LOGINAlana memejamkan mata sesaat, dan kenangan itu kembali seperti sinema yang diputar dari masa lalu yang jauh.
Beberapa hari sebelum tragedi, Chandra mengunjunginya di butik.“Aku lihat tanah kosong di pinggiran kota, pikir ini bisa jadi tempat kita nanti,” kata Chandra pelan. “Nggak ada keramaian. Nggak ada bising mobil. Cuma suara air dan burung. Lokasinya juga persis di depan danau”
“Lihat,” kata Chandra sambil menunjuk layar tablet yang kemudian menampilkan desain rumah satu lantai sederhana, tapi terlihat sejuk dengan gaya tropis.
“Aku bikin ini semalam. Ini masih sketsa kasar, tapi...”“Di studio kamu jendelanya besar, supaya kamu bisa dapet cahaya alami pas lagi ngerjain desain-desain kamu.” Senyumnya merekah, matanya hangat.
“Ruang keluarganya aku buat tanpa sekat sampai dapur, biar kerasa luas. Dan teras ini... tempat kita ngobrol sambil minum kopi. Di akhir pekan atau di hari libur. Sambil lihat sejuknya danau.”
Suara Chandra semakin menurun. “Aku tahu perjalanan kita belum sampai ke sana. Tapi aku pengen ngasih kamu suatu impian yang bisa disentuh, dibangun sedikit demi sedikit dengan tanganku, dengan usahaku sendiri, dan untukmu, semakin lama, semakin nyata.”Alana menoleh. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak menangis, tapi seluruh tubuhnya terasa hangat. Ia tidak pernah meminta apa-apa, tapi di hadapannya ada segalanya.
Chandra meraih tangannya. Ibu jarinya menyeka sudut mata Alana dengan gerakan sangat pelan.
“Kalau kamu suka, aku bakal nabung dari sekarang… atau nanti aku cari KPRan…” ucapnya sambil tertawa kecil, berusaha meredakan haru.
Mereka berpelukan. Lama. Tak ada kata, tak ada suara. Hanya dua tubuh yang saling percaya. Dan dunia yang untuk beberapa saat, serasa hanya milik mereka.
Chandra seharusnya tahu, dengan segala materi yang dimiliki Alana, Ia mampu membangun rumah itu hanya dengan satu permintaan. Biaya membangun Rumah sebesar itu hanya hal sepele bagi Alana.
Tapi bukan itu yang penting bagi mereka. Yang berharga adalah prosesnya, pengorbanan yang menjadi bukti cinta. Hal-hal sederhana dari Chandra. Bahwa Chandra ingin memberi sesuatu untuknya, dari hal yang ia perjuangkan sendiri. Semua itu membuat rumah impian yang bagi orang lain tak seberapa itu menjadi tak ternilai.
Sekarang, di dalam mobil yang sunyi, Alana menatap gambar rumah itu di ponselnya. Tangannya gemetar. Di luar jendela, rumah-rumah megah di kompleks perumahan mewah berjajar, sempurna, steril, tanpa jiwa.
Tak ada satu pun yang seperti rumah impian mereka. Air mulai berkumpul di pelupuk matanya, hangat dan menusuk.
Tiba-tiba sebuah sapu tangan disodorkan ke arahnya. Warna biru tua, sutra halus. “Jangan nangis,” suara Brian terdengar pelan. “Nanti senyum cantikmu luntur.”
Alana membeku. Ucapan itu, nadanya, pemilihan katanya. Sama persis dengan kalimat yang dulu selalu dikatakan Chandra setiap kali ia menangis karena hal-hal sepele.
“Nggak mungkin.” Ia menoleh, menatap wajah pria itu, mencoba menemukan sesuatu yang bisa menjelaskan. Tapi yang ia lihat hanyalah Brian. Tenang. Tidak menatapnya. Tidak memaksa.
Pikirannya berlari. Tidak mungkin ini kebetulan. Tidak mungkin tiga kali dalam satu malam. Tapi kemudian pikirannya membalik. Ia memejamkan mata.
