Malam itu, apartemen mungil Riana terasa lebih sempit dari biasanya. Udara tak bergerak, seolah menahan napas bersamanya. Sebuah paket kecil tanpa nama pengirim tergeletak di depan pintu apartmentnya.Perutnya langsung berontak. Ia mundur satu langkah, lalu dua. Pikirannya meloncat-loncat. Kalau pria itu sampai tahu alamat apartemennya, berarti dia tahu lebih banyak. Terlalu banyak. Ia memejamkan mata, menahan napas dalam-dalam. Tangannya gemetar saat akhirnya membuka bungkus coklat lusuh itu dan menemukan sebuah USB drive berwarna hitam matte beserta secarik kertas di dalamnya.Ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal, tapi ia tahu siapa yang menelepon. Suara di seberang terdengar tenang, nyaris santai. Seperti sedang memesan kopi, bukan memerintah kejahatan."Kayak biasa aja, ikuti petunjuknya," kata pria itu.
Beberapa hari setelah insiden itu, butik Valestra Bridal tidak lagi terasa seperti tempat yang sama. Dinding putih yang dulu menenangkan kini seakan menindas. Di balik kaca jendela besar, dua pria bertubuh kekar berdiri tegak memakai jas hitam, bergantian mengawasi sekeliling.Di dalam, suara bor dan langkah sepatu teknisi menggema. Kamera-kamera baru kini tergantung di setiap sudut, berkedip pelan seperti mata-mata yang tak pernah lelah. Detektor gerakan, suhu infrared, hingga kunci biometrik juga sudah terpasang kemarin. Alana berdiri di pojok ruangan, tangannya menyilang di dada, matanya tajam mengamati proses pemasangan.Riana mencoba bekerja. Tangannya menata tumpukan kain satin di rak display, tapi gerakannya terlalu hati-hati, terlalu sadar. Sesekali ia melirik ke atas, ke arah kamera yang seolah menatap langsung ke tengkuknya. Ia menarik napas, me
Bab 15Riana duduk diam di ujung sofa tuanya. Lampu kuning temaram di apartemen kecil itu tidak cukup hangat untuk menenangkan pikirannya. Ponselnya menyala lagi di pangkuan, menampilkan pesan dari Alana. Pesan-pesan yang belum ia balas. Ia menatapnya tanpa benar-benar membaca. Tangannya gemetar. Rasanya seperti ada beban fisik yang mengendap di dadanya, dan semakin berat setiap kali ia mengabaikan notifikasi itu.Ia mengangkat wajahnya, pandangannya tertumbuk pada bingkai kayu di dinding. Foto tua dari masa SMA. Dirinya berdiri di tengah, dengan senyum lebar yang lepas, dikelilingi tawa gadis-gadis yang pernah menjadi dunianya. Salah satunya kini sedang menghancurkan hidupnya perlahan-lahan. Kenangan itu kini terasa busuk. Ia menutup mata. Lalu semuanya mengalir begitu saja, malam itu, dua minggu lalu.“Rianaaa!! Ih gila makin cantik aja lo…” Angel, salah satu temannya memujinya. “Mana gandengan lo?”“Ishh…gandengan gue ada…tuh..”“Eh…mana? Masih di mobil?”“Di masa depan…”“Ahaha…Si
Pikiran Alana kembali ke kejadian tadi pagi. Ke jam tangan basah yang seharusnya memancing amarah, tapi Brian justru bertindak tenang. Ia merasa sempat tertipu, tapi sekarang akan menjadi jelas.“Jadi begini caramu membalas dendam? Brian.”Alana berdiri mematung, tubuhnya terasa berat, seolah energi terakhirnya tersedot oleh malam yang tak berkesudahan ini. Gaun rusak itu menjulang di hadapannya, saksi bisu dari kehancuran yang begitu pribadi.Ia melihat Riana sedang berbicara dengan dua petugas polisi di dekat pintu masuk. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Wajahnya cemas, dan tangannya terus bergerak gelisah.Perhatian Alana terpecah ketika pintu buti
Langkah kaki terdengar dari ruang belakang. Riana muncul dengan wajah panik dan mata merah, napasnya tersengal seolah habis berlari.“Kenapa bisa gini Riana!?”“Sori, Alana... tadi aku cuma keluar sebentar buat cari makan. Cuma bentar, bener … tapi waktu aku balik, keadaannya udah kayak gini ….”Alana berbalik tajam. “Sebentar katamu?! Kamu tinggal butik ini sendirian? Kamu tadi bahkan nggak angkat teleponku! Dan barusan kamu ga ada disini! Kamu darimana?”“Sumpah, aku nggak tahu kenapa bisa jadi kayak gini, Alana!” suara Riana mulai serak, nyaris menangis. “Aku baru cek CCTV-nya barusan. Mati, Alana. Ga tau kenapa. Mati dari satu jam lalu.”Alana
Alana masih duduk membeku di kursi kulit studio, tubuhnya condong ke depan tanpa sadar, matanya kosong menatap satu titik. Ia menyentuh keningnya sekali lagi, lalu seketika menarik tangannya seperti habis menyentuh bara.Kehangatan aneh itu masih tersisa di kulitnya, membuat tubuhnya gelisah tanpa alasan yang jelas. Ia merasa kotor. Bingung. Tapi juga… ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih sulit diakui. Sebuah sisa hangat yang tak seharusnya bertahan selama ini.Pintu studio terbuka perlahan. Riana masuk sambil membawa segelas air, dahinya mengernyit khawatir.“Alana… kamu pucat banget. Kenapa? Diapain sama suami kamu?” tanyanya, nada suaranya datar tapi matanya jelas menunjukkan kekhawatiran yang tulus. Ia meletakkan gelas di meja kecil dekat sketsa.