LOGINPagi datang tanpa suara. Cahaya matahari menyelinap dari balik tirai, tapi Alana tak merasa hangat. Ia duduk di tepi ranjang, rambutnya masih berantakan, wajahnya tanpa riasan. Tapi di balik mata yang sembab itu, ada sesuatu yang mulai mengeras.
Kebingungan semalam tak lagi mengganggunya. Ia telah menyingkirkan semuanya, menyegel emosi rapuh yang tak membantunya. Hari ini ia bangun bukan sebagai istri, tapi sebagai algojo yang sedang menyusun langkah.
Terdengar Suara air mengalir dari kamar mandi. Alana berdiri dan melangkah ke ruang kerja Brian. Dingin. Nyaris tanpa jejak pribadi. Kertas laporan, grafik, tablet, semuanya rapi, bersih, bahkan terasa terlalu steril.
Tapi diantara benda-benda di meja itu, ada satu yang terlihat tidak sesuai. Sebuah jam tangan analog tua. Tali kulitnya sudah retak di beberapa bagian, tapi terlihat terawat. Diletakkan dengan sangat hati-hati di atas lapisan beludru. Alana menatapnya lama.
"Jadi ini benda berhargamu, Brian? Aku ingin tahu apa reaksimu kalau terjadi sesuatu pada benda ini …" bisiknya pelan.
Ia menunggu hingga Brian kembali duduk di depan meja. Pria itu tampak biasa saja, membuka laptop dan membaca laporan tanpa menoleh. Alana mengambil segelas air dari dapur, lalu melangkah pelan ke arahnya, seolah menjalankan perannya sebagai istri yang baik, membawa sesuatu untuk suaminya.
“Ini, kubawakan air, minumlah du…” Kata-kata Alana terpotong, ia berpura-pura tersandung, lalu tubuhnya condong dan tangannya melepaskan gelas. Air tumpah deras, membasahi meja, dan jam tangan itu.“Maaf!” katanya cepat, suaranya dibuat setengah panik. “Aku... aku gak lihat ada kabel di lantai.”
“Aku benar-benar ga sengaja…” Kata-kata itu mengalir cepat, tapi ia tak melakukan apapun untuk membersihkannya. Dalam hatinya ia mengharapkan sesuatu yang lain.
Tangan Brian sempat terhenti sejenak saat air menyentuh permukaan meja. Ia menatap Alana. Tidak marah. Tidak curiga. Hanya tatapan pendek yang menyimpan satu hal, kecewa.
Ia mengambil jam tangan itu dengan hati-hati, seolah setiap gerakannya harus tepat. Air menetes dari sela tali kulit yang tua, mengalir ke telapak tangannya. Ia mengambil sapu tangan dari saku jasnya, sapu tangan biru tua yang sama, yang semalam tak disentuh Alana. Lalu mulai mengeringkan bagian demi bagian.
Alana menunggu ledakan. Ia ingin pria itu memaki. Menyerangnya. Menegaskan bahwa pria di hadapannya adalah monster seperti yang digambarkan orang-orang pada Brian. Itu akan membuat semuanya lebih mudah. Membuat kebenciannya kembali solid. Tapi yang ia dapat hanya keheningan dan gerakan telaten. Bahkan ketika Brian mendapati tali kulit jam itu terlepas karena basah, ia tetap tenang. Wajahnya bukan marah, tapi sendu.
“Jam ini berhenti bekerja bertahun-tahun lalu,” ucap Brian pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. “Aku menyimpannya bukan karena fungsinya. Tapi karena kenangannya.” Ia menatap sapu tangan di tangannya, lalu menambahkan, “Sayang sekali, beberapa orang tidak mengerti apa yang dimaksud dengan sebuah kenangan.”
Alana terdiam. Tubuhnya masih dalam posisi kaku, tapi jantungnya menegang. Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada segala hinaan. Ia tahu kata-kata itu diarahkan kepadanya. Dan untuk sesaat, ada rasa sesak yang menumpuk di dadanya, rasa bersalah yang muncul tanpa izin.
