Home / Romansa / Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku / Bab 10. Serangan Pertama

Share

Bab 10. Serangan Pertama

Author: KiraYume
last update Last Updated: 2025-07-18 10:30:28

Pagi datang tanpa suara. Cahaya matahari menyelinap dari balik tirai, tapi Alana tak merasa hangat. Ia duduk di tepi ranjang, rambutnya masih berantakan, wajahnya tanpa riasan. Tapi di balik mata yang sembab itu, ada sesuatu yang mulai mengeras.

Kebingungan semalam tak lagi mengganggunya. Ia telah menyingkirkan semuanya, menyegel emosi rapuh yang tak membantunya. Hari ini ia bangun bukan sebagai istri, tapi sebagai algojo yang sedang menyusun langkah.

Terdengar Suara air mengalir dari kamar mandi. Alana berdiri dan melangkah ke ruang kerja Brian. Dingin. Nyaris tanpa jejak pribadi. Kertas laporan, grafik, tablet, semuanya rapi, bersih, bahkan terasa terlalu steril.

Tapi diantara benda-benda di meja itu, ada satu yang terlihat tidak sesuai. Sebuah jam tangan analog tua. Tali kulitnya sudah retak di beberapa bagian, tapi terlihat terawat. Diletakkan dengan sangat hati-hati di atas lapisan beludru. Alana menatapnya lama.

"Jadi ini benda berhargamu, Brian? Aku ingin tahu apa reaksimu kalau terjadi sesuatu pada benda ini …" bisiknya pelan.

Ia menunggu hingga Brian kembali duduk di depan meja. Pria itu tampak biasa saja, membuka laptop dan membaca laporan tanpa menoleh. Alana mengambil segelas air dari dapur, lalu melangkah pelan ke arahnya, seolah menjalankan perannya sebagai istri yang baik, membawa sesuatu untuk suaminya.

“Ini, kubawakan air, minumlah du…” Kata-kata Alana terpotong, ia berpura-pura tersandung, lalu tubuhnya condong dan tangannya melepaskan gelas. Air tumpah deras, membasahi meja, dan jam tangan itu.

“Maaf!” katanya cepat, suaranya dibuat setengah panik. “Aku... aku gak lihat ada kabel di lantai.”

“Aku benar-benar ga sengaja…” Kata-kata itu mengalir cepat, tapi ia tak melakukan apapun untuk membersihkannya. Dalam hatinya ia mengharapkan sesuatu yang lain. 

Tangan Brian sempat terhenti sejenak saat air menyentuh permukaan meja. Ia menatap Alana. Tidak marah. Tidak curiga. Hanya tatapan pendek yang menyimpan satu hal, kecewa.

Ia mengambil jam tangan itu dengan hati-hati, seolah setiap gerakannya harus tepat. Air menetes dari sela tali kulit yang tua, mengalir ke telapak tangannya. Ia mengambil sapu tangan dari saku jasnya, sapu tangan biru tua yang sama, yang semalam tak disentuh Alana. Lalu mulai mengeringkan bagian demi bagian.

Alana menunggu ledakan. Ia ingin pria itu memaki. Menyerangnya. Menegaskan bahwa pria di hadapannya adalah monster seperti yang digambarkan orang-orang pada Brian. Itu akan membuat semuanya lebih mudah. Membuat kebenciannya kembali solid. Tapi yang ia dapat hanya keheningan dan gerakan telaten. Bahkan ketika Brian mendapati tali kulit jam itu terlepas karena basah, ia tetap tenang. Wajahnya bukan marah, tapi sendu.

“Jam ini berhenti bekerja bertahun-tahun lalu,” ucap Brian pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. “Aku menyimpannya bukan karena fungsinya. Tapi karena kenangannya.” Ia menatap sapu tangan di tangannya, lalu menambahkan, “Sayang sekali, beberapa orang tidak mengerti apa yang dimaksud dengan sebuah kenangan.”

Alana terdiam. Tubuhnya masih dalam posisi kaku, tapi jantungnya menegang. Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada segala hinaan. Ia tahu kata-kata itu diarahkan kepadanya. Dan untuk sesaat, ada rasa sesak yang menumpuk di dadanya, rasa bersalah yang muncul tanpa izin.

Ia telah menyerang kenangan. Dan kenangan, dalam hidupnya sendiri, adalah satu-satunya hal yang membuat ia tetap bertahan dalam kondisi ini. Tidak bisa digantikan.

Brian akhirnya menoleh, tapi tak langsung tertuju pada Alana. matanya tenang dan dalam.

“Kau sengaja, ya?”

