Pikiran Alana kembali ke kejadian tadi pagi. Ke jam tangan basah yang seharusnya memancing amarah, tapi Brian justru bertindak tenang. Ia merasa sempat tertipu, tapi sekarang akan menjadi jelas.
“Jadi begini caramu membalas dendam? Brian.”Alana berdiri mematung, tubuhnya terasa berat, seolah energi terakhirnya tersedot oleh malam yang tak berkesudahan ini. Gaun rusak itu menjulang di hadapannya, saksi bisu dari kehancuran yang begitu pribadi.
Ia melihat Riana sedang berbicara dengan dua petugas polisi di dekat pintu masuk. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Wajahnya cemas, dan tangannya terus bergerak gelisah.
Perhatian Alana terpecah ketika pintu butik terbuka. Brian masuk tanpa berkata sepatah kata pun, dengan langkah mantap dan sorot mata yang menghitung segalanya. Di belakangnya, Vincent membawa tablet, siap mencatat.
Tidak ada tanda-tanda keterkejutan di wajah Brian. Tidak ada kekhawatiran, tidak ada kemarahan, bahkan tidak ada tanya. Matanya langsung memindai seluruh ruangan, dan ketika akhirnya berhenti di gaun yang rusak, tatapannya hanya menajam, tidak berubah. Ia menilai kerugian, bukan rasa sakit istrinya.
"Saya Brian Ravenshade," katanya padaa kedua polisi itu dengan tenang.
"Mulai saat ini, semua temuan dan laporan tolong teruskan ke Vincent. Kami akan ambil alih penyelidikan ini secara internal."
Polisi yang mendengar nama itu seketika mengangguk tanpa protes. Suara bolpoin berhenti. Mereka menoleh ke Vincent, menunggu arahan selanjutnya.
Alana tidak bergerak. Ia hanya menatap semua itu. Ia melihat bagaimana ruangan miliknya, tempat yang ia bangun dari nol, disulap menjadi ruang dewan darurat milik keluarga Ravenshade. Brian tidak menatapnya, apalagi menenangkannya. Tidak ada pelukan. Tidak ada kalimat sederhana yang bisa meredakan kekacauan di dalam dadanya.
Ia merasa ingin muntah. “Sudah kuduga, dia tahu…” Kecurigaan Alana semakin terasa jelas.
Perjalanan pulang mereka berlangsung dalam diam. Ada beban tak kasatmata yang membuat dada Alana terasa sesak. Tangannya menggenggam erat anting kecil itu di dalam saku mantelnya.
Di dalam mobil, ia melirik Brian sekali, lalu cepat-cepat memalingkan wajahnya. Pria itu menatap lurus ke depan, ekspresinya tak berubah, tenang dan dingin. Seolah hari ini hanya urusan administrasi biasa.
Malam itu, setibanya di penthouse, Alana tidak melepas mantelnya. Ia langsung menuju studio pribadinya dan menghidupkan lampu meja kerja. Ia tahu ia tidak akan bisa tidur. Pikirannya masih terlalu penuh.
Tangannya mulai bergerak di atas kertas. Lembaran sketsa baru terbuka, garis demi garis ditarik, dilapis ulang, dicoret, dihapus, lalu diganti. Ia mencoba merekonstruksi gaun yang telah dihancurkan, mencoba memulihkan kehormatannya. Mencoba menyelamatkan karier yang selama ini ia bangun dengan darah, air mata, dan tekad.
Langkah kaki terdengar mendekat. Brian berhenti di ambang pintu, tablet di tangan. Alana pura-pura tidak mendengar.
"Aku sudah meninjau laporan keamanan dari butikmu," ucap Brian, suaranya datar. "Sistemnya sudah usang."
Alana berhenti menggambar. Tangannya masih menggenggam pensil, tapi jari-jarinya menegang. Ia tidak menoleh.
"Kamu melihat bisnis istrimu di ambang kehancuran, tapi yang kamu pikirkan malah laporan keamanan? Bantu apa kek ... Ga guna banget jadi suami." Nadanya sarkastik, suara dingin yang ditarik dari dalam luka, mencoba untuk melukai hati pria itu.