Ia telah menyerang kenangan. Dan kenangan, dalam hidupnya sendiri, adalah satu-satunya hal yang membuat ia tetap bertahan dalam kondisi ini. Tidak bisa digantikan.
Brian akhirnya menoleh, tapi tak langsung tertuju pada Alana. matanya tenang dan dalam.
“Kau sengaja, ya?”
Kalimat itu tajam dan datar. Tak bernada tinggi, tapi tak bisa disangkal. Alana membuka mulutnya, tapi tak langsung menjawab.
Brian menambahkan, “Kalau iya, setidaknya lakukan dengan lebih cerdas. Lain kali jangan jatuhkan gelas air. Pakai anggur atau minuman lain. Akan lebih susah dibersihkan.”
Alana terpaku.Brian mengangguk pelan, lalu kembali menatap jam itu. “Aku selalu menghargai usaha dalam membuat strategi.”Brian meletakkan jam itu kembali dengan hati-hati, lalu menatap Alana untuk pertama kalinya, tak ada kemarahan didalamnya."Tapi jika kau ingin menyakitiku, Alana," katanya dengan suara tenang yang mengerikan.
"Kau harus mencari cara yang lebih baik dari ini. Karena caramu barusan... hanya menyakiti dirimu sendiri, bukan?"
Ia kemudian berjalan melewatinya untuk bersiap ke kantor, meninggalkan Alana yang berdiri membeku, merasa rencananya telah dibaca, dan serangannya justru menjadi bumerang yang telak.
Mobil hitam Alana meluncur pelan menuju Taman Kota, tempat yang sudah menjadi semacam ritual baginya selama setahun terakhir ini. Tempat di mana perjumpaan, cinta, penyesalan, dan perpisahan pernah bertemu dalam satu titik.Sesampainya di gerbang taman, ia menoleh pada Riana.“Riana, tolong biarkan aku sendiri kali ini,” ucapnya lembut.Riana sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan mata majikannya, ia hanya mengangguk.“Kau yakin Alana, apa nggak sebaiknya aku temani aja?”“Nggak usah, Riana. Tolong, Aku lagi nggak mau diganggu, sebentar aja, sampai aku hubungi kamu lagi.”
Alana terhuyung mendekat, napasnya terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah ledakan cahaya tadi. Di bawah pohon tua, ia melihatnya, tubuh Brian terbaring lunglai di atas rumput basah.“Tidak… tidak, tidak…” suaranya tertahan, hampir tidak bisa keluar.Dia menjatuhkan diri berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh wajah yang dulu begitu asing, namun kini terasa paling dicintainya. Jemarinya mencari-cari, menekan lembut di sisi leher, berusaha merasakan denyut nadi. Kosong.“Tidak… kumohon…” Alana memindahkan tangannya, kali ini mendekat ke hidung, mencari sedikit hembusan napas. Hampa.Panik, ia menempelkan telinganya di dada bidang itu, menahan napas, berharap, hanya berharap, mendengar detak jantung yang samar. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan.Tubuh ini… wadah yang selama 77 hari terakhir menampung jiwa kekasihnya, kini betul-betul kosong. Jiwa itu telah pergi. Brian Ravenshade … telah tiada.Alana tidak melepaskan pelukannya sepanjang malam. Di bawah
Alana menahan napas dan membanting setir ke kiri. BRAK! Mobilnya menghantam keras pembatas jalan, tubuhnya tersentak ke depan, hampir menghantam kemudi. Ban berdecit panjang, lalu berhenti mendadak.Truk itu melintas, klaksonnya masih meraung, pengemudinya berteriak marah dari balik kaca. Tapi suara itu hilang, tertelan oleh degup jantung Alana yang membahana di telinganya.Tangannya bergetar. Napasnya terengah-engah. Dunia seperti berputar.Tapi lalu matanya menangkapnya, deretan pepohonan hijau yang menandakan Taman Kota sudah sangat dekat.Dia tidak lagi peduli pada mobilnya yang penyok. Dengan gerakan putus asa, ia meraih tuas, membuka pintu, dan melompat keluar.Kakinya menghantam aspal, dingin dan keras, tapi ia tidak merasakannya. Ia langsung berlari, tubuhnya diterpa angin malam, langkahnya terhuyung-huyung oleh adrenalin yang membuncah.Melewati gerbang besi tua taman itu, ia berlari semakin kencang. Nafasnya tersengal-sengal, paru-parunya seperti terbakar, tapi ia tidak ber
