Studio Alana dipenuhi cahaya alami dari jendela besar yang menghadap ke timur. Dinding-dindingnya penuh dengan potongan kain, papan moodboard, dan sketsa desain yang tertempel rapi namun padat. Alana berdiri di tengah ruangan, membungkuk sedikit di atas meja kerja, tangannya sibuk menyesuaikan lipatan kain satin. Hari ini ia tidak ingin berpikir. Ia hanya ingin mencipta.
Alana kembali menjadi dirinya sendiri, bukan istri dari pria yang ia benci, bukan boneka di pesta keluarga, tapi seniman. Tangan dan pikirannya bekerja seirama, melupakan insiden pagi itu. Ia tidak ingin ingat jam tangan tua itu. Tidak sekarang.Pintu utama terbuka dengan bunyi bel lembut. Riana masuk terlebih dahulu, "Bu Alana, tamu ibu sudah datang."
Riana lalu menepi, memberi jalan bagi tamu istimewa itu. Nyonya Amelia Tirtayasa. Rambutnya diangkat rapi dalam sanggul elegan, setelan tweed pastel yang pas badan, sepatu hak pendek yang mengilap, dan sebuah bros batu safir di dada, semuanya disusun sedemikian rupa hingga terlihat effortless. Tapi tidak ada yang benar-benar santai dari perempuan itu. Tatapannya tajam, langkahnya presisi. Aura kekuasaan sosial itu nyata dan dingin.
"Selamat datang, Nyonya Amelia," sapa Alana, cepat berdiri dan menyambut dengan senyum sopan.
"Studio ini... lebih kecil dari yang saya bayangkan," ucap Amelia sambil memutar pandangan ke sekeliling. "Tapi... hangat. Personal. Aku suka."
Alana mengangguk, lalu langsung mengarah ke papan presentasinya. "Hari ini saya ingin menunjukkan dua konsep utama yang bisa dikembangkan sesuai karakter Anda. Elegan. Potongan klasik dengan tekstur yang hidup. Tidak perlu perhiasan berlebihan karena detail akan berbicara sendiri."
Ia memutar papan ke arahnya, menunjukkan sketsa dan Moodboard. Tangannya bergerak cepa, suaranya mantap dan terdengar penuh gairah. Di momen itu, Alana kembali menjadi dirinya sendiri. Tak ada Chandra, tak ada Brian, tak ada permainan kekuasaan. Hanya garis, kain, dan intuisi.
Amelia memperhatikan tanpa menyela. Setelah Alana selesai bicara, ia diam sejenak, lalu mengangguk tipis.
"Orang-orang benar," katanya akhirnya, suaranya lebih hangat dari sebelumnya. "Julukan 'Alana's Touch' itu bukan omong kosong. Kau punya bakat yang nyata, Nak."
Alana sempat mengerjap. Ada kehangatan yang merambat pelan di dadanya. Pujian itu datang bukan dari empati, bukan karena belas kasihan, tapi karena hasil kerjanya.
"Terima kasih, Bu. Saya akan pastikan gaun yang ibu percayakan pada saya ini menjadi karya terbaik saya," jawabnya dengan suara yang sedikit lebih lembut dari biasanya.
Nyonya Tirtayasa menyandarkan tubuhnya ringan ke sandaran kursi, menyipitkan mata sedikit, memperhatikan detail wajah Alana. "Dan saya suka seleramu," ujarnya, suaranya pelan namun tajam. "Berani. Sama seperti setelan putih di jamuan makan malam Ravenshade. Aku suka wanita yang tidak takut membuat pernyataan." Nada kalimat itu menggantung, sarat makna.
Alana menegang sesaat. Ia tidak menyangka gosip tentang penampilannya bisa menyebar secepat ini, dan terlebih lagi, sampai ke telinga wanita seperti Amelia. Tapi sebelum sempat membalas, pintu studionya terbuka. Tanpa ketukan. Tanpa aba-aba. Brian melangkah masuk.
Alana langsung berdiri. "Ada apa kau ke sini?" tanyanya cepat, berusaha menjaga suaranya tetap tenang, padahal darahnya mulai mendidih. Tapi Brian tidak menatapnya. Ia langsung menghampiri Nyonya Tirtayasa dan menjabat tangannya dengan percaya diri.
"Brian Ravenshade," katanya singkat.
Amelia tampak terpana sejenak. Sekilas saja, tapi cukup jelas. Matanya memindai pria itu, lalu kembali ke Alana.
