalam kelamnya kehidupan yang pernah Aina lalui.Dan yang terpenting, bagaimana mungkin Aina tidak bahagia, sedangkan Allah telah memberikan Aina kesempatan untuk kembali mendekati-Nya, setelah Aina mengambil jalan untuk menjauhkan diri dari-Nya?Ini adalah sebuah anugerah. Hidayah adalah anugerah terindah bagi setiap mukmin dan mukminah, dan hal itu tak pernah luput untuk Aina syukuri, Mas." Aina menjawab panjang kali lebar.

  • Jiwa Dara yang Terkoyak   Bab 31 JDYT

    Bab 31 JDYT"Sayang, kok belum istirahat?" tanya Arsen saat memasuki kamarnya dan mendapati istrinya masih asyik bermain bersama Shena, putrinya. Aina memang terlihat sangat bersemangat saat bersama Shena, itu sebabnya dokter memberikan izin untuk Aina pulang jika memang alasannya adalah Shena. Karena energi positif yang Aina dapatkan saat bersama Shena diharapkan menjadi pengobatan terbaik untuk penyakitnya.Aina tersenyum, "belum, Mas ... masih asyik main ini Shenanya," jawab Aina."Ya sudah, sini Shena biar sama aku, kamu istirahat, geh! Inget kata dokter, kamu butuh banyak istirahat, Sayang ...," ucap Arsen seraya bersiap mengambil Shena."Mas mau bawa Shena ke mana?" tanya Aina sembari menangkis tangan Arsen yang hendak mengambil Shena."Ke kamarnya, Sayang ... biar ditidurkan sama Suster," jawab Arsen apa adanya."Malam ini, Shena biar di sini saja ya, Mas? Tidur sama kita," pinta Aina."Kamu yakin? Tidur kamu bisa terganggu saat Shena menangis dan butuh susu. Sementara kamu but

  • Jiwa Dara yang Terkoyak   Bab 30 JDYT

    Bab 30 JDYT"Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Arsen pada dokter yang hampir dua tahun ini mendampingi pengobatan Aina."Proses kemotheraphy-nya sudah selesai, Pak, namun sepertinya Ibu masih harus rawat inap untuk beberapa hari, karena kondisinya kurang baik, sehingga membutuhkan perawatan dan pengawasan secara intensif." Dokter menjelaskan kondisi Aina.Arsen menghembuskan nafas kasar. Dua tahun sudah ia mendampingi Aina menjalankan pengobatan, namun seperti tidak ada hasilnya. Kondisi Aina semakin hari semakin menurun."Apa ada kemungkinan sembuh untuk anak saya, Dok?" kali ini ustadz Sofyan yang bertanya. Sudah sejak lama ia memaksa untuk ikut serta mengantar Aina kemo, dan bertemu langsung dengan dokter yang menangani Aina, namun Aina selalu melarangnya.Aina tak ingin membuat Abahnya menjadi terbebani saat mendengar penjelasan dokter tentang kondisinya, namun kali ini Aina tidak bisa lagi menolak. Abahnya itu terus memaksa, dan Aina tidak memiliki pilihan lain selain men

  • Jiwa Dara yang Terkoyak   Bab 29 JDYT

    Bab 29 JDYT"Alhamdulillah ... terima kasih ya, Sayang ... kamu sangat nikmat," ungkap Arsen sesaat setelah menyelesaikan aktiftas suami istri. Ia mencium kening Aina penuh cinta. Sementara Aina hanya tersenyum sebagai balasan.Malam ini harusnya menjadi malam paling bahagia bagi sepasang suami istri baru, namun Aina merasakan hal yang berbeda.Melakukan hubungan badan selalu mengingatkannya pada kondisi-kondisi buruk sebelumnya yang sempat ia alami, sehingga menimbulkan trauma dan rasa tidak nyaman tersendiri. Namun ia berusaha menyembunyikan perasaan itu di hadapan suaminya, sebab tak ingin membuatnya kecewa.Arsen membaringkan tubuhnya di sisi Aina, kemudian membersihkan sisa-sisa pergulatannya dengan Aina menggunakan tissue. Namun betapa terkejutnya Arsen saat mendapati bercak darah di tissue yang ia gunakan untuk membersihkan senjatanya, hal yang sama juga dirasakan oleh Aina."Sayang, kok kamu berdarah?" tanya Arsen bingung, begitu juga dengan Aina. Pasalnya mereka berdua paham,