“Tidak. Jangan bodoh, Alana. Pria ini... ia pasti menyelidiki segalanya tentangku. Tentang Chandra. Tentang kita.” Ia menarik napas tajam, membuang muka ke jendela dengan gerakan kasar. “Simpan aja. Aku nggak butuh.” Kata-kata itu terlontar cepat. Tajam. Dingin. “Kau yakin?” Brian masih mencoba menyeka air mata yang tiba-tiba saja menetes. Alana tak menjawab, hanya memalingkan wajahnya ke jendela semakin jauh. Ia tidak mengambil sapu tangan itu. Ia menolak kelembutan yang terasa begitu beracun.Ia kembali mengingat, bahwa Pria ini adalah adalah orang yang membunuh kekasihnya, walau secara tak langsung. Merenggut hari-hari bahagia yang seharusnya sedang ia nikmati bersama Chandra. Membinasakan semua impian dan masa depannya.
Amarah kembali membakarnya. Dalam hati, ia bersumpah, karena yang terbangun dari hati Alana bukan rasa iba. Tapi dendam yang semakin membara.
“Kalau memang ini permainan yang kau lakukan untuk menaklukkan hatiku, Brian. Maka akan aku pastikan kau kecewa….”
Mobil hitam Alana meluncur pelan menuju Taman Kota, tempat yang sudah menjadi semacam ritual baginya selama setahun terakhir ini. Tempat di mana perjumpaan, cinta, penyesalan, dan perpisahan pernah bertemu dalam satu titik.Sesampainya di gerbang taman, ia menoleh pada Riana.“Riana, tolong biarkan aku sendiri kali ini,” ucapnya lembut.Riana sempat ingin menolak, tapi melihat tatapan mata majikannya, ia hanya mengangguk.“Kau yakin Alana, apa nggak sebaiknya aku temani aja?”“Nggak usah, Riana. Tolong, Aku lagi nggak mau diganggu, sebentar aja, sampai aku hubungi kamu lagi.”
Alana terhuyung mendekat, napasnya terengah-engah, tubuhnya masih bergetar setelah ledakan cahaya tadi. Di bawah pohon tua, ia melihatnya, tubuh Brian terbaring lunglai di atas rumput basah.“Tidak… tidak, tidak…” suaranya tertahan, hampir tidak bisa keluar.Dia menjatuhkan diri berlutut di sampingnya, tangannya gemetar saat menyentuh wajah yang dulu begitu asing, namun kini terasa paling dicintainya. Jemarinya mencari-cari, menekan lembut di sisi leher, berusaha merasakan denyut nadi. Kosong.“Tidak… kumohon…” Alana memindahkan tangannya, kali ini mendekat ke hidung, mencari sedikit hembusan napas. Hampa.Panik, ia menempelkan telinganya di dada bidang itu, menahan napas, berharap, hanya berharap, mendengar detak jantung yang samar. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan.Tubuh ini… wadah yang selama 77 hari terakhir menampung jiwa kekasihnya, kini betul-betul kosong. Jiwa itu telah pergi. Brian Ravenshade … telah tiada.Alana tidak melepaskan pelukannya sepanjang malam. Di bawah
Alana menahan napas dan membanting setir ke kiri. BRAK! Mobilnya menghantam keras pembatas jalan, tubuhnya tersentak ke depan, hampir menghantam kemudi. Ban berdecit panjang, lalu berhenti mendadak.Truk itu melintas, klaksonnya masih meraung, pengemudinya berteriak marah dari balik kaca. Tapi suara itu hilang, tertelan oleh degup jantung Alana yang membahana di telinganya.Tangannya bergetar. Napasnya terengah-engah. Dunia seperti berputar.Tapi lalu matanya menangkapnya, deretan pepohonan hijau yang menandakan Taman Kota sudah sangat dekat.Dia tidak lagi peduli pada mobilnya yang penyok. Dengan gerakan putus asa, ia meraih tuas, membuka pintu, dan melompat keluar.Kakinya menghantam aspal, dingin dan keras, tapi ia tidak merasakannya. Ia langsung berlari, tubuhnya diterpa angin malam, langkahnya terhuyung-huyung oleh adrenalin yang membuncah.Melewati gerbang besi tua taman itu, ia berlari semakin kencang. Nafasnya tersengal-sengal, paru-parunya seperti terbakar, tapi ia tidak ber
