Share

Bab 11. Alana's Touch

Author: KiraYume
last update Last Updated: 2025-07-18 19:30:57

Studio Alana dipenuhi cahaya alami dari jendela besar yang menghadap ke timur. Dinding-dindingnya penuh dengan potongan kain, papan moodboard, dan sketsa desain yang tertempel rapi namun padat. Alana berdiri di tengah ruangan, membungkuk sedikit di atas meja kerja, tangannya sibuk menyesuaikan lipatan kain satin. Hari ini ia tidak ingin berpikir. Ia hanya ingin mencipta.

Alana kembali menjadi dirinya sendiri, bukan istri dari pria yang ia benci, bukan boneka di pesta keluarga, tapi seniman. Tangan dan pikirannya bekerja seirama, melupakan insiden pagi itu. Ia tidak ingin ingat jam tangan tua itu. Tidak sekarang.

Pintu utama terbuka dengan bunyi bel lembut. Riana masuk terlebih dahulu, "Bu Alana, tamu ibu sudah datang."

Riana lalu menepi, memberi jalan bagi tamu istimewa itu. Nyonya Amelia Tirtayasa. Rambutnya diangkat rapi dalam sanggul elegan, setelan tweed pastel yang pas badan, sepatu hak pendek yang mengilap, dan sebuah bros batu safir di dada, semuanya disusun sedemikian rupa hingga terlihat effortless. Tapi tidak ada yang benar-benar santai dari perempuan itu. Tatapannya tajam, langkahnya presisi. Aura kekuasaan sosial itu nyata dan dingin.

"Selamat datang, Nyonya Amelia," sapa Alana, cepat berdiri dan menyambut dengan senyum sopan.

"Studio ini... lebih kecil dari yang saya bayangkan," ucap Amelia sambil memutar pandangan ke sekeliling. "Tapi... hangat. Personal. Aku suka."

Alana mengangguk, lalu langsung mengarah ke papan presentasinya. "Hari ini saya ingin menunjukkan dua konsep utama yang bisa dikembangkan sesuai karakter Anda. Elegan. Potongan klasik dengan tekstur yang hidup. Tidak perlu perhiasan berlebihan karena detail akan berbicara sendiri."

Ia memutar papan ke arahnya, menunjukkan sketsa dan Moodboard. Tangannya bergerak cepa, suaranya mantap dan terdengar penuh gairah. Di momen itu, Alana kembali menjadi dirinya sendiri. Tak ada Chandra, tak ada Brian, tak ada permainan kekuasaan. Hanya garis, kain, dan intuisi.

Amelia memperhatikan tanpa menyela. Setelah Alana selesai bicara, ia diam sejenak, lalu mengangguk tipis.

"Orang-orang benar," katanya akhirnya, suaranya lebih hangat dari sebelumnya. "Julukan 'Alana's Touch' itu bukan omong kosong. Kau punya bakat yang nyata, Nak."

Alana sempat mengerjap. Ada kehangatan yang merambat pelan di dadanya. Pujian itu datang bukan dari empati, bukan karena belas kasihan, tapi karena hasil kerjanya. 

"Terima kasih, Bu. Saya akan pastikan gaun yang ibu percayakan pada saya ini menjadi karya terbaik saya," jawabnya dengan suara yang sedikit lebih lembut dari biasanya.

Nyonya Tirtayasa menyandarkan tubuhnya ringan ke sandaran kursi, menyipitkan mata sedikit, memperhatikan detail wajah Alana. "Dan saya suka seleramu," ujarnya, suaranya pelan namun tajam. "Berani. Sama seperti setelan putih di jamuan makan malam Ravenshade. Aku suka wanita yang tidak takut membuat pernyataan." Nada kalimat itu menggantung, sarat makna.

Alana menegang sesaat. Ia tidak menyangka gosip tentang penampilannya bisa menyebar secepat ini, dan terlebih lagi, sampai ke telinga wanita seperti Amelia. Tapi sebelum sempat membalas, pintu studionya terbuka. Tanpa ketukan. Tanpa aba-aba. Brian melangkah masuk.

