Share

Bab 3 JDYT

Bab 3

Shoimah memandang nanar kepergian suaminya, ia tak menyangka bahwa suaminya yang selama ini dianggapnya paling menguasai ilmu agama ternyata justru memiliki pemikiran yang salah dan menyimpang.

Rasa sesal mulai datang menyapa hati, "seandainya saat itu aku lebih peka sebagai seorang wanita, seandainya saat itu aku lebih peka sebagai seorang ibu, mungkin aku bisa mengetahui kehamilan Aina sejak awal, dan semua ini tidak pernah terjadi.

Soimah memandangi ruang makan tempat ia duduk saat ini dengan penuh penyesalan, ruangan tempat keluarga biasa beramah-tamah untuk makan bersama itu kini menjadi ruangan penuh kenangan buruk. Sepi, sunyi, tidak ada kebahagiaan. Ingatannya kembali memutar kejadian pagi itu.

"Aina, kamu sakit?" tanya Ustadz Sofyan ketika mendapati putri bungsunya terlihat pucat saat di meja makan. Sudah menjadi rutinitas keluarga Sofyan di setiap pagi, seluruh anggota keluarga berkumpul di meja makan untuk melakukan sarapan bersama.

"Cuma meriang biasa aja kayaknya, Bah. Mungkin masuk angin." Aina menyahuti sambil tersenyum. Terlihat kalem, seperti sikapnya belakangan ini, yang mendadak menjadi gadis pendiam dan terkesan anggun.

"Owalah, Nduk ... kok bisa masuk angin, toh? Kayaknya Ummi lihat beberapa hari belakangan kamu anteng aja di rumah, ndak keluar-keluar, semalem kamu cuma ndekem di kamar toh?" Shoimah, Ummi Aina turut menyahuti seraya meletakkan makanan yang baru dimasaknya di meja makan.

Aina hanya tersenyum tipis, sebab ia sendiri pun tak tahu, apa yang menyebabkannya masuk angin. Tapi, gejala yang ia alami, memang seperti yang ia rasakan saat masuk angin, muntah saat bangun tidur, pusing dan nggak enak makan.

"Kamu tuh piye toh, Mi. Kamu pikir angin itu cuma dari luar? Dari kipas angin kan juga judulnya angin. Wis toh, mendingan kamu buatin anakmu itu wedang jahe, biar cepet keluar anginnya!" Ustadz Sofyan memberikan titah pada istrinya.

"Nggih, Bah." Shoimah berlalu dan kembali berkutat di dapur untuk menyiapkan segelas wedang jahe.

"Kamu mendingan cepetan sarapan, Nduk! Biar nggak makin parah masuk anginnya. Itu loh Ummimu sudah masak menu kesukaanmu, udang asam manis." Ustadz Sofyan kembali memberikan instruksi, sementara Aina hanya menjawab dengan anggukan.

Ia mulai menggerakkan tangan untuk menyendok nasi, mengambil beberapa ekor udang asam manis yang tersedia di meja makan, kemudian mulai menyuapkannya ke mulut.

Namun, belum sempat sendok yang ia gunakan menyentuh bibirnya, aroma udang yang menyapa indra penciuman Aina mendadak membuatnya mual. Aroma makanan favoritnya berubah menjadi aroma yang sangat mengganggunya.

Aina mendorong piring, menjauhkannya dari hadapan, ia membekap mulut dan hidungnya dengan tangan, menahan agar jangan sampai memuntahkan cairan pahit dari perutnya untuk kesekian kalinya.

"Aina kamu kenapa?" Shoimah yang baru saja selesai menyeduh jahe untuk putrinya mendadak panik melihat kondisi Aina.

"Aina mual cium aroma udangnya, Mi." Jawaban mengalir begitu saja dari mulut Aina.

Shoimah mengernyit, memandang suaminya yang juga berekspresi sama.

"Ini udang asam manis kesukaan kamu lho, Nduk!" Kali ini Shoimah menunjukkan keheranannya dengan sebuah kalimat.

"Iya, Mi, tapi ini aroma amisnya terasa banget, beda sama yang biasanya." Aina berkata sembari kembali menahan gejolak dari dalam perutnya.

"Masa toh? Kok iso loh!" Soimah segera mengambil sepiring udang yang sudah disajikan di meja kemudian mengendusnya.

"Enggak kok, Nduk, ini udangnya kayak biasanya kok, tadi juga sebelum masak Ummi cek udangnya masih segar, jadi ya ndak amis." Jawaban Shoimah membuat Aina dan Abahnya terheran.

"Dek ... dek ... kamu tuh masuk angin aja kok udah kayak orang hamil, sensitifan gitu sama bau-bauan, Mbak aja yang hamil ndak segitunya." Alina, Kakak Aina yang sedang hamil tujuh bulan baru bergabung dan turut menimpali sembari mengelus-elus perut buncitnya.

"Hush! Kalau ngomong tuh mbok dijaga toh, Lin!" Ustadz Sofyan memperingati putri sulungnya.

"Bercanda, Bah," balas Alina sambil terkekeh, ia mendudukkan dirinya di kursi yang tersedia.

"Tapi ya bener juga, dulu Ummimu itu kalau hamil ya mesti mabok gitu, ndak bisa nyium aroma yang agak menyengat dikit pasti mual. Ya kaya Aina ini, wong udang sedep gitu kok malah dibilang amis. Kamu ndak hamil, kan, Na?" tanya ustadz Sofyan dengan pandangan penuh selidik.