Kalimat itu tajam dan datar. Tak bernada tinggi, tapi tak bisa disangkal. Alana membuka mulutnya, tapi tak langsung menjawab.

Brian menambahkan, “Kalau iya, setidaknya lakukan dengan lebih cerdas. Lain kali jangan jatuhkan gelas air. Pakai anggur atau minuman lain. Akan lebih susah dibersihkan.”

Alana terpaku.

Brian mengangguk pelan, lalu kembali menatap jam itu. “Aku selalu menghargai usaha dalam membuat strategi.”

Brian meletakkan jam itu kembali dengan hati-hati, lalu menatap Alana untuk pertama kalinya, tak ada kemarahan didalamnya.

 "Tapi jika kau ingin menyakitiku, Alana," katanya dengan suara tenang yang mengerikan. 

"Kau harus mencari cara yang lebih baik dari ini. Karena caramu barusan... hanya menyakiti dirimu sendiri, bukan?" 

Ia kemudian berjalan melewatinya untuk bersiap ke kantor, meninggalkan Alana yang berdiri membeku, merasa rencananya telah dibaca, dan serangannya justru menjadi bumerang yang telak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Danisha Zafira
Ini bukan balas dendam, ini pelajaran strategi. Brian gak marah, malah ngasih saran. Dia nunjukkin kalo Alana masih level amatir. Perang psikologisnya gila.
goodnovel comment avatar
Puspa Usada
YA AMPUN, MAKIN KASIAN SAMA BRIAN. Jam kenangan dirusak, tapi dia cuma sedih. "Menyakiti dirimu sendiri kan?" Dia malah ngertiin Alana. Pertahananku runtuh!
goodnovel comment avatar
kemal prasetya
Aduh, Lana... kenapa serangannya gitu sih? Gampang banget kebaca. Jadi kena mental sendiri kan. Lain kali harus lebih cerdas, gregetan deh!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 135. Rumah Masa Kecil

    Keesokan paginya, Alana duduk di ruang tengah penthouse dengan secangkir kopi yang bahkan tidak disentuh. Brian berdiri di belakang sofa, kedua tangannya bersedekap, wajahnya masih menyimpan ketegangan dari malam sebelumnya. Layar tablet besar di meja menyala, memperlihatkan wajah Rayhan Daffa di seberang sana.Panggilan video itu terasa dingin, nyaris seperti ruang sidang dadakan. Alana dan Brian bergantian menjelaskan teori baru mereka, tentang kemungkinan krisis Valestra yang sengaja direkayasa untuk memaksa pernikahan, dan obsesi Dina yang mungkin menjadi kunci.Rayhan mendengarkan tanpa memotong, matanya tajam, garis wajahnya semakin mengeras. Saat Alana berhenti berbicara, ruangan terasa senyap. Baru setelah beberapa detik, Rayhan menghela napas berat. “Itu adalah teori yang sangat kuat,” katanya pelan, namun mantap. “Itu menjelaskan motif Dina dengan sempurna. Tapi kalian tahu sendiri, tanpa bukti, itu hanya akan dianggap tuduhan liar yang bisa dengan mudah dipatahkan. Bahkan

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Ba 134. Kembali Ke Awal

    Alana menggelengkan kepalanya perlahan, seolah mencoba menyingkirkan bayangan buruk itu dari pikirannya. Suaranya nyaris patah ketika keluar. “Nggak… nggak mungkin. Dina mungkin jahat padaku, tapi dia mencintai keluarga yang lain. Dia nggak mungkin sengaja menghancurkan perusahaan ayah…”Brian menatapnya lama, tatapan yang tidak memberi ruang untuk ilusi. Bukan tatapan penghiburan, melainkan tatapan seorang pria yang terbiasa hidup dengan fakta dingin. “Dia memang nggak menghancurkannya, Alana,” ucapnya datar. “Dia hanya membuatnya cukup bermasalah, sampai butuh penyelamat. Itu beda tipis, tapi niatnya jelas.”Alana menelan ludah, matanya basah tapi tidak sampai pecah menjadi tangis. “Tapi… untuk apa? Kenapa dia harus melakukan itu pada Ayahku? Pada kita semua?”Brian menarik napas panjang, mengalihkan pandangan ke jendela besar yang memperlihatkan lampu-lampu Kaliandra berkelip. Suaranya terdengar berat, penuh keyakinan yang getir. “Itu yang harus kita cari. Setiap tindakan punya