Alana langsung berdiri. "Ada apa kau ke sini?" tanyanya cepat, berusaha menjaga suaranya tetap tenang, padahal darahnya mulai mendidih. Tapi Brian tidak menatapnya. Ia langsung menghampiri Nyonya Tirtayasa dan menjabat tangannya dengan percaya diri.

"Brian Ravenshade," katanya singkat.

Amelia tampak terpana sejenak. Sekilas saja, tapi cukup jelas. Matanya memindai pria itu, lalu kembali ke Alana.

"Saya senang istri saya bisa membantu Anda." Nada bicaranya ringan, tapi penekanan pada kata “istri saya” terdengar seperti pisau yang ditanamkan dalam-dalam. Alana tahu permainan ini. Klaim dan dominasi dalam balutan senyum.

Setelah beberapa basa-basi sopan, Brian menoleh pada Alana. Senyumnya tetap di wajah, tapi mata itu... terlalu tenang.

“Ngapain kamu ke sini?” ulang Alana, kali ini suaranya terdengar lebih datar, menyembunyikan nada ketusnya.

“Emangnya gak boleh nengokin istri di tempat kerjanya?” jawab Brian santai, lalu melangkah mendekat.

Tubuh Alana seketika menegang. Setiap langkahnya seolah mengusir udara dari ruangan. Amelia tampak menyimak dengan ketertarikan seorang penonton di kursi VIP.

Dengan gerakan lambat, Brian berhenti tepat di hadapan Alana. Ia menunduk sedikit, lalu mengecup ringan keningnya.

Lembut. Hangat. Tidak terburu-buru. 

Alana membeku. Suara di kepalanya berteriak untuk mundur, untuk menampar, untuk membalas. Tapi tubuhnya menolak bergerak..

Alana membeku total. Matanya melebar, dan untuk sesaat, dunia terasa seperti berhenti berputar. Ia tidak bisa mengatur napas, tidak bisa mengerti. Sentuhan bibir pria itu di keningnya belum hilang, lalu tanpa membiarkan Alana bereaksi, dengan gerakan yang nyaris aristokratik, Brian meraih mengecup punggung tangannya. Ringan. Penuh kontrol.

“Lanjutkan pekerjaanmu, honey. Aku berangkat ke kantor dulu ya.” katanya pelan. Suaranya begitu rendah, seolah hanya menyampaikan hal sepele. Kemudian ia berbalik dan melangkah pergi.

Alana tetap berdiri di tempat, bahkan setelah pintu studio kembali tertutup. Ruangan terasa terlalu senyap. Nyonya Tirtayasa menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata ringan, 

“Pengantin baru memang masih mesra ya … Kalau begitu sampai minggu depan, ya?” 

Nadanya sulit ditebak, antara simpati dan sindiran. Lalu ia pergi diantarkan Riana, membiarkan Alana yang masih melongo sendirian di tengah tumpukan kain dan sketsa yang sekarang tampak asing.

Begitu kliennya benar-benar menghilang dari pandangan, Alana mendesah keras. Ia menyentuh keningnya, pelan, seperti mencoba menghapus jejak yang terlalu lembut untuk disebut agresi, tapi terlalu nyata untuk dianggap angin lalu. Jantungnya masih berdetak cepat. Bukan karena marah, bukan sepenuhnya.

Ia mengambil ponselnya, membuka layar pesan, dan jari-jarinya mengetik cepat:

Kenapa kau menciumku tadi?” Tapi ia tidak mengirimkannya. Kata-kata itu terdengar terlalu defensif. Terlalu personal. Ia menghapusnya, lalu mencoba lagi. "Jangan lakukan itu lagi." Tapi pesan itu pun terasa seperti pengakuan bahwa ia terpengaruh.

Alana menaruh ponselnya di meja dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Ia menatap dinding putih di depannya, lalu memejamkan mata.

“Brengsek,” bisiknya pada dirinya sendiri. Suaranya lemah. Dan ia benci itu. Dalam hatinya bergejolak, ia menyentuh lagi keningnya.

