Share

Bab 4 JDYT

Bab 4

Aina POV

Malam semakin larut, sementara aku tak kunjung mendapatkan tempat untuk bermalam. Sudah tiga malam lamanya aku menggelandang. Mata tak bisa terpejam, karena tak adanya tempat untuk sekedar merebahkan tubuh dan memejamkan mata.

Beruntung uang peganganku masih bisa digunakan untuk makan, sedikitnya dua kali dalam sehari, sehingga sumber energi dan gizi untuk diriku dan janin dalam kandunganku masih terpenuhi selama tiga hari ini.

Sejak keluar dari rumah, aku merasa benar-benar sendiri. Bukan aku tidak memiliki kerabat, aku mengenal beberapa saudara dari pihak abah maupun ummi yang tinggal tak jauh dari rumah, akan tetapi aku berpikir dua kali untuk menumpang di rumah mereka. Aku tak ingin membuat abah dan ummi semakin malu kalau sampai keluarga besarnya mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku. Lagipula, aku pun tak cukup punya muka jika sampai aibku tersebar ke mana-mana.

Sempat terbesit dalam pikiranku untuk singgah di pesantren tempatku menimba ilmu, setidaknya sebagai alumni fresh graduation, aksesku untuk menginap di pesantren masih sangat mudah. Aku masih banyak mengenal junior-junior di sana, juga dekat dengan beberapa ustadzah yang dulunya adalah teman-teman seniorku.

Tapi aku mengurungkan niat, aku merasa kotor, tubuh ini sudah ternoda, penuh dengan dosa, sehingga tak pantas menginjakkan kaki di sana. Pesantren adalah tempat yang suci, tempat orang-orang yang bersih. Bukan orang kotor sepertiku.

Aku tertawa getir, menertawai nasibku sendiri. Menangis dan meratap sudah tak kulakukan lagi. Aku sudah bosan dengan tangisan dan ratapan, semua hanya akan semakin menyiksaku, dan membuatku semakin terpuruk.

Air mata ini rasanya sudah kering, sekering hatiku yang tak lagi dialiri cinta dan kasih, bahkan dari orang tuaku sendiri.

Miris memang, seorang Aina, yang sepanjang hidupnya dihabiskan untuk menimba ilmu di pesantren atas kemauan abahnya, harus terbuang dan berujung menggelandang layaknya sampah yang tiada harganya. Tapi inilah kenyataan, sekuat apapun aku menampiknya, tetap saja jalan ini yang harus kutempuh.

Kuhembuskan nafas, berharap sesak dalam dada ini berangsur membaik, namun bukannya membaik, yang kurasakan justru semakin sesak.

Ya Tuhan ... Ke mana lagi aku harus pergi? Rasanya segala upaya sudah kulakukan, tapi aku tak kunjung mendapatkan hasilnya. Apakah memang seperti ini nasib seorang hamba yang kotor? Bahkan saat meminta sesuatu pun Tuhan seperti enggan mengabulkannya.

Aku membatin sambil terus menyusuri jalanan Surabaya yang seolah tak bertepi. Berjalan tanpa tujuan yang pasti. Aku lelah, namun aku tak tahu di mana aku harus berhenti.

Beberapa kali kurasakan kram dalam perutku akibat berjalan terlalu jauh, namun aku berusaha menahannya. Sesekali berhenti untuk beristirahat sejenak, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

"Ojek, Mbak?" Suara seseorang mengejutkanku, dan aku baru menyadari, bahwa aku baru saja melintas di depan pangkalan ojek.

"Mboten, Pak!" Aku menolak tawarannya, dengan tetap berusaha terlihat ramah.

"Mau ke mana, Mbake? Nggak apa-apa, ayo tak anter, harga miring wes!" Kang ojek tersebut masih merayu, kulihat mereka hanya tinggal bertiga, ia bahkan menawarkan diskon, mungkin karena kondisi hari yang mulai larut.

"Mboten, Pak, matur nuwun." Aku menolak sekali lagi. Aku memang tak membutuhkan jasanya, bahkan aku tak tahu ke mana tujuanku saat ini.

Kudengar ia bergumam dan berbicara dengan ketiga temannya, namun aku tak lagi menghiraukannya.

Aku terus berjalan, memasuki gang-gang perkampungan. Tampak sepi, karena hari sudah cukup larut malam, saatnya semua orang terlelap dalam tidurnya.

Rasa kram di perut kembali mengganggu, kuputuskan untuk duduk di depan sebuah toko yang tertutup, memanfaatkan tumpukan kardus di depannya sebagai alas untuk duduk. Begitulah rutinitas yang selalu kulakukan selama tiga hari belakangan.

Kusandarkan punggung di tembok, memberikan sentuhan di perut yang masih rata, kukatakan pada janin yang baru memulai kehidupan di sana.

"Kamu harus kuat, Nak, setidaknya hanya kaulah yang kumiliki saat ini. Kau harus bertahan, dan menjemput nasib yang lebih baik dari ini." Aku berharap layaknya seorang ibu pada umumnya, namun di detik berikutnya aku tertawa. Menertawai diriku sendiri.

