Share

Bab 5 JDYT

Bab 5 JDYT

Taksi yang ditumpangi Aina dan Tasya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sangat sederhana. Tasya membayar tarif taksi kemudian mengajak Aina turun.

"Maaf ya mungkin tempatnya kurang nyaman dan tidak cocok untuk kamu, tapi setidaknya kamu bisa istirahat dan bermalam di sini untuk malam ini." Sebelum masuk ke rumahnya, Tasya terlebih dahulu memohon maklumnya dari Aina.

"Nggak apa-apa, Mbak, bisa dapat tumpangan malam ini saja saya sudah bersyukur. Makasih ya, karena sudah mau bantu saya." Aina menjawab ramah.

"Ya sudah, kalau gitu kita masuk aja, biar kamu bisa cepet istirahat." Tasya membuka pintu seraya mempersilakan Aina masuk.

"Iya, Mbak."

Tasya melangkah lebih dulu, sementara Aina mengikuti di belakangnya. Mendengar suara derap langkah dari luar, seorang lelaki keluar dari kamar depan.

"Kamu udah pulang?" tanyanya menyapa Tasya yang sedang melepas high hillsnya. Tasya memberi isyarat pada Aina untuk duduk di kursi kayu yang terletak di ruang tamu mini rumahnya.

"Dia siapa?"tanya lelaki itu pada Tasya tapi dengan pandangan mengarah pada Aina.

"Temen." Tasya menjawab singkat sembari meletakkan sepatu di tempatnya. Sementara lelaki itu tak banyak bertanya lagi.

"Aina, kamu tunggu sini bentar ya, aku siapin dulu kamarnya," pesan Tasya pada Aina.

Aina mengangguk sembari tersenyum tipis sebagai jawaban. Sementara lelaki itu mengekori langkah Tasya, samar-samar Aina mendengar obrolan mereka dari ruangan sebelah, karena memang rumah Tasya cukup sempit.

"Ngapain kamu bawa dia pulang ke sini?"tanya lelaki itu pada Tasya.

"Kasian, dia nggak punya tempat bermalam," jawab Tasya sekenanya.

"Siapa yang mau nanggung biaya hidupnya?" sahut lelaki itu membuat hati Aina teriris, ia sadar, bahwa wanita yang menolongnya pun tak memiliki kehidupan yang berkecukupan.

"Semalam doang, besok juga dia pergi. Aku nggak tega aja liatnya tidur di jalanan, inget waktu dulu kau tolongin aku di pinggir jalan, jadi aku inisiatif aja ngelakuin hal yang sama." Tasya menjelaskan alasannya. Mendengar itu Aina menjadi tersentuh, betapa ternyata ia tak sendiri, banyak orang yang bernasib sama sepertinya.

"Bagus deh, kalau gitu, lagi pula tempat ini sepertinya nggak cocok buat dia." Lelaki itu kembali menyahuti.

"Ya, aku juga tau. Mangkanya aku suruh dia pergi besok pagi."

"Ya udah, aku tunggu kamu di kamar ya. Lagi pengen," ucap lelaki itu dengan nada sedikit berbeda di bagian akhir. Terdengar seperti seorang yang sedang merayu.

"Ah, rupanya dia suami Mbak Tasya." Aina membatin sambil tersenyum tipis, merasa malu karena mendengar pembicaraan orang dewasa. Pembicaraan yang masih tabu di telinganya.

"Ogah lah, capek aku. Tadi klienku minta tiga ronde!" Tasya menyahuti, seketika membuat Aina istighfar dalam hati, mendapati wanita yang menolongnya adalah seorang 'wanita panggilan'.

"Ya elah, ama suami sendiri gitu amat sih, gimana dong nasib aku? beneran udah mentok ini, nggak nahan lagi!" Lelaki itu terdengar memelas pada Tasya.

Tasya menghela nafasnya, "Nih, pake aja, tadi aku dapat lumayan, 350. Ini buat kamu jajan, 200nya aku simpen buat makan." Tasya menyerahkan uangnya pada lelaki yang memohon untuk mendapatkan haknya.

"Nah, gitu dong, thanks, Sayang, istriku yang paling baik," ucap lelaki tersebut seraya mendaratkan kecupan di pipi Tasya.

"Ya elah segala make makasih lagi, dah ah sono sono pergi." Tasya menyahuti sambil tersenyum tipis.

"Ya udah, aku jalan dulu, ya!" Suami Tasya berpamit.

"Ya, Jan lama-lama."

"Nggak kok, deket sini aja, di tempatnya Mami Merry," jawab lelaki itu santai.

"Cewek yang kemarin lagi?"

"Yoi."

"Ya elah, ketagihan dia."

"Masih jauh sih kalau dibanding kamu yang eksklusif ini."

"Halah, rayuanmu basi, Bro!"

Lelaki itu tertawa, "Dah ya, mau jalan dulu, dah kebelet nih!."

"Oke."

Tak lama kemudian, lelaki itu terlihat keluar dari kamar dan pergi entah ke mana. Melewati Aina yang masih tercengang mendengarkan obrolan mereka begitu saja.

"Mereka suami istri, tapi kenapa—?" Aina tak melanjutkan ucapannya, "Aku bener-bener nggak ngerti bagaimana mereka menjalani kehidupan rumah tangganya." Aina membatin heran.

"Hai, Dek, kamarmu dah siap nih." Suara Tasya yang baru saja keluar dari ruangan mengejutkan Aina.

"Ah, iya, Mbak." Aina menjawab kikuk.

"Masuk gih, istirahat, kamu pasti capek, kan?" Tasya mempersilakan Aina memasuki kamarnya, ia membuka kamar yang hanya bertutupkan selembar kain korden seraya memberi isyarat pada Aina untuk segera memasukinya.