Brian tidak membalas. Ia meletakkan tablet itu di atas meja kerja Alana. Di layar terpampang proposal sistem keamanan lengkap dari divisi teknologi Ravenshade. Kamera terbaru dengan pengenalan wajah, sensor gerak, sistem cadangan daya, hingga akses biometrik yang hanya bisa diatur dari pusat kendali utama perusahaan.
"Besok pagi, tim security akan datang untuk memasang sistem ini. Mereka hanya butuh beberapa jam. Berikan mereka akses penuh."
Alana mendongak perlahan. Wajahnya merah, napasnya berat. Tangannya gemetar saat membanting pensil ke meja.
"Jangan pura-pura, Ravenshade!" teriaknya akhirnya, berdiri dari kursinya. "Ini permainanmu, kan!? Kau datang ke butikku, mengacaukan segalanya, dan sekarang mau mengganti sistemnya dengan teknologi perusahaanmu? Kenapa? Agar kau bisa mengambilnya juga? Kau tidak punya hak!"
Nada suaranya pecah. Marah, juga terluka.
"Itu butikku! Mimpiku! Tempat yang aku bangun sendiri. Kau tidak bisa datang dan mengubahnya jadi mainan barumu!"
Brian tidak segera menjawab. Ia berdiri di tempatnya, menatap Alana seperti sedang menakar sesuatu dalam dirinya. Lalu akhirnya ia membuka suara, tenang dan kaku seperti seorang pengacara yang membacakan pasal perjanjian.
“Secara hukum, setelah akuisisi, Valestra Bridal adalah aset dari aliansi Valestra-Ravenshade,” katanya pelan, tapi jelas. “Dan aku tidak akan membiarkan aset kita tidak terlindungi dan rentan terhadap serangan seperti ini.”
Mendengar kata “Aset” rasanya seperti tusukan tepat di ulu hati Alana. Baginya butik itu adalah seluruh hidupnya. Tapi bagi Brian, semua itu hanya aset. Sederet angka dalam neraca keuangan Ravenshade
“Aku tidak butuh perlindunganmu!” serunya, suaranya serak. “Aku bisa mengurus diriku sendiri!”
Brian tak bereaksi. Ia mengambil tabletnya dari meja, lalu ia menatap lurus ke mata Alana, tatapannya dingin.
Alana membalas tatapannya, namun ada sesuatu yang lain, tatapan Brian tiba-tiba terlihat sendu, sesuatu yang terlihat seperti kepedulian yang disamarkan dengan buruk.
“Kau tak butuh perlindunganku?” tanya Brian pelan, hampir seperti ejekan. Lalu muncul senyum kecil di sudut bibirnya. “Sayangnya, fakta menunjukkan sebaliknya.”
Beberapa hari setelah insiden itu, butik Valestra Bridal tidak lagi terasa seperti tempat yang sama. Dinding putih yang dulu menenangkan kini seakan menindas. Di balik kaca jendela besar, dua pria bertubuh kekar berdiri tegak memakai jas hitam, bergantian mengawasi sekeliling.Di dalam, suara bor dan langkah sepatu teknisi menggema. Kamera-kamera baru kini tergantung di setiap sudut, berkedip pelan seperti mata-mata yang tak pernah lelah. Detektor gerakan, suhu infrared, hingga kunci biometrik juga sudah terpasang kemarin. Alana berdiri di pojok ruangan, tangannya menyilang di dada, matanya tajam mengamati proses pemasangan.Riana mencoba bekerja. Tangannya menata tumpukan kain satin di rak display, tapi gerakannya terlalu hati-hati, terlalu sadar. Sesekali ia melirik ke atas, ke arah kamera yang seolah menatap langsung ke tengkuknya. Ia menarik napas, me