“Tapi, yang tadi itu, rasanya seperti … Chandra?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Siska Pudjiastuti
"Rasanya seperti Chandra?" Itu pertanyaan paling bahaya. Harusnya benci, tapi malah bikin ragu. Brian, sebenernya kamu itu siapa sih?! Bikin pusing
goodnovel comment avatar
Vivi Olivia
Pasti hancur banget. Tempat paling aman (studio) diobrak-abrik sama kehadiran dia. Terus perasaannya dibikin campur aduk. Kasian banget Alana.
goodnovel comment avatar
Yuli Darmono
KURANG AJAR! Dateng gak diundang, main cium di depan orang. Itu bukan romantis, itu invasi dan klaim kekuasaan. Manipulator ulung emang!
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 136. Seperti Pencuri Di Rumah Sendiri

    Pagi itu, Alana menempelkan ponsel ke telinganya, suaranya dibuat lembut, nyaris manja, seperti anak yang pulang mencari perhatian. “Bu, Ibu di rumah nggak?” tanyanya, sengaja terdengar melankolis.“Oh, kebetulan sekali Ibu lagi nggak di rumah, Sayang. Ibu ikut menemani Ayah ke acara klub golf, mungkin pulangnya agak malam.” Suara Irine terdengar ceria, hangat, seperti biasa, membuat dada Alana terasa sesak. “Kenapa, ada apa sayang?”Alana menahan napas sejenak sebelum menjawab, menyamarkan kegugupannya dengan nada ringan.“Nggak apa-apa kok, Bu. Aku cuma tiba-tiba kangen rumah … kangen suasananya, kamar lamaku. Setelah semua yang terjadi, aku cuma pengin balik sebentar, ngerasain lagi rasanya ada di rumah. Kalau aku sama Brian mampir sore ini… nggak apa-

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 135. Rumah Masa Kecil

    Keesokan paginya, Alana duduk di ruang tengah penthouse dengan secangkir kopi yang bahkan tidak disentuh. Brian berdiri di belakang sofa, kedua tangannya bersedekap, wajahnya masih menyimpan ketegangan dari malam sebelumnya. Layar tablet besar di meja menyala, memperlihatkan wajah Rayhan Daffa di seberang sana.Panggilan video itu terasa dingin, nyaris seperti ruang sidang dadakan. Alana dan Brian bergantian menjelaskan teori baru mereka, tentang kemungkinan krisis Valestra yang sengaja direkayasa untuk memaksa pernikahan, dan obsesi Dina yang mungkin menjadi kunci.Rayhan mendengarkan tanpa memotong, matanya tajam, garis wajahnya semakin mengeras. Saat Alana berhenti berbicara, ruangan terasa senyap. Baru setelah beberapa detik, Rayhan menghela napas berat. “Itu adalah teori yang sangat kuat,” katanya pelan, namun mantap. “Itu menjelaskan motif Dina dengan sempurna. Tapi kalian tahu sendiri, tanpa bukti, itu hanya akan dianggap tuduhan liar yang bisa dengan mudah dipatahkan. Bahkan

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Ba 134. Kembali Ke Awal

    Alana menggelengkan kepalanya perlahan, seolah mencoba menyingkirkan bayangan buruk itu dari pikirannya. Suaranya nyaris patah ketika keluar. “Nggak… nggak mungkin. Dina mungkin jahat padaku, tapi dia mencintai keluarga yang lain. Dia nggak mungkin sengaja menghancurkan perusahaan ayah…”Brian menatapnya lama, tatapan yang tidak memberi ruang untuk ilusi. Bukan tatapan penghiburan, melainkan tatapan seorang pria yang terbiasa hidup dengan fakta dingin. “Dia memang nggak menghancurkannya, Alana,” ucapnya datar. “Dia hanya membuatnya cukup bermasalah, sampai butuh penyelamat. Itu beda tipis, tapi niatnya jelas.”Alana menelan ludah, matanya basah tapi tidak sampai pecah menjadi tangis. “Tapi… untuk apa? Kenapa dia harus melakukan itu pada Ayahku? Pada kita semua?”Brian menarik napas panjang, mengalihkan pandangan ke jendela besar yang memperlihatkan lampu-lampu Kaliandra berkelip. Suaranya terdengar berat, penuh keyakinan yang getir. “Itu yang harus kita cari. Setiap tindakan punya