Aina bangkit dari posisi semula, kemudian berjalan memasuki kamar yang telah disiapkan oleh Tasya.

"Makasih, ya, Mbak," ucap Aina tulus.

"Sama-sama, maaf ya, tempatnya seadanya." Tasya menjawab sembari merangkul Aina dan memapahnya untuk duduk di sebuah ranjang.

Bunyi ranjang yang usang terdengar tatkala mereka menjatuhkan bobot di ranjang tua itu.

"Ini sudah lebih dari cukup loh, Mbak." Aina menjawab sopan, sementara Tasya hanya balas tersenyum.

"Kamu sudah makan?"tanya Tasya pada Aina.

"Sudah kok, Mbak, tadi saya sudah makan." Aina menjawab apa adanya. Tadi, entah mengapa ia sangat menginginkan nasi Padang saat melintas di depan salah satu rumah makan Padang. Padahal, ia sudah berencana untuk tidak makan malam demi menghemat pengeluaran. Namun mungkin ia mengalami ngidam.

Keinginan itu seolah sangat sulit untuk dialihkan, ia pun memutuskan menggunakan sisa uangnya untuk membeli sebungkus nasi Padang dengan lauk perkedel, karena menu itulah yang harganya paling ekonomis dibanding menu lauk-pauk masakan padang yang lain.

"Syukurlah kalau gitu, setidaknya kamu masih bisa makan di luar sana. Dulu, saat aku berada di posisimu, untuk makan saja rasanya sangat sulit, bahkan tak jarang aku hanya makan makanan yang aku pungut dari tong sampah. Paling enak ya makan-makanan sisa yang aku minta dari warung-warung." Tasya mulai bercerita tentang masa lalunya.

Aina manggut-manggut, merasa miris mendengar kisah kelam Tasya, tanpa sadar bahwa kondisinya sendiri pun saat ini memprihatinkan.

"Jadi Mbak Tasya juga pernah merasakan seperti apa yang saya rasakan saat ini?" Aina bertanya untuk mempertegas.

"Ya, seperti yang tadi aku bilang, aku sudah kenyang hidup di jalanan. Jadi aku sudah banyak tahu tentang derita hidup menggelandang, itu sebabnya aku menolongmu, karena aku pernah merasakan susahnya luntang-luntung nggak punya tempat tinggal, dan itu nggak enak banget, serasa hidup tanpa tujuan." Tasya menjawab apa adanya, ekspresinya datar saat menceritakan masa lalunya.

Aina menghela nafas, dalam hati ia membenarkan ucapan Tasya, ia pun tengah merasakan hal itu saat ini, berjalan tanpa tujuan pasti.

"Bersyukur ya, Mbak, sekarang kondisi Mbak Tasya sudah jauh lebih baik." Aina memberikan komentar asal, sesuai dengan apa yang sedang terpikir oleh otaknya.

Tasya tertawa getir mendengar komentar Aina, "entahlah, Ai, aku harus bersyukur atau justru menyesal dengan kondisiku saat ini. Yang jelas, bagiku tetap bisa bertahan hidup seperti ini sudah cukup baik. Setidaknya aku lebih merasa waras saat ini.

Kamu pasti sudah tahu kan, apa pekerjaanku? Ya itu lah aku, seorang pendosa, jauh dari kata agama. Pastinya berbeda dengan kamu yang masih suci." Tasya mengakhiri kalimatnya dengan senyuman.

"Suci? Apa karena pakaian saya ini Mbak menilai saya seperti itu?" tanya Aina tersenyum miris. Bahkan kenyataannya, dia terusir dari rumah karena ternodai.

"Ya, sepertinya begitu, kan?" Tasya menyahut ragu.

Aina tersenyum tipis tanpa menjawab sepatah katapun.

"Btw, aku nggak akan memintamu untuk menceritakan apa yang terjadi denganmu, karena aku menghargai privasimu. Tapi kalau kamu mau cerita sama aku silakan aja, barangkali kamu butuh tempat untuk berkeluh-kesah. Atau mungkin ada hal-hal yang ingin kamu tanyakan, silakan." Tasya berusaha menjadi teman yang baik untuk Aina malam ini.

Aina tertunduk, baginya, tak ada untungnya menceritakan aib pada orang lain, ia lebih memilih untuk menyimpannya sendiri.

"Ehm, kalau gitu saya mau nanya-nanya aja, ya, Mbak," sahut Aina.

"Boleh aja, kalau aku bisa jawab pasti akan kujawab," balas Tasya.

"Tapi, sepertinya Mbak Tasya capek, tadi saya tak sengaja mendengar obrolan Mbak sama suami, maaf ya, Mbak. Mungkin sebaiknya kita tunda saja ngobrolnya, supaya Mbak Tasya bisa istirahat dulu," ucap Aina tak enak hati.

Tasya tersenyum, "capek yang kumaksud tuh capek gituan, makanya tadi aku nolak permintaan dia. Karena kerja begitu tuh capek banget sih, apalagi kalau lagi nggak mood n nggak sesuai hati. Berasa kaya diperk*sa tapi pasrah aja gitu. Sakit, tapi ya mau gimana lagi, kan? Namanya juga kerjaan." Tasya kembali tertawa getir.

"Diperk*sa tapi pasrah aja, kalimat mbak Tasya ngena banget, menggambarkan bagaimana aku yang tak berdaya di bawah tekanan lelaki itu. Memang sesakit itu rasanya.

Tapi nasih mending Mbak Tasya mendapatkan imbalan atas hal itu. Sedangkan aku? Aku justru malah kehilangan segalanya sejak malam itu. Kita sama-sama ternoda, tapi tidak sama-sama beruntung," Aina membatin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status