Sementara Aina, ia justru terdiam, ucapan kakak dan Abahnya seolah membuatnya terpikirkan akan satu hal.

"Hamil? Malam itu ... apakah dia meninggalkan benih di rahim ini? Ya Tuhan ... terlalu sibuk meratapi nasib membuatku sampai melupakan jadwal haid yang seharusnya sudah terjadi di minggu lalu. Apa yang terjadi? Apa mungkin aku hamil? Bagaimana kalau hal itu benar-benar terjadi?" berbagai pertanyaan mendadak memenuhi benak Aina. Membuatnya semakin merasakan berat di kepala, dan di detik berikutnya, ia hanya mendengar seluruh keluarganya memekikkan namanya tanpa tau apa yang tengah terjadi. Aina kehilangan kesadarannya.

Seluruh keluarga panik, dan mencoba menyadarkan Aina, dengan mengoleskan minyak kayu putih di bawah hidung Aina, namun gadis itu tak kunjung siuman.

Akhirnya, mereka memutuskan untuk membawa Aina ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan, Aina langsung masuk UGD dan diperiksa, hingga beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan.

"Suami dari pasien Aina yang mana, ya?" tanya dokter membuat kedua orang tua Aina bingung.

Abah dan Ummi Aina saling berpandangan heran, "suami, Dok? Putri saya belum menikah." Ustadz Sofyan menjawab dengan cepat.

Dokter perempuan berusia tiga puluhan itu terlihat menghela nafas, memandang Ustadz Sofyan dan istrinya bergantian.

"Kalau begitu, silakan Bapak dan Ibu ikut ke ruangan saya. Ada yang harus saya jelaskan."

Abah dan Ummi Aina pun mengikuti langkah dokter.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan putri saya, Dok?" Ustadz Sofyan tak sabar untuk bertanya, dan ingin tahu tentang kondisi putrinya. Pikiran buruk mendadak mendominasi isi kepalanya.

Dokter memandang Ustadz Sofyan, miris, kondisi seperti ini adalah kondisi yang sulit baginya. Di mana ia harus menyampaikan kabar yang seharusnya menjadi kabar gembira, sebagai kabar yang mungkin dianggap malapetaka.

"Maaf, sebelumnya, Pak, Bu ... sebenarnya berat bagi saya untuk mengatakan ini, tapi saya rasa Bapak dan Ibu sebagai orang tua pasien berhak tahu.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka kami nyatakan bahwa putri Bapak dan Ibu positiv hamil." Dokter menyampaikan kalimatnya dengan berat hati.

"Hamil?!" Ustad Sofyan dan istrinya memekik bersamaan.

"Betul, Pak, Bu. Aina hamil, usia kandungannya sudah tujuh minggu."

"Tidak mungkin, Dok. Anak saya belum menikah, dia tidak mungkin hamil. Pergaulannya juga terjamin. Dia tumbuh di pesantren, dia paham agama, jadi tidak mungkin dia berzina." Ustadz Sofyan merasa sulit mempercayai ucapan dokter. Ada rasa tak terima dalam hati saat dokter menyatakan putrinya hamil

"Mohon maaf, Pak. Untuk hal itu, silakan Bapak tanyakan sendiri pada putri Bapak. Yang jelas, menurut hasil pemeriksaan laboratorium, Aina dinyatakan positif hamil. Silakan Bapak cek sendiri hasilnya." Dokter menyerahkan sebuah amplop berisikan hasil tes laboratorium Aina. Ustadz Sofyan dan istrinya segera membaca hasil tes tersebut. Tak lama kemudian, kalimat istighfar terucap dari bibir ustadz Sofyan, namun bukan dengan nada penyesalan, melainkan dengan nada geram diliputi emosi yang menegangkan.

Ummi Aina mengerjap, bayangan tentang kejadian tig hari lalu selalu hadir dan mengganggu pikirannya, " Ya Allah ... bodohnya aku yang sama sekali tidak curiga dengan sikap Aina yang tiba-tiba berubah. Aina yang biasanya ceria menjadi pendiam, Aina yang biasanya ra iso meneng jadi anteng. Aina yang suka ceriwis jadi jarang bicara. Sungguh tak peka aku yang mengira semua itu perubahan baik karena Aina yang sudah beranjak dewasa. Seharusnya aku peka sebagai seorang ibu, bukan justru merasa tak mengenali putriku sendiri seperti ini. Ke mana saja aku selama ini?

Ya Allah ... ampuni dosa-dosaku yang masih sangat banyak kekurangan dalam menjalankan tugasmu sebagai seorang ibu dari anak-anakku. Lindungilah Aina, di manapun ia berada." Ummi Aina melanjutkan harapannya seraya mengusap wajah menggunakan kedua tangan.

Ia berniat beranjak, namun tanpa sengaja tangannya menyenggol gelas kosong di sisinya. Gelas itu jatuh dan pecah menjadi berkeping-keping. Seketika ingatan Shoimah tertuju pada Aina.

"Astaghfirullah, Aina ... Kamu baik-baik aja kan, Nak?" gumamnya pelan, berusaha menetralkan degub jantungnya yang berlompatan. Firasatnya sebagai seorang ibu mengatakan bahwa Aina tidak sedang baik-baik saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status