“Cepat katakan padaku di mana dia!” desak Alana, suaranya bergetar antara ketakutan dan kemarahan.Nadia menatapnya lama, seolah sedang menimbang aturan tak tertulis yang mengikat dirinya. Sunyi sesaat terasa memanjang, lalu wanita itu menghela napas panjang.“Aku tidak bisa memberitahumu lokasi tepatnya,” katanya akhirnya. “Tapi… aku bisa memberimu petunjuk.”Alana menahan napas, tubuhnya tegang.“Dia akan pergi … di tempat di mana semuanya dimulai dan seharusnya berakhir. Tempat yang paling penting bagi kalian berdua.” Mata Nadia menatap lurus ke dalam jiwa Alana, seolah kalimat itu bukan sekadar petunjuk, melainkan sebuah kunci.Alana terpaku. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menyingkap kenangan satu per satu.“Tapi…” suara Nadia menggema rendah, seperti gema dari ruang tak kasat mata, “…waktunya hampir habis. Bahkan jika kau tahu di mana dia… kau mungkin tidak akan sampai tepat waktu.”“Aku tidak peduli,” jawab Alana tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Aku tetap akan mencarinya.”
Penyesalan itu menusuk dalam, seperti belati yang dipelintir berkali-kali di jantungnya. Alana baru menyadari ia telah menyia-nyiakan tujuh puluh tujuh hari bersama Chandra. Hari-hari yang ia habiskan dengan dingin, dengan kecurigaan, dengan jarak yang disengaja. Dan sekarang… waktu itu hampir habis.Panik merayap lebih cepat daripada air mata. Kesedihan yang tadi mencekik dadanya kini berubah menjadi kepanikan murni. Waktunya, berapa lama yang tersisa? Beberapa jam? Beberapa menit? Atau mungkin, ia bahkan sudah terlambat?Sambil masih terisak, ia bangkit berdiri dengan gerakan mendadak, kursi hampir terguling ke belakang. Nafasnya terengah, matanya merah, tapi tekadnya keras. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penolakan.Dia harus menemukannya. Dia harus memberitahunya.“Chandra…” bibirnya bergetar ketika menyebut nama itu, kali ini penuh dengan cinta yang selama ini ia tahan.Tanpa berpikir panjang, Alana berlari keluar dari ruang kerja, langkahnya terhuyung-huyung tapi tak ber
Alana masih terduduk di lantai ruang kerja, tubuhnya gemetar. Jurnal itu terbuka di pangkuannya, lembar-lembar usang berisi coretan tangan Chandra yang begitu familiar. Ia baru saja menyelesaikan membaca entri tentang perjanjian mustahil dengan sosok bernama Nadia, dan kini pikirannya terasa seperti pecah berkeping-keping.Dia menggeleng keras, air mata memburamkan pandangannya.“Enggak… ini nggak mungkin,” bisiknya, suaranya parau, seolah ia memohon pada ruangan kosong agar menyangkal kenyataan itu. “Ini pasti… bohong kan?”Tapi tulisannya terasa begitu nyata. Terlalu pribadi. Terlalu Chandra.Dengan tangan gemetar, Alana membalik halaman. Satu lagi. Dan satu lagi. Setiap baris seperti menancapkan jarum di dadanya.Ia membaca entri tentang hari pernikahan mereka. Kata-kata Chandra begitu sederhana namun menghancurkan: bagaimana jantungnya berdebar ketika melihat Alana melangkah di altar, bagaimana harapannya runtuh saat Alana memalingkan wajah, menolak ciuman yang seharusnya menjadi