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 133. Dua Anomali

    Alana berdiri di depan pintu kaca bertuliskan Valestra Group – Chairman Office. Ruangan ini adalah simbol kejayaan ayahnya, ruang yang penuh dengan suara tawa dan telepon sibuk. Kini, rasanya hampa. Ketika ia mendorong pintu itu, Silvano sedang duduk di balik meja besar yang pernah tampak begitu megah.“Alana,” sapa Silvano, terdengar ceria tapi kaku. Ada rasa asing dalam nada suaranya, seolah ia sendiri tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan putrinya.Alana memaksakan senyum, mencoba memainkan perannya dengan baik. Ia melangkah pelan ke dalam, membiarkan pintu menutup dengan bunyi klik lembut. Silvano mengangkat kepala dari berkas-berkas di mejanya, alisnya sedikit terangkat. Jelas ia tidak menyangka kedatangan itu.“Alana?” suaranya terdengar kaku sekaligus heran. “Kau… jarang sekali datang tanpa kabar dulu. Ada urusan apa? Atau… kau butuh sesuatu?”Alana menelan ludah, lalu menundukkan kepala sebentar, seolah mencoba meredam keraguannya. “Bukan apa-apa yang mendesak, Ayah.

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 132. Kembali ke Masa Lalu

    Keesokan paginya, sinar matahari samar menembus tirai tebal penthouse. Aroma kopi segar memenuhi ruangan, namun bagi Alana, rasanya hambar. Ia baru saja menuangkan secangkir ketika langkah cepat terdengar dari lorong.“Alana.”Suara Brian membuatnya menoleh. Wajah pria itu pucat, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang berat. Di tangannya, sebuah tablet tergenggam erat.“Kau harus lihat ini.”Alana meletakkan cangkirnya di meja. Jemarinya ragu saat menerima tablet itu, dan begitu layar menyala, dunia seakan berhenti berputar.Seorang Mekanik Ditemukan Tewas dalam Dugaan Perampokan di Bengkel.Judul artikel itu sederhana, dingin. Di bawahnya, sebuah foto buram dengan wajah yang disensor. Namun Alana tidak butuh detail jelas untuk tahu siapa itu.Rendra.Udara di dadanya tersedot, cangkir yang tadi masih ia genggam bergetar hebat. “Tidak…” bisiknya, nyaris tak terdengar.Brian berdiri tegak, matanya muram, penuh kemarahan yang ditahan mati-matian. “Rayhan baru saja mengonfirmasin

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 131. Rencana Pemalasan

    Beberapa jam sebelumnya.Leo duduk sendirian di ruang kerjanya yang remang. Lampu meja menerangi wajahnya yang pucat, sementara jari-jarinya bergetar tipis saat membuka sebuah laci tersembunyi. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah kartu nama lusuh dengan tinta hitam yang mulai memudar. Nama itu asing bagi banyak orang, tapi bagi Leo, itu adalah pilihan terakhir yang seharusnya tak pernah ia sentuh.Ia menatap kartu itu beberapa detik. Rahangnya mengeras. “Sialan…” gumamnya lirih. Lalu ia meraih ponselnya dan menekan nomor yang tercetak di sana.Nada sambung hanya terdengar dua kali sebelum sebuah suara serak dengan aksen berat Eropa Timur menjawab di seberang. “Sudah lama sekali, Tuan Muda Ravenshade.” Suara itu mengandung nada sinis, seolah menyimpan kenangan tentang utang lama.Leo bersandar ke kursinya, berusaha menahan kegugupan dengan nada sedingin es.“Aku butuh beberapa hal. Dan aku butuh seseorang untuk menangani… satu masalah.”“Masalah seperti apa?” tanya suara itu, nada rend

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 130. Eksekusi

    Rendra menarik napas gemetar, lalu menutup rolling door baja bengkel itu, menciptakan suara gemerincing keras yang menggema. Ruangan mendadak terasa lebih pengap, terisolasi dari dunia luar. “Biar aman…” gumamnya, meski nada suaranya lebih terdengar seperti menghibur diri sendiri daripada meyakinkan Rayhan.Dia duduk di sebuah bangku reyot, tangannya masih berlumur oli, jemarinya gemetar tak terkendali. “Aku… Awalnya aku nggak tahu siapa mereka,” katanya, suaranya parau. “Dia menghubungiku lewat perantara. Menawarkan uang yang belum pernah kubayangkan sebelumnya … untuk ‘mengurus’ beberapa mobil.”“Dan … kau tahu … dengan kondisiku yang … kurang baik, aku nggak bisa nolak…”Rayhan diam, hanya membiarkan kata-kata itu mengalir, sementara perekam audio kecil di atas meja terus menyala dengan lampu merah.“Tapi saat bertemu langsung untuk memberikan instruksi akhir…” Rendra berhenti sebentar, menelan ludah. Matanya bergerak gelisah, seolah menghidupkan kembali ketakutannya. “Aku tahu a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status