"Saya senang istri saya bisa membantu Anda." Nada bicaranya ringan, tapi penekanan pada kata “istri saya” terdengar seperti pisau yang ditanamkan dalam-dalam. Alana tahu permainan ini. Klaim dan dominasi dalam balutan senyum.
Setelah beberapa basa-basi sopan, Brian menoleh pada Alana. Senyumnya tetap di wajah, tapi mata itu... terlalu tenang.
“Ngapain kamu ke sini?” ulang Alana, kali ini suaranya terdengar lebih datar, menyembunyikan nada ketusnya.
“Emangnya gak boleh nengokin istri di tempat kerjanya?” jawab Brian santai, lalu melangkah mendekat.
Tubuh Alana seketika menegang. Setiap langkahnya seolah mengusir udara dari ruangan. Amelia tampak menyimak dengan ketertarikan seorang penonton di kursi VIP.
Dengan gerakan lambat, Brian berhenti tepat di hadapan Alana. Ia menunduk sedikit, lalu mengecup ringan keningnya.
Lembut. Hangat. Tidak terburu-buru.
Alana membeku. Suara di kepalanya berteriak untuk mundur, untuk menampar, untuk membalas. Tapi tubuhnya menolak bergerak..
Alana membeku total. Matanya melebar, dan untuk sesaat, dunia terasa seperti berhenti berputar. Ia tidak bisa mengatur napas, tidak bisa mengerti. Sentuhan bibir pria itu di keningnya belum hilang, lalu tanpa membiarkan Alana bereaksi, dengan gerakan yang nyaris aristokratik, Brian meraih mengecup punggung tangannya. Ringan. Penuh kontrol.“Lanjutkan pekerjaanmu, honey. Aku berangkat ke kantor dulu ya.” katanya pelan. Suaranya begitu rendah, seolah hanya menyampaikan hal sepele. Kemudian ia berbalik dan melangkah pergi.
Alana tetap berdiri di tempat, bahkan setelah pintu studio kembali tertutup. Ruangan terasa terlalu senyap. Nyonya Tirtayasa menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata ringan,
“Pengantin baru memang masih mesra ya … Kalau begitu sampai minggu depan, ya?”
Nadanya sulit ditebak, antara simpati dan sindiran. Lalu ia pergi diantarkan Riana, membiarkan Alana yang masih melongo sendirian di tengah tumpukan kain dan sketsa yang sekarang tampak asing.
Begitu kliennya benar-benar menghilang dari pandangan, Alana mendesah keras. Ia menyentuh keningnya, pelan, seperti mencoba menghapus jejak yang terlalu lembut untuk disebut agresi, tapi terlalu nyata untuk dianggap angin lalu. Jantungnya masih berdetak cepat. Bukan karena marah, bukan sepenuhnya.
Ia mengambil ponselnya, membuka layar pesan, dan jari-jarinya mengetik cepat:
“Kenapa kau menciumku tadi?” Tapi ia tidak mengirimkannya. Kata-kata itu terdengar terlalu defensif. Terlalu personal. Ia menghapusnya, lalu mencoba lagi. "Jangan lakukan itu lagi." Tapi pesan itu pun terasa seperti pengakuan bahwa ia terpengaruh.Alana menaruh ponselnya di meja dan duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Ia menatap dinding putih di depannya, lalu memejamkan mata.
“Brengsek,” bisiknya pada dirinya sendiri. Suaranya lemah. Dan ia benci itu. Dalam hatinya bergejolak, ia menyentuh lagi keningnya.
“Tapi, yang tadi itu, rasanya seperti … Chandra?”