  • Jiwa Dara yang Terkoyak   Bab 28 - JDYT

    Bab 28 JDYT"Saya terima nikah dan kawinnya, Sukainah binti Sofyan, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Dengan menjabat tangan ustadz Sofyan, Arsen mengucap kalimat sakralnya dengan mantap dan dalam sekali tarikan nafas."Bagaimana saksi, sah?" "Sah!""Alhamdulillahirabbil 'aalamiin. Baarokallahu laka wa baaroka alaika wajama'a bainakuma fii khair." Kyai Musthofa langsung menyambung dengan doa saat semua saksi menyatakan sah. Diaminkan seluruh santri pondok pesantren Darul Falah beserta beberapa keluarga dari pihak Arsen.Acara pernikahan Aina dan Arsen berjalan dengan lancar. Walaupun sederhana, namun terasa khidmat. Setelah khutbah nikah dibacakan dan doa-doa dipanjatkan, acara pagi hari itu ditutup dengan proses pertemuan kedua mempelai. Dengan diiringi lantunan sholawat nabi dan Albanjari, Arsen yang diapit oleh Kyai Musthofa dan ustadz Sofyan berjalan dari tempat lelaki ke tempat tamu perempuan yang hanya terpisah oleh tirai masjid.Di sana, Aina didampingi oleh bu Nyai K

  • Jiwa Dara yang Terkoyak   Bab 27 JDYT

    Bab 27"Aina ...?" ustadz Sofyan mengulangi ucapannya sekal lagi, sembari berjalan mendekat ke arah Aina. Sementara Aina hanya memasang ekspresi datar, namun walau begitu, air wajahnya tidak dapat menyembunyikan beragam rasa yang tengah melandanya.Kini keduanya saling berhadapan, pandangan mereka saling bersirobok, menyampaikan rasa yang bergejolak di dada.Di hadapan Aina, ustadz Sofyan bersimpuh, memohon maaf atas kesalahan-kesalahannya. Ia tak lagi memandang Aina sebagai putri yang harus menghormatinya, melainkan memandangnya sebagai manusia yang telah ia hancurkan hidupnya. "Maafkan Abah, Aina ... maafkan Abah ...," ucap ustadz Sofyan di sela tangis penyesalannya. Melihat itu, air mata Aina menetes begitu saja, kemudian dengan cepat ia menepisnya.Aina berjongkok, mensejajarkan dirinya dengan posisi sang abah, kemudian meraih kedua bahu abahnya, dan mengajaknya untuk berdiri."Abah tidak perlu seperti ini," ucapnya terdengar datar.Ustadz Sofyan berdiri perlahan, mengikuti gerak

  • Jiwa Dara yang Terkoyak   Bab 26 JDYT

    Bab 26Setelah sholat shubuh dan membaca serangkaian doa yang selalu istiqomah dilakukan oleh ustadz Sofyan, lelaki yang kini berstatus duda itu melanjutkan aktivitas memberi makan ayam-ayam yang diternaknya sejak beberapa bulan lalu. Tepatnya setelah kepergian mendiang istrinya.Ustadz Sofyan dengan segala keterbatasannya memutuskan untuk berternak ayam sebagai hiburan sekaligus jalan rizki kecil-kecilan. Ia menyebutnya hiburan sebab dengan beraktivitas bersama ayam-ayam itu setidaknya membuat ia melupakan kesedihan dan kesendiriannya.Putrinya, Alina, sempat mengajaknya untuk tinggal di rumah suaminya, namun ia menolak sebab merasa tak enak hati dengan besan. Rumah Alina memang bersebelahan dengan rumah mertuanya, bahkan bisa dikatakan sambung, karena hanya ada satu dapur untuk dua rumah, sesuai permintaan mertuanya. Selain itu, ia merasa berat jika harus meninggalkan rumah dengan penuh kenangan bersama keluarganya.Ustadz Sofyan memilih hidup sendiri, sebatang kara di rumahnya. Mel

  • Jiwa Dara yang Terkoyak   Bab 25 JDYT

    Bab 25 JDYT"Pagi, Shena cantik ... hari ini hari minggu, seperti biasa, Ayah akan ajak kamu berkunjung ke tempat bunda. Lets go, kita siap-siap." Arsen mengambil Shena–putrinya yang baru terbangun dari box bayi.Seperti biasa, tepatnya sejak dua bulan lalu, Arsen mulai terbiasa merawat bayi Shena, putri dari hasil hubungannya dengan Aina. Di hari-hari kerja, Arsen akan membawa Shena ke kantornya ditemani seorang baby sitter, sedang di hari minggu, ia meminta baby sitter untuk berlibur, dan menjadikannya waktu untuk quality time bersama Shena.Shena, nama bayi cantik itu diambil dari gabungan nama ayah dan bundanya, Arsen dan Aina. Ia sengaja memilih nama itu, sebagai bukti pada Aina, bahwa ia serius ingin mempertanggung jawabkan perbuatannya.Dua bulan ini, Arsen menggunakan waktu untuk mulai mendekati Aina, perlahan mengembalikan kepercayaan Aina terhadapnya. Awalnya Aina menunjukkan penolakan, namun kearena kehigihan usahanya, perlahan Aina mulai bisa menerima kehadiran Arsen.Aina

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status