Malam itu, apartemen mungil Riana terasa lebih sempit dari biasanya. Udara tak bergerak, seolah menahan napas bersamanya. Sebuah paket kecil tanpa nama pengirim tergeletak di depan pintu apartmentnya.
Perutnya langsung berontak. Ia mundur satu langkah, lalu dua. Pikirannya meloncat-loncat. Kalau pria itu sampai tahu alamat apartemennya, berarti dia tahu lebih banyak. Terlalu banyak. Ia memejamkan mata, menahan napas dalam-dalam. Tangannya gemetar saat akhirnya membuka bungkus coklat lusuh itu dan menemukan sebuah USB drive berwarna hitam matte beserta secarik kertas di dalamnya.
Ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal, tapi ia tahu siapa yang menelepon. Suara di seberang terdengar tenang, nyaris santai. Seperti sedang memesan kopi, bukan memerintah kejahatan.
"Kayak biasa aja, ikuti petunjuknya," kata pria itu.
Beberapa hari setelah kejadian dengan kain sutra, Alana masih belum bisa menyusun ulang pikirannya. Ia mencoba fokus di studio, menenggelamkan diri di balik layar tablet dan deretan benang yang belum disentuh. Tapi pikirannya terus terganggu oleh satu hal, Brian. dan niat tersembunyi di balik segala yang ia lakukan.Saat siang merayap pelan, Brian lagi-lagi masuk tanpa banyak suara. Ia meletakkan sesuatu di meja kerja Alana. Sebuah undangan berdesain mewah dengan emboss emas. Gala Tahunan Museum Kaliandra.“Acaranya besok malam,” kata Brian datar. “Kehadiran kita wajib. Ravenshade sponsor utama. Jadi ini adalah salah satu agenda terpenting tahun ini.”Alana mengangkat alis, lalu menggeleng pelan. “Ralat. Kehadiran kamu yang penting. Bukan aku.” Ia menatap undangan itu, lama. Ia tahu persis acara ini. Semua petinggi industri akan ada di sana. Pers dan kamera. Para investor. Dan para musuh. Semua menyatu dalam satu ruang yang berkilau. Sebuah ide mulai menyusup ke dalam benaknya, diam-
Malam itu, apartemen mungil Riana terasa lebih sempit dari biasanya. Udara tak bergerak, seolah menahan napas bersamanya. Sebuah paket kecil tanpa nama pengirim tergeletak di depan pintu apartmentnya.Perutnya langsung berontak. Ia mundur satu langkah, lalu dua. Pikirannya meloncat-loncat. Kalau pria itu sampai tahu alamat apartemennya, berarti dia tahu lebih banyak. Terlalu banyak. Ia memejamkan mata, menahan napas dalam-dalam. Tangannya gemetar saat akhirnya membuka bungkus coklat lusuh itu dan menemukan sebuah USB drive berwarna hitam matte beserta secarik kertas di dalamnya.Ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal, tapi ia tahu siapa yang menelepon. Suara di seberang terdengar tenang, nyaris santai. Seperti sedang memesan kopi, bukan memerintah kejahatan."Kayak biasa aja, ikuti petunjuknya," kata pria itu.
Beberapa hari setelah insiden itu, butik Valestra Bridal tidak lagi terasa seperti tempat yang sama. Dinding putih yang dulu menenangkan kini seakan menindas. Di balik kaca jendela besar, dua pria bertubuh kekar berdiri tegak memakai jas hitam, bergantian mengawasi sekeliling.Di dalam, suara bor dan langkah sepatu teknisi menggema. Kamera-kamera baru kini tergantung di setiap sudut, berkedip pelan seperti mata-mata yang tak pernah lelah. Detektor gerakan, suhu infrared, hingga kunci biometrik juga sudah terpasang kemarin. Alana berdiri di pojok ruangan, tangannya menyilang di dada, matanya tajam mengamati proses pemasangan.Riana mencoba bekerja. Tangannya menata tumpukan kain satin di rak display, tapi gerakannya terlalu hati-hati, terlalu sadar. Sesekali ia melirik ke atas, ke arah kamera yang seolah menatap langsung ke tengkuknya. Ia menarik napas, me
Bab 15Riana duduk diam di ujung sofa tuanya. Lampu kuning temaram di apartemen kecil itu tidak cukup hangat untuk menenangkan pikirannya. Ponselnya menyala lagi di pangkuan, menampilkan pesan dari Alana. Pesan-pesan yang belum ia balas. Ia menatapnya tanpa benar-benar membaca. Tangannya gemetar. Rasanya seperti ada beban fisik yang mengendap di dadanya, dan semakin berat setiap kali ia mengabaikan notifikasi itu.Ia mengangkat wajahnya, pandangannya tertumbuk pada bingkai kayu di dinding. Foto tua dari masa SMA. Dirinya berdiri di tengah, dengan senyum lebar yang lepas, dikelilingi tawa gadis-gadis yang pernah menjadi dunianya. Salah satunya kini sedang menghancurkan hidupnya perlahan-lahan. Kenangan itu kini terasa busuk. Ia menutup mata. Lalu semuanya mengalir begitu saja, malam itu, dua minggu lalu.“Rianaaa!! Ih gila makin cantik aja lo…” Angel, salah satu temannya memujinya. “Mana gandengan lo?”“Ishh…gandengan gue ada…tuh..”“Eh…mana? Masih di mobil?”“Di masa depan…”“Ahaha…Si
Pikiran Alana kembali ke kejadian tadi pagi. Ke jam tangan basah yang seharusnya memancing amarah, tapi Brian justru bertindak tenang. Ia merasa sempat tertipu, tapi sekarang akan menjadi jelas.“Jadi begini caramu membalas dendam? Brian.”Alana berdiri mematung, tubuhnya terasa berat, seolah energi terakhirnya tersedot oleh malam yang tak berkesudahan ini. Gaun rusak itu menjulang di hadapannya, saksi bisu dari kehancuran yang begitu pribadi.Ia melihat Riana sedang berbicara dengan dua petugas polisi di dekat pintu masuk. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Wajahnya cemas, dan tangannya terus bergerak gelisah.Perhatian Alana terpecah ketika pintu buti
Langkah kaki terdengar dari ruang belakang. Riana muncul dengan wajah panik dan mata merah, napasnya tersengal seolah habis berlari.“Kenapa bisa gini Riana!?”“Sori, Alana... tadi aku cuma keluar sebentar buat cari makan. Cuma bentar, bener … tapi waktu aku balik, keadaannya udah kayak gini ….”Alana berbalik tajam. “Sebentar katamu?! Kamu tinggal butik ini sendirian? Kamu tadi bahkan nggak angkat teleponku! Dan barusan kamu ga ada disini! Kamu darimana?”“Sumpah, aku nggak tahu kenapa bisa jadi kayak gini, Alana!” suara Riana mulai serak, nyaris menangis. “Aku baru cek CCTV-nya barusan. Mati, Alana. Ga tau kenapa. Mati dari satu jam lalu.”Alana