Bab 15Riana duduk diam di ujung sofa tuanya. Lampu kuning temaram di apartemen kecil itu tidak cukup hangat untuk menenangkan pikirannya. Ponselnya menyala lagi di pangkuan, menampilkan pesan dari Alana. Pesan-pesan yang belum ia balas. Ia menatapnya tanpa benar-benar membaca. Tangannya gemetar. Rasanya seperti ada beban fisik yang mengendap di dadanya, dan semakin berat setiap kali ia mengabaikan notifikasi itu.Ia mengangkat wajahnya, pandangannya tertumbuk pada bingkai kayu di dinding. Foto tua dari masa SMA. Dirinya berdiri di tengah, dengan senyum lebar yang lepas, dikelilingi tawa gadis-gadis yang pernah menjadi dunianya. Salah satunya kini sedang menghancurkan hidupnya perlahan-lahan. Kenangan itu kini terasa busuk. Ia menutup mata. Lalu semuanya mengalir begitu saja, malam itu, dua minggu lalu.“Rianaaa!! Ih gila makin cantik aja lo…” Angel, salah satu temannya memujinya. “Mana gandengan lo?”“Ishh…gandengan gue ada…tuh..”“Eh…mana? Masih di mobil?”“Di masa depan…”“Ahaha…Si
Pikiran Alana kembali ke kejadian tadi pagi. Ke jam tangan basah yang seharusnya memancing amarah, tapi Brian justru bertindak tenang. Ia merasa sempat tertipu, tapi sekarang akan menjadi jelas.“Jadi begini caramu membalas dendam? Brian.”Alana berdiri mematung, tubuhnya terasa berat, seolah energi terakhirnya tersedot oleh malam yang tak berkesudahan ini. Gaun rusak itu menjulang di hadapannya, saksi bisu dari kehancuran yang begitu pribadi.Ia melihat Riana sedang berbicara dengan dua petugas polisi di dekat pintu masuk. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Wajahnya cemas, dan tangannya terus bergerak gelisah.Perhatian Alana terpecah ketika pintu buti
Langkah kaki terdengar dari ruang belakang. Riana muncul dengan wajah panik dan mata merah, napasnya tersengal seolah habis berlari.“Kenapa bisa gini Riana!?”“Sori, Alana... tadi aku cuma keluar sebentar buat cari makan. Cuma bentar, bener … tapi waktu aku balik, keadaannya udah kayak gini ….”Alana berbalik tajam. “Sebentar katamu?! Kamu tinggal butik ini sendirian? Kamu tadi bahkan nggak angkat teleponku! Dan barusan kamu ga ada disini! Kamu darimana?”“Sumpah, aku nggak tahu kenapa bisa jadi kayak gini, Alana!” suara Riana mulai serak, nyaris menangis. “Aku baru cek CCTV-nya barusan. Mati, Alana. Ga tau kenapa. Mati dari satu jam lalu.”Alana
Alana masih duduk membeku di kursi kulit studio, tubuhnya condong ke depan tanpa sadar, matanya kosong menatap satu titik. Ia menyentuh keningnya sekali lagi, lalu seketika menarik tangannya seperti habis menyentuh bara.Kehangatan aneh itu masih tersisa di kulitnya, membuat tubuhnya gelisah tanpa alasan yang jelas. Ia merasa kotor. Bingung. Tapi juga… ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih sulit diakui. Sebuah sisa hangat yang tak seharusnya bertahan selama ini.Pintu studio terbuka perlahan. Riana masuk sambil membawa segelas air, dahinya mengernyit khawatir.“Alana… kamu pucat banget. Kenapa? Diapain sama suami kamu?” tanyanya, nada suaranya datar tapi matanya jelas menunjukkan kekhawatiran yang tulus. Ia meletakkan gelas di meja kecil dekat sketsa.
Studio Alana dipenuhi cahaya alami dari jendela besar yang menghadap ke timur. Dinding-dindingnya penuh dengan potongan kain, papan moodboard, dan sketsa desain yang tertempel rapi namun padat. Alana berdiri di tengah ruangan, membungkuk sedikit di atas meja kerja, tangannya sibuk menyesuaikan lipatan kain satin. Hari ini ia tidak ingin berpikir. Ia hanya ingin mencipta.Alana kembali menjadi dirinya sendiri, bukan istri dari pria yang ia benci, bukan boneka di pesta keluarga, tapi seniman. Tangan dan pikirannya bekerja seirama, melupakan insiden pagi itu. Ia tidak ingin ingat jam tangan tua itu. Tidak sekarang.Pintu utama terbuka dengan bunyi bel lembut. Riana masuk terlebih dahulu, "Bu Alana, tamu ibu sudah datang."Riana lalu menep