“Cepat katakan padaku di mana dia!” desak Alana, suaranya bergetar antara ketakutan dan kemarahan.Nadia menatapnya lama, seolah sedang menimbang aturan tak tertulis yang mengikat dirinya. Sunyi sesaat terasa memanjang, lalu wanita itu menghela napas panjang.“Aku tidak bisa memberitahumu lokasi tepatnya,” katanya akhirnya. “Tapi… aku bisa memberimu petunjuk.”Alana menahan napas, tubuhnya tegang.“Dia akan pergi … di tempat di mana semuanya dimulai dan seharusnya berakhir. Tempat yang paling penting bagi kalian berdua.” Mata Nadia menatap lurus ke dalam jiwa Alana, seolah kalimat itu bukan sekadar petunjuk, melainkan sebuah kunci.Alana terpaku. Kata-kata itu berputar di kepalanya, menyingkap kenangan satu per satu.“Tapi…” suara Nadia menggema rendah, seperti gema dari ruang tak kasat mata, “…waktunya hampir habis. Bahkan jika kau tahu di mana dia… kau mungkin tidak akan sampai tepat waktu.”“Aku tidak peduli,” jawab Alana tegas, tanpa ragu sedikit pun. “Aku tetap akan mencarinya.”
Penyesalan itu menusuk dalam, seperti belati yang dipelintir berkali-kali di jantungnya. Alana baru menyadari ia telah menyia-nyiakan tujuh puluh tujuh hari bersama Chandra. Hari-hari yang ia habiskan dengan dingin, dengan kecurigaan, dengan jarak yang disengaja. Dan sekarang… waktu itu hampir habis.Panik merayap lebih cepat daripada air mata. Kesedihan yang tadi mencekik dadanya kini berubah menjadi kepanikan murni. Waktunya, berapa lama yang tersisa? Beberapa jam? Beberapa menit? Atau mungkin, ia bahkan sudah terlambat?Sambil masih terisak, ia bangkit berdiri dengan gerakan mendadak, kursi hampir terguling ke belakang. Nafasnya terengah, matanya merah, tapi tekadnya keras. Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi penolakan.Dia harus menemukannya. Dia harus memberitahunya.“Chandra…” bibirnya bergetar ketika menyebut nama itu, kali ini penuh dengan cinta yang selama ini ia tahan.Tanpa berpikir panjang, Alana berlari keluar dari ruang kerja, langkahnya terhuyung-huyung tapi tak ber
Alana masih terduduk di lantai ruang kerja, tubuhnya gemetar. Jurnal itu terbuka di pangkuannya, lembar-lembar usang berisi coretan tangan Chandra yang begitu familiar. Ia baru saja menyelesaikan membaca entri tentang perjanjian mustahil dengan sosok bernama Nadia, dan kini pikirannya terasa seperti pecah berkeping-keping.Dia menggeleng keras, air mata memburamkan pandangannya.“Enggak… ini nggak mungkin,” bisiknya, suaranya parau, seolah ia memohon pada ruangan kosong agar menyangkal kenyataan itu. “Ini pasti… bohong kan?”Tapi tulisannya terasa begitu nyata. Terlalu pribadi. Terlalu Chandra.Dengan tangan gemetar, Alana membalik halaman. Satu lagi. Dan satu lagi. Setiap baris seperti menancapkan jarum di dadanya.Ia membaca entri tentang hari pernikahan mereka. Kata-kata Chandra begitu sederhana namun menghancurkan: bagaimana jantungnya berdebar ketika melihat Alana melangkah di altar, bagaimana harapannya runtuh saat Alana memalingkan wajah, menolak ciuman yang seharusnya menjadi