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 133. Dua Anomali

    Alana berdiri di depan pintu kaca bertuliskan Valestra Group – Chairman Office. Ruangan ini adalah simbol kejayaan ayahnya, ruang yang penuh dengan suara tawa dan telepon sibuk. Kini, rasanya hampa. Ketika ia mendorong pintu itu, Silvano sedang duduk di balik meja besar yang pernah tampak begitu megah.“Alana,” sapa Silvano, terdengar ceria tapi kaku. Ada rasa asing dalam nada suaranya, seolah ia sendiri tidak tahu bagaimana harus bersikap di hadapan putrinya.Alana memaksakan senyum, mencoba memainkan perannya dengan baik. Ia melangkah pelan ke dalam, membiarkan pintu menutup dengan bunyi klik lembut. Silvano mengangkat kepala dari berkas-berkas di mejanya, alisnya sedikit terangkat. Jelas ia tidak menyangka kedatangan itu.“Alana?” suaranya terdengar kaku sekaligus heran. “Kau… jarang sekali datang tanpa kabar dulu. Ada urusan apa? Atau… kau butuh sesuatu?”Alana menelan ludah, lalu menundukkan kepala sebentar, seolah mencoba meredam keraguannya. “Bukan apa-apa yang mendesak, Ayah.

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 132. Kembali ke Masa Lalu

    Keesokan paginya, sinar matahari samar menembus tirai tebal penthouse. Aroma kopi segar memenuhi ruangan, namun bagi Alana, rasanya hambar. Ia baru saja menuangkan secangkir ketika langkah cepat terdengar dari lorong.“Alana.”Suara Brian membuatnya menoleh. Wajah pria itu pucat, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu yang berat. Di tangannya, sebuah tablet tergenggam erat.“Kau harus lihat ini.”Alana meletakkan cangkirnya di meja. Jemarinya ragu saat menerima tablet itu, dan begitu layar menyala, dunia seakan berhenti berputar.Seorang Mekanik Ditemukan Tewas dalam Dugaan Perampokan di Bengkel.Judul artikel itu sederhana, dingin. Di bawahnya, sebuah foto buram dengan wajah yang disensor. Namun Alana tidak butuh detail jelas untuk tahu siapa itu.Rendra.Udara di dadanya tersedot, cangkir yang tadi masih ia genggam bergetar hebat. “Tidak…” bisiknya, nyaris tak terdengar.Brian berdiri tegak, matanya muram, penuh kemarahan yang ditahan mati-matian. “Rayhan baru saja mengonfirmasin

  • Jiwa Kekasihku di Tubuh Suamiku   Bab 131. Rencana Pemalasan

    Beberapa jam sebelumnya.Leo duduk sendirian di ruang kerjanya yang remang. Lampu meja menerangi wajahnya yang pucat, sementara jari-jarinya bergetar tipis saat membuka sebuah laci tersembunyi. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah kartu nama lusuh dengan tinta hitam yang mulai memudar. Nama itu asing bagi banyak orang, tapi bagi Leo, itu adalah pilihan terakhir yang seharusnya tak pernah ia sentuh.Ia menatap kartu itu beberapa detik. Rahangnya mengeras. “Sialan…” gumamnya lirih. Lalu ia meraih ponselnya dan menekan nomor yang tercetak di sana.Nada sambung hanya terdengar dua kali sebelum sebuah suara serak dengan aksen berat Eropa Timur menjawab di seberang. “Sudah lama sekali, Tuan Muda Ravenshade.” Suara itu mengandung nada sinis, seolah menyimpan kenangan tentang utang lama.Leo bersandar ke kursinya, berusaha menahan kegugupan dengan nada sedingin es.“Aku butuh beberapa hal. Dan aku butuh seseorang untuk menangani… satu masalah.”“Masalah seperti apa?” tanya suara itu, nada rend

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status