Beberapa hari setelah insiden itu, butik Valestra Bridal tidak lagi terasa seperti tempat yang sama. Dinding putih yang dulu menenangkan kini seakan menindas. Di balik kaca jendela besar, dua pria bertubuh kekar berdiri tegak memakai jas hitam, bergantian mengawasi sekeliling.Di dalam, suara bor dan langkah sepatu teknisi menggema. Kamera-kamera baru kini tergantung di setiap sudut, berkedip pelan seperti mata-mata yang tak pernah lelah. Detektor gerakan, suhu infrared, hingga kunci biometrik juga sudah terpasang kemarin. Alana berdiri di pojok ruangan, tangannya menyilang di dada, matanya tajam mengamati proses pemasangan.Riana mencoba bekerja. Tangannya menata tumpukan kain satin di rak display, tapi gerakannya terlalu hati-hati, terlalu sadar. Sesekali ia melirik ke atas, ke arah kamera yang seolah menatap langsung ke tengkuknya. Ia menarik napas, me
Bab 15Riana duduk diam di ujung sofa tuanya. Lampu kuning temaram di apartemen kecil itu tidak cukup hangat untuk menenangkan pikirannya. Ponselnya menyala lagi di pangkuan, menampilkan pesan dari Alana. Pesan-pesan yang belum ia balas. Ia menatapnya tanpa benar-benar membaca. Tangannya gemetar. Rasanya seperti ada beban fisik yang mengendap di dadanya, dan semakin berat setiap kali ia mengabaikan notifikasi itu.Ia mengangkat wajahnya, pandangannya tertumbuk pada bingkai kayu di dinding. Foto tua dari masa SMA. Dirinya berdiri di tengah, dengan senyum lebar yang lepas, dikelilingi tawa gadis-gadis yang pernah menjadi dunianya. Salah satunya kini sedang menghancurkan hidupnya perlahan-lahan. Kenangan itu kini terasa busuk. Ia menutup mata. Lalu semuanya mengalir begitu saja, malam itu, dua minggu lalu.“Rianaaa!! Ih gila makin cantik aja lo…” Angel, salah satu temannya memujinya. “Mana gandengan lo?”“Ishh…gandengan gue ada…tuh..”“Eh…mana? Masih di mobil?”“Di masa depan…”“Ahaha…Si
Pikiran Alana kembali ke kejadian tadi pagi. Ke jam tangan basah yang seharusnya memancing amarah, tapi Brian justru bertindak tenang. Ia merasa sempat tertipu, tapi sekarang akan menjadi jelas.“Jadi begini caramu membalas dendam? Brian.”Alana berdiri mematung, tubuhnya terasa berat, seolah energi terakhirnya tersedot oleh malam yang tak berkesudahan ini. Gaun rusak itu menjulang di hadapannya, saksi bisu dari kehancuran yang begitu pribadi.Ia melihat Riana sedang berbicara dengan dua petugas polisi di dekat pintu masuk. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Wajahnya cemas, dan tangannya terus bergerak gelisah.Perhatian Alana terpecah ketika pintu buti
Langkah kaki terdengar dari ruang belakang. Riana muncul dengan wajah panik dan mata merah, napasnya tersengal seolah habis berlari.“Kenapa bisa gini Riana!?”“Sori, Alana... tadi aku cuma keluar sebentar buat cari makan. Cuma bentar, bener … tapi waktu aku balik, keadaannya udah kayak gini ….”Alana berbalik tajam. “Sebentar katamu?! Kamu tinggal butik ini sendirian? Kamu tadi bahkan nggak angkat teleponku! Dan barusan kamu ga ada disini! Kamu darimana?”“Sumpah, aku nggak tahu kenapa bisa jadi kayak gini, Alana!” suara Riana mulai serak, nyaris menangis. “Aku baru cek CCTV-nya barusan. Mati, Alana. Ga tau kenapa. Mati dari satu jam lalu.”Alana
Alana masih duduk membeku di kursi kulit studio, tubuhnya condong ke depan tanpa sadar, matanya kosong menatap satu titik. Ia menyentuh keningnya sekali lagi, lalu seketika menarik tangannya seperti habis menyentuh bara.Kehangatan aneh itu masih tersisa di kulitnya, membuat tubuhnya gelisah tanpa alasan yang jelas. Ia merasa kotor. Bingung. Tapi juga… ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih sulit diakui. Sebuah sisa hangat yang tak seharusnya bertahan selama ini.Pintu studio terbuka perlahan. Riana masuk sambil membawa segelas air, dahinya mengernyit khawatir.“Alana… kamu pucat banget. Kenapa? Diapain sama suami kamu?” tanyanya, nada suaranya datar tapi matanya jelas menunjukkan kekhawatiran yang tulus. Ia meletakkan gelas di meja kecil dekat sketsa.
Studio Alana dipenuhi cahaya alami dari jendela besar yang menghadap ke timur. Dinding-dindingnya penuh dengan potongan kain, papan moodboard, dan sketsa desain yang tertempel rapi namun padat. Alana berdiri di tengah ruangan, membungkuk sedikit di atas meja kerja, tangannya sibuk menyesuaikan lipatan kain satin. Hari ini ia tidak ingin berpikir. Ia hanya ingin mencipta.Alana kembali menjadi dirinya sendiri, bukan istri dari pria yang ia benci, bukan boneka di pesta keluarga, tapi seniman. Tangan dan pikirannya bekerja seirama, melupakan insiden pagi itu. Ia tidak ingin ingat jam tangan tua itu. Tidak sekarang.Pintu utama terbuka dengan bunyi bel lembut. Riana masuk terlebih dahulu, "Bu Alana, tamu ibu sudah datang."Riana lalu menep