Aneh, bahkan untuk mengurus hidupku sendiri saja aku tak mampu, tapi dengan percaya dirinya aku memberikan kekuatan untuk janin dalam rahimku. Bagaimana jika ia terlahir dan kondisiku masih seperti ini? Bukankah ia akan semakin menderita?

Kuremas perut sebagai ungkapan kekecewaan terhadap diriku sendiri, betapa aku tak berdaya sebagai seorang ibu?

Kupejamkan mata sejenak, kemudian menghela nafas panjang dan kembali menghembuskannya melalui mulut. Setidaknya hal itu cukup mengurangi rasa kram di perut.

Kurogoh saku, mengambil selembar uang berwarna hijau, lembar uang terakhir yang tersisa di sana.

Kubuka lembar tersebut, kemudian memandanginya, uang ini, hanya cukup untuk sarapan besok pagi, paling hemat cuma cukup untuk makan seharian. Pagi dan malam. Terus selanjutnya aku harus makan apa?

Apa lagi yang harus kulakukan? Pekerjaan apa yang bisa kujalankan untuk menyambung hidup? Aku mulai kebingungan. Rasanya segala cara telah kucoba namun tak kunjung kudapatkan hasilnya. Haruskah aku menyerah?

"Permisi, Dek ...." Suara seorang wanita muda berpakaian serba terbuka menyapaku. Ia mengenakan rok mini sepaha, juga tank top yang memperlihatkan belahan kedua buah kenikmatannya.

"Ya, Mbak?" Aku menjawab sapaannya, berusaha untuk tetap ramah.

"Kamu kenapa?" Wanita itu bertanya dengan raut heran, ia memandangiku dari atas ke bawah, seolah tengah mencari jawaban atas pertanyaannya.

"Ehm ... saya lagi menempuh perjalanan, Mbak, di sini hanya numpang istirahat sebentar aja," jawabku sekenanya, mungkin terkesan tak nyambung dengan pertanyaannya, entahlah, belakangan ini aku kesulitan mendapatkan fokusku.

"Ehm ... kamu terlihat lelah dan lusuh. Kamu pergi dari rumah, ya?" tebaknya membuatku terhenyak. Aku bingung, bagaimana mungkin wanita di hadapanku ini mengetahui kondisiku? Cenayang kah ia?

"Kamu nggak usah bingung Mbak tahu dari mana. Mbak ini sudah kenyang ngerasain hidup di jalanan, jadi ya ... paham lah dengan kondisi kamu saat ini." Seolah mengetahui kebingunganku, ia pun menjelaskannya.

Wanita itu menunjukkan perhatiannya padaku, walau ia terlihat tak nyaman berada di dekatku, ia terus menarik-narik rok mininya untuk menutupi paha yang terbuka, mungkin merasa risih karena ia sedang berhadapan denganku yang berpenampilan lengkap layaknya seorang ustadzah.

Aku tersenyum tipis sebagai jawaban, kemudian termenung, kurasa, tak ada lagi yang perlu kujelaskan.

Wanita itu balas tersenyum, "Kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku malam ini. Kamu boleh tinggal dan istirahat di tempatku. Tapi mungkin hanya malam ini. Karena untuk besok dan seterusnya, tempatku nggak akan aman untukmu, bagaimana?" tawarnya padaku, mbak-mbak itu terlihat tulus.

"Ehm ... Nggak usah, Mbak, terima kasih." Aku menolak halus. Bukan maksudku tak menghargai penawarannya, akan tetapi aku merasa tak enak hati. Dia orang asing, bahkan kami tak saling mengenal sebelumnya.

"Nggak apa-apa, nggak usah sungkan, Dek. Dari pada kamu bermalam di sini, kan? Nggak baik menolak rizki, mumpung ada yang bersedia menumpangi, lho!" Dia merayuku, bahkan mengakrabkan diri dengan memanggilku menggunakan sebutan 'Dek'.

Aku menimbang, sepertinya tak ada salahnya menerima penawarannya. Tubuh ini rasanya sudah tak tahan lagi, ingin segera menemukan tempat untuk berbaring dan memejamkan mata, setidaknya untuk malam ini. Tiga hari hidup luntang-luntung di luar membuatku benar-benar merasa lelah.

"Maaf, Mbak, apa tidak merepotkan?"tanyaku masih merasa tak enak hati.

"Nggak, sama sekali nggak repot kok, Kebetulan di rumahku ada kamar kosong. Udah nggak usah sungkan, ayo ikut!" Dia meraih tanganku, dan aku mengikutinya.

Kami berjalan menyusuri gang ke arah jalan raya, kira-kira sekitar 500 meter. Tak banyak yang kita bicarakan, kita hanya saling berkenalan, Mbak Tasya, itulah namanya. Tak ada basa-basi di antara kami, ia tak banyak bertanya, begitupun denganku.

Sesampainya di jalan raya, ia menghentikan sebuah taxi. Kami menaiki taksi tersebut. Kemudian sang sopir bertanya, "mau ke mana, Mbak?"

"Ke gang Dolly ya, Pak," jawabnya seraya merapikan penampilan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status